Posted by : Cak_Son Rabu, 01 Juli 2015



BAB II
PEMBAHASAN

1.    Islam Masuk ke Indonesia Melalui Jawa
Sebelum membahas tentang sejarah masuknya Islam di bumi Nusantara, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu tentang pangertian dari sejarah. Banyak definisi yang menjelaskan tentang pengertian dari sejarah, tapi dari semua pengertian itu mengerucut pada sebuah titik yang sama. Di kalangan cendekiawan muslim, sejarah merupakan penetapan terhadap berita-berita penting pada sebuah masa tertentu, yang berarti pada penghitungan zaman dan masanya. Sehingga dapat diartikan sebagai penetapan  pada waktu terjadinya peristiwa penting dengan penetapan yang tepat.[1] Sehingga sejarah tidak akan pernah terlepas dari 2 buah faktor utama yang membangunnya, yang pertama yaitu berita atau informasi dan yang kedua adalah masa atau waktu kejadian. Karena sesungguhnya sejarah adalah dinamika perubahan zaman. Karena dengan mempelajari masa lampau kita bisa mengetahui masa sekarang dan mempersiapkan kehidupan untuk masa yang akan datang.[2] Maka akan kita bahas bagaimana Islam masuk ke Indonesia dengan mengumpulkan informasi-informasi yang ada serta mengaitkannya dengan waktu dan masa terjadinya peristiwa tersebut.
Sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, mayoritas masyarakat jawa menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Selain menganut kepercayaan tersebut masyarakat Jawa juga dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Hindu dan Budha dari India. Seiring dengan waktu yang  berjalan tidak lama kemudian Islam masuk ke Jawa melalui pedagang-pedagang Gujarat dan Persia dan ada yang berpendapat langsung dibawa oleh orang Arab. Sehingga masyarakat Jawa sebelum Islam datang dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a.    Jawa Pra Hindu-Budha
Situasi kehidupan “religius” masyarakat di tanah Jawa sebelum datangnya Islam sangatlah heterogen. Kepercayaan import maupun kepercayaan yang asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum Hindu dan Budha, masyarakat Jawa pra-sejarah telah memeluk keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme. Pandangan hidup orang Jawa adalah mengarah pada pembentukan kesatuan numinous antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Di samping itu, mereka meyakini kekuatan magis keris, tombak, dan senjata lainnya. Benda-benda yang dianggap keramat dan memiliki kekuatan magis ini selanjutnya dipuja, dihormati, dan mendapat perlakuan istimewa.

b.    Jawa Masa Hindu-Budha
Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem agama. Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat). Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah sangat bersifat teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa adalah salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan: “Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada zaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu”. Di pulau Jawa terdapat tiga buah kerajaan masa Hindu  Budha, kerajaan-kerajaan itu adalah Taruma, Ho-Ling, dan Kanjuruhan. Di dalam perekonomian dan industri salah satu aktivitas masyarakat adalah bertani dan berdagang dalam proses integrasi bangsa. Dari aspek lain karya seni dan satra juga telah berkembang pesat antara lain seni musik, seni tari, wayang, lawak, dan tari topeng. Semua itu sebagian besar terdokumentasikan pada pahatan-pahatan relief dan candi-candi.[3]
Cara masuknya Islam ke bumi Jawa melalui berbagai cara dan jalan. Sehingga Islam masuk ke tanah Jawa lebih mudah dan dapat diterima oleh masyarakat luas tanpa ada pertentangan dari masyarakat. Cara Islamisasi yang berkembang ada pada awal masuknya Islam ke tanah Jawa sedikitnya ada enam yaitu dengan cara: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.[4] Cara yang digunakan untuk menyebarkan Islam ini bersifat humanisme tanpa dilandasi dengan teror dan kekerasan. Sehinggga Islam dapat begitu mudah diterima oleh masyarakat luas tanpa diawalki dengan kekerasan dan pemaksaaan.
Dakwah Islam merupakan dakwah yang bersifat khusus untuk kemanusiaan. Dan menempatkan manusia pada kedudukan yang sangat tinggi sihingga dengan dakwah ini dapat mengantarkan manusia untuk mencapai derajat kemuliaan dan kesempurnaan akhlak.[5]
Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit.
Sejarah mencatat bahwa kaum pedagang memegang peranan penting dalam persebaran agama dan kebudayaan Islam. Letak Indonesia yang strategis menyebabkan timbulnya bandar-bandar perdagangan yang turut membantu mempercepat persebaran tersebut. Di samping itu, cara lain yang turut berperan ialah melalui dakwah yang dilakukan para mubaligh.

a.      Peranan Kaum Pedagang
Seperti halnya penyebaran agama Hindu-Budha, kaum pedagang memegang peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam, baik pedagang dari luar Indonesia maupun para pedagang Indonesia.
Para pedagang itu datang dan berdagang di pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir. Malaka merupakan pusat transit para pedagang. Di samping itu, bandar-bandar di sekitar Malaka seperti Perlak dan Samudra Pasai juga didatangi para pedagang.
Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama, untuk menunggu datangnya angin musim. Pada saat menunggu inilah, terjadi pembauran antarpedagang dari berbagai bangsa serta antara pedagang dan penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan adat-istiadat, budaya bahkan agama. Bukan hanya melakukan perdagangan, bahkan juga terjadi asimilasi melalui perkawinan.
Di antara para pedagang tersebut, terdapat pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang umumnya beragama Islam. Mereka mengenalkan agama dan budaya Islam kepada para pedagang lain maupun kepada penduduk setempat. Maka, mulailah ada penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam. Lama-kelamaan penganut agama Islam makin banyak. Bahkan kemudian berkembang perkampungan para pedagang Islam di daerah pesisir.
Para pedagang dapat dengan mudah menyebarkan agama Islam karena mereka mampu menjalin sebuah persaudaraan yang kuat diantara mereka dengan orang-orang Indonesia, yaitu persaudaraan di atas agama Allah. Karena persaudaraan di jalan Allah bagaikan minuman yang bersih yang menyehatkan yang disiapkan bagi orang-orang mukmin yang sehat dan cerdas. Karena itulah persaudaraan yang dibangun diatas nama Allah adalah bagian dari iman, sehingga tidak dapat dipisahkan antara persaudaraan dan iman, dan juga sebaliknya tidak dapat dipisahkan antara iman dan persaudaraan.[6] Dengan persaudaraan inilah terhapus kasta-kasta yang selama ini membelenggu masyarakat Indonesia. Sehingga tercipta suasana baru yang penuh dengan rasa kasih sayang sesame dan toleransi.
Penduduk setempat yang telah memeluk agama Islam kemudian menyebarkan Islam kepada sesama pedagang, juga kepada sanak familinya. Akhirnya, Islam mulai berkembang di masyarakat Indonesia. Di samping itu para pedagang dan pelayar tersebut juga ada yang menikah dengan penduduk setempat sehingga lahirlah keluarga dan anak-anak yang Islam.
Hal ini berlangsung terus selama bertahun-tahun sehingga akhirnya muncul sebuah komunitas Islam, yang setelah kuat akhirnya membentuk sebuah pemerintahaan Islam. Dari situlah lahir kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara.

b.      Peranan Bandar-Bandar di Indonesia
Bandar merupakan tempat berlabuh kapal-kapal atau persinggahan kapal-kapal dagang. Bandar juga merupakan pusat perdagangan, bahkan juga digunakan sebagai tempat tinggal para pengusaha perkapalan. Sebagai negara kepulauan yang terletak pada jalur perdagangan internasional, Indonesia memiliki banyak bandar. Bandar-bandar ini memiliki peranan dan arti yang penting dalam proses masuknya Islam ke Indonesia.
Di bandar-bandar inilah para pedagang beragama Islam memperkenalkan Islam kepada para pedagang lain ataupun kepada penduduk setempat. Dengan demikian, bandar menjadi pintu masuk dan pusat penyebaran agama Islam ke Indonesia. Kalau kita lihat letak geografis kota-kota pusat kerajaan yang bercorak Islam pada umunya terletak di pesisir-pesisir dan muara sungai.
Dalam perkembangannya, bandar-bandar tersebut umumnya tumbuh menjadi kota bahkan ada yang menjadi kerajaan, seperti Perlak, Samudra Pasai, Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore. Banyak pemimpin bandar yang memeluk agama Islam. Akibatnya, rakyatnya pun kemudian banyak memeluk agama Islam.
Peranan bandar-bandar sebagai pusat perdagangan dapat kita lihat jejaknya. Para pedagang di dalam kota mempunyai perkampungan sendiri-sendiri yang penempatannya ditentukan atas persetujuan dari penguasa kota tersebut, misalnya di Aceh, terdapat perkampungan orang Portugis, Benggalu Cina, Gujarat, Arab, dan Pegu.
Begitu juga di Banten dan kota-kota pasar kerajaan lainnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kota-kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam memiliki ciri-ciri yang hampir sama antara lain letaknya di pesisir, ada pasar, ada masjid, ada perkampungan, dan ada tempat para penguasa (sultan).

c. Peranan Para Wali dan Ulama (Muballigh)
Salah satu cara penyebaran agama Islam ialah dengan cara mendakwah. Di samping sebagai pedagang, para pedagang Islam juga berperan sebagai mubaligh. Ada juga para mubaligh yang datang bersama pedagang dengan misi agamanya. Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat objek dakwah, dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.
Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat sultan.
Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah seperti berikut.
(1)   Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim). Inilah wali yang pertama datang ke Jawa pada abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.
(2)   Sunan Ampel (Raden Rahmat). Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.
(3)   Sunan Derajad (Syarifudin). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Surabaya. Seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.
(4)   Sunan Bonang (Makdum Ibrahim). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Sunan yang sangat bijaksana.
(5)   Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan lingkungan setempat.
(6)   Sunan Giri (Raden Paku). Menyiarkan Islam di luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan agama dengan metode bermain.
(7)   Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.
(8)   Sunan Muria (Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.
(9)   Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar.[7]

Mengenai kapan Islam masuk ke Indonesia dan siapa pembawanya terdapat beberapa teori yang mendukungnya. Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia. Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara. Teori tersebut adalah:

a. Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:
(1)     Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
(2)     Sehubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
(3)     Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat. Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.

c.    Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:
(1)     Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan   Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
(2)     Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
(3)     Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al Malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir. Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.

c.    Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
(1)     Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
(2)     Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
(3)     Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda- tanda bunyi Harakat.
(4)     Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
(5)     Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.[8]

Teori Persia ini didukung dengan berbagai bukti yang telah ditemukan oleh para ahli. Bukti tertua kehadiran huruf Arab pada fase awal Islam di Nusantara ditemukan di sebuah makam di desa Leran, 8 Km utara kota Gresik Jawa Timur. Huruf itu terdapat pada Nisan Fatimah binti Maimun bin Hibatullah. Dia wafat pada hari Jumat 12 Rabiulawwal 475 Hijriyah / 1082 Masehi.
Penanggalan itu menunjukkan nisan dipusara anak perempuan Maimun ini merupakan bukti tertua penggunaan tulisan Arab di Asia Tenggara. Demikian di tuliskan pada buku panduan pameran Budaya Islam di Aula Institut Agama Islam Negeri (IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), pada tanggal 11-17 September 1995.
Inskripsi nisan Fatimah terdiri atas tujuh baris, ditulis dengan huruf Arab dengan gaya Kufi, salah satu ragam kaligrafi, dengan tata bahasa Arab yang baik. Nisan ini juga memuat ayat Al-Qur’an, antara lain surat Al-Rahman ayat 28-27 dan surat Ali Imron ayat 185. Bersama nisan Maulana Malik Ibrahim, yang wafat pada 12 Rabiulawwal 822 H/8 April 1419 M, juga dimakamkan di Gresik, mengukuhkan pendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui Persia dan Gujarat. Ada juga sarjana yang mengatakan batu nisan tersebut mirip kuil tembok Hindu di Gujarat.
Prof. DR. PA. Hoesien Djajadiningrat menyatakan, “Bukti agama Islam masuk ke Nusantara dari Iran (persia), ialah ejaan dalam tulisan Arab, baris di atas, di bawah, dan di depan disebut jabar, Jer dan Pes. Ini adalah bahasa Iran. Kalau menurut bahasa Arab, ejaannya adalah Fathah, Kasrah dan Dhammah. Begitu pula huruf Sin yang tidak bergigi, sedangkan huruf Sin dalam bahasa arab adalah  bergigi, ini adalah salah satu bukti yang terang”.
Siapakah Fatimah binti Maimun? Ahli sejarah Cirebon abad ke 17, Wangsakerta, sebagai pangeran ketiga keraton pernah melakukan Gotrasawala (musyawarah kekeluargaan) ahli sejarah se-Nusantara menelusuri silsilah para Syekh, guru agama dan Sultan keturunan Nabi Muhammad SAW yang menjadi tokoh penyebar agama Islam di Nusantara. Wangsakerta berdiskusi dengan Mahakawi sejarah dari Pasai, Jawa Timur, Cirebon, Arab, Kudus, dan Surabaya, serta ulama dari Cirebon dan Banten.
Hasilnya sebagai berikut: Rasulullah Muhammad SAW berputri Fatimah yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib, berputra Husaian, berputra Zainal Abidin, yang menurunkan Muhammad Al-Baqir, bapak Ja’far Shadiq, berputra Ali Al-Uraidi, ayah Sulaiman Al-Basri, yang menetap di Persi, Sulaiman Abu Zain Al-Basri, yang menurunkan Ahmad Al-Baruni, ayah Sayyid Idris Al-Malik, yang berputra Muhammad Makdum Sidiq, yang terakhir ini adalah ayah Hibatullah, kakek Fatimah binti Maimun. Masih menurut penelusuran itu, Fatimah menikah dengan Pria bernama Hassan yang berasal dari Arab bagian selatan.
Tentang Fatimah binti Maimun ini, pasangan peneliti H.J. de Graaf dan Th. Piqeaud menghubungkannya dengan tradisi Lisan Jawa, tentang putri Leran atau putri Dewi Swara. Dalam kaitan ini, kedua pakar Belanda ini juga menerima anggapan bahwa Gresik merupakan pusat tertua agama Islam di Jawa Timur.
Dengan demikian, tidak mustahil Fatimah binti Maimun itu pendakwah Islam pertama di Tanah Jawa, bahkan sangat boleh jadi di Nusantara. Namun ada penulis yang menyatakan, kakeknya pedagang dari Timur tengah, Hibatullah, menetap di Leran, dan menikah dengan wanita setempat, bahkan di duga sudah membangun masjid.
Apakah faktor kebetulan bila desa tempat Fatimah binti Maimun di makamkan itu bernama Leran? Tentu saja hal ini telah menjadi perbincangan para ahli sejarah sejak lama. Cendikiawan Muslim Oemar Amin Hoesin, misalnya berpendapat, di Persia itu ada satu suku namanya “Leren”, suku inilah yang mungkin dahulu datang ke tanah Jawa, sebab di Giri ada kampung Leren juga namanya. Begitu pula, ada suku Jawi di Persia. Suku inilah yang mengajarkan huruf Arab yang terkenal di Jawa dengan huruf Pegon.
Dalam hal ini, Moh. Hari Soewarno mencatat, Leran sebenarnya nama suku di Iran. mungkin Fatimah berasal dari Parsi, sebab data itu bisa dibandingkan dengan data lain di Iran sendiri. Di sanapun terdapat desa yang namanya Jawi, sehingga dapat di tarik kesimpulan, pada abad ke ke-11 itu sudah ada lalu lintas dagang antara negeri kita dengan negeri Parsi. Peristiwa itu pasti terjadi berulang-ulang serta dimengerti banyak orang, baik di Jawa maupun di Iran. Menurutnya, orang Parsi, yang datang ke Jawa merasa kerasan, lalu menetap. Sebaliknya orang Jawa yang merasa senang di Iran lalu menetap di sana dan menamai desanya Jawi – untuk  menunjukkan perkampungan orang Jawa disana..
Jadi, dapat disimpulkan, Fatimah binti Maimun adalah orang Parsi yang menetap di Jawa (tepatnya di Gresik), lalu perkampungannya disana hingga sekarang terkenal sebagai desa Leran. Lebih jauh diketahui, di Kediri pada Abad ke-11 sudah banyak orang membuat rumah indah dengan genting warna-warni, kuning dan hijau. Gaya rumah demikian banyak kita jumpai di Parsi.
Apakah juga faktor kebetulan jika dari tanah Persia, Fatimah binti Maimun merantau ke pelabuhan Gresik, kemudian tinggal serta wafat dan dimakamkan di sana? Bersama nisan ulama Persia Maulana Malik Ibrahim, yang berangka tahun 882 H / 1419 M, sedang Nisan Fatimah yang berangka 475 H / 1082 M dilihat sebagai bukti bahwa pada waktu itu banyak orang Gresik yang telah menganut agama Islam. Bahkan sebelum kedatangan para Wali periode pertama, sudah banyak pedagang Islam di tanah Jawa. Mereka memilih daerah pelabuhan Gresik, yang saat itu sedang dalam kekuasaan kerajaan Majapahit, sebagai tempat tinggal mereka.[9]
Dengan banyaknya teori yang telah disebutkan diatas dan dengan disertai dengan bukti nyata yang kuat, kita dapat menyimpulkan bahwa memang Islam telah ada sejak abad 7 M. Islam telah membentuk sebuah peradaban baru tidak hanya telah mengajarkan tentang kepercayaan dan agama saja, tetapi Islam telah membentuk sebuah peadaban baru dengan masyarakat baru serta telah mengukir sebuah sejarah baru dengan lembaran-lembaran yang baru pula.   

2.    Islam Masuk ke Indonesia Melalui Sumatra
Dalam kajian ilmu sejarah, tentang masuknya Islam di Indonesia masih “debatable”. Oleh karena itu perlu ada penjelasan lenih dahulu tentang penegrtian “masuk”, antara lain:
a.    Dalam arti sentuhan (ada hubungan dan ada pemukiman Muslim).
b.    Dalam arti sudah berkembang adanya komunitas masyarakat Islam.
c.    Dalam arti sudah berdiri Islamic State (Negara/kerajaan Islam).
Selain itu juga masing-masing pendapat penggunakan berbagai sumber, baik dari arkeologi, beberapa tulisan dari sumber barat, dan timur. Disamping jiga berkembang dari sudut pandang Eropa Sentrisme dan Indonesia Sentrisme.

A.  Awal Masuknya Islam di Indonesia
1)        Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7:
a.       Seminar masuknya islam di Indonesia (di Aceh), sebagian dasar adalah catatan perjalanan Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
b.      Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di sumatera dalam perjalannya ke China.
c.       Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
d.      Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
e.       Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke Malaya.
f.       Prof. S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnay berjudul Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
g.      W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan adanya Aarb muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab Muslim).
h.      T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).

2)        Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11:
Satu-satunya sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun (dimasehikan 1082)

3)        Islam Masuk Ke Indonesia Pada Abad Ke-13:
a.         Catatan perjalanan marcopolo, menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack) di aceh, pada tahun 1292 M.
b.         K.F.H. van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
c.         J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13.
d.        Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje; dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13, berdasarkan saudah adanya beberapa kerajaaan islam di kawasan Indonesia.

B.  Pembawa Islam ke Indonesia
Sebelum pengaruh islam masuk ke Indonesia, di kawasan ini sudah terdapat kontak-kontak dagang, baik dari Arab, Persia, India dan China. Islam secara akomodatif, akulturasi, dan sinkretis merasuk dan punya pengaruh di arab, Persia, India dan China. Melalui perdagangan itulah Islam masuk ke kawasan Indonesia. Dengan demikian bangsa Arab, Persia, India dan china punya nadil melancarkan perkembangan islam di kawasan Indonesia.
1)   Gujarat (India)
Pedagang islam dari Gujarat, menyebarkan Islam dengan bukti-bukti antar lain:
a.    ukiran batu nisan gaya Gujarat.
b.    Adat istiadat dan budaya India islam.
2)   Persia
Para pedagang Persia menyebarkan Islam dengan beberapa bukti antara lain:
a.    Gelar “Syah” bagi raja-raja di Indonesia.
b.    Pengaruh aliran “Wihdatul Wujud” (Syeh Siti Jenar).
c.    Pengaruh madzab Syi’ah (Tabut Hasan dan Husen).
3)   Arab
Para pedagang Arab banyak menetap di pantai-pantai kepulauan Indonesia, dengan bukti antara lain:
a.    Menurut al Mas’udi pada tahun 916 telah berjumpa Komunitas Arab dari Oman, Hidramaut, Basrah, dan Bahrein untuk menyebarkan islam di lingkungannya, sekitar Sumatra, Jawa, dan Malaka.
b.    munculnya nama “kampong Arab” dan tradisi Arab di lingkungan masyarakat, yang banyak mengenalkan islam.
4)   China
Para pedagang dan angkatan laut China (Ma Huan, Laksamana Cheng Ho/Dampo awan ?), mengenalkan islam di pantai dan pedalaman Jawa dan sumatera, dengan bukti antar lain :
a.    Gedung Batu di semarang (masjid gaya China).
b.    Beberapa makam China muslim.
c.    Beberapa wali yang dimungkinkan keturunan China.
Dari beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan cultural, sehingga terjadi dialog budaya dan pergaulan social yang penuh toleransi.

C.  Awal Penyebaran Islam di Indonesia
1) Perdagangan dan Perkawinan
Dengan menunggu angina muson (6 bulan), pedagang mengadakan perkawinan dengan penduduk asli. Dari perkawinan itulah terjadi interaksi social yang menghantarkan Islam berkembang (masyarakat Islam).
2) Pembentukan masyarakat Islam dari tingkat ‘bawah’ dari rakyat lapisan bawah, kemudian berpengaruh ke kaum birokrat (J.C. Van Leur).
3) Gerakan Dakwah, melalui dua jalur yaitau:
a. Ulama keliling menyebarkan agama Islam (dengan pendekatan Akulturasi dan Sinkretisasi/lambing-lambang budaya).
b. Pendidikan pesantren (ngasu ilmu/perigi/sumur), melalui lembaga/sisitem pendidikan Pondok Pesantren, Kyai sebagai pemimpin, dan santri sebagai murid.
Dari ketiga model perkembangan Islam itu, secara relitas Islam sangat diminati dan cepat berkembang di Indonesia. Meskipun demikian, intensitas pemahaman dan aktualisasi keberagman islam bervariasi menurut kemampuan masyarakat dalam mencernanya.
Ditemukan dalam sejarah, bahwa komunitas pesantrean lebih intens keberagamannya, dan memiliki hubungan komunikasi “ukhuwah” (persaudaraan/ikatan darah dan agama) yang kuat. Proses terjadinya hubungan “ukhuwah” itu menunjukkan bahwa dunia pesantren memiliki komunikasi dan kemudian menjadi tulang punggung dalam melawan colonial.
Kedatangan Islam ke Indonesia mempunyai dua tujuan, yaitu:
a.    Islam expanssion sesuai hangatnya gerakan islam pada waktu itu.
b.    Ekonomi, yaitu mengambil rempah2 langsung dari sumbernya. Sebelumnya Arab mengandalkan pada pedagang-pedagang  Hindu dari India.

3. Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.
        Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.
Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.

A.       Sejarah Berdirinya
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan .
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.[10]
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.

Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934. Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.[11]

B.       Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi.
Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:  1) Al-Qur'an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW; 2) Sunnah Rasul: Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur'an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.[12]
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
1.    'Aqidah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid'ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.

2.    Akhlak 
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia
3.    Ibadah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.

4.    Muamalah Duniawiyah
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu'amalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.

5.    Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT: "BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR"

C.       Ciri Perjuangan Muhammadiyah
Dengan melihat sejarah pertumbuhan dan perkembangan persyarikatan Muhammadiyah sejak kelahirannya, memperhatikan faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya, aspirasi, motif, dan cita-citanya serta amal usaha dan gerakannya, nyata sekali bahwa didalammya terdapat ciri-ciri khusus yang menjadi identitas dari hakikat atau jati diri Persyarikatan Muhammadiyah. Secara jelas dapat diamati dengan mudah oleh siapapun yang secara sepintas mau memperhatikan ciri-ciri perjuangan Muhammdiyah itu adalah sebagai berikut.

1)      Muhammdiyah sebagai Gerakan Islam
Telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa Persyarikatan Muhammadiyah dibangun oleh KH Ahmad Dahlan sebagi hasil kongkrit dari telaah dan pendalaman (tadabbur) terhadap Alquranul Karim. Faktor inilah yang sebenarnya paling utama yang mendorong berdirinya Muhammadiyah, sedang faktor-faktor lainnya dapat dikatakan sebagai faktor penunjang atau faktor perangsang semata. Dengan ketelitiannya yang sangat memadai pada setiap mengkaji ayat-ayat Alquran, khususnya ketika menelaah surat Ali Imran, ayat:104, maka akhirnya dilahirkan amalan kongkret, yaitu lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah. Kajian serupa ini telah dikembangkan sehingga dari hasil kajian ayat-ayat tersebut oleh KHR Hadjid dinamakan “Ajaran KH Ahmad Dahlan dengan kelompok 17, kelompok ayat-ayat Alquran”, yang didalammya tergambar secara jelas asal-usul ruh, jiwa, nafas, semangat Muhammadiyah dalam pengabdiyannya kepada Allah SWT.
Dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah seperti di atas jelaslah bahwa sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi, dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al-Qur’an karena itupula seluruh gerakannya tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam. Segala yang dilakukan Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan dan pengajaran, kemasyarakatan, kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya tidak dapat dilepaskan dari usaha untuk mewujudkan dan melaksankan ajaran Islam. Tegasnya gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud yang riil, kongkret, dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati oleh umat sebagai rahmatan lil’alamin.

2)      Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam
Ciri kedua dari gerakan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan dakwah Islamiyah. Ciri yang kedua ini muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat tidak terpisahkan dalam jati diri Muahammadiyah. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa faktor utama yang mendorong berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah berasal dari pendalaman KHA Dahlan terdapat ayat-ayat Alquran Alkarim, terutama sekali surat Ali Imran, Ayat:104. Berdasarkan Surat Ali Imran, ayat : 104 inilah Muhammadiyah meletakkan khittah atau strategi dasar perjuangannya, yaitu dakwah (menyeru, mengajak) Islam, amar ma’ruf nahi munkar dengan masyarakat sebagai medan juangnya. Gerakan Muhammadiyah berkiprah di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun berbagai ragam amal usaha yang benar-benar dapat menyentuh hajat orang banyak seperti berbagai ragam lembaga pendidikan sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, membangun sekian banyak rumah sakit, panti-panti asuhan dan sebagainya. Semua amal usaha Muhammadiyah seperti itu tidak lain merupakan suatu manifestasi dakwah islamiyah. Semua amal usaha diadakan dengan niat dan tujuan tunggal, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah Islamiyah.

3)    Muhammadiyah sebagi Gerakan Tajdid
Ciri ke tiga yang melekat pada Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai Gerakan Tajdid atau Gerakan Reformasi. Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri sebagai salah satu organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama Islam sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan Assunah, sekaligus memebersihkan berbagai amalan umat yang terang-trangan menyimpang dari ajaran Islam, baik berupa khurafat, syirik, maupun bid’ah lewat gerakan dakwah. Muhammadiyah sebagai salah satu mata rantai dari gerakan tajdid yang diawali oleh ulama besar Ibnu Taimiyah sudah barang tentu ada kesamaaan nafas, yaitu memerangi secara total berbagai penyimpangan ajaran Islam seperti syirik, khurafat, bid’ah dan tajdid, sbab semua itu merupakan benalu yang dapat merusak akidah dan ibadah seseorang.
Sifat Tajdid yang dikenakan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak hanya sebatas pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel pada tubuhnya, melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah melakukan berbagai pembaharuan cara-cara pelaksanaan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, semacam memperbaharui cara penyelenggaraan pendidikan, cara penyantunan terhadap fakir miskin dan anak yatim, cara pengelolaan zakat fitrah dan zakat harta benda, cara pengelolaan rumah sakit, pelaksanaan sholat Id dan pelaksanaan kurba dan sebagainya.
Untuk membedakan antara keduanya maka tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi (purification) dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation). Dalam hubungan dengan salah satu ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, maka Muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai Gerakan Purifikasi dan Gerakan Reformasi.[13]

4. Persatuan Islam
  1. Persis Islam dan Pemurnian
Keberadaan penjajah Belanda di Indonesia telah melahirkan semangat persatuan dan keberagamaan umat Islam.Sebab, kedatangan penjajah ke bumi nusantara telah membawa sejumlah peradaban baru yang sebagian di antaranya tidak sesuai dengan ajaran Islam.Sementara itu, tingkat keberagamaan umat Islam juga mulai bercampur dengan kebiasaan dan tradisi yang menurut beberapa tokoh tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni.
Kondisi inilah yang menyebabkan lahirnya sejumlah organisasi keislaman di bumi nusantara.Hingga saat ini, tercatat cukup banyak organisasi Islam di Indonesia.Salah satunya adalah Persatuan Islam (Persis).Organisasi ini didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh sekelompok tokoh Islam yang berminat dalam pendidikan serta gerakan pemurniaan dan pembaruan (tajdid) Islam.Gerakan ini dilakukan oleh sejumlah tokoh-tokoh Islam yang sebagian besar berusia muda.
Sebagaimana diketahui, gerakan pembaruan Islam mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1802 atau bersamaan dengan kembalinya sejumlah ulama Indonesia dari Tanah Suci Makkah.Para ulama ini melihat secara langsung gerakan pemurnian Islam di Jazirah Arab. 
Mereka kemudian mengembangkan gerakan tajdid.Melalui gerakan tersebut, para ulama ini berupaya meluruskan semua praktik ibadah di kalangan masyarakat Muslim yang masih bercampur dengan bid'ah dan khurafat.Praktik ibadah seperti itu dipandang tidak sesuai dengan Alquran dan sunah.
Semangat dan isi gerakan pembaruan Islam ini pada mulanya mendapat perhatian dari umat Islam di daerah perkotaan. Secara geografis dan kultural, masyarakat kota lebih cepat berhadapan dengan pengaruh luar daripada masyarakat desa. Mereka yang mendukung gerakan ini menamakan diri sebagai kelompok modernis Islam.  
Pada awal abad ke-20, gerakan pembaruan Islam di Indonesia ditandai dengan munculnya berbagai organisasi kelompok modernis Islam di sejumlah kota besar, di antaranya Al-Jam'iyyah Al-Khoiriyah atau dikenal dengan nama Jamiat Khair pada 17 Juli 1905 di Jakarta, Al-Irsyad (berdiri di Jakarta, 11 Agustus 1915), dan Muhammadiyah di Yogyakarta (12 November 1912).
Kota Bandung, sebagaimana dijelaskan Dadan Wildan dalam buku Yang Da'i Yang Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, tampaknya agak lambat menerima arus gerakan pembaruan Islam ini dibandingkan daerah-daerah lain meskipun Syarekat Islam (SI) telah beroperasi di daerah ini sejak 1913. Kesadaran akan keterlambatan ini merupakan salah satu cambuk berdirinya sebuah organisasi baru, yakni Persatun Islam (Persis).

  1. Awal Mula[14]
Berdirinya Persis, diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penelaahan agama Islam) di Kota Bandung yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Kelompok tadarusan yang berjumlah sekitar 20 orang itu menelaah, mengkaji, dan menguji ajaran-ajaran Islam yang berkembang di tengah masyarakat.
Para anggota tadarusan tersebut sadar akan bahaya keterbelakangan, kejumudan, tertutupnya pintu ijtihad, taklid buta, dan serangkaian praktik bid'ah. Mereka kemudian mencoba melakukan gerakan tajdid (pembaruan) dan pemurnian ajaran Islam dari paham-paham yang dianggap menyesatkan.Seiring dengan banyaknya peminatnya, kelompok ini menyadari perlunya membentuk sebuah organisasi baru yang memiliki karakter khusus. 
Pada 1 Shafar 1342 H, bertepatan dengan 12 September 1923, kelompok tadarus ini sepakat mendirikan organisasi yang diberi nama Persatuan Islam. Nama Persatuan Islam ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul-ijtihad dan jihad: berusaha sekuat tenaga mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. 
Ide persatuan pemikiran, rasa, suara, dan usaha Islam ini diilhami firman Allah dalam Alquran surah Ali-Imran ayat 103 dan hadis Nabi SAW yang memerintahkan pentingnya persatuan.
"Dan, berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang/aturan) Allah seluruhnya; dan janganlah kamu bercerai-berai." (QS Ali Imran [3]: 103). "Kekuatan Allah itu beserta jamaah." (HR Tirmidzi). Kedua dasar inilah yang menjadi moto Persis dan ditulis dalam lambang Persis yang berbentuk lingkaran bintang bersudut 12.
Dalam perkembangannya, konsep persatuan pemikiran, rasa, suara, dan usaha Islam ini dituangkan Persis melalui gerakan pendidikan Islam dan dakwah.Persis juga berusaha menegakkan ajaran Islam secara utuh tanpa dicampuri khurafat, syirik, dan bid'ah. Saat ini, organisasi Persis telah tersebar di sejumlah provinsi, di antaranya Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Banten, Lampung, Bengkulu, Riau, Jambi, dan Gorontalo.



  1. Penerapan Hukum Islam
Sebagai organisasi Islam, Persis mempunyai tujuan utama untuk memberlakukan hukum Islam di tengah masyarakat, sebagaimana tuntunan Alquran dan hadis di masyarakat. 
Menurut Tafsir Qanun Asasi Persis, pada mulanya Persis, yang terbentuk dan berdiri pada masa penjajahan kolonial Belanda itu, tidaklah didasarkan atas suatu kepentingan atau kebutuhan masyarakat pada masa itu. Para pendirinya mendirikan organisasi ini karena terpanggil oleh kewajiban dan tugas risalah dari Allah SWT, sebagaimana Rasulullah SAW berdiri di atas bukit Shafa untuk menyatakan kerasulannya tidaklah berdasarkan atas kepentingannya.
Menurut Dadan Wildan, para pendiri Persis menilai bahwa masyarakat Islam Indonesia ketika itu tidak membutuhkan suatu perombakan tatanan kehidupan keislaman. Namun, mereka melihat bahwa sebagian besar umat Islam telah tenggelam dalam 'buaian' taklid, jumud, khurafat, bid'ah, takhayul, syirik, dan paham-paham sesat lainnya. Karena itu, tulis Wildan, Persis berdiri atas dasar kewajiban terhadap tugas Ilahi untuk mengubah kemandekan berpikir dan membuka ketertutupan pintu ijtihad.
Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang berdiri pada awal abad ke-20, menurut Howard M Federspiel dalam tulisannya yang bertajuk "Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia", Persis mempunyai ciri tersendiri.Kegiatan organisasi ini dititikberatkan pada pembentukan paham keagamaan.
Sejalan dengan ini, Isa Anshary dalam buku Manifest Perjuangan Persatuan Islam menyatakan bahwa Persis tampil sebagai sebuah organisasi kaum Muslim yang sepaham dan sekeyakinan, yakni kaum pendukung dan penegak Alquran dan sunah.
Menurut Isa Anshary, Persis mengutamakan perjuangan dalam lapangan ideologi Islam dan bukan dalam bidang organisasi. Persis berjuang membentuk dirinya menjadi intisari dari kaum Muslim."Ia mencari kualitas, bukan kuantitas.Ia mencari isi, bukan jumlah."Karena itu, organisasi ini tampil sebagai salah satu sumber kebangkitan dan kesadaran baru bagi umat Islam serta menjadi kekuatan dinamika dalam menggerakkan kebangkitan umat Islam. 
Sejak awal berdirinya, Persis tidak memberikan penekanan pada kegiatan organisasi.Para pengurus Persis tidak terlalu berminat untuk membentuk banyak cabang atau menambah sebanyak mungkin jumlah anggota.Sebab, yang terpenting bagi mereka adalah semangat keberagamaan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam sebagaimana dikehendaki oleh Allah dan rasul-Nya yang termaktub dalam Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW.
Karena itu, organisasi ini tidak cepat berkembang menjadi sebuah organisasi yang besar.Sebab, itu bukan tujuan utamanya.Namun, pengaruh organisasi ini tampak jauh lebih besar dibandingkan jumlah cabang ataupun anggotanya.

  1. Tujuan dan Aktifitas Persis[15]
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya.Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi.
Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis.
Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.

  1. Kepemimpinan Persatuan Islam[16]
Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang.Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan.
Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll.
Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis).
Pada masa ini terdapat perbedaan yang cukup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy paa masa ini Persis cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.
Pada masa ini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis.Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.
Di bawah kepemimpinan KH. Shiddiq Amienullah, anggota simpatisa Persis beserta otonomnya tercatat kurang lebih dari tiga juta orang yang tersebar di 14 provinsi dengan 7 pimpinan wilayah, 33 Pimpinan Daerah dan 258 Pimpinan Cabang.
Bersama lima organisasi otonom Persis, yakni Persatuan Islam Istri (Persistri), Pemuda Persis, Pemudi Persis, Himpunan Mahasiswa (HIMA) Persis, Himpunan Mahasiswi Persis, aktifitas Persis telah meluas ke dalam aspek-aspek lain tidak hanya serangkaian pendidikan, penerbitan dan tabligh.
Tetapi aktifitas Persis meluas ke berbagai bidang garapan yang dibutuhkan oleh umat Islam melalui bidang pendidikan (pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi), dakwah, bimbingan haji, perzakatan, social ekonomi, perwakafan, dan perkembangan fisik yakni pembangunan-pembangunan masjid dengan dana bantuan kaum muslimin dari dalam dan luar negeri, menyelenggarakan berbagai seminar, pelatihan dan diskusi pengkajian Islam.
Demikian pula fungsi Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan hokum Islam di kalangan Persis serta Dewan Tafkir semakin ditingkatkan aktiftasnya dan semakin intensif dalam penelaahan berbagai masalah hokum keagamaan, perhitungan hisab, dan kajian social semakin banyak dan beragam.

5. Nahdlatul Ulama’
A. Pengertian Nahdlatul Ulama’
Secara bahasa Nahdlotul ulama’ berasal dari bahasa arab yang di ambil dari dua suku kata yaitu; Nahdloh dan ulama’. Nahdloh artinya kemampuan atau kekuatan[17] sedangkan kata ulama’ bersal dari jama’ ‘alim yang berarti orang yang tahu. [18] sedangkan menurut istilah adalah suatu perkumpulan yang dipelopori oleh para ulama’ tradissionalis dalam rangka  mempertahankan dan memperjungkan ajaran Ahlussunnah waljama’ah.

B. Berdirinya NU di Indonesia
Latar belakangg berdirinya NU di Indonesia adalah ketika datangnya kaum reformis ‘wahabi’ yang berasal dari mesir ke tanah jawa sekitar pada abad 20, dan juga berdirinya beberapa organisasi keeagaman di indonesa yang sefaham dengan kaum reformis yaitu muhammadiyah tahun 1912, Al-Irsyad tahun 1915 dan Persis tahun 1923. Ketika itu terjadi perdebatan sengit antara kaum reformis dengan kaum tradisional tentang upacara upacara tertentu, seperti tahlilan, selametan terutama dalam upacara ziaroh kubur yang mana di anggap bid’ah dan kafir oleh para kaum reformis. Selain itu mereka tidak mengakui otoritas para ulama dalam menafsirkan  ayat ayat Alqur’an ‘taqlid’ dan ketaatan buta yang juga mereka lakukan terhadap hukum hukum fikih, mereka kaum reformis lebih memilih kembali kepada Alqur’an dan  Alhadits melalui penalaran ‘ijtihad’
Pada awal abad 20, dalam kurun waktu 10 tahun, kyai Abddul Wahab Hasbullah mengorganisir islam tradisionalis dengan dukungan dari kyai Hasyim Asy’ar  dari jombang, dalam rangka pengukuhan ajaran Ahlus sunnah Waljama’ah yang mendapatkn ejekan dari kaum reformis, dalam kurun waktu 10 tahun beliau telah menderikan jam’iyah jam’iyah islam di Indonesia, yaitu ‘Nahdlatul Wathon’ di Surabaya, Jam’iyyah Nashihin, Nahdlatul Tujjar pada tahun 1918 dan Taswirul Afkar di daerah Ampal Surabaya tahun 1919.
Perdabatan antara kaum reformis dengan islam tradisionalis menjadio semakinseru pada tahun tahun dua puluhan, dalam diskusi di sebuah forum islam, Kyai Haji Wahab berhadapan dengan Achmad Surokati pendiri gerakan Al Irsyad, begitu juga dengan Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri muhammadiyah. Akan tetapi  kyai Abddul Wahab Hasbullah dan kyai Hasyim Asy’ari tidak menutup diri terhadap sran pembaharuan dan menyutujui gagsan pentingnya moderenisasi system pendidikan, walaupun tetap menolak untuk meninggalkan madzhab, namun kesepakatan di antaranya kian sulit tercapai.
Kongres AL-Islam tahun 1922 di cerebon menjadi panggung perdebatan yang sangat keras, dimana tuduhan tuduhan ‘kafir’ dan ‘syirik’ terdengar. Ketika pertikaian masih berlanjut kyai Abddul Wahab Hasbullah mengusulkan kepada kyai Hasyim Asy’ari  untuk membuat sebuah gerakan yang mewakili para ulama tradisionalis kyai Hasyim Asy’ari enggan menyetujuinya, namun dua tahun kemudian situasi timur tengah mengubah pandangan kyai Hasyim Asy’ari, yaitu paska terjadinya peristiwa besar di dunia islam setelah tahun 1924, yaitu penghapusan kholifah oleh turki dan serbuan kaum wahabi ke makah, yang mana sampai sekarang menjadi faham resmi Negara Saudi Arabia.
Pada kongres Al-Islam bulan januari 1926 di putuskan untuk mengirim dua delegasi dari pihak pembaharu untuk mewakili ulama’ Indonesia ke makah, dalam keputusan hasil jkongres Al-Islam di Bandung tersebut, menolak usulan Kyai Haji Wahab Hasbullah yang menyarankan agar usul usul kaum tradisionalis mengenai praktek keagaman dibawa oleh delegasi Indonesia,penolakan itu sangat masuk akal karena sebagai kaum reforimis mereka menyambut baik pembersihan dalam kebiasan ibadah agama di Arab.
Dengan kenyataan seperti itu menyebabkan kaum tradisionalis terpojok dan terpaksa memeperjuangkankepentinbgan mereka dengan cara merek sendiri, dengan membentuk sebuah komite yang bernama ‘Komite Hijaz’, untuk mewakili mewakili mereka dihadapan raja su’ud. Untuk memudahkan usah ini pada tanggal 31 januari 1926 diputuskanlah pembentukan orgnisasi yang mewakili islam tradisionalis yaitu Nahdlatul Ulama’(kebangkitan para ulama’)[19]        
Dengan lahirnya organisasi NU, para ulama’ Ahlussunah Waljama’ah yang semula berdakwah sendiri sendri tanpa kordinasi kemudian menjadi terkordinasi, sehingga menjadi satu kekuatanyang ampuh untuk mempertahankan ajaran  Ahlussunah Waljama’ah
Ajaran Ahlussunah Waljama’ah sebagaimana kita ketahui adalah ajaran yang di anut sebagian besar umat islam yang masalah aqidah mengikuti imam Asy’ari dan imam Maturidi, dan masalah syariat islam mengikuti imam syafi’I, maliki, hanafi dan hambali
NU berkeyakinan bahwa mengikuti salah satu madzhab dalam masalh syari’at islam adalah benar dan harus tetap dipertahankan serta tetap di tegakkan, syari’at islam yang di ambil oleh para ulama’ adalah berdasarkan Alqur’an dan Haditis.
Para ulama’ NU berpendirian bahwa amalan amalan seperti : tahlil, tawassul, berziarah kubur, ada dalil dalilnya yang kalau tidak dari hadits nabi tentu dari perbuatan shahabat nabi yang oleh nabi telah diperintahkan untuk di ikuti. Dengan adanya perselisihan di antara ulama’ madzhab adalah bukan suatu hal yang harus di permasalahkan dan di kawatirkanm, Karena hal itu akabn membawa hikmah dan menunjukkan luasnya ajaran islam.
Dalam masalah ijtihad, NU tetap membuka lebar lebar pintu ijtihad, dengan syarat orang yang berijtihad itu mampu memenuhi syarat syarat menjadi seorang mujtahid, seperti harus menguasai bahasaa araab, mengerti Alqur’an daan asbabul nuzul, mengerti Rijalul hadits, dan lain lain. Hal ini untuk menjaga agar jangaan sampai terjadi pengawuran dalam pengambilan hukum hukum islam.
NU dengan ajaranya yang begitu ramah, dapat berkembang dengan sangat pesat keseluruh pelosok tanah air, bahkan sampai ke singapura dan  Malaysia[20]

C. Pendiri NU
Pendiri NU adalah  KH.Hasyim Asy’ari (1871-1947). Beliau adalah salah seorang ulama besar di Indonesia, karena jasanya sebgai pendiri NU, maka beliau dikenal sebagai Bapak NU. Beliau lahir di jombang, tanggal 14-2-1871, ayahnya bernama KH. Asy’ari yang masih keturunan dari Brawijaya ke IV. Sejak kecil beliau didik langsung oleh ayahnya dalam dalaam bidang ilmu agama islam, memang sejak kecil beliau tampak memiliki kecerdasan yang mengagumkan. Setelah umur 15 tahun beliau mmulai merantau menuntut ilmu, mula mula beliau mondok di ponpes probolinggo, kemudian di plangitaan babat, dan akhirnya di ponpes siwalan panji sidorajo.
Pada tahun 1892 beliau merantau ke makah untuk menunaikan haji dan sekaligus menuntut ilmu di sana selama kurang lebih 7 tahun lamaanya. Setelah beliau kembali dari makah, beliau mendirikaan pondok pesantren ‘Tebu Ireng’ di jombang jawa timur.
Beliau disamping menjadi pengasuh pondok pesntren dan dalam kepungurusan NU sebagai Rois akbar, tidak pula sedikit sedikit jasanya pada revolusi fisik melawan belanda, kaarena itulah tidak sedikit para saantrinya teerjun di hizbullah dan TNI sering datang kepada beliau untuk meminta bekal, baik berupa moral sepiritual maupun material, bila akan maaju ke medan perteempuran. dan beliau meningaal ketika jatuh sakit setelah mendengar berita dari utusan Jendral Sudirman tentang pertempuran di  unjukkanditSingosari(malaang)atas kekalahan yang di alami oleh rakyat Indonesia dan menyebabkann banyaknya jatuh korban di pihak rakyaat indonesia, dan tepatnya pada pukul 03.45 beliau pulang ke Rahmatullah dalam usia 76 tahun (25 juli 1947)[21]

D. Perjuangan NU dari Masa ke Masa
1) Masa Kolonial Belanda
Pada masa colonnial belanda, sekalipun NU merrupakn jamiyyah, tetapi daalam usahanya suudah menjurus ke arah poliitik, di antaranya:
a)    Memperjuangkan dicabutnya guru ordonasi yang ditunjukan kepada guru guru madrasah dan guru guru ngaji yang isinya; semua guru madrasah dan guru ngaji harus minta ijin dari pihak kolonial belanda.
b)   menolak subsidi dari pemerintah belanda untuk madrasah madrasah NU.
c)    Menggalang Aksi setia kawan terhadap umat islam di palestina berhubungan dengan adanya deklarasi BLOUR menghendaaki berdirinya Negara israil di palestina.



2) Masa penjajahan jepang
Pada masa penjajahan jepang kurang lebih 3,5 tahun lamanya, ketika itu NU dibekukan oleh pemerintah Dai Nippon. sehingga secara organisatoris praktis NU tidak dapat menunjukan perrjuangaanya terhadap kemajuan  umat islam umumnya, namun secara perorangan warga NU tetap senantiasa berusaaha mengembangkan ajraan Ahlussunnah Waljama’ah, dengan tetap menanampkan patriotism anti penjajah.

3) Masa kemerdekaan
            Sebelum atau sesudah kemerdekaan Negara republik indonesiaa terngiang, peran dan jasa NU sangat besar sekali dalam memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Paska terlaksananya kemerdekaan Indonesia banyak hal yang di lakukan NU untuk membangun negri ini diantaranya adalah:
a)    Perlawanan terhadap pemberontakan PKI di madiun 19 september 1948.
b)   Masuknya NU dalam Masyumi dan Pada akhirnya NU keluar dari Masyumi dalam putusan kongres ke XIX di Palembang tahun 1952.
c)    Masuknya NU dalam Partai Persatuan Pembangunan pada tahun 1973 dan juga akhirnya keluar dari PPP  setelah adanya  muktamar NU yang ke-27 di Situbondo pada tahun 1983.
d)   Kembalinya NU pada Khiththoh ’26 dalam muktamar NU yang ke-28 di Yogyakarta pada tahun 1989, yang menyatakan bahwasanya NU benar benar independen dan bersikap seimbang terhadap kekuatan politik manapun.






BAB II
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Dari semua materi yang telah dipaparkan dihalaman-halaman sebelumnya, maka dapat ditarik suatu kesimpulan yang nantinya dapat kita ambil manfaatnya, baik dalam kehidupan Universitas maupun dalam cakupan yang lebih luas lagi. Adapun kesimpulan-kesimpulan tersebut akan penulis sajikan dalam bentuk paragraf agar para pembaca tidak terbiasa akan hal-hal yang serba instan. Berikut kesimpulannya.
Cara masuknya Islam ke Nusantara melalui berbagai cara dan jalan.. Cara Islamisasi yang berkembang ada pada awal masuknya Islam ke Nusantara sedikitnya ada enam yaitu dengan cara: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.[22] Cara yang digunakan untuk menyebarkan Islam ini bersifat humanisme tanpa dilandasi dengan teror dan kekerasan. Sehinggga Islam dapat begitu mudah diterima oleh masyarakat luas tanpa diawalki dengan kekerasan dan pemaksaaan.
Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit.

Seminar masuknya islam di Indonesia (di Aceh), sebagian dasar adalah catatan perjalanan Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
Setelah islam berkembang pesat di nusantara, maka munculah organisasi-organisasi islam yang turut juga membantu perkembangan islam di nusantara, antara lain adalah Muhammadiyah, Persis, dan Nahdlatul Ulama’. Ketiga organisasi itulah yang sampai sekatang menjadi organisasi islam terbesar di Indonesia. Berikut penjelasanya.
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Dengan tujuannya adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik.
Persatuan Islam (Persis), Organisasi ini didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh sekelompok tokoh Islam yang berminat dalam pendidikan serta gerakan pemurniaan dan pembaruan (tajdid) Islam. Gerakan ini dilakukan oleh sejumlah tokoh-tokoh Islam yang sebagian besar berusia muda.
Latar belakangg berdirinya NU di Indonesia adalah ketika datangnya kaum reformis ‘wahabi’ yang berasal dari mesir ke tanah jawa sekitar pada abad 20, dan juga berdirinya beberapa organisasi keeagaman di indonesa yang sefaham dengan kaum reformis yaitu Muhammadiyah tahun 1912, Al-Irsyad tahun 1915 dan Persis tahun 1923. Ketika itu terjadi perdebatan sengit antara kaum reformis dengan kaum tradisional tentang upacara upacara tertentu. Untuk memudahkan usah ini pada tanggal 31 januari 1926 diputuskanlah pembentukan orgnisasi yang mewakili islam tradisionalis yaitu Nahdlatul Ulama’(kebangkitan para ulama’).        


2.      Saran
Dalam penyusunan makalah ini, kami merasa masih banyak kesalahan baik secara teknis penulisan maupun dari segi materi yang kami paparkan. Namun, dari sanalah kita juga tidak boleh memandang semua yang serba kurang itu buruk, tapi kemungkinan dari kekurangan itu kita bisa menjadi yang lebih baik. Oleh karena itu, penulis berharap agar makalah ini bisa digunakan sebagaimana mestinya. Terakhir, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca semua untuk kesempurnakan makalah ini maupun sebagai pijakan untuk makalah yang akan datang.















Daftar Pustaka

Az Zaid , Zaid Ibnu Abdul Karim. 2003. At Tarikh Al Hijri: Al Mamlakah Al ‘Arabiyah As Su’udiyah wa Zaratut Ta’lim Al A’li Jamiatu Al Imam Ibnu Su’ud Al Islamyyah Al Idarah Al ‘Ammah li Astaqafah wa An Nasyru.

Mustofa, Ibrahim dkk. 1960. Mu’jamul Wasith. Istambul-turki: Almaktabah Al-Islamiyah.

Ar Rifa’I, Ali ibnu Abdullah. 2003. Makanatu ‘Ilmi At Tarikh. Beirut, Lebanon: Ar Risalah.

                                        . 2008. Proses Masuknya Islam di Indonesia Nusantara. From: http://sejarawan.wordpress.com/2008/01/21/proses-masuknya-islam-di-indonesia-nusantara/ , 23 November 2011

Wurjantono, Edhie. 1996. Sejarah Nasional dan Umum I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Al Kilani, Muayyid. 2011. Kaifa Intisyar Al Islam. Beirut, Lebanon: Darul Kutub Al ‘Arabi.

Hasan, Muhammad. 2006. Al Khukuq Al Islamiyyah. Ghosbatu ‘Aql: Maktabah Fayad. 

                                        . 2008. Sejarah Lahirnya Islam di Indonesia.  From: http://ayuna.abatasa.com/post/detail/2196/sejarah-lahirnya-islam-di-indonesia ,  23 November 2011

                                        . 2010. Perkembangan Islam di Indonesia. From: http://www.membuatblog.web.id/2010/02/perkembangan-islam-di-indonesia.html ,  23 November 2011

                                        . 2009. Sejarah - Sejarah Islam di Nusantara. From: http://www.suaramedia.com/sejarah/sejarah-islam/28555-fatimah-binti-maimun-sang-mubaligh-pertama-di-tanah-jawa.html, 23 November 2011

Feillard, Andree. 1999. NU via-a-vis NEGARA. Yogyakarta: LkiS.

Aziz, Abdul. 1990. Ahlussunnah Wal-jamaah. Pekalongan:  TB “Bahagia”S.

Riswanto, Arif Munandar. 2010. Buku Pintar Islam: Akidah, Syari’ah, Ibadah, dll.. Bandung: PT Mizan Pustaka.

                                          . 2011. Organisasi Islam Muhammadiyah. From: http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammadiyahi, 23 November 2011.

                                          . 2001. Muhammadiyah: Sejarah, Ciri Khas, dll.. From: http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-50-det-sejarah.html











[1] Zaid Ibnu Abdul Karim Az Zaid. 2003. At Tarikh Al Hijri. Al Mamlakah Al ‘Arabiyah As Su’udiyah wa Zaratut Ta’lim Al A’li Jamiatu Al Imam Ibnu Su’ud Al Islamyyah Al Idarah Al ‘Ammah li Astaqafah wa An Nasyru. hlm. 16.
[2] ‘Ali ibnu ‘Abdullah ar Rifa’i. 2003. Makanatu ‘Ilmi At Tarikh. hlm. 76. 

[4] Wurjantono, Edhie. 1996. Sejarah Nasional dan Umum I
[5] Muayyid Al Kilani. 2011. Kaifa Intisyar Al Islam. hlm. 197.
[6] Muhammad Hasan. 2006. Al Khukuq Al Islamiyyah. Ghosbatu ‘Aql/Maktabah Fayad.  hlm. 568
[10] Arif Munandar Riswanto. Buku Pintar Islam. Hlm. 224.
[11] Ibid. hlm. 224, (Left side)
[13] Ibid. www.muhammadiyah.or.id
[14] Arif Munandar Riswanto. Op. Cit. Hlm. 221
[15] Ibid. hlm. 222
[16] Ibid. hlm. 222-223
[17] Ibrohim mustofa,ahmad hasaan az-ziyyad,hamid abdul qodir,Muhammad ilmi najar. Mu’jamul wasith(istambul turki: almaktabaah al-islamiyah) hal:959
[18] Ibid:624
[19] Andree  Feeillard, Nu vis-à-vis Negara.hlm.  6-14.
[20] RS.Abdul Aziz,Ahlus sunnah Waljama’ah.hlm. 81-82
[21] Ibid: 82-83
[22] Wurjantono, Edhie. 1996. Sejarah Nasional dan Umum I

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Total Tayangan Halaman

Popular Post

- Copyright © MBB -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -