Opini kali ini berhubungan dengan rutinitas orang-orang metropolitan,
salah satu topik pembahasan yang cukup menguras fikiran karena mungkin akan
terlihat aneh bahkan menimbulkan seribu pertanyaan bagi kalangan orang
pedesaan, namun tetap saja ini penting untuk diungkapkan, setidaknya bisa
menjadi pembelajaran dalam menatap sudut pandang kehidupan.
Sebuah potret shalat jum’at orang-orang metropolitan, bukan di Masjid
ataupun lapangan, apalagi jalanan melainkan parkiran justru
menjadi pilihan. Mungkin ini wujud profesional tuntutan pekerjaan. Meski celana
dan dasi atribut busana tanpa peci penuh gengsi begitu tampak mendomnasi, sepatu
berkilau seperti Pantofel bahkan Hp tercanggih pun telihat melengkapi.
Sang imam berkhutbah tentang fenomena kerusakan alam yang
disebabkan oleh anak cucu adam lengkap dengan dalil hadist dan al-Qur’an
terlihat begitu meyakinkan, tentu intisari mengajak perbaikan sarana ligkungan
agar tidak terjadi kebanjiran entah mungkin karena hujan atau pun sampah warga
pemukiman. Dilengkapi peci meski tetap saja terlihat mengimbangi audiensi,
dengan busana muslim warna putih dan celana hitam memberi nilai plus
tersendiri.
Tentunya sekilas hal itu sudah menjadi sebuah kewajaran, bak sebuah
masyarakat tertentu yang melakukan shalat Id di lapangan, atau juga muslim
minoritas yang melakukan shalat di samping atau bakan di dalam greja warga
protestan, dan sungguh, itulah salah satu wujud keindahan dan keharmonisan.
Namun hati menjadi terusik manakala melihat Mushala Mall yang
begitu menawan, kenapa tidak sedikit memperluas Mushala saja lalu kemudian bisa
difungsikan untuk jumatan, sebuah Mushala yang tidak
kalah lebar dari tempat makan Mall yang fungsinya tentu lebih penting dibanding
apapun, namun saya sadar ini hanya usulan konyol dengan argument spiritual
tanpa melihat pendidikan manajemen waktu, tempat dan keuangan. Namun begitu,
solusi baru tetap harus kita fikirkan. Wallahu A'lam.
Surabaya, 6 Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar