Posted by : Cak_Son
Kamis, 08 Januari 2015
Ketika membicarakan tentang Al-Qur’an, kita tidak akan
bisa lepas dari bahasa yang digunakan karena Al-Qur’an menggunakan bahasa
sebagai media komunikasi terhadap pembacanya. Abu Zaid berkata: “Ketika
mewahyukan Al-Qur’an kepada Rasulullah saw, Allah memilih sistem bahasa
tertentu sesuai dengan penerima pertamanya. Pemilihan bahasa ini tidak berangkat
dari ruang kosong. Sebab, bahasa adalah perangkat sosial yang paling penting
dalam menangkap dan mengorganisasi dunia.”[1] Dengan
demikian, kerangka komunikasi dalam bingkai ini terdiri dari: Tuhan sebagai
komunikator aktif yang mengirimkan pesan, Muhammad saw. sebagai komunikator
pasif, dan bahasa Arab sebagai kode komunikasi.[2] Hal
senada juga disampaikan Syahrur yang berpendapat bahwa bahasa adalah
satu-satunya media yang paling memungkinkan untuk menyampaikan wahyu. Wahyu
Al-Qur’an berada pada wilayah yang tidak dapat dipahami manusia sebelum ia
menempati media bahasanya.[3]
Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa bahasa
memiliki peranan penting dalam penyampaian wahyu dan ajaran agama. Bahasa juga
merupakan media efektif untuk memberikan pengetahuan kepada orang lain. Oleh
karena itu, ketika ingin memahami Al-Qur’an, seseorang harus memahami bahasa
yang dipakai oleh Al-Qur’an, mengetahui dengan jelas makna-makna yang
terkandung di dalamnya sehingga didapatkan pengetahuan murni yang bisa
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. …
Al-Qur’an yang kita pegang saat ini memuat bahasa 14 abad
yang lalu. Kita tidak akan mengerti makna dan pengetahuan apa saja yang
terdapat di dalam Al-Qur’an jika tidak mengetahui bahasa yang digunakan pada
saat ia diturunkan. Menurut Amin al-Khuli, salah satu cara memahami isi
Al-Qur’an adalah dengan melakukan studi aspek internal Al-Qur’an. Studi ini
meliputi pelacakan perkembangan makna dan signifikansi kata-kata tertentu di
dalam Al-Qur’an dalam bentuk tunggalnya, kemudian melihat indikasi makna ini
dalam berbagai generasi serta pengaruhnya secara psikologi-sosial dan peradaban
umat terhadap pergeseran makna.[4]
Berdasarkan ungkapan di atas, pemaknaan Al-Qur’an terikat
oleh historisitas kata yang digunakan dalam kitab tersebut. Oleh karena itu,
semantik merupakan salah satu metode yang ideal dalam pengungkapan makna dan
pelacakan perubahan makna yang berkembang pada sebuah kata sehingga bisa
diperoleh sebuah makna yang sesuai dengan maksud penyampaian oleh sang author
(Tuhan). Pendekatan yang cocok dalam pengungkapan makna serta konsep yang
terkandung di dalam Al-Qur’an diantaranya adalah semantik Al-Qur’an.
Kesadaran semantik dalam penafsiran Al-Qur’an dimulai
sejak masa Muqatil Ibn Sulayman. Menurut beliau, setiap kata di dalam Al-Qur’an
memiliki makna definitif (makna dasar) dan memiliki beberapa alternatif makna
lainnya. Contohnya adalah kata yadd (يد). Kata yadd
memiliki makna dasar “tangan”. Dalam penafsirannya, kata yadd memiliki tiga
alternatif makna, yaitu tangan secara fisik yang merupakan anggota tubuh dalam
surah al-A’raf ayat 108, dermawan dalam surah al-Isra’ ayat 29, dan aktivitas
atau perbuatan dalam surah Yasin ayat 35.[5]
Generasi penerus Muqatil terus berkembang dan mulai
menggunakan kesadaran semantiknya dalam penafsiran Al-Qur’an. Ulama-ulama
tersebut antara lain: Harun Ibn Musa, Yahya Ibn Salam, al-Jahiz, Ibn Qutaibah
dan Abd al-Qadir al-Jurjaniy. Ulama-ulama tersebut sangat menekankan pentingnya
pemaknaan konteks dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka juga membedakan
antara makna dasar dan makna relasional. Bahkan al-Jahiz memberikan istilah
“ruang semantis” tentang keterkaitan antara satu kata dengan kata yang lain
yang bisa mempengaruhi makna kata dalam Al-Qur’an.[6]
Jika dilihat dari struktur kebahasaan, semantik mirip
dengan ilmu balagah yang dimiliki oleh bahasa Arab pada umumnya. Persamaan
tersebut diantaranya terletak pada pemaknaan yang dibagi pada makna asli dan
makna yang berkaitan.[7] Selain
itu, medan perbandingan makna antara satu kata dengan kata yang lain dalam
semantik mirip dengan munasabah ayat dengan ayat. Hal ini menjadikan semantik
cukup identik dengan ulum al-Qur’an, walaupun terdapat perbedaan dalam
analisisnya dimana semantik lebih banyak berbicara dari segi historisitas kata
untuk mendapatkan makna yang sesuai pada kata tersebut.[8]
Adapun pengertian semantik,
menurut Toshiko Izutsu, adalah kajian analitik terhadap
istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat yang menggunakan
bahasa tersebut, tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir, akan tetapi yang
lebih penting lagi adalah pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.[9] Di sini ia menekankan pada istilah-istilah
kunci[10]
yang terikat pada kata per kata. Jadi semantik lebih terfokus pada kajian kata,
bukan bahasa secara umum. Kata sendiri merupakan bagian bahasa di mana huruf
adalah bagian terkecilnya. Huruf yang terangkai menjadi frase dan bergabung
hingga memiliki suatu rangkaian yang bermakna, merupakan sebuah simbol yang
terdapat dalam bahasa. Ketika rangkaian huruf dan frase telah memiliki makna,
maka ia disebut sebuah kata. Dalam perjalanan sejarah perkembangannya, kata
yang awalnya hanya memiliki satu makna asli (dasar) mengalami perluasan hingga
memiliki beberapa makna. Hal ini yang menjadi fokus metode semantik dalam
mengungkap konsep-konsep yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
Adapun istilah Semantik Al-Qur’an mulai populer sejak
Izutsu memperkenalkannya dalam bukunya yang berjudul “God and Man in the Koran:
Semantics of the Koranic Weltanschauung”. Izutsu memberikan definisi semantik Al-Qur’an
sebagai kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci yang terdapat di dalam
Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Al-Qur’an agar diketahui weltanschauung
Al-Qur’an, yaitu visi Qur’ani tentang alam semesta.[11]
Untuk mewujudkan visi Qur’ani tentang alam semesta,
Izutsu meneliti tentang konsep-konsep pokok yang terdapat di dalam Al-Qur’an
yang berkaitan dengan masalah-masalah bagaimana dunia wujud distrukturkan, apa
unsur pokok dunia, dan bagaimana semua itu terkait satu sama lain. Tujuannya
adalah memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamik dari Al-Qur’an dengan
menelaah konsep-konsep pokok yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Konsep-konsep
pokok itu sendiri adalah konsep-konsep yang memainkan peran menentukan dalam
pembentukan visi Qur’ani terhadap alam semesta.[12]
Konsep pokok yang terkandung dalam makna kata-kata
Al-Qur’an dijelaskan dalam beberapa langkah penelitian, yaitu:
1.
Menentukan kata kunci yang ingin dicari makna dan
konsepnya;
2.
Mengungkap makna dasar dan makna relasionalnya;
3.
Mengungkap kesejarahan makna kata (semantik historis).
Disinilah akan ada makna diakronik dan singkronik;
4.
Mengungkap kesejarahan makna dan akan diketahui makna
kata dan konsep yang terkandung didalamnya.
Pertama; menentukan kata yang
akan diteliti makna dan konsep yang terkandung di dalamnya. Kemudian menjadikan
kata tersebut sebagai kata fokus yang dikelilingi oleh kata kunci
yang mempengaruhi pemaknaan kata tersebut hingga membentuk sebuah konsep dalam
sebuah bidang semantik. Kata fokus adalah kata kunci yang secara khusus menunjukkan
dan membatasi bidang konseptual yang relatif independen berbeda dalam
keseluruhan kosa kata yang lebih besar dan ia merupakan pusat konseptual dari
sejumlah kata kunci tertentu. Kata kunci adalah kata-kata yang memainkan
peranan yang sangat menentukan dalam penyusunan struktur konseptual dasar
pandangan dunia Al-Qur’an. Sedangkan medan semantik adalah wilayah atau kawasan
yang dibentuk oleh beragam hubungan diantara kata-kata dalam sebuah bahasa.[13]
Relevansi metodenya ini misalnya memilih kata kunci
“perempuan” yang ada dalam al-Qur’an diantaranta kata: niswah, nisa’ukum,
nisa’uhun, dll disebutkan dalam al-Qr’an sebanyak 56 kali dengan konteks yang
berbeda-beda, diantaranya; tentang haid, perhiasan, generasi, hak waris, karir,
posisi dalam keluarga, potensi taqwa. Jadi kata “perempuan” ditempatkan pada
suatu ayat yang akan diperoleh beberapa fungsi darinya sebagai makna
relasional. Dari situlah jika diteliti akan diketahui konsep masyarakat
(welthcouung).
Begitu
pula misalnya kata “yaum”, mempunyai makna dasar “hari”. Akan tetapi,
ketika kata ini diletakkan dalam medan al-Qur’an, maka “hari” ini bukanlah hari
biasa, melainkan merujuk pada Hari Akhir, yaitu Hari Pengadilan. Dan masih
banyak lagi kata-kata kunci seperti kata; Yad (bisa berarti tangan, kekuasaan,
dll), libas (bisa berarti pakaian, akhlak, perhiasaan, dll). dll
Kedua, langkah berikutnya adalah
mengungkapkan makna dasar dan makna relasional dari kata fokus. Makna dasar
adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri yang selalu terbawa dimanapun
kata itu diletakkan. Sedangkan makna relasional adalah sesuatu yang konotatif
yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata
pada posisi khusus dalam bidang khusus, atau dengan kata lain makna baru yang
diberikan pada sebuah kata bergantung pada kalimat dimana kata tersebut
digunakan.[14]
Makna dasar bisa diketahui dengan menggunakan kamus bahasa Arab yang secara
khusus membahas tentang kata-kata yang ada di dalam Al-Qur’an. Sedangkan makna
relasional dapat diketahui setelah terjadinya hubungan sintagmatis antara kata
fokus dengan kata kunci dalam sebuah bidang semantik (medan semantik).[15]
Memahami
makna suatu kata, apakah sebagai makna dasar atau relasional adalah hal pertama
yang perlu dilakukan dalam telaah semantik. Karena kesalahan akan penentuan
makna dasar atau relasional akan berakibat pada kesalahan dalam mengambil sikap
sebagai respon dari kata tersebut. Hal ini terbukti dalam kajian Toshihiko
Izutsu ketika menerapkan analisis semantiknya terhadap “kata kunci” yang
merupakan fokus tertinggi dalam al-Qur’an, yaitu kata Allah. Secara
historis, kata Allah telah dikenal oleh orang Arab sebelum datangnya
Islam, dengan makna dasar yang sama, yaitu “Tuhan”. Hanya saja, ketika kata Allah
ini ditempatkan dalam medan yang berbeda, maka makna relasionalnya pun
berbeda. Dalam medan masyarakat Jahiliyah, kata Allah ini mempunyai
makna Tuhan tertinggi di atas tingkatan berhala-berhala. Sedangkan dalam sistem
Islam, kata Allah ini mulai dipakai sebagai nama Tuhan dalam Wahyu
Islam.[16]
Selanjutnya,
dalam menganalisis ayat-ayat Allah, perumusan makna dasar dengan makna rasional
juga didahulukan. Di mana dalam makna dasar, sebuah kata akan tetap membawa
dasarnya di mana dan kapan pun ia digunakan, tidak seperti makna relasional
yang – bisa dikatakan tergantung – pada medan di mana ia diletakkan.
Selanjutnya,
setelah berhasil memilah makna dasar dengan makna relasional suatu kata,
masuklah pada tahap yang terpenting, yaitu menjelaskan Weltanschauung
al-Qur’an. Dalam hal ini, Toshihiko Izutsu melacak sejarah digunakannya suatu
kosa kata yang merupakan kata-kata kunci dalam al-Qur’an. Mengambil contoh yang
sama dengan penjelasan di atas, yaitu kata Allah. Seperti yang sudah
disebutkan di atas, bahwa masyarakat Arab pra-Islam telah menggunakan kata Allah
sebagai reprsentasi dari konsep Tuhan. Lebih lanjut Toshihiko Izutsu
menyatakan:
Di dalam
sistem jahiliyah, konsep Allah berdiri
berdampingan dengan konsep alihah “tuhan-tuhan” atau “dewa-dewa” yang
secara mutlak tidakterdapat ketidaksesuaian antara kedua konsep tersebut,
kecuali pada medan yang jauh lebih sempit dan lebih khusus mengenai Allah yang
menjadi cirri khas Yahudi dan Kristen pra-Islam yang sementara ini tidak kita
bicarakan. Di dalam system jahiliyah tidak terdapat perbedaan tajam yang dapat
dilihat antara konsep Allah dan alihah bahkan ketika Allah berada pada
puncak hierarki semua makhluk supranatural. …
Seharusnya tidak terjadi kesalah pahaman di
sini. Di dalam sistem al-Qur’an juga terdapat konsep alihah. Kita jangan
sampai dibingungkan oleh aturan ontologism dari hal-hal yang berkaitan dengan
semantic. Dengan kata lain, fakta bahwa dunia al-Qur’an yang pada hakikatnya
bersifat monoteistik jangan sampai membuat kita berpikir keliru bahwa baik
secara semantic maupun secara ontologism, Allah berdiri sendiri tanpa seorang
kawan pun. Sebaliknya, ada konsep “tuhan-tuhan” dan “berhala-berhala”
dalam sistem al-Qur’an. Hanya saja, semuanya ini berada dalam sebuah hubungan
yang negative dengan Allah; konsep-konsep tersebut semata-mata hanyalah sesuatu
yang ada namun harus ditolak secara tegas. Berbicara dengan istilah yang lebih
semantik, konsep-konsep tersebut ada dalam al-Qur’an dihubungkan dengan konsep
“kebatilan” batil, sedang konsep Allah harus dihubungkan dengan konsep
“kebenaran” haqq.[17]
Dari apa
yang dinyatakan oleh Toshihiko Izutsu ini, dapat dipahami bahwa kata Allah
dalam sistem Islam, ternyata telah ada sebelum kedatangan Islam. Hanya saja
konsep yang ada di balik kata Allah itu sendiri yang mengalami perubahan
dari konsep pra-Islam ke konsep pasca-Islam.
Ketiga, langkah selanjutnya adalah mengungkapkan kesejarahan
makna kata atau semantik historis. Dalam pelacakan sejarah pemaknaan kata ini
ada dua istilah penting dalam semantik, yaitu diakronik dan sinkronik.
Diakronik adalah pandangan terhadap bahasa yang menitik beratkan pada unsur
waktu. Sedangkan sinkronik adalah sudut pandang tentang masa dimana sebuah kata
lahir dan mengalami perubahan pemaknaan sejalan dengan perjalanan sejarah
penggunaan kata tersebut dalam sebuah masyarakat penggunanya untuk memperoleh
suatu sistem makna yang statis. Dalam pelacakan sejarah kata dalam Al-Qur’an,
secara diakronik melihat penggunaan kata pada masyarakat Arab, baik pada masa
sebelum turunnya Al-Qur’an[18], pada
masa Nabi saw, pada masa setelah Nabi saw hingga era kontemporer untuk
mengetahui sejauh mana pentingnya kata tersebut dalam pembentukan visi Qur’ani.
Sedangkan secara sinkronik lebih menitik beratkan pada perubahan bahasa dan
pemaknaannya dari sejak awal kata tersebut digunakan hingga ia menjadi sebuah
konsep tersendiri dalam Al-Qur’an yang memiliki makna penting dalam pembentukan
visi Qur’ani.
Sebagai contoh, pada masa pra-Islam, kata Allah bukannya tidak dikenal pada masa
Arab pra-Islam, kata tersebut dikenal secara luas bukan saja oleh bangsa Arab
Yahudi dan Nasrani, bahkan masyarakat Arab Badui murni sudah mengenal kata itu
sebagai nama Tuhan. Selain nama Allah, bangsa Arab juga menggunakan kata alihah (tuhan
atau dewa-dewa). Eksistensi kata Allah masa Arab sebelum turunnya al-Qur’an
setara dengan kata alihah, dewa-dewa yang lain. Setelah Islam datang yang
dibawa oleh Nabi Muhammad dengan panduannya berupa al-Qur’an, Islam tidak
merubah kata Allah sebagai nama tuhan. Namun konsep kata Allah yang ada pada
masa pra-al-Qur’an sangat berbeda dengan konsep Allah yang dibawa pada masa
al-Qur’an. Konsep kata Allah yang ada pada pra-Qur’an berupa nama tuhan yang
bersifat politeistik, bangsa Arab menggunakan kata tersebut untuk tuhan mereka
yang politeistik. Pandangan seperti ini dirubah sejak Islam datang, kata Allah
pada masa turunnya al-Qur’an menjadi monoteistik, tuhan yang tunggal.[19]
Keempat, setelah mengungkapkan
kesejarahan kata dan diketahui makna dan konsep apa saja yang terkandung di
dalam kata fokus, langkah terakhir adalah mengungkapkan konsep-konsep apa saja
yang ditawarkan Al-Qur’an kepada pembacanya agar bisa dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari sehingga terbentuklah kehidupan yang berlandaskan
aturan-aturan Qur’an (Allah), dan mewujudkan visi Qur’ani terhadap alam
semesta. Hal ini lebih terlihat pada implikasi pemahaman konsep tersebut dalam
kehidupan sehari-hari dimana konsep yang ditawarkan oleh Al-Qur’an bisa menjadi
sebuah gaya hidup baru yang lebih baik.
Satu-satunya
sumber yang dapat digunakan untuk memahami makna konsep-konsep dalam al Qur’an
hanyalah ayat-ayat al Qur’an itu sendiri. Sumber-sumber lain seperti : sunnah
Rosulullah, syair dan tradisi Arab, cerita, maupun tradisi Israiliyat hanyalah
sumber sekunder belaka. Analisis semantik menghendaki para penafsir al Qur’an
untuk membaca keseluruhan data yang tersedia dalam al Qur’an dengan tanpa
pretensi. Kemudian mengintegrasikan antara data-data dalam ayat yang satu
dengan ayat yang lain, sebagai upaya untuk mengeliminir terjadinya
anomali-anomali penafsiran yang diakibatkan pengunaan data ayat-ayat al Qur’an
secara persial.
Analisis
semantik Toshihiko Izutsu menghasilkan alternatif baru penafsiran al Qur’an
secara obyektif sesuai dengan makna awal ketika wahyu al Qur’an diturunkan dan
mempermudah adaptasinya dengan kehidupan sekarang. Sehingga mempermudah bagi
setiap orang (umat manusia) untuk memahami makna dan maksud yang terkandung
dalam ayat-ayat al Qur’an untuk di terapkan sebagai pedoman nilai-nilai dalam
kehidupan sehari-hari, tidak hanya untuk umat Muslim, tetapi juga untuk
non-Muslim, karena sesungguhnya al Qur’an diwahyukan oleh Allah SWT adalah
untuk keseluruhan umat manusia.
langkah-langkah di atas dapat dirangkum dalam beberapa langkah
penelitian yang meliputi: 1. penentuan kata fokus dan kata kunci, 2. makna
dasar dan makna relasional, 3. struktur inti, 4. medan semantik. (keterangan
lebih lanjut bisa dilihat dalam skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
yang ditulis oleh Fauzan Azima dengan judul “Konsep Rahmat Dalam Al-Qur’an:
Kajian Semantik).
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa semantik
Al-Qur’an bertujuan untuk memberikan pemahaman baru terhadap apa yang
ditawarkan oleh Al-Qur’an kepada manusia agar mereka bisa mengaplikasikan
konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
B. Biografi Thosiko Izutshu
Toshihiko Izutsu, Lahir pada 4 Mei 1914 dan wafat pada 1 Juli
1993. Beliau dilahirkan dalam sebuah keluarga kaya pemilik bisnis di
Jepang. Sejak usia dini, ia akrab dengan Zen meditasi dan teka-teki, karena
ayahnya juga seorang ahli kaligrafi dan Buddha Zen praktisi awam. Ia menjadi
asisten riset pada tahun 1937, setelah lulus dengan gelar BA.
Tahun 1958, beliau menyelesaikan terjemahan langsung
pertama Al-Qur'an dari bahasa Arab ke Jepang. Terjemahannya masih terkenal
dengan linguistik keakuratan dan banyak digunakan untuk karya-karya ilmiah.
Beliau sangat berbakat dalam belajar bahasa asing, dan selesai membaca
Al-Qur'an dalam sebulan setelah mulai mempelajari bahasa Arab. Toshiko Izutsu
adalah seorang profesor universitas dan penulis dari banyak buku tentang Islam dan agama-agama lain. Ia mengajar di
Institut Linguistik Kebudayaan dan belajar di Universitas Keio di Tokyo, Iran Imperial Academy of Philosophy
di Teheran, dan Universitas McGill diMontreal.
Toshihiko Izutsu juga merupakan seorang professor yang
fasih di lebih dari 30 bahasa, termasuk Arab, Persia, Sansekerta, Pali, Cina,
Jepang, Rusia dan Yunani, dengan penelitian yang bergerak di tempat-tempat
seperti Timur Tengah (khususnya Iran), India, Eropa, Amerika Utara, dan Asia
telah dilakukan dengan pandangan untuk mengembangkan pendekatan filosofis
berdasarkan perbandingan agama dalam studi linguistik teks-teks metafisik
tradisional. Beberapa karya tulis yang pernah dia hsilkan antara lain sebagai
berikut:
5.
Creation and the Timeless Order of Things:
Essays in Islamic Mystical Philosophy (1994) ISBN 1-883991-04-8
7.
Language and Magic. Studies in the
Magical Function of Speech (1956) Keio Institute of Philological Studies.[20]
[1] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an terj. Khoiron Nahdliyin
(Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 19.
[2] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra terbesar (Yogyakarta:
Elsaq Press, 2006), hlm. 2.
[3] Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir
Al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur, hlm. 206.
[8] Lihat Toshihiko Izutsu dalam bukunya yang berjudul “Relasi Tuhan dan
Manusia” (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2003).
[9] http://hajirmutawakkil.wordpress.com lihat juga: Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, hlm. 3.
[10] Lantas, apa pentingnya serta relevansinya dapat menjelaskan
konsepsi istilah kunci yang dijadikan Weltanschauung al-Qur’an dalam kajian
Islam? Toshihiko Izutsu melihat bahwa perpecahan dalam intern Islam salah
satunya disebabkan tidak adanya konsepsi yang jelas terhadap kata-kata kunci
dalam al-Qur’an. Sebut saja perselisihan yang muncul dalam memaknai kata kafir
yang bermakna ingkar, antonim dari iman. Dalam salah satu karyanya,
Toshihiko Izutsu mencoba menampilkan bukti tidak tidak adanya Weltanschauung dalam
al-Qur’an tentang kafir ini dengan mengutip pendapat Malati:
Semua
madzhab Mu’tazilah, entah itu dari madzhab Baghdad atau pun Basrah, bahkan
semua masyarakat muslim (People of Qiblah) satu sama lain tidak berbeda dalama
masalah ini. Orang yang meragukan kafir tidaknya seseorang, maka sesungguhnya
ia sendiri seorang kafir, karena “seseorang yang ragu-ragu”shak tentang kufr jelas-jelas tidak
memiliki iman. Dengan demikian di seluruh masyarakat muslim, entah itu
Mu’tazilah atau lainnya, tidak ada perbedaan pendapat tentang masalah ini,
yakni bahwa seorang yang ragu-ragu tentang kafir adalah seorang kafir. Namun
demikian Mu’tazilah dari Baghdad, jauh melampaui Mu’tazilah Basrah dengan
penegasannya yang mengatakan bahwa orang yang meragukan tentang orang yang
ragu-ragu (terhadap seorang kafir) adalah juga seorang kafir, demikian pula
orang yang ragu-ragu terhadap orang yang ragu-ragu, dengan demikian ad infinitum. Mereka semua, mereka mengatakan, adalah kafir sepanjang orang yang yang
ragu-ragu pertama adalah seorang kafir. Terhadap Mu’tazilah dari Basrah ini,
yang kebetulan menganggap Mu’tazilah Baghdad sebagai kafir! – nerpendapat bahwa
orang – yang ragu pertama kali adalah kafir karena ia meragukan apakah seorang
kafir adalah kafir, tetapi peragu yang kedua, yang hanya meragukan apakah
peragu yang pertama adalah seorang kafir , bukanlah seorang kafir, tetapi
nhanyalah seorang “pendosa besar” (fasiq) karena ia tidak meragukan bahwa kufr adalah kufr, atau tidak. Maka ia tidak harus diperlakukan
dengan cara yang sama sebagai mana peragu yang ketiga, keempat, dsb. Ad infinitum. [10][29]
Ilustrasi yang diberikan oleh Toshihiko Izutsu ini
sudah cukup memberikan penjelasan mengapa dalam kata-kata kunci al-Qur’an
diperlukan Weltanschauung al-Qur’an yang dapat meminimalisir terjadinya
perpecahan yang disebabkan tidak samarnya – jika enggan menyebut tidak ada –
konsepsi yang menjadi world
view al-Qur’an terkait kata kunci
tersebut. Lihat: Toshihiko
Izutsu , Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam; Analisis Semantik Iman dan
Islam, terj. Agus Fahri Husein, dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994),
hlm: 22.
[15] Untuk detail penjelasan terjadinya makna relasional dan pergeseran makna
dasar kepada makna relasional, silahkan lihat Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan
dan Manusia, hlm. 10-16.
[16] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan
Semantik terhadap Al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein, et al., (Yogyakarta:
TiaraWacana, 2003, cet. 2) hlm: 103.
[18] Pada tahap pertama ini, yakni sebelum turunnya
al-Qur’an atau masa pra-Islam mempunyai tiga sistem kata yang berbeda dengan
tiga pandangan dunia yang berbeda pula: (1) Kosakata yang mewakili ideologi Arab
kuno, (2) Kosakata kelompok pedagang yang berlandaskan pada kosakata Baduwi,
(3) Kosakata Yahudi-Kristen. Ketiga poin tersebut merupakan unsur-unsur penting
kosakata Arab pra-Islam.
Lihat: Toshihiko Izutsu, 1996, Konsep-konsep
Etika Religius dalam al-Qur’an, Pustaka Firdaus: Jakarta, hlm. 30
[19] Ibid, hlm: 67.