Posted by : Cak_Son
Minggu, 11 Januari 2015
Kajian Pragmatik
1. Pragmatik
Untuk memahami apa itu pragmatik, mungkin
kita bisa mengkaji pendapat para pakar pragmatik yang mana pendapat mereka
berbeda antara satu dan lainnya. Yule
(1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang
yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut
konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan,
mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan
(4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi
partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi
menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial,
menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan
kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik
dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya
Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis
yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks
ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari
sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji
makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai
bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik.
Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian
dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari
pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai
dua bidang yang saling melengkapi.[1]
2.
Beberapa Topik Pembahasan dalam Pragmatik
2.1 Teori Tindak
Tutur
Yang pertama kali mengungkapkan gagasan
bahwa bahasa dapat digunakan untuk mengungkapkan tindakan melalui pembedaan
antara ujaran konstantif dan ujaran performatif adalah Austin. Ujuran
kontanstif menggambarkan atau memerikan peristiwa, prose, keadaan. Dengan
demikian, ujaran kontanstif dapat dikatakan benar atau salah. Namun ujaran
performatif memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara
dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat
itu juga.[2]
Austin melanjutkan bahwa tutur performatif
dapat dibedakan atas (1) tutur performatif yang eksplisit dan tutur performatif
yang implisit. Tutur performatif “Saya
menyuruh anda pergi” adalah tutur performatif eksplisit, sedangkan tutur
performatif “ pergi” adalah tutur performatif implisit.[3]
Perbedaan antara ujaran performatif dan
konstatif yang dikemukakan Austin kemudian diganti oleh pengklasifikasian
rangkap tiga terhadap tindak-tindak – yakni dalam bertutur, seseorang melakukan tindak
lokusi, tindak ilokusi, dan mungkin bahkan tindak perlokusi. Menurut Austin,
tindak lokusi ‘kira-kira sama dengan pengujaran kalimat tertentu dengan
pengertian dan acuan tertentu, yang sekali lagi kira-kira sama dengan “makna”
dalam pengertian traditional’. Selama penutur yang berkata ‘kucing galak itu
ada di kebun’ sedang berusaha memproduksi kalimat yang maknanya didasarkan pada
acuan pada kucing dan kebun tertentu dalam dunia luar, maka penutur ini sedang
memproduksi tindak lokusi. Namun demikian, dalam memproduksi tindak lokusi
kita juga melakukan berbagai tindak ilokusi seperti memberitahu, memerintah,
mengingatkan, melaksanakan dan sebagainya. Yakni ujara-ujaran yang miliki daya
(konvevsional) tertentu. Bagi Austin, tujuan penutur dalam bertutur bukan hanya
untuk memproduksi kalimat-kalimat yang memiliki pengertian dan acuan tertentu.
Bahkan, tujuannya adalah untuk menghasilkan kalimat-kalimat semacam ini dengan
pandangan untuk memberikan konstribusi jenis gerakan interaksional tertentu
pada komunikasi. Misalnya, dalam berujar 'kucing galak itu ada di kebun’,
penutur bisa sedang melakukan tindak ilokusi dalam bentuk memperingatkan
seseorang agar tidak masuk ke dalam kebun. Dalam hal ini, peringatan merupakan
daya ilokusi ujaran itu. Akhirnya, kita mungkin juga melakukan beberapa tindak
perlokusi: apa yang kita hasilkan atau capai dengan mengatakan sesuatu, seperti
manyakinkan, membujuk, menghalangi. Jika dengan mengujarkan ‘Kucing galak itu
ada di kebun’, penutur berhasil menghalangi pendengarnya untuk masuk ke dalam
kebun, maka, melalui ujaran ini penutur telah melakukan suatu tintack
perlokusi.
Searle menggunakan kaidah-kaidah
konstitutif untuk menetapkan klasifikasi tindak ilokusi berikut-asertif,
direktif, komisif, ekspresif dan deklarasi. Asertif
atau representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang di yakini penutur
kasus atau bukan. Direktif
ialah jenis tindak tutur yang di pakai oleh
penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini
menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi:
perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran. Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk
mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak
tutur ini dapat berupa; janji, ancaman, penolakan, ikrar. Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan
sesuatu yang di rasakan oleh penutur. Tindak tutur ini mencerminkan
pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan,
kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Deklarasi ialah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Tindak-tindak
ini lebih luas daripada kata kerja ilokusi yang bisa mewakilinya. Misalnya,
tindak ilokusi komisif berjanji dapat berbentuk ‘saya berjanji’.[4]
2.2 Teori
Implikatur
Dalam suatu tindak percakapan, setiap bentuk tuturan (utterance)
pada dasamya mengimplikasikan sesuatu. Implikasi tersebut
adalah
maksud atau proposisi yang biasanya tersembunyi dibalik tutur yang diucapkan
dan bukan merupakan bagian langsung dari
tutur tersebut. Pada gejala demikian apa yang
dituturkan berbeda dengan apa yang diimplikasikan. Meskipun
implikasi tidak dinyatakan secara nyata
atau formal, tetapi keberadaannya justru
berfungsi sebagai pengikat komunikasi antar penutur.
Setiap bentuk tuturan biasanya diasumsikan memiliki
atau dilandasi suatu maksud
tertentu. Maksud dari
suatu ucapan seperti itulah yang
disebut oleh Grice
sebagai implicatum (apa yang
diimplikasikan), yang kemudian
diformulasikan dengan istilah meaning nonnatural (meaning nn). Sementara gejalanya
disebut sebagai implicature. Secara nominal istilah
ini mempunyai
relasi dengan kata implication (implikasi)
yang artinya maksud, pengertian,
atau keterlibatan.
Berdasarkan konsep yang terjabar tersebut, implikatur (percakapan) dapat
diidentifikasi dengan ciri-ciri: (1) implikasi tidak dinyatakan
secara eksplisit, (2) Tidak memiliki hubungan mutlak dengan tuturan yang merealisasikannya
(apa yang diucapkan berbeda dengan apa yang dimaksudkan),
(3) Termasuk unsur luar wacana, (4) Implikatur dapat dibatalkan,
(5) Bersifat terbuka penafsiran atau banyak makna (multi interpretable),
dan (6) Terjadi karena mematuhi atau
tidak mematuhi prinsip kerja dalam percakapan.
Grice, seperti diungkap oleh Thomas, menyebut dua macam implikatur,
yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur
konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran
yang mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan, dapat dicontohkan
dengan penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan
implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu.[5]
Grice (sebagaimana dikutip oleh Levinson,
1983 : 101) berpendapat bahwa pelaksanaan percakapan itu dipandu oleh seperangkat
asumsi. Asumsi itu didasarkan atas pertimbangan rasional dan dapat di rumuskan
sebagai panduan untuk menggunakan bahasa secara efektif dan efisien dalam
percakapan. Panduan itu disebut Grice sebagai maksim percakapan (maxims of
conversation) atau prinsip-prinsip umum yang mendasari penggunaan bahasa
yang dilandasi kerja sama secara efisien. Kesatuan seluruh maksim percakapan
yang berjumlah empat itu disebut prinsip kerja sama (co-operative
principle). Keempat maksim tersebut sebagai tersebut:[6]
Maksim Kualitas
Buatlah sumbangan anda sumbangan yang benar,
khususnya:
1) Jangan
mengatakan apa yang anda anggap salah.
2) Jangan
mengatakan sesuatu yang tidak didukung dengan bukti yang cukup
Dengan
maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu
yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus
didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan berikut dapat
dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan ini.
(1) “Silahkan
menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya!”
(2) “Jangan
menyontek, nilainya bisa E nanti!”
Tuturan (1) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja
sama antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan (2) dikatakan melanggar maksim
kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan
yang seharusnya dilakukan seseorang. Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila
di dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilahkan para
mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung.
Maksim Kuantitas
1) Buatlah sumbangan anda seinformatif mungkin
seperti yang diperlukan dalam percakapan itu.
2) Jangan memberikan sumbangan lebih
informatif daripada yang diperlukan.
Di dalam
maksim kuantitas, seorang penutur diharap dapat memberikan informasi yang cukup,
relatif memadai, dan seinformatif mungki. Informasi demikian itu tidak boleh
melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan yang
tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat
dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip Kerja Sama Grice. Demikian
sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat
dikatakan melanggar maksim kuantitas. Untuk memperjelas pembahasan di atas,
berikut beberapa contoh:
(1)
“Biarlah kedua belah pihak berdiskusi!”
(2)
“Biarlah kedua belah pihak yang sedang sama-sama
menjalin kontrak kerjasama berdiskusi untuk mencapai kesepakatan yang terbaik untuk keduanya!”
Tuturan (1)
dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informatif
isinya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambahi dengan informasi
lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si
mitra tutur. Penambahan informasi seperti contoh (2) justru akan menyebabkan
tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang digariskan
maksim ini, tuturan seperti pada (2) di atas tidak mendukung atau bahkan
melanggar maksim kuantitas.
Maksim Relevansi
1)
Buatlah perkataan yang relevan
Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar
terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing
hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang
dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian
dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama Grice. Sebagai
ilustrasi atas penjelasan di atas perlu dicermati tuturan berikut:
Sang Hyang Tunggal : “Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini dalam
hati!”
Semar :
“Hamba bersedia, Ya Dewa.”
Cuplikan pertuturan di atas dapat dikatakan mematuhi
dan menepati maksim relevansi. Apabila dicermati secara mendalam, tuturan yang
disampaikan tokoh Semar, yakni “Hamba bersedia, Ya Dewa”, benar-benar
merupakan tanggapan atas perintah Sang Hyang Tunggal yang dituturkan
sebelumnya, yakni “Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini dalam hati!”. Dari penjelasan di atas,
kita dapat simpulkan bahwa tuturan itu patuh dengan maksim relevansi dalam
Prinsip Kerja Sama Grice.
Dan berikut contoh tuturan antara seorang dierktur
dengan sekretarisnya yang melanggar maksim relevansi dalam Prinsip Kerja Sama
Grice.
Direktur :
“Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu!”
Sekretaris :
“Maaf Bu Direktur, kasihan sekali nenek tua itu.”
Dituturkan pada saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja
Direktur. Pada saat itu, ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama.
Di dalam cuplikan percakapan di atas, tampak dengan
jelas bahwa tuturan sang Sekretaris, yakni, “Maaf Bu Direktur, kasihan sekali nenek
tua itu” tidak memiliki relevansi dengan apa yang diperintahkan ibu Direktur, yakni “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu!”. Dengan
demikian tuturan di atas dapat dipakai sebagai salah satu bukti bahwa maksim
relevansi dalam prinsip kerja sama tidak selalu harus dipenuhi dan dipatuhi
dalam pertuturan sesungguhnya.
Maksim Cara
Bicaralah dengan jelas, dan khususnya:
1) Hindari kekaburan
2) Hindari ketaksaan
3) Berbicaralah singkat
4) Berbicaralah secara teratur
Maksim cara ini mengharuskan peserta pertuturan
bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Orang bertutur dengan tidak
mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice
karena tidak mematuhi maksim cara. Berkenaan dengan itu, berikut beberapa contoh
tuturan.
Kakak :
“Ayo, cepat dibuka!”
Adik :
“Sebentar dulu, masih dingin.”
Cuplikan tuturan di atas memiliki kadar kejelasan yang
rendah. Karena berkadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya
menjadi sangat tinggi. Tuturan si Kakak yang berbunyi “Ayo, cepat dibuka!” sama
sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si
mitra tutur. Kata dibuka dalam tuturan di atas mengandung kadar ketaksaan dan
kekaburan yang tinggi. Oleh karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur.
Demikian pula tuturan yang disampaikan si Adik, yakni “Sebentar dulu, masih
dingin” mengandung kadar ketaksaan cukup tinggi . kata dingin pada
tuturan itu dapat mendatangkan banyak kemungkinan presepsi penafsiran karena di
dalam tuturan itu tidak jelas apa sebenarnya yang dingin itu, es krim, pintu rumah atau apa. Tuturan demikian dapat dikatakan
melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim cara dakam Prinsip
Kerja Sama Grice.
Implikatur-implikatur yang dihasilkan
dengan cara sekedar mematuhi maksim-maksim terhadap maksim-maksim tersebut
dalam ujaran yang dipakai oleh Loise Cummings sebagai berikut:
(Dia membersihkan debu pada rak-rak itu dan membersihkan
dinding-dindingnya dengan air.)
(Para siswa telah lulus semua ujian mereka.)
Kepatuhan terhadap maksim cara dalam contoh yang
pertama di atas menghasilkan implikatur bahwa dia membersihkan debu pada
rak-rak itu dan kemudian mulai membersihkan dinding-dindingnya dengan air –
penutur ‘sedang bersikap teratur’ dalam menyajikan peristiwa-peristiwa dalam
suatu rangkaian terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Dalam contoh kedua, dengan
mematuhi maksim kualitas, penutur menghasilkan implikatur standar bahwa dia
yakin para siswa telah lulus semua ujian – penutur sedang mengatakan apa yang
dia yakini benar.
Terlepas dari lagak mengadakan atau mengeksplotasi
maksim-maksim dan kepatuhan sederhana terhadap maksim, sebuah maksim bisa
dilanggar dengan sengaja atau berbenturan dengan maksim selanjutnya.
Para penutur yang tidak sengaja melanggar sebuah maksim tidak melakukannya
dengan maksud untuk mengomunikasikan tataran makna tambahan. Meskipun mungkin
mereka berniat melanggar sebuah maksim, namun mereka tidak berusaha untuk
membuat niatnya diketahui oleh pendengar dan, dalam melakukan hal ini, mereka
berusaha mencapai suatu efek komunikasi tertentu. Memang, dalam hal berbohong –
pelanggaran tak sengaja terhadap maksim kualitas – penutur harus berusaha keras
tidak mengungkapkan maksud mereka untuk melanggar maksim kepada pendengarnya.
Kadang-kadang masalahnya adalah bahwa agar penutur dapat mematuhi satu maksim,
dia harus melanggar maksim kedua. Dalam hal ini mari kita perhatian pertukaran
percakapan berikut:
A. Apakah tukang pos belum datang?
B. Aku dengar salam burung kakaktua beberapa menit yang lalu.
Jawaban B bisa dianggap melanggar maksim
kuantitas – karena tidak memberikan informasi yang di perlukan oleh A. Namun
demikian, agar B bisa memberikan informasi kepada A akan mengharuskan B untuk
mengemukakan sesuatu yang bukti-buktinya yang memadai tidak dia miliki. Hal ini
merupakan pelanggaran terhadap maksim kualitas. Dalam perbenturan semacam ini,
maksim kualitas menang atas maksim kuantitas. B memilih menghasilkan ujaran
yang memiliki kandungan informasi yang minimal, tapi merupakan isi informasi
yang memberikan landasan pertama jawaban yang masuk akal terhadap pertanyaan A
tentang suatu ujaran yang lengkap namun pada hakekatnya tidak dijamin
keakuratannya
Berbagai macam implikatur yang dikemukakan
Grice dapat dibedakan atas dasar sifat-sifat berikut: daya batal (cancelability),
daya kemustahilan (defeasibility), daya pisah (detachability),
daya hitung (calculability), dan konvensionalitas.
2.3 Teori
Relevansi
Dalam pendekatan teori relevansi pada komunikasi,
seluruh kerangka maksim Grice sepenuhnya digantikan oleh prinsip relevansi.
Prinsip ini, menurut Sperber dan
Wilson, mencapai penyederhanaan yang diperlukan
terhadap kerangka Grice, meskipun sekaligus tidak kehilangan kekuatan kerangka
tersebut dalam memberikan penjelasan.
Teori
relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan kritik terhadap
empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut Sperber dan
Wilson, maksim yang terpenting dalam teori Grice adalah maksim relevansi, dan
percakapan dapat terus berjalan meski hanya melalui maksim ini. Dalam teori
relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami oleh
penerimanya. Sperber dan Wilson menyebutkan bahwa bahasa dalam penggunaannya (language
in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang disebutnya indeterminacy
atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima pesan (addressee)
hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa yang hendak
disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks komunikasi
tertentu. Contoh:
"Pastikan
semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini."
Setiap
pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan meninggalkan
ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali meninggalkan
ruangan, misalnya untuk ke dapur atau kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini berada
dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan addressee
dalam konteks komunikasi.[7]
Ciri-ciri relevansi Sperber dan Wilson yang patut dicacat adalah daya terapannya tidak
hanya pada komunikasi, tetapi juga pada bidang kognisi pada umumnya. Tujuan
universal dalam kognisi adalah untuk memperoleh informasi yang relevan, dan
semakin relevan informasinya maka akan semakin baik jadinya. Prinsip relevansi Sperber
dan Wilson pertama-tama merupakan prinsip kognitif dan prinsip komunikasi hanya
diperoleh melalui ketergantungan komunikasi pada kognisi. Ciri kedua relevansi
Sperber dan Wilson yakni perwujudan karekteristik ekonomisnya adalah
konsekuensi langsung asal usul kognitif prinsip ini. Ciri ketiga prinsip
relevansi Sperber dan Wilson adalah kapasitanya baik dalam membentuk
ujaran-ujaran yang disumbangkan oleh penutur terhadap komunikasi maupun dalam
mempengaruhi bagaimana pendengar ujaran-ujaran tersebut mulai memprosesnya.[8]
2.4
Kesantunan (Politeness)
Sudah lazim apabila kita memperlakukan
kesopanan atau kesantunan sebagai konsep yang tegas, seperti gagasan ‘tingkah
laku social yang sopan’, atau etiket, terhadap dalam budaya. Juga dimungkinkan
menentukan sejumlah prinsip-prinsip umum yang berbeda untuk menjadi sopan dalam
interaksi social dalam suatu budaya khusus. Sebagian dari prinsip-prinsip umum
itu termasuk sifat bijaksana, pemurah, rendah hati, dan simpatik terhadap
orang lain. Partisipan dalam suatu interaksi umumnya sadar bahwa norma-norma dan
prinsip-prinsip yang demikian ada dalam masyarakat luas.
Sebagai istilah teknis, wajah merupakan
wujud pribadi seseorang dalam masyarakat.wajah mengacu kepada makna social
emosional itu sendiri yang setiap orang memiliki dan mengharapkan orang lain
untuk mengetahui. Menurut
Goffman, yang dikutip oleh Jaszczolt, "face merupakan gambaran
citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face
dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri
di depan umum (public self-image). Menurut Goffman (1956), seperti
dikutip oleh Renkema, setiap partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap
proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas
(tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan
yang kedua disebut negative face.[9]
Kesopanan dalam suatu interaksi interaksi
dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran
tentang wajah orang lain. Dalam pengertian ini, kesopanan dapat disempurnakan
dalam situasi kejauhan dan kedekatan sosial. Dengan menunjukkan kesadaran untuk
wajah orang lain ketika orang itu tampak jauh secara sosial sering
didekripsikan dalam kaitannya dengan keakraban, persahabatan, atau
kesetikawanan. Tipe pertama mungkin ditemukan dalam pertanyaan siswa kepada
gurunya, dan tipe kedua ditemukan dalam pertanyaan siswa kepada individu yang
sama, seperti contoh berikut:
a. Maaf Pak Budi, dapatkah saya bicara dengan
bapak sebentar?
b. Hey, Andi, ada waktu sebentar?
Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech. Pakar ini membahas teori
kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal. Dalam hal ini, Leech
menyebutkan enam maksim kesantunan, yaitu:
1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
(a) Kurangi kerugian orang lain.
(b) Tambahi keuntungan orang lain.
Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan
dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang
teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengki, iri
hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap si mitra tutur. Demikian
pula perasaan sakit hati sebagai akibat dari perlakuan yang tidak menguntungkan
pihak lain akan dapat diminimalkan apabila maksim kebijaksanaan ini dipegang
teguh dan dilaksanakan dalam kegiatan bertutur.
Menurut maksim ini, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila
maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik. Sebagai pemerjelas atas
pelaksanaan maksim kebijaksanaan ini dalam komunikasi yang sesungguhnya dapat
dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Tuan rumah :
“Silahkan makan dulu, nak.
Tadi kami semua sudah mendahuluinya.”
Tamu :
“Wah, saya jadi tidak enak, Bu”
Dituturkan oleh seorang Ibu kepada seorang
anak muda yang sedang bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus
menunggu hujan lebat dan tidak kunjung reda.
Di dalam tuturan di atas tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang
dituturkan si Tuan Rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang Tamu.
Lazimnya, tuturan semacam itu dapat di temukan dalam keluarga-keluarga pada
masyarakat tutur desa.
2) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim),
(a) Kurangi keuntungan diri sendiri.
(b) Tambahi pengorbanan diri sendiri.
Dengan maksim kedermawaan atau maksim kemurahan hati, para peserta
pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang
lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya
sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Tuturan pada contoh
berikut dapat menjelaskan pernyataan di atas.
Ubay :
“Mari saya belikan nasi! Saya mau ke warung samping.
Dillah :
“Tidak usah, Bay. Nanti saja saya makan, saya masih kenyang.
Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan
antar anak yang mempunyai hubungan erat dalam persahabatan.
Dari tuturan yang disampaikan Ubay di atas, dapat
dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain
dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal ini dilakukan dengan
cara menawarkan bantuan untuk membelikan nasi Dillah.
3) Maksim Penghargaan
(a) Kurangi cacian pada orang lain.
(b) Tambah pujian pada orang lain.
Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap
santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada
pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak
saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain.
Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan
bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian,
karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang. Untuk
memperjelas hal itu, tuturan pada contoh berikut dapat dipertimbangkan.
Dosen A : “Pak, aku tadi
sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Bahasa Arab.”
Dosen B : “Oya, tadi aku
memdengar Bahasa Arabmu jelas sekali dari sini.”
Dituturkan oleh seorang dosen kepada
temannya yang juga seorang dosen dalam ruangan kerja dosen.
Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap
rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan
disertai dengan pujian dan penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu dosen B berperilaku santun terhadap
dosen A. Hal itu berbeda dengan contoh percakapan pada tuturan berikut.
Santi : “Maaf, aku pinjam pekerjaan rumahnya.
Aku tidak bisa mengerjakan tugas itu
sendiri.”
Nani :
“Tolol… Ini, cepet kembalikan!”
Dituturkan oleh mahasiswa kepada temannya
ketika mereka baru saja sampai di kampus.
4) Maksim Kesederhanaan
(a) Kurangi pujian pada diri sendiri.
(b) Tambah cacian pada diri sendiri.
Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim
kerendahan hati, peserta tutur di harapkan dapat bersikap rendah hati dengan
cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong
dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan
mengunggulkan dirinya sendiri. Contoh tuturan berikut dapat mempertimbangkan
pernyataan di atas.
Sekretaris A :
“Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu ya, ya!”
Sekretaris B :
“Ya, Mbak. Tapi, saya jelek lho.”
Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris
lain yang masih junior pada saat berada di kantor kerjanya.
5) Maksim Permufakatan,
(a) Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri
dengan orang lain.
(b) Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri
dengan orang lain.
Di dalam maksim pemufakatan ini, ditekankan bahwa para peserta tutur
dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur.
Apabila terdapat kecocokan atau kemufakatan antara diri penutur dan mitra tutur
dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan
bersikap santun. Di dalam kegiatan bertutur orang tidak boleh memenggal atau
bahkan membantah secara langsung apa yang dituturkan oleh pihak lain. Hal
demikian tampak jelas, terutama apabila umur, jabatan, dan status sosial penutur
berbeda dengan si mitra tutur.
Guru A :
“Ruangannya gelap ya, Bu!”
Guru B :
“He…em! Saklarnya mana, ya?”
6) Maksim Simpati
(Sympathy Maxim)
(a) Kurangi antipati antara diri sendiri dengan
orang lain.
(b) Perbesar simpati antara diri sendiri dengan
orang lain.
Di dalam maksim simpati, diharapkan agar para peserta tutur dapat
memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap
antipasti terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan
tidak santun. Orang yang bersikap antipasti terhadap orang lain, apalagi sampai
bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu
sopan santun di dalam masyarakat. Kesimpatian terhadap pihak lain sering ditunjukkan dengan senyuman, anggukan dan sebagainya. Contoh
tuturan berikut bisa dijadikan pertimbangan untuk memperjelas pernyataan ini.
Ani :
”Tut, nenekku meninggal.”
Tuti :
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Ikut berduka cita ya.”
Daftar Pustaka
Louise Cummings, 2007, Pragmatik Sebuah Perspektif
Multidisipliner, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
J.D Parera, 2004, Teori Semantik Edisi Kedua,
Jakarta: Erlangga
Yudi Cahyono Bambang, 1995, Kristal-Kristal Ilmu
Bahasa, Surabaya: Airlangga University Press
J.W.M. Verhaar, 2001, Asas-Asas Linguistik Umum, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Prees
George Yule, 2006, Pragmatik, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Kunjana Rahardi, 2002, Pragmatik Kesantunan
Imperatif Bahasa Indonesia, Jakarta: Erlangga
Geoffrey Leech, 1993, Prinsip-Prinsip Pragmatik, Jakarta:
UI-Prees
Louise Cummings, 2010, Pragmatik Klinis Kajian
Tentang Penggunaan dan Gangguan Bahasa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Harimurti Kridalaksana, 2008, Kamus Linguistik, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Abdul Chaer, 2007, Linguistik Umum, Jakarta:
Rineka Cipta
http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik
[1] http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik
[2] Louise Cummings, 2007, Pragmatik
Sebuah Perspektif Multidisipliner, Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal: 8
[5] http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik.html
[6] Yudi Cahyono Bambang,
1995, Kristal-Kristal Ilmu Bahasa, Surabaya: Airlangga University Press
hal: 221
[7] http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik.html
[8] Louise Cummings, 2007, Pragmatik
Sebuah Perspektif Multidisipliner, Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal 24-26
[9] http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik.html