Posted by : Cak_Son
Rabu, 01 Juli 2015
BAB II
PEMBAHASAN
1. Islam Masuk ke Indonesia Melalui Jawa
Sebelum
membahas tentang sejarah masuknya Islam di bumi Nusantara, ada baiknya kita
memahami terlebih dahulu tentang pangertian dari sejarah. Banyak definisi yang
menjelaskan tentang pengertian dari sejarah, tapi dari semua pengertian itu
mengerucut pada sebuah titik yang sama. Di
kalangan cendekiawan muslim, sejarah merupakan penetapan terhadap berita-berita
penting pada sebuah masa tertentu, yang berarti pada penghitungan zaman dan
masanya. Sehingga dapat diartikan sebagai penetapan pada waktu terjadinya peristiwa penting dengan
penetapan yang tepat.[1]
Sehingga sejarah tidak akan pernah terlepas dari 2 buah faktor utama yang
membangunnya, yang pertama yaitu berita atau informasi dan yang kedua adalah
masa atau waktu kejadian. Karena sesungguhnya sejarah adalah dinamika perubahan
zaman. Karena dengan mempelajari masa lampau kita bisa mengetahui masa sekarang
dan mempersiapkan kehidupan untuk masa yang akan datang.[2]
Maka akan kita bahas bagaimana Islam masuk ke Indonesia dengan mengumpulkan
informasi-informasi yang ada serta mengaitkannya dengan waktu dan masa
terjadinya peristiwa tersebut.
Sebelum
Islam masuk ke tanah Jawa, mayoritas masyarakat jawa menganut kepercayaan
animisme dan dinamisme. Selain menganut kepercayaan tersebut masyarakat Jawa
juga dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Hindu dan Budha dari India. Seiring
dengan waktu yang berjalan tidak lama
kemudian Islam masuk ke Jawa melalui pedagang-pedagang Gujarat dan Persia dan
ada yang berpendapat langsung dibawa oleh orang Arab. Sehingga masyarakat Jawa
sebelum Islam datang dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Jawa
Pra Hindu-Budha
Situasi kehidupan “religius” masyarakat di tanah Jawa
sebelum datangnya Islam sangatlah heterogen. Kepercayaan import maupun
kepercayaan yang asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum Hindu dan Budha,
masyarakat Jawa pra-sejarah telah memeluk keyakinan yang bercorak animisme dan
dinamisme. Pandangan hidup orang Jawa adalah mengarah pada pembentukan kesatuan
numinous antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap
keramat. Di samping itu, mereka meyakini kekuatan magis keris, tombak, dan
senjata lainnya. Benda-benda yang dianggap keramat dan memiliki kekuatan magis
ini selanjutnya dipuja, dihormati, dan mendapat perlakuan istimewa.
b. Jawa
Masa Hindu-Budha
Pengaruh Hindu-Budha dalam
masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima
pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses
akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh
terhadap sistem agama. Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa
Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa
semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat
sinkretis (bersifat momot atau serba memuat). Ciri lain dari budaya Jawa pada
saat itu adalah sangat bersifat teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja
sebagai titisan dewa adalah salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan:
“Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada zaman
Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti
bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia
akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan.
Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Raja dan kehidupan keraton
adalah puncak peradaban pada masa itu”. Di pulau Jawa terdapat tiga buah
kerajaan masa Hindu Budha,
kerajaan-kerajaan itu adalah Taruma, Ho-Ling, dan Kanjuruhan. Di dalam
perekonomian dan industri salah satu aktivitas masyarakat adalah bertani dan
berdagang dalam proses integrasi bangsa. Dari aspek lain karya seni dan satra
juga telah berkembang pesat antara lain seni musik, seni tari, wayang, lawak,
dan tari topeng. Semua itu sebagian besar terdokumentasikan pada
pahatan-pahatan relief dan candi-candi.[3]
Cara
masuknya Islam ke bumi Jawa melalui berbagai cara dan jalan. Sehingga Islam
masuk ke tanah Jawa lebih mudah dan dapat diterima oleh masyarakat luas tanpa
ada pertentangan dari masyarakat. Cara Islamisasi yang berkembang ada pada awal
masuknya Islam ke tanah Jawa sedikitnya ada enam yaitu dengan cara:
perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.[4]
Cara yang digunakan untuk menyebarkan Islam ini bersifat humanisme tanpa
dilandasi dengan teror dan kekerasan. Sehinggga Islam dapat begitu mudah
diterima oleh masyarakat luas tanpa diawalki dengan kekerasan dan pemaksaaan.
Dakwah
Islam merupakan dakwah yang bersifat khusus untuk kemanusiaan. Dan menempatkan
manusia pada kedudukan yang sangat tinggi sihingga dengan dakwah ini dapat
mengantarkan manusia untuk mencapai derajat kemuliaan dan kesempurnaan akhlak.[5]
Di
Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya
makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah
atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya,
diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia.
Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari
Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M.
Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam
tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga
istana Majapahit.
Sejarah mencatat bahwa kaum pedagang memegang peranan penting dalam
persebaran agama dan kebudayaan Islam. Letak Indonesia yang strategis
menyebabkan timbulnya bandar-bandar perdagangan yang turut membantu mempercepat
persebaran tersebut. Di samping itu, cara lain yang turut berperan ialah
melalui dakwah yang dilakukan para mubaligh.
a.
Peranan Kaum Pedagang
Seperti halnya penyebaran agama Hindu-Budha,
kaum pedagang memegang peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam,
baik pedagang dari luar Indonesia maupun para pedagang Indonesia.
Para pedagang itu datang dan berdagang di pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir. Malaka
merupakan pusat transit para pedagang. Di samping itu, bandar-bandar di sekitar
Malaka seperti Perlak dan Samudra Pasai juga didatangi para pedagang.
Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam
waktu yang lama, untuk menunggu datangnya angin musim. Pada saat menunggu
inilah, terjadi pembauran antarpedagang dari berbagai bangsa serta antara
pedagang dan penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan
adat-istiadat, budaya bahkan agama. Bukan hanya melakukan perdagangan, bahkan
juga terjadi asimilasi melalui perkawinan.
Di antara para pedagang tersebut, terdapat pedagang Arab,
Persia, dan Gujarat yang umumnya beragama Islam. Mereka mengenalkan agama dan budaya Islam kepada para pedagang lain maupun kepada penduduk
setempat. Maka, mulailah ada penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam.
Lama-kelamaan penganut agama Islam makin banyak. Bahkan kemudian berkembang
perkampungan para pedagang Islam di daerah pesisir.
Para pedagang dapat dengan mudah menyebarkan
agama Islam karena mereka mampu menjalin sebuah persaudaraan yang kuat diantara
mereka dengan orang-orang Indonesia, yaitu persaudaraan di atas agama Allah.
Karena persaudaraan di jalan Allah bagaikan minuman yang bersih yang
menyehatkan yang disiapkan bagi orang-orang mukmin yang sehat dan cerdas.
Karena itulah persaudaraan yang dibangun diatas nama Allah adalah bagian dari
iman, sehingga tidak dapat dipisahkan antara persaudaraan dan iman, dan juga
sebaliknya tidak dapat dipisahkan antara iman dan persaudaraan.[6] Dengan persaudaraan inilah
terhapus kasta-kasta yang selama ini membelenggu masyarakat Indonesia. Sehingga
tercipta suasana baru yang penuh dengan rasa kasih sayang sesame dan toleransi.
Penduduk setempat yang telah memeluk agama Islam
kemudian menyebarkan Islam kepada sesama pedagang, juga kepada sanak familinya.
Akhirnya, Islam mulai berkembang di masyarakat Indonesia. Di samping itu para pedagang dan pelayar
tersebut juga ada yang menikah dengan penduduk setempat sehingga lahirlah
keluarga dan anak-anak yang Islam.
Hal ini berlangsung terus selama bertahun-tahun sehingga
akhirnya muncul sebuah komunitas Islam, yang setelah kuat akhirnya membentuk
sebuah pemerintahaan Islam. Dari situlah lahir kesultanan-kesultanan Islam di
Nusantara.
b.
Peranan Bandar-Bandar di Indonesia
Bandar merupakan tempat berlabuh kapal-kapal
atau persinggahan kapal-kapal dagang. Bandar juga merupakan pusat perdagangan, bahkan
juga digunakan sebagai tempat tinggal para pengusaha perkapalan. Sebagai negara kepulauan yang terletak pada jalur
perdagangan internasional, Indonesia memiliki banyak bandar. Bandar-bandar ini
memiliki peranan dan arti yang penting dalam proses masuknya Islam ke
Indonesia.
Di bandar-bandar inilah para pedagang beragama
Islam memperkenalkan Islam kepada para pedagang lain ataupun kepada penduduk
setempat. Dengan demikian, bandar menjadi pintu masuk dan pusat penyebaran
agama Islam ke Indonesia. Kalau kita lihat
letak geografis kota-kota pusat kerajaan yang bercorak Islam pada umunya
terletak di pesisir-pesisir dan muara sungai.
Dalam perkembangannya, bandar-bandar tersebut
umumnya tumbuh menjadi kota bahkan ada yang menjadi kerajaan, seperti Perlak, Samudra
Pasai, Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik,
Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore. Banyak pemimpin bandar yang memeluk
agama Islam. Akibatnya, rakyatnya pun kemudian banyak memeluk agama Islam.
Peranan bandar-bandar sebagai pusat perdagangan
dapat kita lihat jejaknya. Para pedagang di dalam kota mempunyai perkampungan
sendiri-sendiri yang penempatannya ditentukan atas persetujuan dari penguasa
kota tersebut, misalnya di Aceh, terdapat perkampungan orang Portugis, Benggalu
Cina, Gujarat, Arab, dan Pegu.
Begitu juga di Banten dan kota-kota pasar
kerajaan lainnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kota-kota pada
masa pertumbuhan dan perkembangan Islam memiliki ciri-ciri yang hampir sama
antara lain letaknya di pesisir, ada pasar, ada masjid, ada perkampungan, dan
ada tempat para penguasa (sultan).
c.
Peranan Para Wali dan Ulama (Muballigh)
Salah satu cara penyebaran agama Islam ialah dengan cara mendakwah. Di samping sebagai pedagang,
para pedagang Islam juga berperan sebagai mubaligh. Ada juga para mubaligh yang
datang bersama pedagang dengan misi agamanya. Penyebaran Islam melalui dakwah
ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat objek dakwah, dengan
menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu
menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya.
Di samping itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai
sarana pendidikan Islam.
Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan
oleh Walisongo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan
tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para wali ini dekat dengan
kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah tidaknya
seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat sultan.
Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi
gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut
adalah seperti berikut.
(1) Sunan
Gresik (Maulana Malik Ibrahim). Inilah wali yang pertama datang ke Jawa pada
abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik.
Dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.
(2) Sunan
Ampel (Raden Rahmat). Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau
merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.
(3)
Sunan Derajad (Syarifudin). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Surabaya. Seorang
sunan yang sangat berjiwa sosial.
(4) Sunan
Bonang (Makdum Ibrahim). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem,
dan Rembang. Sunan yang sangat bijaksana.
(5) Sunan
Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di
Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan
cara menyesuaikan dengan lingkungan setempat.
(6) Sunan
Giri (Raden Paku). Menyiarkan Islam di luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa
Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan agama dengan metode bermain.
(7) Sunan
Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni
bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.
(8) Sunan
Muria (Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak
antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.
(9) Sunan
Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa,
dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar.[7]
Mengenai kapan Islam masuk ke Indonesia dan siapa pembawanya
terdapat beberapa teori yang mendukungnya. Proses masuk dan berkembangnya agama
Islam di Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul
Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori
Persia. Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalah
waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau
pembawa agama Islam ke Nusantara. Teori tersebut adalah:
a. Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13
dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini
adalah:
(1)
Kurangnya
fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
(2)
Sehubungan
dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay –
Timur Tengah – Eropa.
(3)
Adanya
batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak
khas Gujarat. Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim
dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih
memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu
adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo
dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia
menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan
banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.
c.
Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan
terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar
teori ini adalah:
(1)
Pada abad
ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa
pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini
juga sesuai dengan berita Cina.
(2)
Kerajaan
Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i
terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah
penganut mazhab Hanafi.
(3)
Raja-raja
Samudra Pasai menggunakan gelar Al Malik, yaitu gelar tersebut berasal dari
Mesir. Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para
ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan
politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke
7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab
sendiri.
c.
Teori
Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan
pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya
Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
(1)
Peringatan
10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad,
yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan
tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai
dengan pembuatan bubur Syuro.
(2)
Kesamaan
ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al –
Hallaj.
(3)
Penggunaan
istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda- tanda bunyi
Harakat.
(4)
Ditemukannya
makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
(5)
Adanya
perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung
teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.[8]
Teori
Persia ini didukung dengan berbagai bukti yang telah ditemukan oleh para ahli. Bukti
tertua kehadiran huruf Arab pada fase awal Islam di Nusantara ditemukan di
sebuah makam di desa Leran, 8 Km utara kota Gresik Jawa Timur. Huruf itu
terdapat pada Nisan Fatimah binti Maimun bin Hibatullah. Dia wafat pada hari
Jumat 12 Rabiulawwal 475 Hijriyah / 1082 Masehi.
Penanggalan
itu menunjukkan nisan dipusara anak perempuan Maimun ini merupakan bukti tertua
penggunaan tulisan Arab di Asia Tenggara. Demikian di tuliskan pada buku
panduan pameran Budaya Islam di Aula Institut Agama Islam Negeri (IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta), pada tanggal 11-17 September 1995.
Inskripsi
nisan Fatimah terdiri atas tujuh baris, ditulis dengan huruf Arab dengan gaya
Kufi, salah satu ragam kaligrafi, dengan tata bahasa Arab yang baik. Nisan ini
juga memuat ayat Al-Qur’an, antara lain surat Al-Rahman ayat 28-27 dan surat
Ali Imron ayat 185. Bersama nisan Maulana Malik Ibrahim, yang wafat pada 12
Rabiulawwal 822 H/8 April 1419 M, juga dimakamkan di Gresik, mengukuhkan
pendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui Persia dan Gujarat. Ada juga
sarjana yang mengatakan batu nisan tersebut mirip kuil tembok Hindu di Gujarat.
Prof.
DR. PA. Hoesien Djajadiningrat menyatakan, “Bukti agama Islam masuk ke
Nusantara dari Iran (persia), ialah ejaan dalam tulisan Arab, baris di atas, di
bawah, dan di depan disebut jabar, Jer dan Pes. Ini adalah bahasa Iran. Kalau
menurut bahasa Arab, ejaannya adalah Fathah, Kasrah dan Dhammah. Begitu pula
huruf Sin yang tidak bergigi, sedangkan huruf Sin dalam bahasa arab
adalah bergigi, ini adalah salah satu bukti yang terang”.
Siapakah
Fatimah binti Maimun? Ahli sejarah Cirebon abad ke 17, Wangsakerta, sebagai
pangeran ketiga keraton pernah melakukan Gotrasawala (musyawarah kekeluargaan)
ahli sejarah se-Nusantara menelusuri silsilah para Syekh, guru agama dan Sultan
keturunan Nabi Muhammad SAW yang menjadi tokoh penyebar agama Islam di
Nusantara. Wangsakerta berdiskusi dengan Mahakawi sejarah dari Pasai, Jawa
Timur, Cirebon, Arab, Kudus, dan Surabaya, serta ulama dari Cirebon dan Banten.
Hasilnya
sebagai berikut: Rasulullah Muhammad SAW berputri Fatimah yang menikah dengan
Ali bin Abi Thalib, berputra Husaian, berputra Zainal Abidin, yang menurunkan
Muhammad Al-Baqir, bapak Ja’far Shadiq, berputra Ali Al-Uraidi, ayah Sulaiman
Al-Basri, yang menetap di Persi, Sulaiman Abu Zain Al-Basri, yang menurunkan
Ahmad Al-Baruni, ayah Sayyid Idris Al-Malik, yang berputra Muhammad Makdum
Sidiq, yang terakhir ini adalah ayah Hibatullah, kakek Fatimah binti Maimun. Masih
menurut penelusuran itu, Fatimah menikah dengan Pria bernama Hassan yang
berasal dari Arab bagian selatan.
Tentang
Fatimah binti Maimun ini, pasangan peneliti H.J. de Graaf dan Th. Piqeaud
menghubungkannya dengan tradisi Lisan Jawa, tentang putri Leran atau putri Dewi
Swara. Dalam kaitan ini, kedua pakar Belanda ini juga menerima anggapan bahwa
Gresik merupakan pusat tertua agama Islam di Jawa Timur.
Dengan
demikian, tidak mustahil Fatimah binti Maimun itu pendakwah Islam pertama di
Tanah Jawa, bahkan sangat boleh jadi di Nusantara. Namun ada penulis yang
menyatakan, kakeknya pedagang dari Timur tengah, Hibatullah, menetap di Leran,
dan menikah dengan wanita setempat, bahkan di duga sudah membangun masjid.
Apakah
faktor kebetulan bila desa tempat Fatimah binti Maimun di makamkan itu bernama
Leran? Tentu saja hal ini telah menjadi perbincangan para ahli sejarah sejak
lama. Cendikiawan Muslim Oemar Amin Hoesin, misalnya berpendapat, di Persia itu
ada satu suku namanya “Leren”, suku inilah yang mungkin dahulu datang ke tanah
Jawa, sebab di Giri ada kampung Leren juga namanya. Begitu pula, ada suku Jawi
di Persia. Suku inilah yang mengajarkan huruf Arab yang terkenal di Jawa dengan
huruf Pegon.
Dalam
hal ini, Moh. Hari Soewarno mencatat, Leran sebenarnya nama suku di Iran.
mungkin Fatimah berasal dari Parsi, sebab data itu bisa dibandingkan dengan
data lain di Iran sendiri. Di sanapun terdapat desa yang namanya Jawi, sehingga
dapat di tarik kesimpulan, pada abad ke ke-11 itu sudah ada lalu lintas dagang
antara negeri kita dengan negeri Parsi. Peristiwa itu pasti terjadi
berulang-ulang serta dimengerti banyak orang, baik di Jawa maupun di Iran. Menurutnya,
orang Parsi, yang datang ke Jawa merasa kerasan, lalu menetap. Sebaliknya orang
Jawa yang merasa senang di Iran lalu menetap di sana dan menamai desanya Jawi –
untuk menunjukkan perkampungan orang Jawa disana..
Jadi,
dapat disimpulkan, Fatimah binti Maimun adalah orang Parsi yang menetap di Jawa
(tepatnya di Gresik), lalu perkampungannya disana hingga sekarang terkenal
sebagai desa Leran. Lebih jauh diketahui, di Kediri pada Abad ke-11 sudah
banyak orang membuat rumah indah dengan genting warna-warni, kuning dan hijau.
Gaya rumah demikian banyak kita jumpai di Parsi.
Apakah
juga faktor kebetulan jika dari tanah Persia, Fatimah binti Maimun merantau ke
pelabuhan Gresik, kemudian tinggal serta wafat dan dimakamkan di sana? Bersama
nisan ulama Persia Maulana Malik Ibrahim, yang berangka tahun 882 H / 1419 M,
sedang Nisan Fatimah yang berangka 475 H / 1082 M dilihat sebagai bukti bahwa
pada waktu itu banyak orang Gresik yang telah menganut agama Islam. Bahkan
sebelum kedatangan para Wali periode pertama, sudah banyak pedagang Islam di
tanah Jawa. Mereka memilih daerah pelabuhan Gresik, yang saat itu sedang dalam
kekuasaan kerajaan Majapahit, sebagai tempat tinggal mereka.[9]
Dengan
banyaknya teori yang telah disebutkan diatas dan dengan disertai dengan bukti
nyata yang kuat, kita dapat menyimpulkan bahwa memang Islam telah ada sejak
abad 7 M. Islam telah membentuk sebuah peradaban baru tidak hanya telah
mengajarkan tentang kepercayaan dan agama saja, tetapi Islam telah membentuk
sebuah peadaban baru dengan masyarakat baru serta telah mengukir sebuah sejarah
baru dengan lembaran-lembaran yang baru pula.
2. Islam Masuk ke Indonesia Melalui Sumatra
Dalam
kajian ilmu sejarah, tentang masuknya Islam di Indonesia masih “debatable”.
Oleh karena itu perlu ada penjelasan lenih dahulu tentang penegrtian “masuk”,
antara lain:
a. Dalam
arti sentuhan (ada hubungan dan ada pemukiman Muslim).
b. Dalam
arti sudah berkembang adanya komunitas masyarakat Islam.
c. Dalam
arti sudah berdiri Islamic State (Negara/kerajaan Islam).
Selain
itu juga masing-masing pendapat penggunakan berbagai sumber, baik dari
arkeologi, beberapa tulisan dari sumber barat, dan timur. Disamping jiga
berkembang dari sudut pandang Eropa Sentrisme dan Indonesia Sentrisme.
A. Awal
Masuknya Islam di Indonesia
1)
Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad
ke 7:
a. Seminar
masuknya islam di Indonesia (di Aceh), sebagian dasar adalah catatan perjalanan
Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja
Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada
koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
b. Dari
Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum
Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang
muslim yang selalu singgah di sumatera dalam perjalannya ke China.
c. Dari
Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan
bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara
tahun 606-699 M.
d. Prof.
Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory of
Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan
bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
e. Prof.
Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia mengungkapkan bahwa pada
tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke Malaya.
f. Prof.
S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnay berjudul Islam di India
dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis
menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum
muslimin Indonesia.
g. W.P.
Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese
sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan adanya
Aarb muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab
Muslim).
h. T.W.
Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The
Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun
1 Hijriyah (Abad 7 M).
2)
Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad
ke-11:
Satu-satunya
sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik,
yaitu makam Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya. Pada makam itu terdapat
prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun (dimasehikan 1082)
3)
Islam Masuk Ke Indonesia Pada Abad
Ke-13:
a.
Catatan perjalanan marcopolo,
menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack)
di aceh, pada tahun 1292 M.
b.
K.F.H. van Langen, berdasarkan
berita China telah menyebut adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada
1298 M.
c.
J.P. Moquette dalam De Grafsteen te
Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit hindoesten, menyatakan
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13.
d.
Beberapa sarjana barat seperti R.A
Kern; C. Snouck Hurgronje; dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13, berdasarkan saudah adanya beberapa
kerajaaan islam di kawasan Indonesia.
B. Pembawa
Islam ke Indonesia
Sebelum
pengaruh islam masuk ke Indonesia, di kawasan ini sudah terdapat kontak-kontak
dagang, baik dari Arab, Persia, India dan China. Islam secara akomodatif,
akulturasi, dan sinkretis merasuk dan punya pengaruh di arab, Persia, India dan
China. Melalui perdagangan itulah Islam masuk ke kawasan Indonesia. Dengan
demikian bangsa Arab, Persia, India dan china punya nadil melancarkan
perkembangan islam di kawasan Indonesia.
1) Gujarat
(India)
Pedagang
islam dari Gujarat, menyebarkan Islam dengan bukti-bukti antar lain:
a. ukiran
batu nisan gaya Gujarat.
b. Adat
istiadat dan budaya India islam.
2) Persia
Para
pedagang Persia menyebarkan Islam dengan beberapa bukti antara lain:
a. Gelar
“Syah” bagi raja-raja di Indonesia.
b. Pengaruh
aliran “Wihdatul Wujud” (Syeh Siti Jenar).
c. Pengaruh
madzab Syi’ah (Tabut Hasan dan Husen).
3) Arab
Para
pedagang Arab banyak menetap di pantai-pantai kepulauan Indonesia, dengan bukti
antara lain:
a. Menurut
al Mas’udi pada tahun 916 telah berjumpa Komunitas Arab dari Oman, Hidramaut,
Basrah, dan Bahrein untuk menyebarkan islam di lingkungannya, sekitar Sumatra,
Jawa, dan Malaka.
b. munculnya
nama “kampong Arab” dan tradisi Arab di lingkungan masyarakat, yang banyak
mengenalkan islam.
4) China
Para
pedagang dan angkatan laut China (Ma Huan, Laksamana Cheng Ho/Dampo awan ?),
mengenalkan islam di pantai dan pedalaman Jawa dan sumatera, dengan bukti antar
lain :
a. Gedung
Batu di semarang (masjid gaya China).
b. Beberapa
makam China muslim.
c. Beberapa
wali yang dimungkinkan keturunan China.
Dari
beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada umumnya menggunakan
pendekatan cultural, sehingga terjadi dialog budaya dan pergaulan social yang
penuh toleransi.
C. Awal
Penyebaran Islam di Indonesia
1) Perdagangan dan Perkawinan
Dengan
menunggu angina muson (6 bulan), pedagang mengadakan perkawinan dengan penduduk
asli. Dari perkawinan itulah terjadi interaksi social yang menghantarkan Islam
berkembang (masyarakat Islam).
2)
Pembentukan masyarakat Islam dari tingkat ‘bawah’ dari rakyat lapisan bawah, kemudian
berpengaruh ke kaum birokrat (J.C. Van Leur).
3)
Gerakan Dakwah,
melalui dua jalur yaitau:
a.
Ulama keliling menyebarkan agama Islam (dengan pendekatan Akulturasi dan Sinkretisasi/lambing-lambang
budaya).
b.
Pendidikan pesantren (ngasu ilmu/perigi/sumur), melalui lembaga/sisitem
pendidikan Pondok Pesantren, Kyai sebagai pemimpin, dan santri sebagai murid.
Dari
ketiga model perkembangan Islam itu, secara relitas Islam sangat diminati dan
cepat berkembang di Indonesia. Meskipun demikian, intensitas pemahaman dan
aktualisasi keberagman islam bervariasi menurut kemampuan masyarakat dalam
mencernanya.
Ditemukan
dalam sejarah, bahwa komunitas pesantrean lebih intens keberagamannya, dan
memiliki hubungan komunikasi “ukhuwah” (persaudaraan/ikatan darah dan agama)
yang kuat. Proses terjadinya hubungan “ukhuwah” itu menunjukkan bahwa dunia
pesantren memiliki komunikasi dan kemudian menjadi tulang punggung dalam
melawan colonial.
Kedatangan Islam ke Indonesia
mempunyai dua tujuan, yaitu:
a. Islam expanssion sesuai hangatnya gerakan
islam pada waktu itu.
b. Ekonomi, yaitu mengambil rempah2
langsung dari sumbernya. Sebelumnya Arab mengandalkan pada
pedagang-pedagang Hindu dari India.
3. Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia.
Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad
SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi
pengikut Nabi Muhammad SAW.
Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah.
Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan
kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan
pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam
bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan
berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan
tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang
ekstrem.
Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada
perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran
ayat 104 yang berbunyi: Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah,
mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara
teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup
berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban
organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat
gerakan yang niscaya.
Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak
berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.
A. Sejarah
Berdirinya
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman
Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang
bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan .
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang
Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam
keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau
tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang
sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan
pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para
pedagang.[10]
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan
kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya.
Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam
waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar
daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan
Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok
tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki,
beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang
disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak
laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922
dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada
rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian
memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934. Rapat Tahunan itu sendiri kemudian
berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah
menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.[11]
B. Matan
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah
Muhammadiyah
adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan
bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya
masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan
fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
Muhammdiyah
berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya,
sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi
penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia
sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi
dan ukhrawi.
Muhammadiyah
dalam mengamalkan Islam berdasarkan: 1)
Al-Qur'an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW; 2) Sunnah
Rasul: Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur'an yang diberikan oleh
Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran
Islam.[12]
Muhammadiyah
bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
1.
'Aqidah
Muhammadiyah
bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala
kemusyrikan, bid'ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut
ajaran Islam.
2.
Akhlak
Muhammadiyah
bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada
ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai
ciptaan manusia
3.
Ibadah
Muhammadiyah
bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa
tambahan dan perubahan dari manusia.
4.
Muamalah
Duniawiyah
Muhammadiyah
bekerja untuk terlaksananya mu'amalat duniawiyah (pengolahan dunia dan
pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua
kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.
5.
Muhammadiyah
mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah
berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan
Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur
dan diridhoi Allah SWT: "BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR"
C. Ciri
Perjuangan Muhammadiyah
Dengan
melihat sejarah pertumbuhan dan perkembangan persyarikatan Muhammadiyah sejak
kelahirannya, memperhatikan faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya,
aspirasi, motif, dan cita-citanya serta amal usaha dan gerakannya, nyata sekali
bahwa didalammya terdapat ciri-ciri khusus yang menjadi identitas dari hakikat
atau jati diri Persyarikatan Muhammadiyah. Secara jelas dapat diamati dengan
mudah oleh siapapun yang secara sepintas mau memperhatikan ciri-ciri perjuangan
Muhammdiyah itu adalah sebagai berikut.
1)
Muhammdiyah
sebagai Gerakan Islam
Telah diuraikan dalam bab terdahulu
bahwa Persyarikatan Muhammadiyah dibangun oleh KH Ahmad Dahlan sebagi hasil
kongkrit dari telaah dan pendalaman (tadabbur) terhadap Alquranul Karim. Faktor
inilah yang sebenarnya paling utama yang mendorong berdirinya Muhammadiyah,
sedang faktor-faktor lainnya dapat dikatakan sebagai faktor penunjang atau
faktor perangsang semata. Dengan ketelitiannya yang sangat memadai pada setiap
mengkaji ayat-ayat Alquran, khususnya ketika menelaah surat Ali Imran,
ayat:104, maka akhirnya dilahirkan amalan kongkret, yaitu lahirnya
Persyarikatan Muhammadiyah. Kajian serupa ini telah dikembangkan sehingga dari
hasil kajian ayat-ayat tersebut oleh KHR Hadjid dinamakan “Ajaran KH Ahmad
Dahlan dengan kelompok 17, kelompok ayat-ayat Alquran”, yang didalammya
tergambar secara jelas asal-usul ruh, jiwa, nafas, semangat Muhammadiyah dalam
pengabdiyannya kepada Allah SWT.
Dari latar belakang berdirinya
Muhammadiyah seperti di atas jelaslah bahwa sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah
itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi, dan disemangati oleh ajaran-ajaran
Al-Qur’an karena itupula seluruh gerakannya tidak ada motif lain kecuali
semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam. Segala yang
dilakukan Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan dan pengajaran,
kemasyarakatan, kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya tidak dapat
dilepaskan dari usaha untuk mewujudkan dan melaksankan ajaran Islam. Tegasnya
gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud
yang riil, kongkret, dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati
oleh umat sebagai rahmatan lil’alamin.
2)
Muhammadiyah
sebagai Gerakan Dakwah Islam
Ciri kedua dari gerakan
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan dakwah Islamiyah. Ciri yang kedua ini
muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat tidak terpisahkan dalam jati
diri Muahammadiyah. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa
faktor utama yang mendorong berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah berasal dari
pendalaman KHA Dahlan terdapat ayat-ayat Alquran Alkarim, terutama sekali surat
Ali Imran, Ayat:104. Berdasarkan Surat Ali Imran, ayat : 104 inilah
Muhammadiyah meletakkan khittah atau strategi dasar perjuangannya, yaitu dakwah
(menyeru, mengajak) Islam, amar ma’ruf nahi munkar dengan masyarakat sebagai
medan juangnya. Gerakan Muhammadiyah berkiprah di tengah-tengah masyarakat
bangsa Indonesia dengan membangun berbagai ragam amal usaha yang benar-benar
dapat menyentuh hajat orang banyak seperti berbagai ragam lembaga pendidikan
sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, membangun sekian banyak rumah
sakit, panti-panti asuhan dan sebagainya. Semua amal usaha Muhammadiyah seperti
itu tidak lain merupakan suatu manifestasi dakwah islamiyah. Semua amal usaha
diadakan dengan niat dan tujuan tunggal, yaitu untuk dijadikan sarana dan
wahana dakwah Islamiyah.
3) Muhammadiyah sebagi Gerakan Tajdid
Ciri ke tiga yang melekat
pada Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai Gerakan Tajdid atau Gerakan
Reformasi. Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri sebagai salah satu
organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama Islam sebagaimana yang
tercantum dalam Alquran dan Assunah, sekaligus memebersihkan berbagai amalan
umat yang terang-trangan menyimpang dari ajaran Islam, baik berupa khurafat,
syirik, maupun bid’ah lewat gerakan dakwah. Muhammadiyah sebagai salah satu
mata rantai dari gerakan tajdid yang diawali oleh ulama besar Ibnu Taimiyah
sudah barang tentu ada kesamaaan nafas, yaitu memerangi secara total berbagai
penyimpangan ajaran Islam seperti syirik, khurafat, bid’ah dan tajdid, sbab
semua itu merupakan benalu yang dapat merusak akidah dan ibadah seseorang.
Sifat Tajdid yang
dikenakan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak hanya sebatas pengertian
upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel pada
tubuhnya, melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah melakukan berbagai
pembaharuan cara-cara pelaksanaan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, semacam
memperbaharui cara penyelenggaraan pendidikan, cara penyantunan terhadap fakir
miskin dan anak yatim, cara pengelolaan zakat fitrah dan zakat harta benda,
cara pengelolaan rumah sakit, pelaksanaan sholat Id dan pelaksanaan kurba dan
sebagainya.
Untuk membedakan antara
keduanya maka tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi
(purification) dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi
(reformation). Dalam hubungan dengan salah satu ciri Muhammadiyah sebagai
gerakan tajdid, maka Muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai Gerakan Purifikasi
dan Gerakan Reformasi.[13]
4. Persatuan Islam
- Persis Islam dan Pemurnian
Keberadaan
penjajah Belanda di Indonesia telah melahirkan semangat persatuan dan
keberagamaan umat Islam.Sebab, kedatangan penjajah ke bumi nusantara telah
membawa sejumlah peradaban baru yang sebagian di antaranya tidak sesuai dengan
ajaran Islam.Sementara itu, tingkat keberagamaan umat Islam juga mulai
bercampur dengan kebiasaan dan tradisi yang menurut beberapa tokoh tidak sesuai
dengan ajaran Islam yang murni.
Kondisi inilah yang menyebabkan lahirnya sejumlah organisasi keislaman di bumi nusantara.Hingga saat ini, tercatat cukup banyak organisasi Islam di Indonesia.Salah satunya adalah Persatuan Islam (Persis).Organisasi ini didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh sekelompok tokoh Islam yang berminat dalam pendidikan serta gerakan pemurniaan dan pembaruan (tajdid) Islam.Gerakan ini dilakukan oleh sejumlah tokoh-tokoh Islam yang sebagian besar berusia muda.
Kondisi inilah yang menyebabkan lahirnya sejumlah organisasi keislaman di bumi nusantara.Hingga saat ini, tercatat cukup banyak organisasi Islam di Indonesia.Salah satunya adalah Persatuan Islam (Persis).Organisasi ini didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh sekelompok tokoh Islam yang berminat dalam pendidikan serta gerakan pemurniaan dan pembaruan (tajdid) Islam.Gerakan ini dilakukan oleh sejumlah tokoh-tokoh Islam yang sebagian besar berusia muda.
Sebagaimana
diketahui, gerakan pembaruan Islam mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1802
atau bersamaan dengan kembalinya sejumlah ulama Indonesia dari Tanah Suci
Makkah.Para ulama ini melihat secara langsung gerakan pemurnian Islam di
Jazirah Arab.
Mereka
kemudian mengembangkan gerakan tajdid.Melalui gerakan tersebut, para ulama ini
berupaya meluruskan semua praktik ibadah di kalangan masyarakat Muslim yang
masih bercampur dengan bid'ah dan khurafat.Praktik ibadah seperti itu dipandang
tidak sesuai dengan Alquran dan sunah.
Semangat dan isi gerakan
pembaruan Islam ini pada mulanya mendapat perhatian dari umat Islam di daerah
perkotaan. Secara geografis dan kultural, masyarakat kota lebih cepat
berhadapan dengan pengaruh luar daripada masyarakat desa. Mereka yang mendukung
gerakan ini menamakan diri sebagai kelompok modernis Islam.
Pada awal abad ke-20, gerakan
pembaruan Islam di Indonesia ditandai dengan munculnya berbagai organisasi
kelompok modernis Islam di sejumlah kota besar, di antaranya Al-Jam'iyyah
Al-Khoiriyah atau dikenal dengan nama Jamiat Khair pada 17 Juli 1905 di
Jakarta, Al-Irsyad (berdiri di Jakarta, 11 Agustus 1915), dan Muhammadiyah di
Yogyakarta (12 November 1912).
Kota Bandung, sebagaimana
dijelaskan Dadan Wildan dalam buku Yang Da'i Yang Politikus: Hayat dan
Perjuangan Lima Tokoh Persis, tampaknya agak lambat menerima arus gerakan
pembaruan Islam ini dibandingkan daerah-daerah lain meskipun Syarekat Islam
(SI) telah beroperasi di daerah ini sejak 1913. Kesadaran akan keterlambatan
ini merupakan salah satu cambuk berdirinya sebuah organisasi baru, yakni
Persatun Islam (Persis).
- Awal Mula[14]
Berdirinya Persis, diawali
dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penelaahan agama Islam) di Kota
Bandung yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Kelompok
tadarusan yang berjumlah sekitar 20 orang itu menelaah, mengkaji, dan menguji
ajaran-ajaran Islam yang berkembang di tengah masyarakat.
Para anggota tadarusan tersebut
sadar akan bahaya keterbelakangan, kejumudan, tertutupnya pintu ijtihad, taklid
buta, dan serangkaian praktik bid'ah. Mereka kemudian mencoba melakukan gerakan
tajdid (pembaruan) dan pemurnian ajaran Islam dari paham-paham yang dianggap
menyesatkan.Seiring dengan banyaknya peminatnya, kelompok ini menyadari
perlunya membentuk sebuah organisasi baru yang memiliki karakter khusus.
Pada 1 Shafar 1342 H,
bertepatan dengan 12 September 1923, kelompok tadarus ini sepakat mendirikan
organisasi yang diberi nama Persatuan Islam. Nama Persatuan Islam ini diberikan
dengan maksud untuk mengarahkan ruhul-ijtihad dan jihad: berusaha sekuat tenaga
mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita
organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan
suara Islam, dan persatuan usaha Islam.
Ide persatuan pemikiran, rasa,
suara, dan usaha Islam ini diilhami firman Allah dalam Alquran surah Ali-Imran
ayat 103 dan hadis Nabi SAW yang memerintahkan pentingnya persatuan.
"Dan, berpegang teguhlah
kamu sekalian kepada tali (undang-undang/aturan) Allah seluruhnya; dan
janganlah kamu bercerai-berai." (QS Ali Imran [3]: 103). "Kekuatan
Allah itu beserta jamaah." (HR Tirmidzi). Kedua dasar inilah yang
menjadi moto Persis dan ditulis dalam lambang Persis yang berbentuk lingkaran
bintang bersudut 12.
Dalam perkembangannya, konsep
persatuan pemikiran, rasa, suara, dan usaha Islam ini dituangkan Persis melalui
gerakan pendidikan Islam dan dakwah.Persis juga berusaha menegakkan ajaran
Islam secara utuh tanpa dicampuri khurafat, syirik, dan bid'ah. Saat ini,
organisasi Persis telah tersebar di sejumlah provinsi, di antaranya Jawa Barat,
Jawa Timur, DKI Jakarta, Banten, Lampung, Bengkulu, Riau, Jambi, dan Gorontalo.
- Penerapan Hukum Islam
Sebagai organisasi Islam,
Persis mempunyai tujuan utama untuk memberlakukan hukum Islam di tengah
masyarakat, sebagaimana tuntunan Alquran dan hadis di masyarakat.
Menurut Tafsir Qanun Asasi
Persis, pada mulanya Persis, yang terbentuk dan berdiri pada masa penjajahan
kolonial Belanda itu, tidaklah didasarkan atas suatu kepentingan atau kebutuhan
masyarakat pada masa itu. Para pendirinya mendirikan organisasi ini karena
terpanggil oleh kewajiban dan tugas risalah dari Allah SWT, sebagaimana
Rasulullah SAW berdiri di atas bukit Shafa untuk menyatakan kerasulannya
tidaklah berdasarkan atas kepentingannya.
Menurut Dadan Wildan, para
pendiri Persis menilai bahwa masyarakat Islam Indonesia ketika itu tidak
membutuhkan suatu perombakan tatanan kehidupan keislaman. Namun, mereka melihat
bahwa sebagian besar umat Islam telah tenggelam dalam 'buaian' taklid, jumud,
khurafat, bid'ah, takhayul, syirik, dan paham-paham sesat lainnya. Karena itu,
tulis Wildan, Persis berdiri atas dasar kewajiban terhadap tugas Ilahi untuk
mengubah kemandekan berpikir dan membuka ketertutupan pintu ijtihad.
Berbeda dengan organisasi-organisasi
lain yang berdiri pada awal abad ke-20, menurut Howard M Federspiel dalam
tulisannya yang bertajuk "Islamic Reform in Twentieth Century
Indonesia", Persis mempunyai ciri tersendiri.Kegiatan organisasi ini
dititikberatkan pada pembentukan paham keagamaan.
Sejalan dengan ini, Isa Anshary
dalam buku Manifest Perjuangan Persatuan Islam menyatakan bahwa Persis tampil
sebagai sebuah organisasi kaum Muslim yang sepaham dan sekeyakinan, yakni kaum
pendukung dan penegak Alquran dan sunah.
Menurut Isa Anshary, Persis
mengutamakan perjuangan dalam lapangan ideologi Islam dan bukan dalam bidang
organisasi. Persis berjuang membentuk dirinya menjadi intisari dari kaum
Muslim."Ia mencari kualitas, bukan kuantitas.Ia mencari isi, bukan jumlah."Karena
itu, organisasi ini tampil sebagai salah satu sumber kebangkitan dan kesadaran
baru bagi umat Islam serta menjadi kekuatan dinamika dalam menggerakkan
kebangkitan umat Islam.
Sejak awal berdirinya, Persis
tidak memberikan penekanan pada kegiatan organisasi.Para pengurus Persis tidak
terlalu berminat untuk membentuk banyak cabang atau menambah sebanyak mungkin
jumlah anggota.Sebab, yang terpenting bagi mereka adalah semangat keberagamaan
yang sesuai dengan nilai-nilai Islam sebagaimana dikehendaki oleh Allah dan
rasul-Nya yang termaktub dalam Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW.
Karena itu, organisasi ini
tidak cepat berkembang menjadi sebuah organisasi yang besar.Sebab, itu bukan
tujuan utamanya.Namun, pengaruh organisasi ini tampak jauh lebih besar
dibandingkan jumlah cabang ataupun anggotanya.
- Tujuan dan Aktifitas Persis[15]
Pada dasarnya, perhatian Persis
ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai
macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh,
khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren),
menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan
lainnya.Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam
segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan
jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang
dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari
pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari
Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi.
Kemudian menerbitkan berbagai
buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929),
majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937),
majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah
(1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan
di cabang-cabang Persis.
Selain pendidikan dan
penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang
banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis
maupun permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi
Islam lainnya, serta masyarakat luas.
- Kepemimpinan Persatuan Islam[16]
Kepemimpinan Persis periode
pertama (1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus,
Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada masa
penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam
menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang
(1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota
Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala
Jepang.Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan.
Persis mulai melakukan
reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah dibekukan
selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan Persis
dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari
sebagai ketua umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin
Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll.
Pada masa ini Persis dihadapkan
pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia
sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh
Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan
ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode
kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh
K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal
dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran
keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah,
Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman
dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien
(1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen
organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis).
Pada masa ini terdapat
perbedaan yang cukup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan
isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy paa masa ini Persis
cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam
menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.
Pada masa ini Persis berjuang
menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan
kritis.Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah
dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang
dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan
pengkajian pemikiran keislaman.
Di bawah kepemimpinan KH.
Shiddiq Amienullah, anggota simpatisa Persis beserta otonomnya tercatat kurang
lebih dari tiga juta orang yang tersebar di 14 provinsi dengan 7 pimpinan
wilayah, 33 Pimpinan Daerah dan 258 Pimpinan Cabang.
Bersama lima organisasi otonom
Persis, yakni Persatuan Islam Istri (Persistri), Pemuda Persis, Pemudi Persis,
Himpunan Mahasiswa (HIMA) Persis, Himpunan Mahasiswi Persis, aktifitas Persis
telah meluas ke dalam aspek-aspek lain tidak hanya serangkaian pendidikan,
penerbitan dan tabligh.
Tetapi aktifitas Persis meluas
ke berbagai bidang garapan yang dibutuhkan oleh umat Islam melalui bidang
pendidikan (pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi), dakwah,
bimbingan haji, perzakatan, social ekonomi, perwakafan, dan perkembangan fisik
yakni pembangunan-pembangunan masjid dengan dana bantuan kaum muslimin dari
dalam dan luar negeri, menyelenggarakan berbagai seminar, pelatihan dan diskusi
pengkajian Islam.
Demikian pula fungsi Dewan
Hisbah sebagai lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan hokum Islam di
kalangan Persis serta Dewan Tafkir semakin ditingkatkan aktiftasnya dan semakin
intensif dalam penelaahan berbagai masalah hokum keagamaan, perhitungan hisab,
dan kajian social semakin banyak dan beragam.
5.
Nahdlatul Ulama’
A.
Pengertian Nahdlatul Ulama’
Secara
bahasa Nahdlotul ulama’ berasal dari bahasa arab yang di ambil dari dua
suku kata yaitu; Nahdloh dan ulama’. Nahdloh artinya kemampuan
atau kekuatan[17] sedangkan
kata ulama’ bersal dari jama’ ‘alim yang berarti orang yang
tahu. [18]
sedangkan menurut istilah adalah suatu perkumpulan yang dipelopori oleh
para ulama’ tradissionalis dalam rangka
mempertahankan dan memperjungkan ajaran Ahlussunnah waljama’ah.
B. Berdirinya NU di Indonesia
Latar
belakangg berdirinya NU di Indonesia adalah ketika datangnya kaum reformis
‘wahabi’ yang berasal dari mesir ke tanah jawa sekitar pada abad 20, dan juga
berdirinya beberapa organisasi keeagaman di indonesa yang sefaham dengan kaum
reformis yaitu muhammadiyah tahun 1912, Al-Irsyad tahun 1915 dan Persis tahun
1923. Ketika itu terjadi perdebatan sengit antara kaum reformis dengan kaum
tradisional tentang upacara upacara tertentu, seperti tahlilan, selametan
terutama dalam upacara ziaroh kubur yang mana di anggap bid’ah dan kafir
oleh para kaum reformis. Selain itu mereka tidak mengakui otoritas para ulama
dalam menafsirkan ayat ayat Alqur’an ‘taqlid’
dan ketaatan buta yang juga mereka lakukan terhadap hukum hukum fikih, mereka
kaum reformis lebih memilih kembali kepada Alqur’an dan Alhadits melalui penalaran ‘ijtihad’
Pada
awal abad 20, dalam kurun waktu 10 tahun, kyai Abddul Wahab Hasbullah
mengorganisir islam tradisionalis dengan dukungan dari kyai Hasyim Asy’ar dari jombang, dalam rangka pengukuhan ajaran
Ahlus sunnah Waljama’ah yang mendapatkn ejekan dari kaum reformis, dalam kurun
waktu 10 tahun beliau telah menderikan jam’iyah jam’iyah islam di Indonesia,
yaitu ‘Nahdlatul Wathon’ di Surabaya, Jam’iyyah Nashihin, Nahdlatul
Tujjar pada tahun 1918 dan Taswirul Afkar di daerah Ampal Surabaya
tahun 1919.
Perdabatan
antara kaum reformis dengan islam tradisionalis menjadio semakinseru pada tahun
tahun dua puluhan, dalam diskusi di sebuah forum islam, Kyai Haji Wahab
berhadapan dengan Achmad Surokati pendiri gerakan Al Irsyad, begitu juga dengan
Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri muhammadiyah. Akan tetapi kyai Abddul Wahab Hasbullah dan kyai Hasyim
Asy’ari tidak menutup diri terhadap sran pembaharuan dan menyutujui gagsan
pentingnya moderenisasi system pendidikan, walaupun tetap menolak untuk
meninggalkan madzhab, namun kesepakatan di antaranya kian sulit tercapai.
Kongres
AL-Islam tahun 1922 di cerebon menjadi panggung perdebatan yang sangat keras,
dimana tuduhan tuduhan ‘kafir’ dan ‘syirik’ terdengar. Ketika
pertikaian masih berlanjut kyai Abddul Wahab Hasbullah mengusulkan kepada kyai
Hasyim Asy’ari untuk membuat sebuah
gerakan yang mewakili para ulama tradisionalis kyai Hasyim Asy’ari enggan
menyetujuinya, namun dua tahun kemudian situasi timur tengah mengubah pandangan
kyai Hasyim Asy’ari, yaitu paska terjadinya peristiwa besar di dunia islam setelah
tahun 1924, yaitu penghapusan kholifah oleh turki dan serbuan kaum wahabi ke
makah, yang mana sampai sekarang menjadi faham resmi Negara Saudi Arabia.
Pada
kongres Al-Islam bulan januari 1926 di putuskan untuk mengirim dua delegasi
dari pihak pembaharu untuk mewakili ulama’ Indonesia ke makah, dalam keputusan
hasil jkongres Al-Islam di Bandung tersebut, menolak usulan Kyai Haji Wahab
Hasbullah yang menyarankan agar usul usul kaum tradisionalis mengenai praktek
keagaman dibawa oleh delegasi Indonesia,penolakan itu sangat masuk akal karena
sebagai kaum reforimis mereka menyambut baik pembersihan dalam kebiasan ibadah
agama di Arab.
Dengan
kenyataan seperti itu menyebabkan kaum tradisionalis terpojok dan terpaksa
memeperjuangkankepentinbgan mereka dengan cara merek sendiri, dengan membentuk
sebuah komite yang bernama ‘Komite Hijaz’, untuk mewakili mewakili
mereka dihadapan raja su’ud. Untuk memudahkan usah ini pada tanggal 31 januari
1926 diputuskanlah pembentukan orgnisasi yang mewakili islam tradisionalis
yaitu Nahdlatul Ulama’(kebangkitan para ulama’)[19]
Dengan
lahirnya organisasi NU, para ulama’ Ahlussunah Waljama’ah yang semula berdakwah
sendiri sendri tanpa kordinasi kemudian menjadi terkordinasi, sehingga menjadi
satu kekuatanyang ampuh untuk mempertahankan ajaran Ahlussunah Waljama’ah
Ajaran
Ahlussunah Waljama’ah sebagaimana kita ketahui adalah ajaran yang di anut
sebagian besar umat islam yang masalah aqidah mengikuti imam Asy’ari dan imam
Maturidi, dan masalah syariat islam mengikuti imam syafi’I, maliki, hanafi dan
hambali
NU
berkeyakinan bahwa mengikuti salah satu madzhab dalam masalh syari’at islam
adalah benar dan harus tetap dipertahankan serta tetap di tegakkan, syari’at
islam yang di ambil oleh para ulama’ adalah berdasarkan Alqur’an dan Haditis.
Para
ulama’ NU berpendirian bahwa amalan amalan seperti : tahlil, tawassul,
berziarah kubur, ada dalil dalilnya yang kalau tidak dari hadits nabi tentu
dari perbuatan shahabat nabi yang oleh nabi telah diperintahkan untuk di ikuti.
Dengan adanya perselisihan di antara ulama’ madzhab adalah bukan suatu hal yang
harus di permasalahkan dan di kawatirkanm, Karena hal itu akabn membawa hikmah
dan menunjukkan luasnya ajaran islam.
Dalam
masalah ijtihad, NU tetap membuka lebar lebar pintu ijtihad, dengan syarat
orang yang berijtihad itu mampu memenuhi syarat syarat menjadi seorang
mujtahid, seperti harus menguasai bahasaa araab, mengerti Alqur’an daan asbabul
nuzul, mengerti Rijalul hadits, dan lain lain. Hal ini untuk menjaga agar
jangaan sampai terjadi pengawuran dalam pengambilan hukum hukum islam.
NU
dengan ajaranya yang begitu ramah, dapat berkembang dengan sangat pesat
keseluruh pelosok tanah air, bahkan sampai ke singapura dan Malaysia[20]
C. Pendiri NU
Pendiri
NU adalah KH.Hasyim Asy’ari (1871-1947).
Beliau adalah salah seorang ulama besar di Indonesia, karena jasanya sebgai
pendiri NU, maka beliau dikenal sebagai Bapak NU. Beliau lahir di jombang,
tanggal 14-2-1871, ayahnya bernama KH. Asy’ari yang masih keturunan dari
Brawijaya ke IV. Sejak kecil beliau didik langsung oleh ayahnya dalam dalaam
bidang ilmu agama islam, memang sejak kecil beliau tampak memiliki kecerdasan
yang mengagumkan. Setelah umur 15 tahun beliau mmulai merantau menuntut ilmu,
mula mula beliau mondok di ponpes probolinggo, kemudian di plangitaan babat,
dan akhirnya di ponpes siwalan panji sidorajo.
Pada
tahun 1892 beliau merantau ke makah untuk menunaikan haji dan sekaligus
menuntut ilmu di sana selama kurang lebih 7 tahun lamaanya. Setelah beliau
kembali dari makah, beliau mendirikaan pondok pesantren ‘Tebu Ireng’ di jombang
jawa timur.
Beliau
disamping menjadi pengasuh pondok pesntren dan dalam kepungurusan NU sebagai
Rois akbar, tidak pula sedikit sedikit jasanya pada revolusi fisik melawan
belanda, kaarena itulah tidak sedikit para saantrinya teerjun di hizbullah dan
TNI sering datang kepada beliau untuk meminta bekal, baik berupa moral
sepiritual maupun material, bila akan maaju ke medan perteempuran. dan beliau
meningaal ketika jatuh sakit setelah mendengar berita dari utusan Jendral
Sudirman tentang pertempuran di
unjukkanditSingosari(malaang)atas kekalahan yang di alami oleh rakyat
Indonesia dan menyebabkann banyaknya jatuh korban di pihak rakyaat indonesia,
dan tepatnya pada pukul 03.45 beliau pulang ke Rahmatullah dalam usia 76 tahun
(25 juli 1947)[21]
D. Perjuangan NU dari Masa ke Masa
1)
Masa Kolonial Belanda
Pada
masa colonnial belanda, sekalipun NU merrupakn jamiyyah, tetapi daalam usahanya
suudah menjurus ke arah poliitik, di antaranya:
a) Memperjuangkan
dicabutnya guru ordonasi yang ditunjukan kepada guru guru madrasah dan guru
guru ngaji yang isinya; semua guru madrasah dan guru ngaji harus minta ijin
dari pihak kolonial belanda.
b) menolak
subsidi dari pemerintah belanda untuk madrasah madrasah NU.
c) Menggalang
Aksi setia kawan terhadap umat islam di palestina berhubungan dengan adanya
deklarasi BLOUR menghendaaki berdirinya Negara israil di palestina.
2) Masa penjajahan jepang
Pada
masa penjajahan jepang kurang lebih 3,5 tahun lamanya, ketika itu NU dibekukan
oleh pemerintah Dai Nippon. sehingga secara organisatoris praktis NU tidak
dapat menunjukan perrjuangaanya terhadap kemajuan umat islam umumnya, namun secara perorangan
warga NU tetap senantiasa berusaaha mengembangkan ajraan Ahlussunnah
Waljama’ah, dengan tetap menanampkan patriotism anti penjajah.
3) Masa kemerdekaan
Sebelum atau sesudah kemerdekaan
Negara republik indonesiaa terngiang, peran dan jasa NU sangat besar sekali
dalam memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Paska terlaksananya
kemerdekaan Indonesia banyak hal yang di lakukan NU untuk membangun negri ini
diantaranya adalah:
a) Perlawanan
terhadap pemberontakan PKI di madiun 19 september 1948.
b) Masuknya
NU dalam Masyumi dan Pada akhirnya NU keluar dari Masyumi dalam putusan kongres
ke XIX di Palembang tahun 1952.
c) Masuknya
NU dalam Partai Persatuan Pembangunan pada tahun 1973 dan juga akhirnya keluar
dari PPP setelah adanya muktamar NU yang ke-27 di Situbondo pada
tahun 1983.
d) Kembalinya
NU pada Khiththoh ’26 dalam muktamar NU yang ke-28 di Yogyakarta pada tahun
1989, yang menyatakan bahwasanya NU benar benar independen dan bersikap
seimbang terhadap kekuatan politik manapun.
BAB II
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari semua materi yang telah dipaparkan dihalaman-halaman
sebelumnya, maka dapat ditarik suatu kesimpulan yang nantinya dapat kita ambil
manfaatnya, baik dalam kehidupan Universitas maupun dalam cakupan yang lebih
luas lagi. Adapun kesimpulan-kesimpulan tersebut akan penulis sajikan dalam
bentuk paragraf agar para pembaca tidak terbiasa akan hal-hal yang serba
instan. Berikut kesimpulannya.
Cara
masuknya Islam ke Nusantara melalui berbagai cara dan jalan.. Cara Islamisasi
yang berkembang ada pada awal masuknya Islam ke Nusantara sedikitnya ada enam
yaitu dengan cara: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan
politik.[22]
Cara yang digunakan untuk menyebarkan Islam ini bersifat humanisme tanpa
dilandasi dengan teror dan kekerasan. Sehinggga Islam dapat begitu mudah
diterima oleh masyarakat luas tanpa diawalki dengan kekerasan dan pemaksaaan.
Di
Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya
makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah
atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya,
diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia.
Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari
Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M.
Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam
tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga
istana Majapahit.
Seminar
masuknya islam di Indonesia (di Aceh), sebagian dasar adalah catatan perjalanan
Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja
Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada
koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
Setelah
islam berkembang pesat di nusantara, maka munculah organisasi-organisasi islam
yang turut juga membantu perkembangan islam di nusantara, antara lain adalah
Muhammadiyah, Persis, dan Nahdlatul Ulama’. Ketiga organisasi itulah yang
sampai sekatang menjadi organisasi islam terbesar di Indonesia. Berikut
penjelasanya.
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia.
Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad
SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi
pengikut Nabi Muhammad SAW. Dengan tujuannya adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan
masyarakat yang lebih maju dan terdidik.
Persatuan
Islam (Persis), Organisasi
ini didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh sekelompok tokoh Islam
yang berminat dalam pendidikan serta gerakan pemurniaan dan pembaruan (tajdid)
Islam. Gerakan ini dilakukan oleh sejumlah
tokoh-tokoh Islam yang sebagian besar berusia muda.
Latar
belakangg berdirinya NU di Indonesia adalah ketika datangnya kaum reformis
‘wahabi’ yang berasal dari mesir ke tanah jawa sekitar pada abad 20, dan juga
berdirinya beberapa organisasi keeagaman di indonesa yang sefaham dengan kaum
reformis yaitu Muhammadiyah tahun 1912, Al-Irsyad tahun 1915 dan Persis tahun
1923. Ketika itu terjadi perdebatan sengit antara kaum reformis dengan kaum
tradisional tentang upacara upacara tertentu. Untuk memudahkan usah ini pada
tanggal 31 januari 1926 diputuskanlah pembentukan orgnisasi yang mewakili islam
tradisionalis yaitu Nahdlatul Ulama’(kebangkitan para ulama’).
2. Saran
Dalam
penyusunan makalah ini, kami merasa masih banyak kesalahan baik secara teknis
penulisan maupun dari segi materi yang kami paparkan. Namun, dari sanalah kita
juga tidak boleh memandang semua yang serba kurang itu buruk, tapi kemungkinan
dari kekurangan itu kita bisa menjadi yang lebih baik. Oleh karena itu, penulis
berharap agar makalah ini bisa digunakan sebagaimana mestinya. Terakhir, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca semua untuk kesempurnakan
makalah ini maupun sebagai pijakan untuk makalah yang akan datang.
Daftar Pustaka
Az Zaid , Zaid Ibnu Abdul Karim. 2003. At
Tarikh Al Hijri: Al Mamlakah Al ‘Arabiyah As Su’udiyah wa Zaratut Ta’lim Al
A’li Jamiatu Al Imam Ibnu Su’ud Al Islamyyah Al Idarah Al ‘Ammah li Astaqafah
wa An Nasyru.
Mustofa,
Ibrahim dkk. 1960. Mu’jamul Wasith. Istambul-turki: Almaktabah
Al-Islamiyah.
Ar Rifa’I, Ali ibnu Abdullah. 2003. Makanatu
‘Ilmi At Tarikh. Beirut, Lebanon: Ar Risalah.
. 2008. Proses Masuknya Islam di
Indonesia Nusantara. From: http://sejarawan.wordpress.com/2008/01/21/proses-masuknya-islam-di-indonesia-nusantara/
, 23 November 2011
Wurjantono, Edhie. 1996. Sejarah
Nasional dan Umum I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Al Kilani, Muayyid. 2011. Kaifa
Intisyar Al Islam. Beirut, Lebanon: Darul Kutub Al ‘Arabi.
Hasan, Muhammad. 2006. Al
Khukuq Al Islamiyyah. Ghosbatu ‘Aql: Maktabah Fayad.
.
2008. Sejarah Lahirnya Islam di Indonesia. From: http://ayuna.abatasa.com/post/detail/2196/sejarah-lahirnya-islam-di-indonesia
, 23 November 2011
.
2010. Perkembangan Islam di Indonesia. From:
http://www.membuatblog.web.id/2010/02/perkembangan-islam-di-indonesia.html
, 23 November 2011
.
2009. Sejarah - Sejarah Islam di Nusantara. From:
http://www.suaramedia.com/sejarah/sejarah-islam/28555-fatimah-binti-maimun-sang-mubaligh-pertama-di-tanah-jawa.html,
23 November 2011
Feillard,
Andree. 1999. NU via-a-vis NEGARA. Yogyakarta: LkiS.
Aziz,
Abdul. 1990. Ahlussunnah Wal-jamaah. Pekalongan: TB “Bahagia”S.
Riswanto,
Arif Munandar. 2010. Buku Pintar Islam: Akidah, Syari’ah, Ibadah, dll.. Bandung:
PT Mizan Pustaka.
.
2011. Organisasi Islam Muhammadiyah. From: http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammadiyahi,
23 November 2011.
.
2001. Muhammadiyah: Sejarah, Ciri Khas, dll.. From: http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-50-det-sejarah.html
[1] Zaid
Ibnu Abdul Karim Az Zaid. 2003. At Tarikh Al Hijri. Al Mamlakah Al ‘Arabiyah As
Su’udiyah wa Zaratut Ta’lim Al A’li Jamiatu Al Imam Ibnu Su’ud Al Islamyyah Al
Idarah Al ‘Ammah li Astaqafah wa An Nasyru. hlm. 16.
[5] Muayyid Al Kilani.
2011. Kaifa Intisyar Al Islam. hlm. 197.
[6] Muhammad Hasan. 2006.
Al Khukuq Al Islamiyyah. Ghosbatu ‘Aql/Maktabah Fayad. hlm. 568
[7] http://ayuna.abatasa.com/post/detail/2196/sejarah-lahirnya-islam-di-indonesia , 23 November 2011
[15] Ibid. hlm. 222
[16] Ibid. hlm. 222-223
[17] Ibrohim mustofa,ahmad
hasaan az-ziyyad,hamid abdul qodir,Muhammad ilmi najar. Mu’jamul wasith(istambul
turki: almaktabaah al-islamiyah) hal:959
[18] Ibid:624
[19] Andree Feeillard, Nu vis-à-vis Negara.hlm. 6-14.
[20] RS.Abdul Aziz,Ahlus
sunnah Waljama’ah.hlm. 81-82
[21] Ibid: 82-83