Posted by : Cak_Son Minggu, 11 Januari 2015

Kajian Pragmatik


1.  Pragmatik
Untuk memahami apa itu pragmatik, mungkin kita bisa mengkaji pendapat para pakar pragmatik yang mana pendapat mereka berbeda antara satu dan lainnya. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.[1]
2.  Beberapa Topik Pembahasan dalam Pragmatik   
2.1  Teori Tindak Tutur
Yang pertama kali mengungkapkan gagasan bahwa bahasa dapat digunakan untuk mengungkapkan tindakan melalui pembedaan antara ujaran konstantif dan ujaran performatif adalah Austin. Ujuran kontanstif menggambarkan atau memerikan peristiwa, prose, keadaan. Dengan demikian, ujaran kontanstif dapat dikatakan benar atau salah. Namun ujaran performatif memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga.[2]
Austin melanjutkan bahwa tutur performatif dapat dibedakan atas (1) tutur performatif yang eksplisit dan tutur performatif yang implisit. Tutur performatif  “Saya menyuruh anda pergi” adalah tutur performatif eksplisit, sedangkan tutur performatif “ pergi” adalah tutur performatif implisit.[3]
Perbedaan antara ujaran performatif dan konstatif yang dikemukakan Austin kemudian diganti oleh pengklasifikasian rangkap tiga terhadap tindak-tindak – yakni dalam bertutur, seseorang melakukan tindak lokusi, tindak ilokusi, dan mungkin bahkan tindak perlokusi. Menurut Austin, tindak lokusi ‘kira-kira sama dengan pengujaran kalimat tertentu dengan pengertian dan acuan tertentu, yang sekali lagi kira-kira sama dengan “makna” dalam pengertian traditional’. Selama penutur yang berkata ‘kucing galak itu ada di kebun’ sedang berusaha memproduksi kalimat yang maknanya didasarkan pada acuan pada kucing dan kebun tertentu dalam dunia luar, maka penutur ini sedang memproduksi tindak lokusi. Namun demikian, dalam memproduksi tindak lokusi kita juga melakukan berbagai tindak ilokusi seperti memberitahu, memerintah, mengingatkan, melaksanakan dan sebagainya. Yakni ujara-ujaran yang miliki daya (konvevsional) tertentu. Bagi Austin, tujuan penutur dalam bertutur bukan hanya untuk memproduksi kalimat-kalimat yang memiliki pengertian dan acuan tertentu. Bahkan, tujuannya adalah untuk menghasilkan kalimat-kalimat semacam ini dengan pandangan untuk memberikan konstribusi jenis gerakan interaksional tertentu pada komunikasi. Misalnya, dalam berujar 'kucing galak itu ada di kebun’, penutur bisa sedang melakukan tindak ilokusi dalam bentuk memperingatkan seseorang agar tidak masuk ke dalam kebun. Dalam hal ini, peringatan merupakan daya ilokusi ujaran itu. Akhirnya, kita mungkin juga melakukan beberapa tindak perlokusi: apa yang kita hasilkan atau capai dengan mengatakan sesuatu, seperti manyakinkan, membujuk, menghalangi. Jika dengan mengujarkan ‘Kucing galak itu ada di kebun’, penutur berhasil menghalangi pendengarnya untuk masuk ke dalam kebun, maka, melalui ujaran ini penutur telah melakukan suatu tintack perlokusi.
Searle menggunakan kaidah-kaidah konstitutif untuk menetapkan klasifikasi tindak ilokusi berikut-asertif, direktif, komisif, ekspresif dan deklarasi. Asertif atau representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang di yakini penutur kasus atau bukan. Direktif ialah jenis tindak tutur yang di pakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi: perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran. Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini dapat berupa; janji, ancaman, penolakan, ikrar. Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang di rasakan oleh penutur. Tindak tutur ini mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Deklarasi ialah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Tindak-tindak ini lebih luas daripada kata kerja ilokusi yang bisa mewakilinya. Misalnya, tindak ilokusi komisif berjanji dapat berbentuk ‘saya berjanji’.[4]
2.2  Teori Implikatur
Dalam suatu tindak percakapan, setiap bentuk tuturan (utterance) pada dasamya mengimplikasikan sesuatu. Implikasi tersebut adalah maksud atau proposisi yang biasanya tersembunyi dibalik tutur yang diucapkan dan bukan merupakan bagian langsung dari tutur tersebut. Pada gejala demikian apa yang dituturkan berbeda dengan apa yang diimplikasikan. Meskipun implikasi tidak dinyatakan secara nyata atau formal, tetapi keberadaannya justru berfungsi sebagai pengikat komunikasi antar penutur.
Setiap bentuk tuturan biasanya diasumsikan memiliki atau dilandasi suatu maksud tertentu. Maksud dari suatu ucapan seperti itulah yang disebut oleh Grice sebagai implicatum (apa yang diimplikasikan), yang kemudian diformulasikan dengan istilah meaning nonnatural (meaning nn). Sementara gejalanya disebut sebagai implicature. Secara nominal istilah ini mempunyai relasi dengan kata implication (implikasi) yang artinya maksud, pengertian, atau keterlibatan.
Berdasarkan konsep yang terjabar tersebut, implikatur (percakapan) dapat diidentifikasi dengan ciri-ciri: (1) implikasi tidak dinyatakan secara eksplisit, (2) Tidak memiliki hubungan mutlak dengan tuturan yang merealisasikannya (apa yang diucapkan berbeda dengan apa yang dimaksudkan), (3) Termasuk unsur luar wacana, (4) Implikatur dapat dibatalkan, (5) Bersifat terbuka penafsiran atau banyak makna (multi interpretable), dan (6) Terjadi karena mematuhi atau tidak mematuhi prinsip kerja dalam percakapan.
Grice, seperti diungkap oleh Thomas, menyebut dua macam implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan, dapat dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu.[5]
Grice (sebagaimana dikutip oleh Levinson, 1983 : 101) berpendapat bahwa pelaksanaan percakapan itu dipandu oleh seperangkat asumsi. Asumsi itu didasarkan atas pertimbangan rasional dan dapat di rumuskan sebagai panduan untuk menggunakan bahasa secara efektif dan efisien dalam percakapan. Panduan itu disebut Grice sebagai maksim percakapan (maxims of conversation) atau prinsip-prinsip umum yang mendasari penggunaan bahasa yang dilandasi kerja sama secara efisien. Kesatuan seluruh maksim percakapan yang berjumlah empat itu disebut prinsip kerja sama (co-operative principle). Keempat maksim tersebut sebagai tersebut:[6]
Maksim Kualitas
Buatlah sumbangan anda sumbangan yang benar, khususnya:
1)   Jangan mengatakan apa yang anda anggap salah.
2)   Jangan mengatakan sesuatu yang tidak didukung dengan bukti yang cukup
Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan ini.
(1)   “Silahkan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya!”
(2)   “Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti!”
Tuturan (1) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan (2) dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan seseorang. Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilahkan para mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung.
Maksim Kuantitas
1)   Buatlah sumbangan anda seinformatif mungkin seperti yang diperlukan dalam percakapan itu.
2)   Jangan memberikan sumbangan lebih informatif daripada yang diperlukan.
Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharap dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungki. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip Kerja Sama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Untuk memperjelas pembahasan di atas, berikut beberapa contoh:
(1)   “Biarlah kedua belah pihak berdiskusi!”
(2)     “Biarlah kedua belah pihak yang sedang sama-sama menjalin kontrak kerjasama berdiskusi untuk mencapai kesepakatan yang terbaik untuk keduanya!”
Tuturan (1) dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambahi dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi seperti contoh (2) justru akan menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang digariskan maksim ini, tuturan seperti pada (2) di atas tidak mendukung atau bahkan melanggar maksim kuantitas.
Maksim Relevansi
1)      Buatlah perkataan yang relevan
Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama Grice. Sebagai ilustrasi atas penjelasan di atas perlu dicermati tuturan berikut:
Sang Hyang Tunggal         : “Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini dalam hati!”
Semar                                : “Hamba bersedia, Ya Dewa.”
Cuplikan pertuturan di atas dapat dikatakan mematuhi dan menepati maksim relevansi. Apabila dicermati secara mendalam, tuturan yang disampaikan tokoh Semar, yakni “Hamba bersedia, Ya Dewa”, benar-benar merupakan tanggapan atas perintah Sang Hyang Tunggal yang dituturkan sebelumnya, yakni “Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini dalam hati!”. Dari penjelasan di atas, kita dapat simpulkan bahwa tuturan itu patuh dengan maksim relevansi dalam Prinsip Kerja Sama Grice.
Dan berikut contoh tuturan antara seorang dierktur dengan sekretarisnya yang melanggar maksim relevansi dalam Prinsip Kerja Sama Grice.
Direktur                             : “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu!”
Sekretaris                           : “Maaf Bu Direktur, kasihan sekali nenek tua itu.”
Dituturkan pada saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja Direktur. Pada saat itu, ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama.
Di dalam cuplikan percakapan di atas, tampak dengan jelas bahwa tuturan sang Sekretaris, yakni, “Maaf Bu Direktur, kasihan sekali nenek tua itu” tidak memiliki relevansi dengan apa yang diperintahkan ibu Direktur, yakni “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu!”. Dengan demikian tuturan di atas dapat dipakai sebagai salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip kerja sama tidak selalu harus dipenuhi dan dipatuhi dalam pertuturan sesungguhnya.
Maksim Cara
Bicaralah dengan jelas, dan khususnya:
1)   Hindari kekaburan
2)   Hindari ketaksaan
3)   Berbicaralah singkat
4)   Berbicaralah secara teratur
Maksim cara ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice karena tidak mematuhi maksim cara. Berkenaan dengan itu, berikut beberapa contoh tuturan.
Kakak           : “Ayo, cepat dibuka!”
Adik              : “Sebentar dulu, masih dingin.”
Cuplikan tuturan di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah. Karena berkadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya menjadi sangat tinggi. Tuturan si Kakak yang berbunyi “Ayo, cepat dibuka!” sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si mitra tutur. Kata dibuka dalam tuturan di atas mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan yang tinggi. Oleh karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur. Demikian pula tuturan yang disampaikan si Adik, yakni “Sebentar dulu, masih dingin” mengandung kadar ketaksaan cukup tinggi . kata dingin pada tuturan itu dapat mendatangkan banyak kemungkinan presepsi penafsiran karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa sebenarnya yang dingin  itu, es krim, pintu rumah atau apa. Tuturan demikian dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim cara dakam Prinsip Kerja Sama Grice.
Implikatur-implikatur yang dihasilkan dengan cara sekedar mematuhi maksim-maksim terhadap maksim-maksim tersebut dalam ujaran yang dipakai oleh Loise Cummings sebagai berikut:
(Dia membersihkan debu pada rak-rak itu dan membersihkan dinding-dindingnya dengan air.)
(Para siswa telah lulus semua ujian mereka.)
Kepatuhan terhadap maksim cara dalam contoh yang pertama di atas menghasilkan implikatur bahwa dia membersihkan debu pada rak-rak itu dan kemudian mulai membersihkan dinding-dindingnya dengan air – penutur ‘sedang bersikap teratur’ dalam menyajikan peristiwa-peristiwa dalam suatu rangkaian terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Dalam contoh kedua, dengan mematuhi maksim kualitas, penutur menghasilkan implikatur standar bahwa dia yakin para siswa telah lulus semua ujian – penutur sedang mengatakan apa yang dia yakini benar.
Terlepas dari lagak mengadakan atau mengeksplotasi maksim-maksim dan kepatuhan sederhana terhadap maksim, sebuah maksim bisa dilanggar dengan sengaja atau berbenturan dengan maksim selanjutnya. Para penutur yang tidak sengaja melanggar sebuah maksim tidak melakukannya dengan maksud untuk mengomunikasikan tataran makna tambahan. Meskipun mungkin mereka berniat melanggar sebuah maksim, namun mereka tidak berusaha untuk membuat niatnya diketahui oleh pendengar dan, dalam melakukan hal ini, mereka berusaha mencapai suatu efek komunikasi tertentu. Memang, dalam hal berbohong – pelanggaran tak sengaja terhadap maksim kualitas – penutur harus berusaha keras tidak mengungkapkan maksud mereka untuk melanggar maksim kepada pendengarnya. Kadang-kadang masalahnya adalah bahwa agar penutur dapat mematuhi satu maksim, dia harus melanggar maksim kedua. Dalam hal ini mari kita perhatian pertukaran percakapan berikut:
A.   Apakah tukang pos belum datang?
B.   Aku dengar salam burung kakaktua beberapa menit yang lalu.
Jawaban B bisa dianggap melanggar maksim kuantitas – karena tidak memberikan informasi yang di perlukan oleh A. Namun demikian, agar B bisa memberikan informasi kepada A akan mengharuskan B untuk mengemukakan sesuatu yang bukti-buktinya yang memadai tidak dia miliki. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap maksim kualitas. Dalam perbenturan semacam ini, maksim kualitas menang atas maksim kuantitas. B memilih menghasilkan ujaran yang memiliki kandungan informasi yang minimal, tapi merupakan isi informasi yang memberikan landasan pertama jawaban yang masuk akal terhadap pertanyaan A tentang suatu ujaran yang lengkap namun pada hakekatnya tidak dijamin keakuratannya
Berbagai macam implikatur yang dikemukakan Grice dapat dibedakan atas dasar sifat-sifat berikut: daya batal (cancelability), daya kemustahilan (defeasibility), daya pisah (detachability), daya hitung (calculability), dan konvensionalitas.

2.3  Teori Relevansi
Dalam pendekatan teori relevansi pada komunikasi, seluruh kerangka maksim Grice sepenuhnya digantikan oleh prinsip relevansi. Prinsip ini, menurut Sperber dan Wilson, mencapai penyederhanaan yang diperlukan terhadap kerangka Grice, meskipun sekaligus tidak kehilangan kekuatan kerangka tersebut dalam memberikan penjelasan.
Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut Sperber dan Wilson, maksim yang terpenting dalam teori Grice adalah maksim relevansi, dan percakapan dapat terus berjalan meski hanya melalui maksim ini. Dalam teori relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami oleh penerimanya. Sperber dan Wilson menyebutkan bahwa bahasa dalam penggunaannya (language in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang disebutnya indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks komunikasi tertentu. Contoh:
"Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini."
Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke dapur atau kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan addressee dalam konteks komunikasi.[7]
Ciri-ciri relevansi Sperber dan Wilson yang patut dicacat adalah daya terapannya tidak hanya pada komunikasi, tetapi juga pada bidang kognisi pada umumnya. Tujuan universal dalam kognisi adalah untuk memperoleh informasi yang relevan, dan semakin relevan informasinya maka akan semakin baik jadinya. Prinsip relevansi Sperber dan Wilson pertama-tama merupakan prinsip kognitif dan prinsip komunikasi hanya diperoleh melalui ketergantungan komunikasi pada kognisi. Ciri kedua relevansi Sperber dan Wilson yakni perwujudan karekteristik ekonomisnya adalah konsekuensi langsung asal usul kognitif prinsip ini. Ciri ketiga prinsip relevansi Sperber dan Wilson adalah kapasitanya baik dalam membentuk ujaran-ujaran yang disumbangkan oleh penutur terhadap komunikasi maupun dalam mempengaruhi bagaimana pendengar ujaran-ujaran tersebut mulai memprosesnya.[8]
2.4  Kesantunan (Politeness)
Sudah lazim apabila kita memperlakukan kesopanan atau kesantunan sebagai konsep yang tegas, seperti gagasan ‘tingkah laku social yang sopan’, atau etiket, terhadap dalam budaya. Juga dimungkinkan menentukan sejumlah prinsip-prinsip umum yang berbeda untuk menjadi sopan dalam interaksi social dalam suatu budaya khusus. Sebagian dari prinsip-prinsip umum itu termasuk sifat bijaksana, pemurah, rendah hati, dan simpatik terhadap orang lain. Partisipan dalam suatu interaksi umumnya sadar bahwa norma-norma dan prinsip-prinsip yang demikian ada dalam masyarakat luas.
Sebagai istilah teknis, wajah merupakan wujud pribadi seseorang dalam masyarakat.wajah mengacu kepada makna social emosional itu sendiri yang setiap orang memiliki dan mengharapkan orang lain untuk mengetahui. Menurut Goffman, yang dikutip oleh Jaszczolt, "face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image). Menurut Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema, setiap partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan yang kedua disebut negative face.[9]
Kesopanan dalam suatu interaksi interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Dalam pengertian ini, kesopanan dapat disempurnakan dalam situasi kejauhan dan kedekatan sosial. Dengan menunjukkan kesadaran untuk wajah orang lain ketika orang itu tampak jauh secara sosial sering didekripsikan dalam kaitannya dengan keakraban, persahabatan, atau kesetikawanan. Tipe pertama mungkin ditemukan dalam pertanyaan siswa kepada gurunya, dan tipe kedua ditemukan dalam pertanyaan siswa kepada individu yang sama, seperti contoh berikut:
a.       Maaf Pak Budi, dapatkah saya bicara dengan bapak sebentar?
b.      Hey, Andi, ada waktu sebentar?
Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech. Pakar ini membahas teori kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal. Dalam hal ini, Leech menyebutkan enam maksim kesantunan, yaitu:
1)      Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
(a)    Kurangi kerugian orang lain.
(b)   Tambahi keuntungan orang lain.

Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap si mitra tutur. Demikian pula perasaan sakit hati sebagai akibat dari perlakuan yang tidak menguntungkan pihak lain akan dapat diminimalkan apabila maksim kebijaksanaan ini dipegang teguh dan dilaksanakan dalam kegiatan bertutur.
Menurut maksim ini, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik. Sebagai pemerjelas atas pelaksanaan maksim kebijaksanaan ini dalam komunikasi yang sesungguhnya dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Tuan rumah    : “Silahkan makan dulu, nak.
                           Tadi kami semua sudah mendahuluinya.”
Tamu               : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu
Dituturkan oleh seorang Ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus menunggu hujan lebat dan tidak kunjung reda.

Di dalam tuturan di atas tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan Rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang Tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu dapat di temukan dalam keluarga-keluarga pada masyarakat tutur desa. 

2)      Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim),
(a)    Kurangi keuntungan diri sendiri.
(b)   Tambahi pengorbanan diri sendiri.

Dengan maksim kedermawaan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Tuturan pada contoh berikut dapat menjelaskan pernyataan di atas.
Ubay        : “Mari saya belikan nasi! Saya mau ke warung samping.
Dillah    : “Tidak usah, Bay. Nanti saja saya makan, saya masih kenyang.
Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak yang mempunyai hubungan erat dalam persahabatan.

Dari tuturan yang disampaikan Ubay di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal ini dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk membelikan nasi Dillah. 

3)      Maksim Penghargaan
(a)    Kurangi cacian pada orang lain.
(b)   Tambah pujian pada orang lain.  

Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian, karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang. Untuk memperjelas hal itu, tuturan pada contoh berikut dapat dipertimbangkan.
Dosen A        : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Bahasa Arab.”
Dosen B        : “Oya, tadi aku memdengar Bahasa Arabmu jelas sekali dari sini.”
Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruangan kerja dosen.

Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian dan penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu dosen B berperilaku santun terhadap dosen A. Hal itu berbeda dengan contoh percakapan pada tuturan berikut.
Santi             : “Maaf, aku pinjam pekerjaan rumahnya.
                        Aku tidak bisa mengerjakan tugas itu sendiri.”
Nani              : “Tolol… Ini, cepet kembalikan!”
Dituturkan oleh mahasiswa kepada temannya ketika mereka baru saja sampai di kampus.
  
4)      Maksim Kesederhanaan
(a)    Kurangi pujian pada diri sendiri.
(b)   Tambah cacian pada diri sendiri.

Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur di harapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Contoh tuturan berikut dapat mempertimbangkan pernyataan di atas.

Sekretaris A  : “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu ya, ya!”
Sekretaris B  : “Ya, Mbak. Tapi, saya jelek lho.”
Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior pada saat berada di kantor kerjanya.

5)      Maksim Permufakatan,
(a)    Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
(b)   Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.

Di dalam maksim pemufakatan ini, ditekankan bahwa para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kecocokan atau kemufakatan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Di dalam kegiatan bertutur orang tidak boleh memenggal atau bahkan membantah secara langsung apa yang dituturkan oleh pihak lain. Hal demikian tampak jelas, terutama apabila umur, jabatan, dan status sosial penutur berbeda dengan si mitra tutur.
Guru A       : “Ruangannya gelap ya, Bu!”
Guru B       : “He…em! Saklarnya mana, ya?”

6)      Maksim Simpati (Sympathy Maxim)
(a)    Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
(b)   Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.

Di dalam maksim simpati, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipasti terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipasti terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat. Kesimpatian terhadap pihak lain sering ditunjukkan dengan senyuman, anggukan dan sebagainya. Contoh tuturan berikut bisa dijadikan pertimbangan untuk memperjelas pernyataan ini.
Ani             : ”Tut, nenekku meninggal.”
Tuti             : “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Ikut berduka cita ya.” 



Daftar Pustaka

Louise Cummings, 2007, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
J.D Parera, 2004, Teori Semantik Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga
Yudi Cahyono Bambang, 1995, Kristal-Kristal Ilmu Bahasa, Surabaya: Airlangga University Press
J.W.M. Verhaar, 2001, Asas-Asas Linguistik Umum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Prees
George Yule, 2006, Pragmatik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kunjana Rahardi, 2002, Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, Jakarta: Erlangga
Geoffrey Leech, 1993, Prinsip-Prinsip Pragmatik, Jakarta: UI-Prees
Louise Cummings, 2010, Pragmatik Klinis Kajian Tentang Penggunaan dan Gangguan Bahasa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Harimurti Kridalaksana, 2008, Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Abdul Chaer, 2007, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta
http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik


[1] http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik
[2] Louise Cummings, 2007, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner, Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal: 8
[3] J.D Parera, 2004, Teori Semantik Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga hal: 266
[4] George Yule, 2006, Pragmatik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal:92-94
[5] http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik.html
[6] Yudi Cahyono Bambang, 1995, Kristal-Kristal Ilmu Bahasa, Surabaya: Airlangga University Press hal: 221
[7] http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik.html
[8] Louise Cummings, 2007, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner, Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal 24-26
[9] http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik.html

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Total Tayangan Halaman

Popular Post

- Copyright © MBB -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -