Posted by : Cak_Son Rabu, 28 September 2016


MAKALAH
“Unsur Integral dalam Proses Seni Menerjemah”
Guna Memenuhi Mata Kuliah Nadhariyat Al-Tarjamah
Dosen Pengampu: Nur Qomari, M.Pd


Oleh:
Badiatul Laihah                                  (11310012)
M. Subhi Mahmasoni                         (11310017)
Fitri Aprilina                                        (11310023)
Habib Syaikur Rahman                               (11310033)
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS HUMANIORA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2013



KATA PENGANTAR
           
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Proses Integral dalam Menerjemah”.
            Makalah ini berisikan tentang tahap-tahap proses integral dalam menerjemah. Makalah ini di harapkan dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang proses unsur integral dengan tahapannya yang telah ada. Dalam makalah ini pembaca akan menemukan jawaban atas beberapa pertanyaan seperti:
Apa itu proses integral dalam menerjemah ? bagaimana proses integral dalam menerjemah ?
            Kami ucapkan Jazakumullah Ahsanal Jaza' kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Terutama kepada Dosen pengampu mata kuliah Nadhariyat Al-Tarjamah Ustadz Nur Qomari, M.Pd yang selalu membimbing kami, serta teman-teman yang turut menyumbangkan referensi. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
            Kami menyadari makalah ini kurang sempurna jika tanpa bantuan pembaca. Oleh karena itu, selalu kami nantikan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga bermanfaat. Amin.







Malang, 20 April 2013





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................................    1
DAFTAR ISI.......................................................................................................................     2
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................    3
1.1 A. Latar Belakang............................................................................................................    3
      B. Tujuan .........................................................................................................................    4
      C. Rumusan Masalah.......................................................................................................    4

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................    5
2.1 Kajian Pustaka.................................................................................................................    5
A. Pengertian Unsur Integral dalam Seni Menerjemah .................... …………………..   5
B Unsur-Unsur Pengertiaan dari Proses Intergal dalam Seni Menerjemah Menurut
.... Dr. Ronald H. Bathgate............................................................................................    5
C. Unsur-Unsur Pengertiaan dari Proses Intergal dalam Seni Menerjemah Menurut
.... Ibnu Burdah................................................................................................................    5
....
BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 17
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 18










BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Seiring meluasnya perkembangan islam keberbagai penjuru, ilmu agamapun semakin berkembang dan bagaimanapun harus ada yang memahamkan dalam ilmu agama salah satunya dengan penerjemahan buku-buku islam keberbagai bahasa semisal bahasa Inggris, bahasa sepanyol, bahasa Persia, dll.  Dengan terjemahan tersebut maka tidak terlepas dari proses penerjemahan bahasa itu sendiri yang mana bagian dari kajian ilmu sekaligus terapan ini yaitu Nadhariyat Al-Tarjamah. Tetapi dalam hal ini, kami bukan ingin membahasa sejarah penerjemahan tetapi lebih ke bagaimana proses penerjemahan yang komplek atau lebih spesifiknya lagi membahas bagaimana proses integral dalam menerjemah.
Berbicara Ilmu Nadhariyat Al-Tarjamah, tidak akan terlepas dari proses penerjemahan itu sendiri. Proses terjemahan tersebut ada kaitannya dengan proses integral dalam menerjemah, yaitu suatu keseluruhan tahap penyempurnaan dalam proses menerjemah.
Prosesnyapun terhitung banyak, yaitu ada tujuh tahap dengan beberapa model. Ketujuh tahap tersebut yang akan dibahas lebih rinci sedangkan model-modelnya hanya dibahas dalam kaitan-kaitanya saja yang dirasa perlu untuk dimasukan.
Dengan memahami proses integral dalam menerjemah diharapkan dapat memahami suatu cara menerjemah yang lebih kompleks dari akar mulai tahapan awal yang harus ditempuh hingga proses integral ini. Karena dengan memahami proses integral dalam menerjemah diharapkan dapat memahami suatu cara menerjemah yang lebih kompleks dari akar mulai tahapan awal yang harus ditempuh kita bisa membuat terjemahan akan menjadi tampak lebih bagus dan enak dibaca, juga singkronisasi diantara kedudukan proses menerjemah bahasa yang ada dengan sumber pengambilan dasarnya yaitu teks ataupun konteks kalimat itu sendiri. Semoga dapat memberikan tambahan wawasan bagi penulis khususnya dan juga bagi para pembaca pada umumnya. Amin.        

1.2   Rumusan Masalah
1)      Apa saja pengertiaan dari proses intergal dalam seni menerjemah?
2)      Apa saja unsur-unsur pengertiaan dari proses intergal dalam seni menerjemah menurut Dr. Ronald H. Bathgate?
3)      Apa saja unsur-unsur pengertiaan dari proses intergal dalam seni menerjemah menurut Ibnu Burdah?

1.3  Tujuan
            Adapun tujuan penulisan makalah ini dapat di bagi menjadi dua tujuan besar yaitu Main Purpose (tujuan Umum) dan Special Purpose (tujuan khusus). Tujuan umum penulisan makalah ini adalah mahasiswa dapat memahami secara umum Proses Integral dalam Menerjemah, sehingga dapat berfikir secara logis serta dapat mengambil kesimpulan dengan obyektif akan aliran-aliran tersebut. Sedangkan tujuan khusus dari penulisan malakah ini adalah sebagai berikut:
1)      Pengertiaan dari proses intergal dalam seni menerjemah 
2)      Unsur-unsur pengertiaan dari proses intergal dalam seni menerjemah menurut Dr. Ronald H. Bathgate?
3)      Unsur-unsur pengertiaan dari proses intergal dalam seni menerjemah menurut Ibnu Burdah?

















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Unsur Integral dalam Proses Perenjemahan
Menerjemahkan bukanlah menuliskan pikiran-pikirannya sendiri, betapapun baiknya. Dan bukan pula menyadur saja, dengan pengertian menyadur sebagai pengungkapan kembali amanat dari suatu karya dengan meninggalkan detail-detailnya tanpa harus mempertahankan gaya bahasanya dan tidak harus ke dalam bahasa lain. (pengertian menyadur tersebut diberikan oleh Harimurti Kridalaksana.) selain memahami apa itu menerjemahkan dan apa yang harus dihasilkan dalam terjemahannya, seorang penerjemah hendaknya mengetahui bahwa kegiatan menerjemahkan itu kompleks, merupakan suatu proses, terdiri dari serangkaian kegiatan unsur sebagai unsur integralnya.
Dalam menerjemah memiliki berbagai macam unsur yang yang bisa ditempuh agar mendapatkan hasil yang baik. Pada kesempatan kali ini yang akan dijelaskan adalah unsur integral dalam proses menerjemah. Ketika pertama kali mendengar kata integral, maka kita akan langsung mebanyangkan matematika. Karena kata integral identik dengan salah satu bab yang dipelajari dalam bidang matematika. Akan tetapi, integral yang akan di bahas ini memiliki arti yang berbeda. Integral di sini berkaitan dengan menerjemah.
Kata integral di sini jika di lihat dati arti perkatanya yaitu “integral” yang berarti sempurna dan dalam KBBI integral adalah sesuatu mengenai keseluruhan, meliputi seluruh bagian yang perlu menjadikan lengkap, utuh, sempurna dan semuanya dikerjakan tidak dengan secara sebagian-sebagian. Sedangkan “menerjemah” sendiri jika diartikan bermakna proses pemindahan bahasa suatu naskah dari bahasa asli ke dalam bahasa yang lain. Jadi unsur integral dalam proses menerjemah berarti unsur-unsur yang harus ditempuh dalam menerjemahkan suatu naskah agar menjadi terjemahan yang sempurna.
Model ini muncul dari pertumbuhan akan strategi penerjemahan yang menyeluruh untuk menjamin terjaganya konsistensi dan keindahan dalam produk fase perakitan ini. Model integral ini diperlukan bila hendak menerjemahkan teks seperti misalnya sajak atau puisi. ‘peta’ teks bahasa sumber perlu dibuat terlebih dahulu: apa jenis sajaknya? Bagaimana rima (persamaan bunyi)-nya? Bagaiman iramanya? dan sebagainya. Kemudian ‘peta’ yang sama perlu ditentukan untuk terjemahannya: bila aslinya soneta, apakah terjemahannya juga soneta? Apakah rima aslinya dapat dipertahankkan atau bahkan diperindah dalam terjemahannya? Demikian juga mengenai irama atau metrumnya? Apakah tatanan bait perlu diubah? dan sebagainya.

2.2 Unsur Integral dalam Proses Penerjemahan Menurut Dr. Ronald H. Bathgate
Menerjemahkan bukanlah menuliskan pikiran-pikirannya sendiri, betapapun baiknya. Dan bukan pula menyadur saja, dengan pengertian menyadur sebagai pengungkapan kembali amanat dari suatu karya dengan meninggalkan detail-detailnya tanpa harus mempertahankan gaya bahasanya dan tidak harus ke dalam bahasa lain. (Pengertian menyadur tersebut diberikan oleh Harimutri Kridalaksana). Selain memahami apa itu menerjemahkan dan apa yang harus dihasilkan dalam terjemahannya, seorang penerjemah hendaknya mengetahui bahwa kegiatan menerjemahkan itu kompleks, merupakan suatu proses, terdiri dari serangkaian kegiatan unsur sebagai unsur integralnya.
Dalam resensi Willie Koen, disebutkan bahwa menurut Nida dan Traber proses menerjemahkan dapat diringkas sebagai berikut: analysis, transfer dan restructuring. Analysis digunakan untuk mengetahui pesan yang ingin diterjemahkan, dan memuat analisis gramatika, analisis semantic (baik arti refrensial maupun konotatif). Transfer mempersoalkan “bagaimana hasil analisis tersebut diatas ditransfer dari bahasa sumber kedalam bahasa terjemahan dengan sedikit pemincangan arti dan konotasi tetapi dengan kesamaan reaksi seperti pada orang aslinya. Maka disini perlu diperingatkan adanya sikap hati-hati jangan-jangan soal-soal pribadi dimasukan. Kemudian restructuring membicarakan macam-macam bahasa atau gaya bahasa, teknik yang dapat dipakai untuk membuat gaya yang diinginkan.
Untuk mendapatkan suatu terjemahan yang sempurna dan bisa diterima oleh para pembaca, kita membutukah beberapa tahap yang harus ditempuh untuk mendapatkan suatu terjemahan yang dinginkan. Dan unsur-unsur tersebut menurut Dr. Ronald H. Bathgate, dalam karangannya yang berjudul “A Survey of Translation Theory”, mengemukakan tujuh unsur, langkah, atau bagian integral dari proses penerjemahan yang dikemukakan seperti  gambar dibawah ini;
Naskah Bahasa Sumber

1.      Tuning (Penjajagan)
 

2.      Analysis (Penguraian)


 
3.      Understanding (Pemahaman)


 
4.      Terminologi (Peristilahan)
 

5.      Restructuring (Perakitan)


 
6.      Checking (Pengecekan)


 
7.      Discuccion (Pembicaraan)

Naskah Bahasa Sasaran

        ketujuh langkah ini diuraikan dengan penjelasan di bawah ini:
1.        Penjajagan (tuning). Seperti halnya pencarian gelombang yang tepat ketika kita menyetel radio atau ketika pencarian nada yang tepat dengan mengetok garpu tala waktu kita akan menyanyi. Ketika kita akan menerjemah, hal pertama yang harus kita lakukan adalah tuning yaitu menjajagi bahan yang akan kita terjemahkan. Sebab bahasa terjemahan harus selaras dengan bahasa yang diterjemahkan dalam hal makna dan gayanya. Oleh karena itu, hal kita harus mengetahui bahan yang hendak ditejemahkan itu bahasa siapa. Bahasa seorang pujangga, seorang novelis, seorang ahli hukum, seorang penulis penelitian ilmiah dan lain sebagainya. Selain itu kita harus menentukan Ragam bahasa terjemahan yang tepat sejak permulaan. Sebuah sajak harus menjadi sebuah sajak, bukan sebuah prosa. Sejak semula seorang penerjemah harus dapat menentukan sikap atau pendekatan mental yang tepat kemudian dapat membayangkan pilihan kata atau susunan frase dan kalimat yang selaras. Isi bahan yang akan diterjemahkan mungkin belum seluruhnya dipahami pada awalnya, tetapi nada harus sudah selaras sejak permulaan di pikiran dan hati penerjemah. Bila perlu, penerjemah berkonsultasi terlebih dahulu dengan pengarang, atau seseorang yang ahli dalam membaca suatu karya tulis sebagai latar belakang. Bandingkan dengan pentingnya keselarasan gelombang pada radio bila ingin mendengarkan suatu siaran atau keselarasan nada bila kita ingin menyanyi atau memainkan instrument. Bila gelombang sudah selaras, volume suara tinggal dikeraskan. Bila nada sudah selaras, sebuah lagu tinggal dipergelarkan. Tetapi bagi seorang penerjemah, bila sudah dapat menggambarkan nada yang selaras, ia masih perlu persiapan lanjut, yaitu penguraian (analisis).
Fase dalam proses penerjemahan tuning (penjajahan) ini memiliki beberapa model atau pola penerjemahan, yaitu hermeneutic, situasional, dan stilistik.
Pertama model hermeneutic, Model ini digunakan dalam fase tuning (penjajahan) menurut table proses penerjemahan Bathgate. Hermeneutic adalah teori atau ilmu penafsiran lambing/nas, misalnya lambing atau naskah yang terdapat dalam kitab suci.
Menurut model hermeneutic, pesan dalam bahasa sumber yang akan diterjemahkan atau diterangkan- dalam bahasa sasaran harus digarap dengan kesiapan sediaan untuk melaksanakan empat cara berikut:
Ø  Percaya bahwa amanatnya layak untuk disampaikan,
Ø  Mendalani atau meresapi maknanya,
Ø  Menyajikan dalam bahasa penerima yang berkepentingan,
Ø  Menyelaraskan pernyataan amanat dalam bahasa penerima itu dengan daya tangkap penerima atau dengan situasi penyampaian amanat.
Kedua model situasional, situasi sangat menentukan untuk memahami makna suatu ujaran. Ujaran hebat benar khotbahnya!’’ dapat merupakan pujian atau makian, tergantung dari situasinya. Dalam masyarakat bahasa sumber, misalnya kera barangkali dipuji-puji sedangkan di dalam masyarakat bahasa sasaran tidak. Bila makna atau pesan pemujaan kepada binatang hendak kita sampaikan kepada masyarakat penerima terjemahan (masyarakat bahasa sasaran), maka kera harus kita ganti dengan binatang lain yang dipuji dimasyarakat sasaran, misalnya sapikah, burungkah atau yang lainya.
Ada berbagai motif yang melatarbelakangi ujaran dalam situasi tertentu:
Ø  Orang mungkin ingin menunjukan adanya sesuatu, tidak lebih.
Ø  Atau sekeder melukiskan sesuatu itu.
Ø  Atau melukiskan secara perasaan hidup agar mengesan pada pembaca.
Ø  Atau mengungkapkan perasaan sendiri mengenai hal itu.
Ø  Atau ingin mempengaruhi atau mendorong pembaca untuk berbuat.
Ø  Atau menata bagaimana menghadapi sesuatu untuk menguasainya.
Ø  Atau dibalik semua motif itu dan barangkali secara tidak langsung berkaitan dengan motif itu, orang bertujuan mencapai sesuatu maksud.
Ø  Atau melampiaskan perasaan tentang sesuatu sehingga orang merasa tidak harus berbuat apa-apa mengenai hal itu.
Kemudian yang terakhir adalah model stilistik, selain menjajahi situasi dan motif ujaran untuk dapat menangkap dengan tepat makna ujaran itu, kita pada tahap pertama ini perlu juga menjajahi stilnya, gaya ungkapan (gaya bahasa). Dalam menerjemah kita barangkali ingin lebih dekat dengan bentuk naskah bahasa aslinya (bahasa sumber), atau barangkali ingin menyelaraskan bentuk itu seluruhnya dengan tuntutan-tuntutan bahasa sasaran. Atau barangkali bukan bentuk yang hendak lebih diperhatikan, melainkan isi. Dengan demikian berbagai kemungkinan hasil penerjemahan akan dapat kita coba, gayanya akan lain-lain.
2.        Penguraian (analysis). Setelah penerjemah selesai menlakukan proses tuning, ia perlu melakukan analisis. Apa yang harus dianalisis? Apa yang harus diurai? Tiap-tiap kalimat dalam bahasa sumber harus diurai ke dalam satuan-satuan berupa kata-kata atau frase-frase. Kemudian penerjemah harus dapat menentukan hubungan sintaksis antara pelbagai unsur kalimat itu. Pada tahap itu, penerjemah harus sudah dapat melihat hubungan antara unsur-unsur dalam bagian teks yang lebih besar agar penerjemah mulai dapat berpikir untuk menciptakan konsistensi dalam terjemahannya. Analisis ini masih perlu berlanjut dalam tahap pemahaman dan peristilahan. Bila istilah-istilah yang dipakai konsisten, yaitu tidak berganti-ganti istilahnya, dan tidak berganti-ganti arti istilah yang dipakai, maka terjemahan lebih mudah dipahami.
Seperti halnya proses tuning (penjajahan), proses analisis (penguraian) juga memiliki tiga model atau pola penerjemahan, yaitu kata demi kata, sintaktik, dan transformasional.
Dalam fase penguraian, ada tiga model: kata demi kata, sintaktik dan tranformasional. Menganalisis bahan-bahan bahasa sumber yang akan diterjemahkan perlu agar kemudian dapat dirakit bahan-bahan menjadi produk dalam bahasa penerima. Produk bahasa dapat diumpamakan bingkisan. Produk bahasa yang akan diterjemahkan adalah sebuah bingkisan. Bingkisan harus dikupas dan diulas kata demi kata frase demi frase, klausa demi klausa, kalumat demi kalimat dan alenia demi alenia.
Kemudian model sintaktik, seperti anak kecil dapat mengatakan sebuah kalimat, misalnya sekolahku tidak jauh dari rumah kalimat sempurna- tetapi tidak dapat menerangkan mana subjek kalimatnya dan mana predikat kalimatnya. Kita dapat menerjemahkan sebuah kalimat sederhana secara langsung dengan tidak merefleksikan hubungan antara bagian-bagiannya; kalau tidak penerjemahan akan macet atau hasilnya tidak baik. Jangankan kalimat yang rumit, frase yang panjang pun tidak jarang sukar dapat diterjemahkan tanpa refleksi atas bagian-bagiannya. Penerjemahan harus dapat mengidentifikasi jenis-jenis kaliamat, satuan-satuan kalimat, baik satuan yang lebih besar ataupun satuan yang lebih kecil, hubungan gagasan antara satuan-satuan itu atau jabatan satuan-satuan itu.
Alur Model sintaktik:                                                                                     
Kalimat Bahasa sumber­­ ---à kerangka pengenalan (tata bahasa-bahasa sumber) ---s1-à kerangka trasformasi structural (sediaan struktur-struktur sumber) ---s2-à Kerangka rekontruksi (tata bahasa-bahasa sasaran) ---à kalimat bahasa sasaran.
Kemudian model transformasional, kerap kali untuk mengembangkan kemampuan berbahasa tulis bergaya, siswa atau mahasiswa diminta agar merangkum sejumlah kalimat pendek menjadi satu kalimat panjang, entah berupa kalimat luasan, atau majemuk. Penerjemahan pun tidak jarang harus menyusun kalimat panjang seperti itu dalam bahasa sasaran.
Kemudian model Transformasi, kerap kali untuk mengembangkan berbahasa tulis bergaya, mahasiswa diminta agar merangkum sejumlah kalimat pendek menjadi satu kalimat panjang, entah berupa kalimat perluasan atau majemuk. Penerjemahanpun tidak jarang menyusun kalimat panjang seperti itu dalam bahasa sasaran (bahasa penerima). Kalimat dalam bahasa sumber sendiri juga tidak jarang panjang-panjang karena bahasa Barat misalnya bahasa Inggris yang lebih bersifat sintetis.
Karena menghadapi kenyataan itu, model transformasional dapat memberikan andilnya disini. Kalimat yang rumit dalam bahasa sumber dipecah-pecah menjadi kernel sentences kalimat-kalimat tunggal kalau perlu hanya ada satu subjek, satu predikat dan satu objek.
Kemudian kernel sentences hasil analisis atas teks bahasa sumber tersebut kemudian ditransfer kedalam bahasa penerima. Dari kalimat-kalimat inti ini melalui restructuring dihasilkan produk terjemahan jadi dalam bahasa penerima.
Dibawah ini adalah proses model transformasional:
Teks b. sumber -----> analisis -----> kalimat-kalimat inti -----> transfer -----> kalimat-kalimat inti -----> perakitan -----> teks b. sasaran
3.        Pemahaman (understanding). Sesudah penerjemah melihat satuan-satuan dalam setiap kalimat dan unsure-unsure teks yang lebih besar, sekarang penerjemah berusaha memahami isi bahan yang akan diterjemahkan. Ia harus menangkap gagasan utama tiap paragraf (aline) dan ide-ide pendukung dan pengembangnya, ia harus menangkap hubungan gagasan satu sama lain dalam tiap paragraph dan antarparagraf. Seorang penerjemah yang ideal adalah seseorang yang sebidang ilmu dengan pengarang yang akan diterjemahkan, sekurang-kurangnya harus mempunyai pengetahuan umum yang memadai. Sebenarnya, selain menerjemah, penerjemah perlu menguasai bidang ilmu pengetahuan yang akan diterjemahkan, ia juga harus benar-benar memahami bahasa sumbernya. Ilmu pengetahuan yang akan diterjemahkan itu harus diterjemahkan dan ditulis oleh pengarang. Janganlah penerjemah menjadi pengarang sendiri meskipun ia sebidang ilmu dengan pengarang aslinya. Penerjemah mungkin mengatakan sesuatu yang benar tetapi tidak terdapat dalam buku aslinya. Maka ia tidak menerjemahkan. Bila perlu, penerjemah harus mengkonsultasikan sebuah kalimat atau ungkapan yang tidak diketahui maksudnya.
Adapun model dalam proses tahap ini adalah interlingua, semantic, dan teori-informasi. Ketiganya ditempatkan oleh Bathgate dalam fase pemahaman. Setelah teks dalam berbahasa sumber yang akan kita terjemahkan kita uraikan, kita harus memahami betul-betul makna tiap kata dan hubungan gagasan-gagasan antara satuan-satuan dalam frase/klausa, antara satuan-satuan kalimat dan seterusnya.
Model ini meminta suatu bahasa lain diluar bahasa sumber dan bahasa sasaran untuk menjadi pendukung suatu arti/makna yang ditangkap oleh pikiran penerjemah. Barangkali penerjemah belum menemukan kata atau istilah yang tepat dalam bahasa sasaran; ia lalu memakai kata dari bahasa lain untuk mengungkapkan arti tersebut.  
4.        Peristilahan (terminology). Setelah memahami isi dan bentuk dalam bahasa sumber, penerjemah kemudian berpikir tentang pengungkapannya dalam bahasa sasaran (bahasa terjemahan). Kemudain ia akan mencari istilah-istilah, ungkapan-ungkapan dalam bahasa sasaran (misalnya bahasa Indonesia) yang tepat cermat, dan selaras. Kata, ungkapan atau istilah yang dipakai dalam bahasa sasaran jangan sampai menyesatkan, menertawakan, atau menusuk hati pemakai bahasa sasaran. Sekali lagi, konsultasi dengan orang lain yang ahli dapat sangat berguna untuk membantu penerjemah bila ia menghadapi masalah-masalah kebahasaan seperti itu.
Adapun model dalam proses tahap keempat ini adalah nomenklatif (terjemahan lurus), konsultasi (cipta istilah baru)
5.        Perakitan (restructuring). Dalam bahasa inggris berarti restructuring. Dalam bidang industry mobil, misalnya, merakit berarti menyusun suku-suku cadang menjadi produk yang dikehendaki mobil. Setelah masalah bahasa sasaran diatasi dan semua batu bata yang diperlukan untuk menyusun bangunan dalam bahasa sasaran tersedia dan terkumpul, maka penerjemah tinggal menyusun batu bata tersebut  menjadi bangunan yang selaras dengan norma-norma dalam bahasa sasaran. Bentuk bangunan itu, selain harus selaras dengan pemakai bahasa sasaran, juga harus menerjemahkan secara tepat makna dan gaya bahasa sumber. Bila bangunan dalam bahasa sumber bercorak gaya naturalis, bangunan dalam bahasa sasaran juga harus naturalis.
Adapun model dalam proses tahap ini adalah modulasi, generative, dan integral.
Model Generatif, model ini banyak pola kalimat bahasa Inggris yang lain dengan pola kalimat bahasa Indonesia. Verba kalimat Inggris  tidak selalu dapat menjadi verba kalimat Indonesia. Kalimat “Derborah leads a verry easy life” tidak dapat di terjemahkan secara lurus, tetapi secara generatif: Deborah hidup (secara) bersantai-santai. Atau : Hidup Deborah bersantai-santai.
Model generatif mengungkapkan kenyataan bahwa proses penerjemahan melibatkan banyak keputusan, dan keputusan yang satu mempengaruhi keputusan-keputusan berikutnya yang di ambil. Misalnya penerjemahan kalimat bahasa Inggris di atas: keputusan menggunakan hidup sebagai predikat kalimat harus di ikuti dengan keputusan bahwa very easy harus di terjemahkan sebagai adverbial, bukan sebagai atributif. Maka terakitlah terjemahan: Deborah hidup (secara) bersantai-santai. Adapun keputusan bahwa hidup menjadi subjek kalimat harus di ikuti dengan keputusan Deborah sebagai posesif (bukan lagi nominatif) dan bersantai-santai menjadi predikat kalimat. Maka terakitlah terjemahan: Hidup deborah bersantai-santai. Kalimat ini termasuk kalimat nominal, sedang kalimat yang pertama kalimat verbal.

Contoh lagi:
Those French cigarettes make a terrible smell.
Kalimat Inggris itu tidak dapat di terjemahkan secara lurus, tanpa menghasilkan terjemahan yang kaku dan tidak idiomatis. Bila kita mengambil keputusan bahwa terjemahan harus mulai dengan bau sebagai subyek kalimat, maka menyusulah keputusan-keputusan yang lain, dan semua keputusan itu menghasilkan terjemahan:
Bau rokok Prancis itu amat tidak enak.
Bila kita mengambil keputusan untuk memulai terjemahan dengan rokok Prancis sebagai subyek kalimat, keputusan itu bersama keputusan-keputusan yang menyusul akan menghasilkan rakitan:
Rokok Prancis itu sangat tidak enak baunya. Atau
Rokok Prancis itu mengeluarkan bau yang sangat tidak enak.
Itulah proses generatif dalam penerjemahan. Seperti bermain-main dengan kalimat. Memang, seorang penerjemah harus pandai-pandai bermain-main dengan kalimat.
Adapun Model integral, ini muncul dari pertumbuhan akan strategi penerjemahan yang menyeluruh untuk menjamin terjaganya konsistensi dan keindahan dalam produk fase perakitan ini. Model integral ini terutama diperlukan bila hendak menerjemahkan teks yang canggih, seperti misalnya sajak atau puisi. ‘peta’ teks bahasa sumber perlu dibuat terlebih dahulu: apa jenis sajaknya? Bagaimana rima (persamaan bunyi)-nya? Bagaiman iramanya? Dsb. Kemudian ‘peta’ yang sama perlu ditentukan untuk terjemahannya: bila aslinya soneta, apakah terjemahannya juga soneta? Apakah rima aslinya dapat dipertahankkan atau bahkan diperindah dalam teremahannya? Demikian juga mengenai irama/metrumnya? Apakah tatanan bait perlu diubah? Dst.
6.        Pengecekan (checking). Sebagaimana sebuah karangan yang baik kerap kali merupakan hasil revisi berkali-kali, demikian juga sebuah terjemahan bisa menjadi berhasil. Yang pasti, janganlah menganggap pekerjaan penerjemahan selesai bila baru menghasilkan draft pertama. Draft pertama harus diperiksa kesalahan-kesalahannya dalam penulisan kata dan pemakaian tanda baca, harus diperbaiki susunan-susunan kalimatnya untuk menghasilkan kalimat yang lebih efektif. Seringkali, penerjemah meminta bantuan orang lain untuk mengecek dan menyarankan perubahan-perubahan. Bila ada perubahan-perubahan, tentu saja harus disetujui oleh penerjemah. Jangan sampai kekurangan-kekurangan yang terjadi akibat perubahan dari orang lain tanpa pengetahuan penerjemah ditanggungkan padanya kelak bila terjemahan tersebut telah diterbitkan.
Adapun model dalam proses tahap ini adalah normative, tiga tahap (terjemahan kata, terjemahan makna, dan terjemahan situasi)
Situasi sangat menentukan untuk memahami makna suatu ujaran. Ujaran “Hebat benar khotbahnya!” dapat berupa pujian atau makian, tergantung dari situasinya. Dalam masyarakat sumber, misalnya, kera barangkali dipuja puja, sedang dalam masyarakat bahasa sasaran, tidak. Bila makna atau pesan “pemujaan kepada binatang” hendak kita sampaikan pada masyarakat penerima terjemahan (masyarakat bahasa sasaran), maka kera harus kita ganti dengan binatang lain yang dipuja di masyarakat itu; sapikah, burung perkututkah?
Pentingnya situasi dalam penerjemahan juga ditekankan oleh Catford. Defisi Catford tentang penerjemahan dapat kita baca di atas. Dalam bukunya ia juga mengatakan bahwa “teks-teks atau hal ihwal bahasa sumber dan bahasa sasaran merupakan ekuivalen penerjemahan bilamana saling dapat ditukarkan dalam suatu situasi” (SL and TL texts or items are translation equivalents when they are interchangeable in a given situation).
7.        Pembicaraan (discussing). Yaitu membentuk tim penelaah hasil terjemahan. Cara yang baik untuk mengakhiri proses penerjemahan ialah dengan mendiskusikan hasil terjemahannya. Baik menyangkut isinya maupun menyangkut bahasanya. Memang tidak perlu sebuah panitia untuk memperbaiki hasil terjemahan. Terlalu banyak orang yang berbicara, hanya akan merusakkan. Penerjemah bisa berkonsulsi dengan pengarang buku secara langsung atau jika tidak memungkinkan bisa mengkonsultasikannya dengan seseorang yang ahli dalam bidangnya. Agar mengetahui jika masih terdapat kesalahan istilah atau pemahaman sehingga penerjemah bisa memperbaikinya sebelum hasil terjemahan tersebut dipublikasikan. Adapun model dalam proses tahap ini adalah interaktif.
Dr. Ronald H. Bathgate menyodorkan ketujuh langkah dalam proses penerjemahan itu sebagai salah satu model lain dalam proses penerjemahan di samping model-model atau pola-pola yang sudah pernah dikemukakan oleh ahli-ahli lain. Model penerjemahan Bathgate disebut Model Operasional. Model-model lain yang dikemukakan dalam referensi-referensi lain ialah sebagaimana yang sudah ditemukan oleh Bathgate yaitu model hermeneutic, model situasional, model stilistik, model kata-demi-kata, model sintaksis, model transformasional, model interlingua, model semantik, model teori-informasi, model modulasi, model generatif, model integral, model normatif, model tiga-tahap. Bathgate bertujuan menyintesiskan atau mendamaikan (reconcile) model-model itu ke dalam model operasionalnya karena ia melihat bahwa tiap model itu bertujuan pertama-tama untuk memerikan salah satu dari tahap atau langkah penerjemahan. Hanya untuk langkah peristilahan dan pembicaraan (Diskusi) dalam model operasionalnya/dalam tabel langkah-langkah dan model-model proses penerjemahan, ia tidak menemukan bahwa suatu model telah pernah dikemukakan, maka ia menciptakan sebuah model untuk langkah peristilahan, yaitu model nomenklatif, dan untuk langkah pembicaraan model interaktif. (A. Widyamartaya, 2006:14-19).
Dari penjelasan diatas, maka dapat digambarkan pemetakanya seperti table dibawah ini:

TABEL LANGKAH-LANGKAH DAN MODEL-MODEL DALAM PROSES PENERJEMAHAN





 
FASE DALAM PROSES     PENERJEMAHAN                              JENIS MODEL/POLA PENERJEMAHAN






 
PENJAJAGAN                                                                      -hermeneutik
                                                                                                -situasional
                                                                                                -stilistik


 
PENGURAIAN                                                                    -kata-demi-kata
                                                                                                -sintaktik
                                                                                                -transformasional


 
PEMAHAMAN                                                                    -interlingua
                                                                                                -semantik
                                                                                                -teori informasi


 
PERISTILAHAN                                                                 -nomenklatif: terjemahan lurus,
-Konsultasi, cipta istilah baru.


 
PERAKITAN                                                                        -module
                                                                                                -generatif
                                                                                                -integral


 
PENGECEKAN                                                                    -normatif
-tigatahap: terjemahan kata,     terjemahan makna, terjemahan situasi
 

PEMMBICARAAN/DISKUSI                                          -interaktif








 


2.3 Unsur Integral dalam Proses Perenjemahan Menurut Ibnu Burdah
Selain tujuh yang telah di kemukakan oleh Dr. Ronald H. Bathgate diatas, Ibnu Burdah pun mengemukakan tentang tiga tahap dalam proses menerjemahan. Dan jika diamati tiga unsur yang dikemukakan beliau memiliki persamaan dengan tujuh unsur yang telah dikemukakan oleh Dr. Ronald H. Bathgate. Tiga unsur tersebut adalah:
1.       Penyelaman pesan naskah sumber yang hendak diterjemah
Yang dimaksud penyelaman pesan naskah di sini bisa disamakan dengan proses tuning dan understanding dalam unsur-unsur yang telah dikemukakan Dr. Ronald H. Bathgate. Karena unsur ini sebenarnya memiliki tujuan yang sama yaitu bagaimana caranya agar penerjemah betul-betul memahami semua hal yang ada dalam sebuah naskah. Dengan tujuan mempermudah penerjemah untuk langkah selanjutnya karena tidak mungkin penerjemah bisa mulai menulis suatu terjemahan tanpa memahami betul naskah yang akan diterjemahkan terlebih dahulu.
2.       Penuagan naskah sumber ke dalam bahasa sasaran
Setelah memahami secara detail tentang naskah yang akan diterjemahan, langkah selanjutnya yang harus ditempuh adalah penuangan naskah ke dalam bahasa sasaran. Apa yang telah penerjemah pahami tentang suatu naskah harus dituangkan kembali menggunakan bahasa sasaran. Termasuk didalamnya peristilahan dan perakitan yang telah dikemukakan oleh Dr. Ronald H. Bathgate dalam teorinya.
3.        Editing
       Proses editing ini adalah tahapan terakhir yang harus dilakukan penerjemah. Karena                penerjemah bukanlan orang yang tidak luput dari kesalahan, maka ada baiknya apa yang telah penerjemeh tulis di periksa kembali agar bisa mengubah kesalahan-kesalahan kata atau peristilaha yang kurang tepat. Selain itu penerjemah bisa langsung berkonsultasi dengan penulis asli, jadi ketika terjadi pemahan yang kurang tepat antara naskah asli dan naskah terjemahan bisa dperbaiki terlebih dahulu sebelum hasil terjemahan tersebut dipublikasikan. Dan jika disamankan dengan teori yang dikemukakan oleh Dr. Ronald H. Bathgate, editing sama halnya dengan pembicaraan dan pengecekan.




BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1.      Jika di lihat dati arti perkatanya yaitu “integral” yang berarti sempurna dan “menerjemah” sendiri jika diartikan bermakna proses pemindahan bahasa suatu naskah dari bahasa asli ke dalam bahasa yang lain. Jadi unsur integral dalam proses menerjemah berarti unsur-unsur yang harus ditempuh dalam menerjemahkan suatu naskah agar menjadi terjemahan yang sempurna.
2.      Menurut Dr. Ronald H. Bathgate dalam karangannya yang berjudul “ A Survey of Translation Theory” mengemukakan tujuh unsur, langkah, atau bagian integral dari proses penerjemahan sebagi berikut:
Ø  Tuning, yaitu memahami laras bahasa (register) teks.
Ø  Analysis yaitu memahami konstruksi teks.
Ø  Understanding yaitu memahami isi teks.
Ø  Terminology yaitu memahami arti unsur-unsur leksikal (kata, kolokasi,
idiom, dan lain-lain).
Ø  Restructuring yaitu menuangkan pesan penulis teks bahasa sumber ke dalam
bahasa sasaran yang baku.
Ø  Checking yaitu memeriksakan draf terjemahan kepada orang lain yang
mengusai bidangnya
Ø  Discussion yaitu membentuk tim penelaah hasil terjemahan.
Dr. Ronald H. Bathgate menyodorkan tujuh langkah tersebut dalm proses penerjemahan itu sebagai salah satu model lain dalam proses penerjemahan di samping model-model atau pola-pola yang sudah dikemukakan oleh ahli-ahli lain. Model penerjemahan Bathgate disebutnya model operasional. Model-model lain sebagaimana dikemukakan oleh Bathgate ialah model hermeneutik, model siotuasi oral, model stilistik, model kata demi kata, model sintaktik, dan lain sebagainya.
3.      Ibnu Burdah mengemukakan tentang tiga tahap dalam proses menerjemahan, yaitu penyelaman pesan naskah sumber yang hendak diterjemah, penuagan naskah sumber ke dalam bahasa sasaran, editing.
DAFTAR PUSTAKA

Aloys Widyamartaya. 2006. Seni Menerjemahkan. Cet. XV. Yogyakarta: Kanisius.

Aloys Widyamartaya dan Vero Sudiati. 2005. Panggilan Menjadi Penerjemah. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Douglas Robinson. 2005. Menjadi Penerjemah Profesional, terj. SPA Team Work. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hartono. 2003. Belajar Menerjemah: Teori dan Praktek, Malang: UMM Press

M. Faisol Fatawa. 2009. Seni Menerjemah. Malang: UIN Malang Press

Rochayah Machali. 2009. Pedoman bagi Penerjemah. Bandung: Kaifa PT Mizan Pustaka

Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Hariyanto. 2011. Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan. Cet. VI. Yogyakarta: Kanisius

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Total Tayangan Halaman

Popular Post

- Copyright © MBB -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -