1.1 LATAR BELAKANG
Kesusasteraan Arab terus mengalami dinamika
sejak masyarakat Arab menghadapi lingkungannya; geografis yang amat
memungkinkan timbulnya imajinasi dan kreativitas. Yakni sebuah kebudayaan yang
terbentuk sebagai ekspresi purba dan menyatakan kehendak. Perang dan anggar
garis keturunan ke atas. Ayyam al ‘Arab, yaitu peristiwa-peristiwa
penting yang menimpa masyarakat Arab dan al ansab (geneologi) yang membuat
silsilah keturunan, secara umum menjadi simbol kebanggan bagi masyarkat Arab.
Dua jenis pengetahuan ini banyak terekam karya sastra (Dr. H. Ahmad Muzakki,
M.A, 2011;1).
150 tahun sebelum syiar Islam datang,
masyarakat Timur Tengah boleh dikategorikan purba. Karena mereka memiliki
tradisi yang berat bagi kehidupan. Bagaimana perempuan yang baru lahir harus
dikubur hidup-hidup karena tidak mampu berperang mengalahkan pihak lawan. Dan
justru memperlemah kekuatan kabilah. Tujuan dan bentuk puisi pun secara alamiah
memang murni dari alam. Seperti hentak kuda dan pelecehan suku lawan dengan
habis-habisan, menjadi petunjuk kesusteraan Arab mereka. Mereka pun
mengapresiasi puisi terbaik untuk ditunjukkan kepada semua orang di Ka'bah dengan
menggantungnya (Muallaqat).
Sejalan dengan fase kehidupan,
berangsur-angsur dari syiar Islam, perlu suatu sistem untuk menghimpun rakyat,
kedaulatan, dan wilayah sehingga terbentuknya kerajaan-kerajaan paska wafatnya
Rasulullah di Timur Tengah, sampai bagaimana peradaban Islam di Eropa menandai
satu massa di mana kesusasteraan tidak menggeliat seperti di zaman Jahiliyah
dan Islam. Sebab negara-negara Timur Tengah mulai mendirikan kerajaan dan fokus
kepada pembentukan dan pertahanan negaranya masing-masing. Untungnya di satu
titik ada di masa dinasti Abbasiah, lembaga penerjamahan (dar al hikmah)
sangat membantu mengembangkan karya sastra dan di bidang keilmuwan lain. Justru
ketika Turki sebagai negara Eropa yang merupakan bagian dari peradaban Islam
masuk ke Timur Tengah, menyebabkan bahasa dan sastra Arab semakin jauh dari
kesusasteraan Arab. Karena percampuran bahasa dan represif bahasa negara.
Ketika Mesir dan negara Timur Tengah
lainnya menjadi objek pendudukan Prancis, para kolonial memperkenalkan kepada
mereka pemberitaan, lembaga penerbitan, dan majalah. Sebagai satu titik di mana
mereka juga memperkenalkan kesusteraan Prancis bagi negara mereka. Gubernur
Mesir, Muhammad Ali merasa perlu mengirim orang-orang untuk mendalami dan
mempelajari kesusasteraan negara-negera Eropa. Sehingga studi demikian sebagai
pertanda adanya kebaharuan di bidang kesastraan yang akan dibawa pulang. Upaya
demikian juga memicu bentuk baru dalam karya sastra.
Ketika madrasah dan lembaga keilmuwan yang
telah ada digunakan untuk mengapresiasi karya sastra dari studi ke Eropa, maka
memudahkan untuk mempelajari sebanyak mungkin peradaban Eropa. Sungguh telah
bertambah perhatian studi sejarah bentuk kesastraan sejak abad 19 tahun di Eropa. Dalam buku Sastra Arab Modern (fi
al Adab al Hadis), Dr. Hasan Hanafi menyebutkan bahwa madrasah bentuk
kesastraan telah berkembang di abad ke-20 dan telah ada dari dua agama yakni
Protestan dan madrasah Tubnjan. Dan telah dimulai kritik sejarah untuk kitab
suci pada abad ke-18, kemudian muncul madrasah kesejarahan pada abad ke-19 dan
ilmu sejarah perbandingan agama, lalu muncul pula penelitian-penelitian studi
sejarah bentuk kesastraan dua kitab suci dan kesastraan klasik khususnya dari
peradaban Yunani dan peradaban Yahudi.
Kritik dari madrasah terbaru telah berganti dari “kritik sumber” menjadi
“kritik bentuk”, atau sebagaimana istilah ulama-ulama studi hadis, perpindahan
dari kritik “sanad” kepada kritik “matan”, dan madrasah yang baru telah
meminjam bentuk kesastraan dari kritik sastra kompatibel dari teori umum karena
sejarah sastra adalah sejarah bentuk kesastraan, madrasah yang baru bergantung
pada studi-studi jenis-jenis kesastraan pada sastra klasik, dan perkembangan
kritik sastra (Dr. Majid So’idi, 17).
Bagaimana kesastraan arab mengalami totalitas
identitas yang berubah seiring bagaimana sebuah negara atau pembentukan negara
terus berlangsung mengalami dinamika. Secara sederhana, identitas keindahan dan
wazan puisi arab tidak kalah baik dan indah bila membaca karya sastra modern
yang sudah bebas tanpa ada ikatan wazan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana perkembangan karya sastra arabmodern?
b. Bagaimana puisi arab modern?
c. Bagaimana prosa arab modern?
d. Bagaimana drama arab modern?
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
a. Memahami perkembangan karya sastra modern
b. Memahami puisi Arab modern
c. Memahami prosa Arab modern
d. Memahami drama Arab modern
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Karya Sastra Arab Modern
Masa modern dimulai sejak tahun ke-19
bersamaan dengan kedatangan atau pendudukan Prancis ke Mesir sejak 1213 H
sampai 1798 H.[1]
Faktor-faktor maraknya sastra di masa modern saat itu adalah karena
pembelajaran, penelitian ilmiah ke Eropa, penerjemahan, percetakan,
perpustakaan-perpustakaan, lembaga/balai bahasa dan kampus-kampus bahasa,
orientalisme, drama, dan broadcasting.
Dua sebab yang menyebabkan
perkembangan modern, pertama komunikasi dengan kitab-kitan klasik yang
terdahulu sehingga menyebabkan penyebaran percetakan dan
perpustakaan-perpustakaan dan tampaknya adanya kampus-kampus bahasa.Dan yang
kedua karena komunikasi dengan peradaban barat modern yang menyebabkan adanya
penelitian ilmiah ke Eropa, penerjemahan, orientalisme, dan asilimasi dengan
bahasa asing. Dari yang sebab kedua juga menyebabkan perkembangan dan perbedaan
dalam karya sastra. Dalam bidang prosa, para sastrawan mulai meninggalkan
tema-tema yang lama seperti surat, pitutur, dan munculnya jenis prosa baru,
yakni cerita, naskah drama, dan makalah/laporan. Dan kalau dalam puisi, mulai
ditinggalkannya tema-tema lama dan diperkenalkannya tema-tema baru seperti
puisi sosial, politik dan lain sebagainya. Adanya seni baru seperti puisi drama
dan puisi epos[2].
Dan adanya aliran-aliran sastra.
2.2 Puisi Arab Modern
Pada bidang puisi
perkembangan karya sastra ditunjukkan dengan adanya aliran-aliran puisi. Ada
tiga tingkatan dalam puisi dan di setiap aliran ada karakteristik seni yang
istimewa. Yakni aliran neo-klasik, aliran romantisme dan aliran puisi baru atau
puisi bebas:
a. Aliran neo-klasik
Aliran ini memiliki ciri-ciri:
1. Dari segi kandungan puisi berisi tentang
tema-tema lama seperti al madh, al ghozal, fakhr, dan tema-tema yang
baru yang berhubungan dengan kehidupan dan permasalahan sosial dan politik.
2. Dari segi gagasan, bentuk, dan ungkapan,
dari segi gagasan masih yang masih melingkupi gagasan tentang akal dan hikmah.
Sedangkan bentuknya atau tipografinya masih seperti yang lama, dan lafaz-lafaz
serta struktur merupakan bagian yang teratur dan berirama.
3. Dari segi lirik syair dan kesatuan seni
masih menggunakan wazan dan qofiyah
4. Penyair-penyair dalam aliran ini adalah
Ahmad Syauqi, Hafiz Ibrahim, dan Ali al Jarim dari Mesir, Jamil Jahawi, dan
Ma’ruf al Rosafi dari Irak, Hamid Said al amudi, Hamzah Saatah, dan Tohir
Zamhasyari dari Arab Saudi
5.
Contoh Syiir aliran neo-klasik seperti dalam kitab al Wasith:
من لى بتربة بتربية النساء فإنها فى الشرق علة ذلك الإخفاق
الأم مدرسة إذا أعدتها أعددت
شعبا طيب الأعراق
أنا لا أقول دعوا النساء سوافرا بين الرجل يجلن فى الأسواق
يدرجن حيث أردن، لا من وازع يحذرن رقبتة، ولا من واق
كلا ولا أدعكم أن تسرفوا فى الحجب والتضييق والإرهاق
b. Aliran Romantisme
Adanya romantisme menimbulkan dua aliran
yang berlawanan dan berkesamaan. Yakni Dr. Ahmad Muzakki dalam bukunya
Pengantar Teori Sastra Arab menjelaskan bahwa
aliran yang pertama, mereka hanya terikat pada qafiyah (sajak),
sebagaimana yang dilakukan Abu Al-Athiyah pada masa Abbasyiah. Dalam hal ini
mereka juga dipengaruhi oleh William Shakespere, seorang sastrawan romantik
Inggris terkenal. Pada masa mereka yang dikenal dengan sebutan puisi lepas (syi’ir
al mursal). Yang kedua adalah yang beraliran bahwa mereka sama sekali tidak
menerima arudl, baik wazan (musikalitas) maupun qafiayah
(sajak), tidak terikat oleh aturan klasik, atau bergaya prosa liris. Salah satu
dari keduanya dari tanah arab dan pemuka dari aliran ini adalah Khalil Gibran
dan dari aliran romantisme menimbulkan dan membekaskan pada perasaan dan emosi
yang lembut, kealamihan yang indah yang berasal dari Libanon dan karena
hubungan dari kebudayaan Francis. Dan Khalil Gibran memulainya dengan lirik
syair dengan judul al masa’ pada tahun 1902 H dan telah dipelajari. Dan
karakteristik dari aliran ini adalah:
a. Pemerhatian kepada perasaan dan ungkapan
tentang zat
b. Bergantung pada imajinasi dan kalimat
retoris/ balaghah
c. Emosi yang alami dan personifikasi
d. Menggunakan bahasa sensitif/menyentuh dan
music yang tenang
e. Dan ada juga yang tetap menjaga kesatuan sajak
dan rima
f. Madrasah diwan didirikan oleh tiga pemuka
gerakan pembaruan; mereka adalah Abbas Muhammad al Aqod, Ibrohim Abdul Qodir al
Mazani, dan Abdurrahman Syukri.
g. Contoh puisi aliran romantisme adalah puisi
dari Khalil Gibran:
شكوى
شاك إلى البحرى اضطرب خواطر فيجيبنى برياحه الهوجاء
ثاو على صخر أصم وليت لي قلبا كهذي الصخرة الصماء
Dan ada juga
aliran romantisme ini berasal dari aliran imigran. Dan penyair dari jenis ini
memaksudkan pada sastra (migrasi) arab, karena mereka berhijrah atau bermigrasi
dari Syam ke Amerika Utara dan Amerika selatan. Alasan mereka berhijrah adalah
karena ingin mempelajari majalah dan koran
bekas peninggalan kolonial. Imigrasi dimulai pada abad ke-19. Faktor-faktor yang
mempengaruhi puisi-puisi imigran adalah:
a.
Kepribadian mereka dipengaruhi oleh budaya barat dan masyarakat
sekitar mereka yang ikut bermigrasi
b.
Kerinduan pada tanah air dan rasa nasionalisme
c.
Komunikasi dengan kebudayaan asing
Karakteristik
puisi imigran adalah:
1.
Dari segi isi: mereka menggunakan teori eksistensi dan masyarakat
humanis tentang cinta, kasih sayang, kebaikan, seruan akan sadar pada prinsip,
persamaan, simpati dan tenggang rasa. Selain itu tentang kealamiahan (mencakup
penggambaran tentang angan-angan dan adaptasi) dan kerindauan pada tanah air.
Dan terakhir simbol-simbol.
2.
Dari segi bentuk: pembaruan dalam wazan dan qofiyah,
jelas dan mudah dalam struktur, dominasi bentuk syair cerita dalam lirik syair,
sedikit mengikuti orisinalitas leksikologi serta memperhatikan pada irama
lafaz.
3.
Contoh Puisi Imigran adalah puisi dari Ilya Abu Madhi:
إن نفسا لم يشرق الحب فيها هي نفس لم تدر ما معنها
c.
Aliran Puisi Baru atau Puisi Bebas
Aliran ini
berdiri karena didorong oleh faktor politik dan ekonomi paska perang dunia
kedua, bersamaan dengan lemahnya pengaruh aliran romantisme yang dibangun atas
dasar imajinasi, dan telah tampak kecenderungan lain yang dikenal dengan
kecondongan kepada hal-hal yang fakta, serta dari segi isi dan bentuk berbeda
dengan apa yang pernah ditulis sebelumnya.
Dalam kitab al
adab wa an nusus lighairi an natiqina bil arobiyyah, disebutkan bahwa ada
dua hal yang disampaikan dalam isi atau makna puisi arab baru atau puisi bebas:
a. Puisi yang menyampaikan tentang pengalaman
nyata yang hakiki yang dimaksudkan bahwa semua puisi bertema-tema kehidupan.
b. Puisi memiliki fungsi sosial untuk membuka
tentang rakyat yang terbelakang, menyeru pada percampuran semua penduduk,
membantu gerakan-gerakan pembebasan dan berusaha menciptakan hidup yang lebih
baik.
Puisi ini tidak
terikat dengan aturan wazan dan qofiyah, tetapi masish terikat
dengan satuan irama khusus yang menjadi karakteristik karya sastra bernilai
tinggi. Penyair hanya mengungkapkan perasaan dan imajinasi, sehingga iramanya
berisfat subjektif (Dr. H. Ahmad Muzakki, M.A, 2011;57).
A.
Tema-tema, gaya bahasa, dan makna-makna pada puisi
modern:
1.
Tema-tema puisi modern
a.
Al Washf
Al
Washf adalah tema
puisi yang sudah menjadi tema umum dari masa klasik kesusasteraan Arab sampai
di masa modern.Tema ini selalu membicarakan puisi untuk menggambarkan keadaan
alam dan lingkungan.Al washfu dianggap sebagai tema-tema orisinil
kesusasteraan arab, semenjak mereka menemui setiap tempat dekat dengan perasaan mereka, yang mereka
dapatkan, atau apa yang deskripsikan, sehingga tidak heran bahwa para penyair
modern menghadapi lebih banyak ketika penulisan tema ini dengan banyak hal;
tema. Sungguh-sungguh mereka telah mendeskripsikan tentang olahraga,
pepohonan, laut, sungai dan setiap pemandangan dari yang jelek sampai yang
bagus, menjadi pengaruh pada jiwa mereka menjadi takjub dan tak percaya (Dr.
Muhammad Said bin Husain, 1405 H:26).
Berikut contoh puisi Ahmad Syauqi tentang laut (Dr. Muhammad Said bin
Husain, 1405 H:26)
همت الفلك و احتواها الماء وحداها بمن تقل الرجاء
ضرب البحر ذوالعباب حواليها سماء قد أكبرتها السماء
ورأ المارقون من شرك الأرض شبك تمدها الدماء
وجبالا موائجا فى جبال تتدجى
كأنها الظلماء
ودويا كما تأهبت الخيل وهاجت
حماتها الهيجاء
لجة عند لجة عند أخرى كهضاب
ماجت بها البيداء
وسفين طورا تلحو وحينا يتولى
أشباحهن الخفاء
نازلات فى سيرها صاعدات كالهوادى
يهزهن الحداء
((رب)) فى شئت فالفضاء مضيقوإذا شئت فالمضيق فضاء
b.
Al Madah
Selain al washfu, al madah juga karakter
puisi arab modern. yang selalu membicarkan tentang pujian. Obyeknya
berbeda-beda, bisa kepada sifat baik dan akhlak yang mulia orang lain atau
kepada makhluk Tuhan. Berikut contoh puisi Ahmad Syauqi tentang pujian kepada
bunga mawar (Dr. Muhammad Said bin Husain, 1405 H:27)
قم فى فم الدنيا و حي الأزهرا وانثر على سمع الزمان الجواهر
واجعل مكان الدر إن فصلته فى مدحه جرخ السماء النير
c.
Ar Ritsa’
Ar
ritsa adalah puisi yang membicarakan kesedihan. Karena selalu mengungkapkan
tentang rasa gagal, sendu, dan tidak menyenangkan.Dalam ritsa’, kadang-kadang
penyair mengungkapkan sifat-sifat yang terpujii dari orang telah meninggal,
atau mengajak kita untuk berpikir tentang kehidupan dan kematian. Tema ini paling banyak memberikan pengaruh,
karena penyair mengungkapkan tentang kejadian yang disaksikan (Dr. H. Ahmad
Muzakki, M.A, 2011;113).
Berikut contoh
puisi Ahmad Syauqi tentang ayahnya:
يا أبي والموت كأس مرّة لاتذوق النفس منها مرتين
كيف كانت ساعة قضيتها كل
شيء قبلها أو بعد هيت
أشربت الموت فيها جرعة أم
أشربت الموت فيها جرعتين
d.
Al Ghozal
Yakni seni yang membicarakan tentang perilaku
orang-orang arab. Khusus di masa modern. Berikut contoh puisi Rofi’i:
من للمحب ومن يعنيه والحب أهنؤه حزينه
أنا من عرفت سوى قساوته فقولوا
كيف لينه
ان يقض دين ذوى الهوى فأنا
الذى بقيت ديونه
قلبى هو الذهب الكريم فلا يفارقه زينة
e.
Al Fakhr wa al hammasah
Fakhr
adalah tema ini pada mulanyad
digunakan untuk menggambarkan kemegahan diri atau suku, namun sekarang
digunakan untuk kepentingan bangsa (Dr. H. Ahmad Muzakki, M.A, 2011;133). Sebagaimana puisi Al Barudi:
إذا استلّ منا سيد غرب سيفه تفزّعت
الأفلاك و التفت الدهر
f.
Al Hija’
Merupakan
salah satu tema yang sedikit menjadi urusan di masa modern, semenjak diangkat
kembali oleh para penyair.Khususnya puisi hija’ kepada seseorang.Puisi ini
sangat sarat kelembutan dalam lafaz-lafaznya.Pada masa ini hija’ ditujukan
kepada musuh-musuh bangsa, musuh-musuh Islam.Para penyair yang sering
menuliskan tema hija adalah Muhromi, Hafiz, dan lain sebagainya.
Dan ketika mereka mencela seseorang dengan aib mereka,
akhlak mereka, dan sifat-sifat mereka yang agung dan baik.Seperti Syauqi ketika
menghina Mustafa Kalam Turki.
أديم وجهك يازنديق لوجعلت منه الوقاية والتجليد للكتب
لم يعلها عنكبوت أينما تركت ولا تخاف عليها سطوة اللهب
g.
Puisi tanah air
Puisi menggambarkan tentang nasionalisme rakyat dari
satu negeri, angan-angan mereka, perspektif mereka terhadap kolonial-kolonial
dan lawan negeri.Dan tema puisi tanah air sebenarnya berisi tentang penghinaan.Puisi dengan tema cinta tanah air berupa pujaan kepada tanah kelahiran
atau negeri tercinta.
قف الخلق ينظرون جميعا كيف
أينى قواعد المجد وحده
h.
Puisi Sosial
Puisi
membicarkan tentang kondisi masyarakat, himbauankepada perbaikan dari apa saja
yang merusak kehidupan bermasyarakat. Memberitakan tentang kemiskinan dan
sebab-sebabnya, dan pengkhianatan dari para arsitektur, para dokter, para
ilmuwan, dan para fuqoha’, dan lain sebagainya. Sama halnya seperti yang mereka
bicarakan tentang khurafat dan kekuasaan dalam
masyarakat.
Dan mereka mengatur tentang pendidikan para remaja dan pembangunan sosial dan
penyediaannya. Dengan sastra bertema puisi sosial ini menghimbau untuk
menyebarkan rasa untuk belajar dan memerangi kebodohan dan kemiskinan.
أحياؤنا لايرزقون
بدرهم وبألف ألف ترزق الأموات
من فى بحظ النائمين بجفرة فأنت على أحجارها الصلوات
Dan selain puisi-puisi neo-klasik di atas, pada masa
modern ada juga puisi bertema sejarah, pendidikan, puisi simpati dan puisi
keagamaan.
2.
Seni Baru dalam Puisi
a.
Musikalisasi Puisi
Puisi yang membicarakan tentang musik dan
mengungkapkan perasaan dan emosi sebagaimana perasaan orang dulu yakni al
madh, al fakhr, al ghozal, ar ritsa’, al washfu dan lain sebagainya.
b.
Epos
Yakni puisi tematik yang menyampaikan tentang
kisah-kisah yang berhubungan dengan kehidupan seorang pahlawan dan dipadukan
dengan legenda yang pernah bergolak dengan perasaan. Dan lirik syairnya panjang
karena sampai pada 1000 bait.
Dengan adanya komunikasi dengan sastra dari para
bangsa barat dan menerjemah epos Yunani seperti Elijah dan Odessa (Homerus),
dan Synamah dari puisi al Faris (Firdaus) para penyair berusaha memasukkannya
dengan warna sastra arab, dan contohnya (pemuda gunung yang hitam) Khalil Gibran,
(Elizah Islam) Ahmad Muhrom, yakni yang menggambarkan tentang saat-saat
perang-perang masa Rasulullah. Dan Tidak lupa pada apa yang disusun oleh Umar
Abu Rishah yakni epos-epos pahlawan dalam Tarikh al Arab (Hasan Khamis
al Maliji: 1149; 340)-341.
c.
Puisi Drama
Jenis puisi yang membicarkan tentang berbagai
peristiwa ragam kepribadian dan berbagai percakapan yang ditulis untuk drama
menjadi sebuah sandiwara atau yang dibangun dengan alur peristiwa. Dan jenis
ini adalah asli dari sastra arab modern dari penyair Ahmad Syauqi yang
dirintisnya dalam bidang puisi drama dianggap sebagai pemuka drama puisi (Hasan
Khamis al Maliji: 1149; 341).
2.3 Prosa Modern
Pada awal masa-masa ini, bahasa ‘aamiyah berada dalam puncak
kemerosotan. Kemudian setelah pengajaran tersebar ke semua lapisan masyarakat
Mesir, masuklah kedalam bahasa mereka banyak sekali kata-kata fasih, yang
kemudian meluas kepada keluarga mereka yang buta huruf dan kepada kaum wanita.
Hal ini ditunjang oleh penggunaan bahasa fasih dalam
pengaduan-pengaduan ke Mahkamah, dan oleh banyaknya surat kabar,
majalah-majalah, dan cerita-cerita sastra. Puisi-puisi jenis zaji, mawaliya dan
wawu berkembang, dan wawu berkembang, dan pada masa Ismail Pasya puisi zaji
mencapai puncaknya. Diantara para tokoh-tokohnya yang kenamaan ialah Muhammad
Usman Jalal Bey, Sayid Abdullah an-Nadiem, Syaikh Muhammad an-Najjar, Syaikh
Muhammad al-Qoushy, dan lain-lain tetapi jenis puisi ini akhirnya merosot sebab
dikalahkan oleh puisi fasih dan dikarenakan keengganan para pembesar untuk
mendengarkannya.[3]
Perkembangan prosa dalam kesusastraan
Arab dapat dibedakan menjadi dua tahap, yaitu:[4]
1. Prosa pada tahap permulaan pembaharuan
Pada masa ini, para penulis masih mengikuti para pengarang masa sebelumnya,
yaitu masa Turki. Mereka tidak saja meniru gayanya, tapi juga isinya. Mereka
masih tetap memperhatikan saja' (prosa lirik), jinas (asonansi), dan tibaq
(antitesis). Mereka lebih mementingkan permainan kata-kata daripada isi dan
idenya. Gaya dan isi seperti ini muncul di berbagai negara Arab. Akan tetapi,
setelah itu, muncul unsur-unsur pembaharuan seperti yang tampak pada pengarang
terkenal seperti: Adurrahman Jabarti (1754-1822), Ismail Khasab (w. 1815), dan
Abdullah Fikri (1834-1889).
Unsur-unsur pembaharuan dalam prosa Arab ini berkembang secara bertahap
dalam masyarakat Arab. Para pengarang sudah mulai memperhatikan aspek pemikiran
dan makna tulisannya, kebiasaan mengarang sudah mulai tumbuh dalam masyarakat
Arab. Di antara para pengarang masa ini adalah Rifa'at Tahtawi (1801-1873),
Ibrahim al-Muwailihi (1846-1906), dan Nasif al-Jazili (1800-1871).
2. Prosa pada tahap pembaharuan
Terjadinya pembaharuan di bidang prosa pada masa ini disebabkan oleh
munculnya para reformis dan pemikir yang menyebabkan terjadinya pembaharuan
dalam masyarakat Arab dan Islam, seperti Muhammad Abdul Wahab (1703-1792) di
Saudi Arabia, Jamaludin al-Afgani (1838-1897) di Afganistan, dan Muhammad Abduh
(1839-1905) di Mesir, serta Abdurrahman Kawakibi (1849-1902) di Syiria, serta
munculnya sarana-sarana kebudayaan, terutama bidang penerbitan dan surat kabar.
Surat kabar mempunyai peran besar dalam pembaharuan prosa di negara-negara
Arab, juga munculnya kesadaran politik dan sosial di negara-negara Arab.
Ciri-ciri prosa pada masa ini adalah lebih memperhatikan pemikrian daripada
unsur gayanya, tidak banyak menggunakan kata-kata retoris seperti saja' tibaq,
seperti pada masa sebelumnya. Pemikirannya runtun dan sistematis, penulis tidak
keluar dari sati gagasan ke gagasan yang lain, kecuali gagasan yang satu telah
selesai, pendahuluannya tidak terlalu panjang, temanya cenderung pada tema yang
sedang terjadi pada masyarakat, seperti masalah politik, sosial, dan agama.
Perkembangan prosa Arab pada tahap ini tidak berjalan pada satu garis,
melainkan berjalan pada dua kecenderungan. Kecenderungan pertama, mereka yang
menyerukan agar berpegang teguh pada kebudayaan Arab dan Islam yang asli dengan
mengambil manfaat dari kebudayaan Barat. Di antara para pengarang yang
mempunyai kecenderungan seperti ini adalah: Mustafa Luthfi al-Manfaluti,
Mustafa Shadiq ar-Rafi'i (1881-1937), Abdul Aziz Bisyri (1886-1943), Syarkib
Arsalan (1869-1946), Ahmad Hasan az-Ziyat (1885-1968), dan Mahmud Abbas
al-Aqqad.
Kecenderungan kedua, mereka yang sama sekali menjauhkan diri dari pengaruh
kebudayaan Barat. Di antar pengarang yang masuk ke dalam kecenderungan ini
adalah: Amin Rihani (1876-1940), Ibrahim Abdul Qadir al-Mazini (1890-1949),
Muhamad Husein Haekal (1869-1946), Ahmad Amin (1878-1954), dan Taha Husein.
A. Genre
Prosa Modern[5]
1. Rosail atau risalah
Rosail merupakan salah satu genre prosa yang ada pada masa ini.
pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 banyak terdapat kitab rosail terkenal
karangan para sastrawan pada masa ini seperti Abdullah Fikry, Syeikh Muhammad
Abduh, Hifni Na’shif, Adib Ishaq, Ahmad Miftah, Abdul Aziz jäwiz, dan bahitah
al badiyah. Karangan mereka terkenal dengan sebutan Rasail Al-Ikhwaniyah yang
mana penjelasan didalamnya menjelaskan tentang sebagian hubungan
kemanusiaan (hubungan sosial) diantaranya adalah ucapan selamat, ucapan bela
sungkawa, rindu, harapan, celaan, dan sifat yang menggambarkan tentang
permasalahan kehidupan, dan hubungan antara antara manusia. (Mansyur Ahmad dkk,
1972: 174)
2.
Khitabah
Khitabah
adalah sejenis perkataan dan merupakan cara untuk memuaskan sesuatu dalam
mempengaruhi seseorang ataupun kelompok, hadirnya khitabah adalah untuk
mempertahankan pendapatnya sendiri dan merupakan reaksi terhadap hal-hal yang
menyangkut pendapat tersebut. Sedangkan perkembangan khitobah pada masa ini
lebih berisi tentang as siyaisyah atau politik. (Mansyur Ahmad dkk, 1972: 177)
3. Kisah (Qishshah) adalah
cerita tentang berbagai hal, baik yang bersifat realistis maupun fiktif, yang
disusun menurut urutan penyajian yang logis dan menarik, perkembangan Qishshah
pada masa sastra Arab modern terbagi dalam 3 tahapan (Mansyur Ahmad dkk, 1972:
178), yaitu:
1. Fase pertama ialah fase
penerjemahan Qishshah sastra Barat kedalam bahasa Arab, Rifah Athohtowi
merupakan sastrawan pertama penerjemah Qishashah pada fase ini
2. Fase yang kedua adalah
fase untuk Qishshah bahasa Arab, Qishshah ini muncul dikarenakan munculnya
kisah-kisah tentang sejarah. George zaedan merupakan orang yang pertama kali
menulis 18 kisah yang disandarkan pada sejarah Arab Islam.
3. Fase yang ketiga adalah
Qishshah bahasa Arab yang muncul dikarenakan adanya kisah social.
Prosa modern mempunyai tiga jenis utama, yaitu:[6]
1. Kitabah Diwaniyah(الكتابة الديوانية)
Kitabah
Diwaniyah adalah prosa yang ditulis dengan pena para kuttab diwan dan editor di
sebuah lembaga pemerintahan dan umum. Kitabah diwaniyah terdapat di Mesir dan Syam (Syria) pada
permulaan masa modern. Prosa jenis
ini menggunakan bahasa ‘amiyah yang bercampur dengan bahasa Turki, sedangkan
bahasa fushahnya ditiadakan. Hal itu membuat prosa ini menjadi lemah. Jenis
prosa ini hanya ada di dua negara tersebut (Mesir dan Syam) dan negara-negara
disekitarnya, seperti Irak kira-kira
hingga tahun 1325 H. Kemudian para pemikir muda di Mesir mulai mengadopsi
reformasi metode-metode kitabah diwaniyah. Hal itu mengalami kemajuan dalam
perkembangannya dari waktu ke waktu hingga pertengahan abad keempat belas dan
sangat bagus dalam hal kefasihan lafaz, kontinuitas gaya bahasa dan menjaganya
dengan mudah.
2. Kitabah at-Ta’lif (كتابة التأليف)
Kitabah
at-Ta’lif adalah metode yang dirumuskan/disusun dari realitas ilmiah dalam
segala bidang ilmu seperti fiqh, sastra, kedokteran, dan lain-lain. Prosa ini
menggunakan bahasa fushah yaitu gaya bahasa yang jelas, beda dengan kitabah
diwaniyah.
Dalam prosa ini
tidak diperbolehkan menggunakan majaz serta jenis-jenisnya, seperti majaz aqli,
mursal, isti’aroh, kinayah dan tasybih dimni. Sedangkan tasybih wadih boleh
digunakan ketika dibutuhkan untuk menjelaskan beberapa masalah. Pada permulaan
masa modern bahasa karangan merupakan kelemahan seni badi’, seperti halnya
bahasa ‘amiyah pada gaya bahasa sebagian para pengarang, termasuk al-Gibrani
dan Ibnu Ghanam. Ketika koran mulai bermunculan, percetakan mencetak buku-buku tersebut. Para pengarang mulai menyusun gaya
bahasa baru seperti al-Jahith dan Ibnu Kholdun. Maka kitabah ta’lif mengalami
kemajuan hingga mendapat tempat di dunia percetakan. Gaya bahasa pengarang yang
ilmiah menjadi percontohan bahasa arab asli baik secara lafad maupun gaya
bahasa.
3. Kitabah Adabiyah (الكتابة الأدبية)
Kitabah
adabiyah adalah prosa yang dihasilkan oleh rasa dan perasaan insan yang
menggambarkan keburukan dan kecantikan serta kejadian-kejadian dalam kehidupan
manusia. Yang mana ketika
sastrawan mulai merangkai kata-kata mereka dipengaruhi intuisi dan perasaan
dalam suatu kejadian yang berbeda dengan kecenderungan dan orientasi sang
sastrawan pada tema-tema dan seni sastra. Begitu pula perbedaan kemampuan
sastrawan dalam bidang bahasa dan penggambaran sastra.
Pada permulaan masa
modern prosa jenis ini memiliki struktur lafaz tanpa rasa, intuisi, dan
perasaan seperti dalam media massa. Sebelum pertengahan abad ketigabelas
hijriah orang-orang Nasrani Barat menggiatkan prosa di Syam, khususnya Lebanon.
Mereka juga membuka sekolah-sekolah yang berusaha menarik minat anak-anak
negeri pada prosa. Dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa pendidikan, dan
diharuskan menggunakan buku-buku sastra arab dalam belajar mengajar. Maka
anak-anak Syam dipengaruhi oleh gaya bahasa arab klasik dan mereka mulai
berusaha menyalinnya. Kitabah fanniyah digiatkan di Syam dan benar-benar
diajarkan pada masyarakatnya yang mayoritas orang-orang Nasrani yang hijrah
dari Mesir yang melarikan diri dari Usmani. Mereka merintis koran (media cetak)
di Mesir, yang mereka adaptasi dari koran Syam. Masyarakat Mesir melihat adanya
pemikiran dan sastra yang mirip dengan Syam. Hal itu menghasilkan gerakan
sastra yang menghidupkan kitabah fanniyah dengan baik dan para pemuda yang
sangat unggul dalam bidang sastra itu memprioritaskan kitabah adabiyah. Hal ini
diwarisi dari tulisan-tulisan yang ada pada hadis-hadis dan karangan-karangan.
Orang-orang yang pertama kali menyebutkannya antara lain Mustafa Lutfi, Muh.
Husein Haikal, Thoha Husein, dan masih banyak lagi. Dengan tangan merekalah
kitabah adabiyah mencapai puncak kejayaannya hingga pada tahun 1372 H koran dan
majalah tidak lagi berpedoman pada pemikiran ketuhanan.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan kitabah:
1. Munculnya warisan Arab
2. Adanya koran
3. Digiatkannya gerakan
kritik
4. Kebangkitan umum yang
mengawali di bidang ini
B. Karakteristik Prosa
Modern:[7]
Dalam sejarah kesusastraan Arab modern, sastra prosa telah berhasil
mengekspresikan suasana yang kontemporer dan menyebarkan isu-isu individu,
keluarga, dan masyarakat. Ciri-ciri kebangkitan sastra prosa pada masa ini
dapat dilihat dengan adanya perhatian yang besar terhadap bangkitnya kembali
karya-karya Arab klasik, baik dalam bentuk kesusastraan, filsafat, dan disiplin
ilmu lainnya (Ahmad Bahruddin, 2011).
Ciri-ciri prosa pada masa ini adalah lebih memperhatikan pemikrian daripada
unsur gayanya, tidak banyak menggunakan kata-kata retoris seperti saja’, tibaq,
seperti pada masa sebelumnya. Pemikirannya runtun dan sistematis, penulis tidak
keluar dari satu gagasan ke gagasan yang lain, kecuali gagasan yang satu telah
selesai, pendahuluannya tidak terlalu panjang, temanya cenderung pada tema yang
sedang terjadi pada masyarakat, seperti masalah politik, sosial, dan agama.
Perkembangan bahasa pun mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang
panjang-panjang, dan berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan
kosakata klasik berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman, serba singkat,
dan serba cepat. Perkembangan bahasa pun mengalami perubahan dari gaya
tradisional, kalimat yang panjang-panjang, dan berbunga-bunga akibat pengaruh
pleonasme dan penggunaan kosakata klasik berganti dengan gaya yang sejalan
dengan zaman, serba singkat, dan serba cepat (Ahmad Bahruddin, 2011).
2.4 Drama Arab Modern
Defenisi
Drama yaitu suatu karya sastra yang mengungkapkan suatu cerita melalui
dialog-dialog para tokohnya. Salah satu ciri drama adalah dialog, dialog
merupakan unsur drama yang membedakan antara drama dengan epos dan kisah-kisah.[8]
A.
Drama Dalam Sastra Arab
Pertama
kali drama Arab dirintis sekitar pertengahan abad 19 di suriah. Suriah juga
mencakup libanon dan palestina karena semuanya di gabungkan. Adapun orang yang
pertama kali memulai drama arab yaitu (marwan an-naqos 1817-1855). Sedangkan
kebudayanya bangsa italia, perancis, turki dan kebudayaan bangsa arab itu
mengambil dari seni italia akan tetapi dari segi tema mereka bergantung pada
drama-drama dan kebudayaan perancis. Pada tahun 1848 marwan naqos menampilkan
drama di rumahnya yang terletak di Beirut dengan bantuan ahli penerjemah karya
sastra drama, drama yang ditampilkan berjudul البخيل ( L’Avare) dalam drama
yang ditampilkan tersebut menunjukan karakter bangsa-bangsa arab dilihat dari
segi nama- nama tokohnya dan latarnya.
Adapun drama yang ke dua yaitu drama komedi oleh Abu Hasan yang diambil dari
karya sastra 1001 malam. Abu Hasan adalah keturunan dari kholifah Harun
ar-Rosyid, dan drama yang ke tiga sekaligus drama terakhir yang menceritakan
sejarah drama oleh Moliere .
Kelompok
dramawan suriya yang dipimpin oleh salim an-naqos (ibn akhi marwan an-naqos
tiba di mesir pada abad 19. Diantara kelompok ini Adib ishaq dan Yusuf Khayat merupakan orang pertama yang tiba di
mesir sejak tahun 1876. Mereka juga sebagai wakil dramawan di kairo atau
iskandariah, dan sudah banyak drama-drama perancis klasik yang sudah di
terjemahkannya. Seperti drama (Andromak), (vedder) oleh penyair perancis yaitu
rosin , drama هوراس
oleh penyair كورني, drama (زينوبيا) oleh penyair perancis
klasik yaitu I’abbe D’aubignac.[9]
Drama di bagi
menjadi 2 yaitu:
1. Komedi
adalah cerita yang akhirnya menyenangkan
2. Tragedy adalah cerita yang
akhirnya menyedihkan
Sastra
Arab baru mengenal genre drama pada masa modern. Mereka mengambil genre
tersebut dari Barat. Dalam perkembangan berikutnya, seni drama di dalam sastra
Arab adalah melalui empat fase:
1.
fase Marun Nuqas al-Lubnani yang
meresepsi seni drama ini dari Italia. Dalam karya dramanya berjudul al-Bakhil
karya Muller. Kemudian diikuti pula oleh karya-karya drama yang lain seperti
Harun al-Rasyid (1850). Karya dramanya yang bersifat jenaka musikal lebih dapat
dikatakan sebagai seni operet yang begitu memperhatikan aspek musikalitas dari
pada dialoq. Karya-karya dramanya dapat dicerna oleh cita rasa awam, hanya saja
karya ini ditulis dengan menggunakan bahasa campuran antara fusha,
ami, dan Turki dalam gaya longgar (tidak baku).
2.
fase Abu Khalil al-Qubbani di
Damaskus yang memajukan seni drama dengan menampilkan banyak sekali
kriteria-kriterianya serta bercita rasa dapat dinikmati oleh awam dengan cara
memilih drama-drama kerakyatan seperti alfu laylah. Dialognya menggunakan
bahsa fusha berupa
campuran antara puisi dan prosa yang kadang-kadang mempertimbangkan juga sisi
persajakan. Ia terus menghasilkan karya-karya drama di Damskus antara
1878-1884. Sayangnya, beberapa saat setelah itu panggung dramanya ditutup dia
pun lalu hijrah ke Mesir dan tetap menulis karya drama.
3.
fase Yakkub Sannu’.
Pada masa pemerintahan Ismail Basha yang pada saat itu dibangun gedung
pertunjukan di mana disitu ditampilkan opera “Aida’ dengan menggunakan bahasa
Perancis, dipentaskan pada pembukaan terusan Suez tahun 1869. Pada tahun 1876
muncul tokoh Mesir dalam bidang drama yang bernama Sannu’, populer dengan nama
Abu Nazarah. Ia cenderung mengkritisi sosial politik dengan menggunakan
bahasa ammi. Kelompok-kelompok penulis
Siria dan Mesir melanjutkan penulisan karya drama di Mesir.
4.
fase perkembangan pada
awal abad 20. Hingga pada tahap ini, banyak drama di Mesir merupakan hasil
terjemahan atau resepsi, sebagian diantaranya diterangkan ini.
Fase pertama 1910, George Abyad pulang dari Perancis
setelah di sana mempelajari prinsip-prinsip seni drama, lalu dibuatkan karya
drama sosial antara lain berjudul Misr al-Jadidah tulisan Farh
Anton, juga dibantu oleh Khalil Mutron dalam menerjemahkan beberapa novel
Shakespeare seperti Tajir al-Bunduqiyah,Athil, Macbat,
dan Hamlet. Fase kedua, adalah Yusuf
Wahbi mendirikan kelompok ramsis yang memperhatikan tragedi. Ketua kelompok ini
telah menulis kurang lebih 200 drama. muncul pula kelompok Najib al-Raihani
yang memiliki kecenderungan drama komedi kritik sosial. Fase
ketiga, pasca perang dunia pertama. Di dalam dunia drama muncul
aliran Mesir Baru (madrasah al-Misriyah al-Jadidah) yang begitu perhatian
terhadap karya drama. Memberikan sentuhan pada probelatika sosial serta
cara-cara mengatasinya dengan pasti. Di antara tokohnya adalah Muhammad dan
Mahmud Taymur. Fase keempat, mucullah penulis
drama Arab modern terbesar Taufiq el-Hakim yang berhasil menuntaskan studi atas
prinsip pokok drama di Perancis. Ia menulis lebih dari 60 judul karya drama
lengkap dengan struktur dan temanya, demikian pula dialog dan penokohannya.
Taufiq begitu ambisius untuk dapat menyertai gerakan perkembanga modern dalam
dunia drama. Oleh karena itu, tampak terus mengikuti perkembanga draman barat
beserta kecenderungannya. Tidak heran, bila ia dapat berpindah-pindah tema dari
drama sejarah ke drama sosial, lalu drama ideologis yang menyelesaikan problema
mentalitas. Setelah di dunia Barat muncul drama absurd, ia pun juga melakukan
hal yang sama berjudul, Ya Tali’ Syajarah, dan Ta’am
Likulli Famm.
2.5 Para Sastrawan Modern
1. Abbas Mahmud Al-Aqqod (1307 H – 1384 H)
Lahir di kota Aswan, Mesir 28 Juni 1889 M / 1307 H. Dia merupakan
penyair dan penulis
prosa. Sejak kecil dia suka membaca buku atau majalah di perpustakaan ayahnya,
terutama yang berkaitan dengan sastra. Dia juga suka mendengar syair-syair dan
hadist di majlis ilmu Syekh Ahmad Al-Jadawi.[10]Tampak
dalam dirinya aura kecerdasan. Kegemaran dan kepiawaian al-‘Aqqâd dalam bidang
tulis-menulis, membuatnya dibanjiri pujian oleh guru-gurunya. Seperti Muhammad
‘Abduh, Sa’d Zaglul, dan Abdullah Nâdim. Sementara di luar sekolah, ia juga
belajar kepada Qadhi Ahmad Jadami, seorang ahli fiqih sahabat Jamaluddin
al-Afgani.
Al-‘Aqqâd adalah seorang jurnalis, kritikus, dan sastrawan Mesir terkemuka.
Kontribusi pemikirannya cukup berperan dalam pengembangan wacana keagamaan dan
sosial. Bahkan dirinya juga termasuk salah seorang penyair ternama Mesir yang
bersama Abdurrahmân Syukri dan Ibrâhîm Abd al-Qâdir rl-Mâzinî membentuk
grup Diwan, yaitu kelompok pembaharu dalam sastra arab
Mesir.
Karier al-‘Aqqod sebagai jurnalis dimulai sejak ia berumur 16 tahun.
Pada mulanya, cita-citanya ingin menjadi pegawai pemerintah, tetapi peraturan
yang ada mensyaratkan bahwa calon pegawai harus berumur 18 tahun. Sehingga
keinginannya belum dapat tercapai, sebab ia harus menunggu dua tahun lagi. Pada
masa menunggu inilah , al-‘Aqqod menerbitkan majalah mingguan Raj’u Sada, juga menjadi penulis pada majalah al-jaridah pimpinan Ahmad Luthfî al-Sayyid, dan
majalah az-Zahir pimpinan Abu Syadi, al-Mu’ayyad, dan
al-Liwa’. Dalam bidang jurnalistik ini, ia mendapat bimbingan dari Muhammad
Farîd Wajdi, seorang ulama’ dan penulis terkemuka di Mesir dan pernah bergabung
dalam penerbitan surat kabar ad-Dustur. Membaca
adalah hobinya, sehingga membuat dirinya bekerja hanya untuk dapat membeli
buku. Akibatnya, tulisan-tulisannya begitu tajam, kritis dan cerdas.
Sebagai satrawan, sumbangan al-‘Aqqod terlihat pada tulisan-tulisannya,
baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Ciri khas puisinya terletak pada sisi
kehalusan perasaan (kepekaan rasa) dan pikiran yang menjadi suatu paduan yang
sangat serasi. Karya puisi-puisinya mengetengahkan pendapat-pendapat yang
brilian. Menurutnya, puisi yang hanya menerbitkan bentuk teksnya saja tidak
akan berbobot dan puisi tidak hanya cukup pada cerita atau puisi cerita. Akan
tetapi, yang terpenting dalam puisi adalah maknanya. Sebagai kritikus,
al-‘Aqqod telah memberikan kritik terhadap puisi dan prosa yang ada sambil
mengemukakan pendapat untuk memperbaharuinya. Susunan bahasa puisi dan prosa
yang penuh hinaan tak berisi diarahkannya kepada susunan kata yang penuh arti
dan padat isi. Hal tersebut dapat digali dari keindahan lingkungan dan kekayaan
budaya Mesir. Sebab, hal itu dapat menjadi bahan imajinasi dan bahan gubahan.
Pikiran-pikirannya dalam bentuk puisi dipublikasikan di majalah yang telah
disebutkan di atas sejak sebelum Perang Dunia I.
Al-‘Aqqod berpendapat bahwa
seorang penulis sejati adalah pemikiran orisinil dari pikiran dan metodenya
sendiri tanpa mencontoh sedikitpun karya-karya sebelumnya. Oleh karena itu, ia
mengkritik penulis-penulis seperti Ahmad Syauqi dan Thaha Husein yang
dianggapnya hanya mampu berfikir dengan metode orang lain dan sedikit sekali
pemikiran orisinil yang dihasilkannya.[11]
Bukunya
mengenai peradaban mencapai seratus buku.Salah satunya yaitu شعراء مصر وبيئاتهم في
الجيل الماضي. Buku ini menjelaskan tentang uslub (gaya
bahasa) yang dipakai para ilmuwan ahli sastra serta mencakup ide dan pemikiran
Al-Aqqod.[12] Selain itu, karyanya yang berjudul Mausu’ah ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad (Ensiklopedi
‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad)(1970) yang terdiri dari 5 jilid juga diterbitkan
oleh Dar al-Kitab al-Arabi di Beribut. Buku tersebut adalah kumpulan
tulisan. Dalam karya-karya itulah al-‘Aqqad mempublikasikan beberapa pemikiran
yang dianggap orisinil tentang berbagai segi kehidupan umat Islam. Pemikiran
yang berupa obsesi untuk membawa umat Islam kepada kemajuan.
Karya sastra al-‘Aqqod pertama kali diterbitkan pada tahun 1916 berupa
antologi puisi. Setelah itu menyusul beberapa buku antologi puisi yang lainnya
seperti: هداية الكروان, أعاصير
المغرب, حي الأربعين, dan عابر سبيل. Abbâs Mahmûd Al-‘Aqqod
meninggal di Kairo 12 Maret 1964.
2. Mustafa Shodiq ar-Rofi’i (1298 H – 1356 H)
Lahir pada tahun 1298 H di Mesir. Pada masanya, dia adalah pembawa
bendera asli sastra dan balaghah. Dia memulai kehidupan sastranya dengan
menjadi penyair dan mulai membuat tiga diwan yang membuat takjub para sastrawan
pada zamannya. Mereka menyebutnya “Penyairnya Pemuda Pemudi”. Kemudian dia
beranggapan bahwa syair tidak realistis dan dia mulai menulis prosa dan
kadang-kadang menulis syair.[13]
3. Thaha Husein[14]
Thaha Husein dilahirkan tahun 1889 M. di Izbat al-Kilu. Ketika berumur dua
tahun telah terkena penyakit optualmia (kebutaan), penyakit yang biasa
menyerang anak-anak ketika itu, namun penyakit tersebut tidak menghalanginya
menuntut ilmu. Ia belajar al-Quran dan dapat menghafalnya pada usia sembilan
tahun.
Pada tahun 1902, ia dikirim orang tuanya untuk belajar di al-Azhar dengan
harapan agar kelak Thaha Husein menjadi alim Azhar, memberi palajaran agama
dalam halaqah yang besar.
Akan tetapi Thaha Husein keluar dari al-Azhar, ia kecewa dengan sistem
pengejarannya yang sempit dan tidak berkembang serta materi pelajarannya amat
tradisonal dan menjemukan. Pada tahun 1905, ia mendalami pemikiran Muhammad
Abduh, salah satu yang amat menonjol dari keterpengaruhannya adalah sikapnya
yang menentang praktek tawassul di
desanya sehingga dicap sebagai seorang yang tersesat dan menyesatkan.
Pada tahun 1908 bersamaan dengan dibukanya Universitas Kairo, Thaha Husein
mendaftarkan diri, di sinilah ia berkenalan dengan sederatan orientalis semisal
Iguazio Buidi, Enno Litman, Santillana, Nallino dan Masignon. Pada tanggal 5
Mei 1914 Thaha Husein mempertahankan disertasinya yang berjudul Dzikra Abi al-'Ala dan berhasilyudisium jayyid jiddan pada tahun itu juga Thaha
Husein dikirim ke Perancis untuk belajar sejarah.
Di Perancis Thaha Husein mulai mengkaji hal-hal yang selama ini ia cari, ia
belajar pada beberapa ilmuan, di antaranya Glota, G. Blook, Seigneboj, Emile
Durkheim. Pada tahun 1917 ia menikah dengan seorang wanita Perancis yang
bernama Suzanne Brusseau. Pada tahun 1918, Thaha Husein berhasil menyelesaikan
penulisan disertasi doktornya yang berjudul Etude Analitique et Critique de
la Philosophie Sociale d' Ibn Khaldoundengan memperoleh yudisium tres honorable, dan di tahun berikutnya
memperoleh gelar Doctorat d' Etat.
Pada tahun beikutnya 1919, ia kembali ke Mesir dan ditunjuk menjadi dosen
sejarah Yunani dan Romawi Kuno di Universitas Kairo hingga tahun 1925. Ia juga
aktif menulis di surat kabar dan menjadi redaktur al-Siyasah pada tahun 1922. Pada tahun 1926
diangkat menjadi dosen sejarah sastra Arab pada Universitas Negeri. Pada tahun
1930 diangkat menjadi dosen sastra dan pada tahun 1932 dialih tugaskan ke
kementerian pengajaran.
Pada tahun 1942 diangkat menjadi rektor Universitas Iskandaria hingga 1944.
Pada tahun 1950-1952 ia ditunjuk sebagai Menteri pendidikan Mesir. Pada tahun
1973 Thaha Husein ditetapkan untuk mendapat hadiah nobel dalam bidang sastra.
Thaha Husein wafat pada tanggal 28 Oktober 1973.
4. Kahlil Gibran
Khalil Gibran adalah seorang seniman
Lebanon-Amerika, penyair dan penulis. Lahir di kota Bsharri, Lebanon, ia
bermigrasi dengan keluarganya ke Amerika Serikat di mana ia belajar seni dan
memulai karir sastra. Di dunia Arab, Gibran dianggap sebagai pemberontak sastra
dan politik, gaya romantisis-nya berada di jantung renaissance dalam sastra
Arab modern, khususnya puisi prosa. Di Lebanon, ia masih dipuja sebagai
pahlawan sastra, di negara-negara lain Gibran mulai dikenal pada 1923 dengan
karya bukunya The Prophet, sebuah contoh awal dari fiksi inspirasional dengan
serangkaian esai filosofis yang ditulis dalam prosa puitis bahasa Inggris. Buku
ini dijual dengan baik dan mulai populer di tahun 1930-an. Gibran adalah penyair
dengan penjualan terbaik ketiga setelah Shakespeare dan Lao-Tzu. Sebagian besar
dari tulisan-tulisan awal Gibran berbahasa Arab, yang akhirnya diterbitkan
setelah tahun 1918 dalam bahasa Inggris.
Sebagai seorang seniman yang bisa menggambar
dan melukis, ia masuk sekolah seni di Paris 1908-1910, mengejar gaya romantisis
dan simbiolis. Gibran mengadakan pameran seni pertama pada tahun 1904 di
Boston. Pada pamerannya tersebut, Gibran bertemu Mary Elizabeth Haskell, yang
akhirnya menjadi wanita yang membawa pengaruh besar tidak hanya di kehidupan
pribadi Gibran, tetapi juga karirnya.
Gibran meninggal di New York City pada tanggal
10 April 1931, penyebabnya karena sirosis hati dan TBC. Sebelum kematiannya,
Gibran mengatakan keinginan untuk dikuburkan di Lebanon. Keinginan ini dipenuhi
oleh kekasihnya Haskell pada tahun 1932.
5. Najib Mahfudz
Nama lengkapnya adalah Najib Mahfuz Abdul Aziz Ibrahim Basya, dilahirkan
pada tanggal 15 Desember 1911, di Bandar Gamalia daerah pinggiran Kairo, Mesir.
Keluarganya tergolong misikin dan tidak mengecap pendidikan yang memadai.
Ayahnya adalah seorang pegawai rendahan yang kemudian beralih profesi menjadi
pedagang. Pada tahun 1917, usia enam tahun, Mahfuz dan keluarganya pindah ke
kawasan Abbasiyah. Pada saat itu, Mahfuz mulai mengecap pendidikan dasar,
al-Madrasah al-Ibtida'iyyah. Pada tahun 1924, di usia tiga belas tahun, Mahfuz
memasuki Sekolah Lanjutan; al-Madrasah ats-Tsanawiyyah Fu'ad al-Awwal.
Seiring peningkatan perekonomian keluarganya, pada tahun 1930 Mahfuz
melanjutkan studinya di jurusan Filsafat Islam Universitas Kairo. Pada tahun
1934, Mahfuz mengantongi ijazah Sarjana Filsafat. Sebenarnya, Mahfuz
mendapatkan tawaran dari Mustafa Abdul Raziq, salah seorang Guru Besar
Universitas Kairo untuk menempuh program Doktor dalam bidang Filsafat dan
Mistik Islam, namun tawaran itu ditolaknya. Kesenjangan sosial yang
dirasakannya sejak kecil dan penderitaan kaum kecil yang tertindas oleh
kekuasaan birokrasi Mesir membuat solidaritasnya bangkit. Mahfuz memilih
pekerjaan di almamaternya dan menekuni bidang tulis-menulis.
Sejak pertengahan 1936 sampai 1939, Mahfuz mengabdi di almamaternya sebagai
staf Sekretaris Universitas. Karier Mahfuz menanjak perlahan. Selepas dari
pekerjaan ini, ia ditugaskan di Kementrian Agama dan Urusan Waqaf. Pekerjaan
ini ditekuninya hingga tahun 1964. Pada tahun yang sama, di usia 43 tahun, ia
mengakhiri masa lajangnya. Dan sejak saat itulah terjadi perubahan mendasar
pada karier Mahfuz, ia diangkat sebagai Direktur Pengawasan Seni.
Sepanjang kehidupannya, Mahfuz telah menulis sekitar 70 cerita pendek, 46
karya fiksi, serta sekitar 30 naskah drama. Hingga saat ini, karya-karyanya
telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia termasuk Indonesia. Karya
pertama Mahfuz diterbitkan pada tahun 1932, di usia 21 tahun, dalam bentuk
terjemahan berjudul al-Misr al-Qadimah. Sejak itu berturut-turut Mahfudz
menulis; Hams al-Junun (1938, Cerpen), Abats al-Akdar (1939), serta Redouvis
(1943) dan kisah Kifah Thibah (1944). Karya-karyanya tersebut di atas, kerap
dianggap sebagai akhir dari periode romantisme Mahfuz. Setelah karya-karya
tersebut, ia menjauhi gaya bahasa Manfalutisme (gaya bahasa yang digunakan oleh
al-Manfaluti). Kemudian Mahfuz menulis al-Qahirah al-Jadidah (1945).
Tahun 1946, Mahfuz menulis Khan al-Khalili. Selanjutnya berturut-turut ia
menulis Zuqaq al-Midaq (1947), as-Sarab (1948), serta Bidayah wa Nihayah
(1949). Karya-karyanya ini menandai perubahan gaya bertutur Mahfuz dari
romantisme menjadi realisme. Pada tahun 1956-1957, Mahfuz mulai menulis triloginya;
Baina al-Qasrain, Qasr asy-Syauq, dan as-Sukriyyah. Trilogi setebal 1500
halaman ini menjadikannya dianugerahi hadiah Nobel Sastra yang diterimanya pada
tanggal 13 Oktober 1988 dari Akademi Sastra Internasional di Swedia.
Tahun 1960, Mahfuz menulis Aulad Haratina (edisi bahasa Inggris oleh Philip
Steward dengan judul The Children of Our Quarter, London; 1981). Novel panjang
ini terbagi dalam lima bab, yakni; Adham, Jabal, Irfah, Rifa'ah, dan Qasim.
Penulisan serial novel ini sekaligus menggambarkan arah baru gaya kepenulisan
Mahfuz, yakni Simbolisme-Filosofis.
Selanjutnya, Mahfuz menulis al-Liss wa al-Kilab (1961), as-Samman wa al-Kharif, dan Dunya Allah (1962), ath-Thariq (1964), Bait Sayyi' as-Sum'ah dan asy-Syihaz (1965) serta Sarsarah Fauza an-Nil (1966), masih dengan kecenderungan Simbolisme-Filosofis. Pertengahan tahun 1967 sampai 1969, ia membuat cerpen-cerpennya yang merespon persoalan-persoalan keagamaan, nasionalisme Mesir, dan politik. Hal ini bisa dilihat dalam Khimarah al-Qiththi al-Aswad dan Tahta al-Mizallah serta Qisytamar (1969), Hikayah Bi La Bidayah Wa La Nihayah dan Syahru al-'Asal (1971), al-Maraya (1972), al-Hubbu Tahta al-Mathar (1973), al-Karnak (1974), Hikayat Haratina, Qalbu al-Lail, dan Hadhrat al-Muhtaromi (1975), Milhamah al-Harafisy (1977), al-Hubbu Fauqa Hadhbat al-Haram dan asy-Syaithan (1979), 'Ashru al-Hubbi (1980), dan Afrah al-Qubbah (1981).
Selanjutnya, Mahfuz menulis al-Liss wa al-Kilab (1961), as-Samman wa al-Kharif, dan Dunya Allah (1962), ath-Thariq (1964), Bait Sayyi' as-Sum'ah dan asy-Syihaz (1965) serta Sarsarah Fauza an-Nil (1966), masih dengan kecenderungan Simbolisme-Filosofis. Pertengahan tahun 1967 sampai 1969, ia membuat cerpen-cerpennya yang merespon persoalan-persoalan keagamaan, nasionalisme Mesir, dan politik. Hal ini bisa dilihat dalam Khimarah al-Qiththi al-Aswad dan Tahta al-Mizallah serta Qisytamar (1969), Hikayah Bi La Bidayah Wa La Nihayah dan Syahru al-'Asal (1971), al-Maraya (1972), al-Hubbu Tahta al-Mathar (1973), al-Karnak (1974), Hikayat Haratina, Qalbu al-Lail, dan Hadhrat al-Muhtaromi (1975), Milhamah al-Harafisy (1977), al-Hubbu Fauqa Hadhbat al-Haram dan asy-Syaithan (1979), 'Ashru al-Hubbi (1980), dan Afrah al-Qubbah (1981).
Pada tahun 1994, Mahfuz mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Ia
ditikam di bagian leher dengan sebilah pisau dapur. Kejadian ini membuat tangan
kanan Mahfuz hampir mengalami kelumpuhan. Dua orang anggota kelompok militan
yang terlibat dalam kejadian ini, divonis hukuman mati oleh pemerintah
Mesir. Pada masa tuanya, Najib Mahfuz hidup dengan mata yang hampir buta
dan kemudian meninggal pada 30 Agustus 2006 setelah beberapa hari dirawat di
rumah sakit.
BAB III: PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkembangan
puisi modern ditunjukkan dengan adanya dinamika dalam pengembangan puisi. Di antaranya ditunjukkan
dengan adanya aliran-aliran dalam puisi.Seperti aliran neo-klasik, aliran
romantisme, dan aliran puisi bebas.Ketiganya memiliki ciri-ciri dan latar
belakang yang berbeda.Aliran neo-klasik adalah aliran yang masih menjaga
karakteristik puisi klasik.Mereka membuat puisi dengan tetap menjaga wazan
dan qafiyah.Tema-tema sastranya pun seperti halnya masa-masa klasik.Dan
mereka juga membuat puisi-puisi dengan tema sosial, politik, keagamaan,
pendidikan dan lain sebagainya.Aliran romantisme ada karena mereka melakukan
migrasi ke negara-negara eropa.Dalamnya ada dua aliran yang berbeda dan
berkesamaan. Karena satu golongan masih menjaga irama dalam puisi dan satu
golongan lain malah sebaliknya. Sedangkan yang ketiga aliran puisi bebas adalah
aliran puisi dengan bahasa yang familiar dan tidak lagi menggunakan wazan
dan qofiyah dalam berpuisi.
Perkembangan prosa arabmodern dibedakan dalam
dua tahap, yakni prosa terhadap permulaan pembaharauan dan prosa terhadap
perkembangan. Prosa modern dibedakan pada tiga jenis utama yakni prosa diwan,
kitabah adabiyah, kitabah diwaniah, dan kitabh at ta’lif. Sedangkan genre prosa modern dibagi tiga yaitu rosail,
khitabah, dan qishshah. Karakteristiknya yang membedakan dengan sastra klasik
yaitulebih memperhatikan pemikiran daripada unsur gayanya,
tidak banyak menggunakan kata-kata retoris seperti saja’, tibaq, seperti
pada masa sebelumnya, pemikirannya runtun dan sistematis, pendahuluannya tidak
terlalu panjang, temanya cenderung pada tema yang sedang terjadi pada
masyarakat, perkembangan bahasa pun mengalami perubahan dari gaya tradisional,
kalimat yang panjang-panjang, dan berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan
penggunaan kosakata klasik berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman,
serba singkat, dan serba cepat.
Drama
Arab dirintis sekitar pertengahan abad 19 di Suriah yang diprakarsai oleh Marwan
an-naqos. Genre drama Arab meliputi fase Marun Nuqas al-Lubnani,
fase
Abu Khalil al-Qubbani, fase Yakkub Sannu’,fase
perkembangan pada awal abad 20. Sedangkan para sastrawan Arab
pada masa ini banyak sekali diantaranya Abbas Mahmud al-Aqqod, Thaha Husein,
Kahlil Gibran, dan Najib Mahfudz.
BACA PULA:
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
al Isykindi, Syekh, Syekh Mustofa Annan, al Wasith fi al adab al arobi wa
tarikhihi, (Darul Ma’arif Bimad).
Al Maliji,
Hasan Khamis, al Adab wa annusus lighairi an natiqina biha bil arobiyyah
(Riyadh: Jamiah al Malik as Su’ud, 1149 H)
Bin Said Bin Hasan, Dr. Muhammad, al Adab al
Arobiyyu wa Tarikhuhu (al ‘asru al hadis), (Riyadh: Jami’ah al Imam
Muhammad bin Sa’ud al Islamiyyah, 1405 H)
Majid So’idi, Dr, Dr. Toriq Syamli, Fi al Adab al
Arobiy al Hadis, (Jami’ah Ain Hasyim)
Muzakki, Ahmad Dr. Pengantar Teori Sastra, (Malang:UIN
Press, 2011)
Husein,
Muhammad bin Saad. Al Adab Al Aroby wa Tarikhuhu. Saudi Arabia: Jamiah
Imam Muhammad bin Suud Islamiyah.
(http://bocahsastra.wordpress.com/2012/12/08/sejarah-munculnya-drama/)
(http://bocahsastra.wordpress.com/2012/12/08/sejarah-munculnya-drama/
)
(http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/sastra-arab-modern/)
http://alwaysterk.blogspot.com/2011/10/perkembangan-prosa-arab-modern.html.
[1] Hal; 234.
[2] cerita kepahlawanan; syair panjang yg menceritakan
riwayat perjuangan seorang pahlawan; wiracarita
[3] الوسيط في الأدب العربي وتاريخه
[4]http://alwaysterk.blogspot.com/2011/10/perkembangan-prosa-arab-modern.html.
[5]http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/sastra-arab-modern/.
[6]الأدب العربي وتاريخه, محمد بن سعد بن حسين ص 67-69.
[7]http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/sastra-arab-modern/.
[8]http://bocahsastra.wordpress.com/2012/12/08/sejarah-munculnya-drama/
[9]Ibid.
[10]الأدب العربي وتاريخه, محمد بن سعد بن حسين ص 77-79.
[11]www.uinblog.com
[12]الأدب العربي وتاريخه, محمد بن سعد بن حسين ص 80.
[13]الأدب العربي وتاريخه, محمد بن سعد بن حسين ص 81-82.
[14]http://www.referensimakalah.com/2012/07/biografi-thaha-husein.html.
ijin copy semoga berkah
BalasHapus