Rabu, 28 September 2016

PERKEMBANGAN SASTRA ARAB MODERN

PERKEMBANGAN SASTRA ARAB MODERN
By: Ubaidillah S
BAB I
: PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG

Kesusasteraan Arab terus mengalami dinamika sejak masyarakat Arab menghadapi lingkungannya; geografis yang amat memungkinkan timbulnya imajinasi dan kreativitas. Yakni sebuah kebudayaan yang terbentuk sebagai ekspresi purba dan menyatakan kehendak. Perang dan anggar garis keturunan ke atas. Ayyam al ‘Arab, yaitu peristiwa-peristiwa penting yang menimpa masyarakat Arab dan al ansab (geneologi) yang membuat silsilah keturunan, secara umum menjadi simbol kebanggan bagi masyarkat Arab. Dua jenis pengetahuan ini banyak terekam karya sastra (Dr. H. Ahmad Muzakki, M.A, 2011;1).
150 tahun sebelum syiar Islam datang, masyarakat Timur Tengah boleh dikategorikan purba. Karena mereka memiliki tradisi yang berat bagi kehidupan. Bagaimana perempuan yang baru lahir harus dikubur hidup-hidup karena tidak mampu berperang mengalahkan pihak lawan. Dan justru memperlemah kekuatan kabilah. Tujuan dan bentuk puisi pun secara alamiah memang murni dari alam. Seperti hentak kuda dan pelecehan suku lawan dengan habis-habisan, menjadi petunjuk kesusteraan Arab mereka. Mereka pun mengapresiasi puisi terbaik untuk ditunjukkan kepada semua orang di Ka'bah dengan menggantungnya (Muallaqat).
Sejalan dengan fase kehidupan, berangsur-angsur dari syiar Islam, perlu suatu sistem untuk menghimpun rakyat, kedaulatan, dan wilayah sehingga terbentuknya kerajaan-kerajaan paska wafatnya Rasulullah di Timur Tengah, sampai bagaimana peradaban Islam di Eropa menandai satu massa di mana kesusasteraan tidak menggeliat seperti di zaman Jahiliyah dan Islam. Sebab negara-negara Timur Tengah mulai mendirikan kerajaan dan fokus kepada pembentukan dan pertahanan negaranya masing-masing. Untungnya di satu titik ada di masa dinasti Abbasiah, lembaga penerjamahan (dar al hikmah) sangat membantu mengembangkan karya sastra dan di bidang keilmuwan lain. Justru ketika Turki sebagai negara Eropa yang merupakan bagian dari peradaban Islam masuk ke Timur Tengah, menyebabkan bahasa dan sastra Arab semakin jauh dari kesusasteraan Arab. Karena percampuran bahasa dan represif bahasa negara.
Ketika Mesir dan negara Timur Tengah lainnya menjadi objek pendudukan Prancis, para kolonial memperkenalkan kepada mereka pemberitaan, lembaga penerbitan, dan majalah. Sebagai satu titik di mana mereka juga memperkenalkan kesusteraan Prancis bagi negara mereka. Gubernur Mesir, Muhammad Ali merasa perlu mengirim orang-orang untuk mendalami dan mempelajari kesusasteraan negara-negera Eropa. Sehingga studi demikian sebagai pertanda adanya kebaharuan di bidang kesastraan yang akan dibawa pulang. Upaya demikian juga memicu bentuk baru dalam karya sastra.
Ketika madrasah dan lembaga keilmuwan yang telah ada digunakan untuk mengapresiasi karya sastra dari studi ke Eropa, maka memudahkan untuk mempelajari sebanyak mungkin peradaban Eropa. Sungguh telah bertambah perhatian studi sejarah bentuk kesastraan sejak abad 19 tahun di Eropa. Dalam buku  Sastra Arab Modern (fi al Adab al Hadis), Dr. Hasan Hanafi menyebutkan bahwa madrasah bentuk kesastraan telah berkembang di abad ke-20 dan telah ada dari dua agama yakni Protestan dan madrasah Tubnjan. Dan telah dimulai kritik sejarah untuk kitab suci pada abad ke-18, kemudian muncul madrasah kesejarahan pada abad ke-19 dan ilmu sejarah perbandingan agama, lalu muncul pula penelitian-penelitian studi sejarah bentuk kesastraan dua kitab suci dan kesastraan klasik khususnya dari peradaban Yunani dan peradaban Yahudi.  Kritik dari madrasah terbaru telah berganti dari “kritik sumber” menjadi “kritik bentuk”, atau sebagaimana istilah ulama-ulama studi hadis, perpindahan dari kritik “sanad” kepada kritik “matan”, dan madrasah yang baru telah meminjam bentuk kesastraan dari kritik sastra kompatibel dari teori umum karena sejarah sastra adalah sejarah bentuk kesastraan, madrasah yang baru bergantung pada studi-studi jenis-jenis kesastraan pada sastra klasik, dan perkembangan kritik sastra (Dr. Majid So’idi, 17).
Bagaimana kesastraan arab mengalami totalitas identitas yang berubah seiring bagaimana sebuah negara atau pembentukan negara terus berlangsung mengalami dinamika. Secara sederhana, identitas keindahan dan wazan puisi arab tidak kalah baik dan indah bila membaca karya sastra modern yang sudah bebas tanpa ada ikatan wazan.

1.2  RUMUSAN MASALAH

a.       Bagaimana perkembangan karya sastra arabmodern?
b.      Bagaimana puisi arab modern?
c.       Bagaimana prosa arab modern?
d.      Bagaimana drama arab modern?

1.3 TUJUAN PEMBAHASAN

a.       Memahami perkembangan karya sastra modern
b.      Memahami puisi Arab modern
c.       Memahami prosa Arab modern
d.      Memahami drama Arab modern

BAB II : PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Karya Sastra Arab Modern

      Masa modern dimulai sejak tahun ke-19 bersamaan dengan kedatangan atau pendudukan Prancis ke Mesir sejak 1213 H sampai 1798 H.[1] Faktor-faktor maraknya sastra di masa modern saat itu adalah karena pembelajaran, penelitian ilmiah ke Eropa, penerjemahan, percetakan, perpustakaan-perpustakaan, lembaga/balai bahasa dan kampus-kampus bahasa, orientalisme, drama, dan broadcasting.      
      Dua sebab yang menyebabkan perkembangan modern, pertama komunikasi dengan kitab-kitan klasik yang terdahulu sehingga menyebabkan penyebaran percetakan dan perpustakaan-perpustakaan dan tampaknya adanya kampus-kampus bahasa.Dan yang kedua karena komunikasi dengan peradaban barat modern yang menyebabkan adanya penelitian ilmiah ke Eropa, penerjemahan, orientalisme, dan asilimasi dengan bahasa asing. Dari yang sebab kedua juga menyebabkan perkembangan dan perbedaan dalam karya sastra. Dalam bidang prosa, para sastrawan mulai meninggalkan tema-tema yang lama seperti surat, pitutur, dan munculnya jenis prosa baru, yakni cerita, naskah drama, dan makalah/laporan. Dan kalau dalam puisi, mulai ditinggalkannya tema-tema lama dan diperkenalkannya tema-tema baru seperti puisi sosial, politik dan lain sebagainya. Adanya seni baru seperti puisi drama dan puisi epos[2]. Dan adanya aliran-aliran sastra.

2.2 Puisi Arab Modern

      Pada bidang puisi perkembangan karya sastra ditunjukkan dengan adanya aliran-aliran puisi. Ada tiga tingkatan dalam puisi dan di setiap aliran ada karakteristik seni yang istimewa. Yakni aliran neo-klasik, aliran romantisme dan aliran puisi baru atau puisi bebas:
a.       Aliran neo-klasik
Aliran ini memiliki ciri-ciri:
1.      Dari segi kandungan puisi berisi tentang tema-tema lama seperti al madh, al ghozal, fakhr, dan tema-tema yang baru yang berhubungan dengan kehidupan dan permasalahan sosial dan politik.
2.      Dari segi gagasan, bentuk, dan ungkapan, dari segi gagasan masih yang masih melingkupi gagasan tentang akal dan hikmah. Sedangkan bentuknya atau tipografinya masih seperti yang lama, dan lafaz-lafaz serta struktur merupakan bagian yang teratur dan berirama.
3.      Dari segi lirik syair dan kesatuan seni masih menggunakan wazan dan qofiyah
4.      Penyair-penyair dalam aliran ini adalah Ahmad Syauqi, Hafiz Ibrahim, dan Ali al Jarim dari Mesir, Jamil Jahawi, dan Ma’ruf al Rosafi dari Irak, Hamid Said al amudi, Hamzah Saatah, dan Tohir Zamhasyari dari Arab Saudi
5.      Contoh Syiir aliran neo-klasik seperti dalam kitab al Wasith:
من لى بتربة بتربية النساء فإنها             فى الشرق علة ذلك الإخفاق
الأم مدرسة إذا أعدتها           أعددت شعبا طيب الأعراق
أنا لا أقول دعوا النساء سوافرا            بين الرجل يجلن فى الأسواق
يدرجن حيث أردن، لا من وازع يحذرن رقبتة، ولا من واق
كلا ولا أدعكم أن تسرفوا                فى الحجب والتضييق والإرهاق
b.      Aliran Romantisme
Adanya romantisme menimbulkan dua aliran yang berlawanan dan berkesamaan. Yakni Dr. Ahmad Muzakki dalam bukunya Pengantar Teori Sastra Arab menjelaskan bahwa  aliran yang pertama, mereka hanya terikat pada qafiyah (sajak), sebagaimana yang dilakukan Abu Al-Athiyah pada masa Abbasyiah. Dalam hal ini mereka juga dipengaruhi oleh William Shakespere, seorang sastrawan romantik Inggris terkenal. Pada masa mereka yang dikenal dengan sebutan puisi lepas (syi’ir al mursal). Yang kedua adalah yang beraliran bahwa mereka sama sekali tidak menerima arudl, baik wazan (musikalitas) maupun qafiayah (sajak), tidak terikat oleh aturan klasik, atau bergaya prosa liris. Salah satu dari keduanya dari tanah arab dan pemuka dari aliran ini adalah Khalil Gibran dan dari aliran romantisme menimbulkan dan membekaskan pada perasaan dan emosi yang lembut, kealamihan yang indah yang berasal dari Libanon dan karena hubungan dari kebudayaan Francis. Dan Khalil Gibran memulainya dengan lirik syair dengan judul al masa’ pada tahun 1902 H dan telah dipelajari. Dan karakteristik dari aliran ini adalah:
a.       Pemerhatian kepada perasaan dan ungkapan tentang zat
b.      Bergantung pada imajinasi dan kalimat retoris/ balaghah
c.       Emosi yang alami dan personifikasi
d.      Menggunakan bahasa sensitif/menyentuh dan music yang tenang
e.       Dan ada juga yang tetap menjaga kesatuan sajak dan rima
f.       Madrasah diwan didirikan oleh tiga pemuka gerakan pembaruan; mereka adalah Abbas Muhammad al Aqod, Ibrohim Abdul Qodir al Mazani, dan Abdurrahman Syukri.
g.      Contoh puisi aliran romantisme adalah puisi dari Khalil Gibran:
شكوى
شاك إلى البحرى اضطرب خواطر         فيجيبنى  برياحه الهوجاء
ثاو على صخر أصم وليت لي  قلبا كهذي الصخرة الصماء
Dan ada juga aliran romantisme ini berasal dari aliran imigran. Dan penyair dari jenis ini memaksudkan pada sastra (migrasi) arab, karena mereka berhijrah atau bermigrasi dari Syam ke Amerika Utara dan Amerika selatan. Alasan mereka berhijrah adalah karena ingin mempelajari majalah dan koran bekas peninggalan kolonial. Imigrasi dimulai pada abad ke-19. Faktor-faktor yang mempengaruhi puisi-puisi imigran adalah:
a.       Kepribadian mereka dipengaruhi oleh budaya barat dan masyarakat sekitar mereka yang ikut bermigrasi
b.      Kerinduan pada tanah air dan rasa nasionalisme
c.       Komunikasi dengan kebudayaan asing    
Karakteristik puisi imigran adalah:
1.      Dari segi isi: mereka menggunakan teori eksistensi dan masyarakat humanis tentang cinta, kasih sayang, kebaikan, seruan akan sadar pada prinsip, persamaan, simpati dan tenggang rasa. Selain itu tentang kealamiahan (mencakup penggambaran tentang angan-angan dan adaptasi) dan kerindauan pada tanah air. Dan terakhir simbol-simbol.
2.      Dari segi bentuk: pembaruan dalam wazan dan qofiyah, jelas dan mudah dalam struktur, dominasi bentuk syair cerita dalam lirik syair, sedikit mengikuti orisinalitas leksikologi serta memperhatikan pada irama lafaz.
3.      Contoh Puisi Imigran adalah puisi dari Ilya Abu Madhi:
إن نفسا لم يشرق الحب فيها             هي نفس لم تدر ما معنها
c.       Aliran Puisi Baru atau Puisi Bebas
Aliran ini berdiri karena didorong oleh faktor politik dan ekonomi paska perang dunia kedua, bersamaan dengan lemahnya pengaruh aliran romantisme yang dibangun atas dasar imajinasi, dan telah tampak kecenderungan lain yang dikenal dengan kecondongan kepada hal-hal yang fakta, serta dari segi isi dan bentuk berbeda dengan apa yang pernah ditulis sebelumnya.
Dalam kitab al adab wa an nusus lighairi an natiqina bil arobiyyah, disebutkan bahwa ada dua hal yang disampaikan dalam isi atau makna puisi arab baru atau puisi bebas:
a.       Puisi yang menyampaikan tentang pengalaman nyata yang hakiki yang dimaksudkan bahwa semua puisi bertema-tema kehidupan.
b.      Puisi memiliki fungsi sosial untuk membuka tentang rakyat yang terbelakang, menyeru pada percampuran semua penduduk, membantu gerakan-gerakan pembebasan dan berusaha menciptakan hidup yang lebih baik.
Puisi ini tidak terikat dengan aturan wazan dan qofiyah, tetapi masish terikat dengan satuan irama khusus yang menjadi karakteristik karya sastra bernilai tinggi. Penyair hanya mengungkapkan perasaan dan imajinasi, sehingga iramanya berisfat subjektif (Dr. H. Ahmad Muzakki, M.A, 2011;57).

A. Tema-tema, gaya bahasa, dan makna-makna pada puisi modern:
1.      Tema-tema puisi modern
a.       Al Washf
Al Washf adalah tema puisi yang sudah menjadi tema umum dari masa klasik kesusasteraan Arab sampai di masa modern.Tema ini selalu membicarakan puisi untuk menggambarkan keadaan alam dan lingkungan.Al washfu dianggap sebagai tema-tema orisinil kesusasteraan arab, semenjak mereka menemui setiap tempat  dekat dengan perasaan mereka, yang mereka dapatkan, atau apa yang deskripsikan, sehingga tidak heran bahwa para penyair modern menghadapi lebih banyak ketika penulisan tema ini dengan banyak hal; tema. Sungguh-sungguh mereka telah mendeskripsikan tentang olahraga, pepohonan, laut, sungai dan setiap pemandangan dari yang jelek sampai yang bagus, menjadi pengaruh pada jiwa mereka menjadi takjub dan tak percaya (Dr. Muhammad Said bin Husain, 1405 H:26).
Berikut contoh puisi Ahmad Syauqi tentang laut (Dr. Muhammad Said bin Husain, 1405 H:26)
همت الفلك و احتواها الماء وحداها بمن تقل الرجاء
ضرب البحر ذوالعباب حواليها       سماء قد أكبرتها السماء
ورأ المارقون من شرك الأرض شبك تمدها الدماء
وجبالا موائجا فى جبال     تتدجى كأنها الظلماء
ودويا كما تأهبت الخيل    وهاجت حماتها الهيجاء
لجة عند لجة عند أخرى    كهضاب ماجت بها البيداء
وسفين طورا تلحو وحينا    يتولى أشباحهن الخفاء
نازلات فى سيرها صاعدات كالهوادى يهزهن الحداء
((رب)) فى شئت فالفضاء مضيقوإذا شئت فالمضيق فضاء
b.      Al Madah
Selain al washfu, al madah juga karakter puisi arab modern. yang selalu membicarkan tentang pujian. Obyeknya berbeda-beda, bisa kepada sifat baik dan akhlak yang mulia orang lain atau kepada makhluk Tuhan. Berikut contoh puisi Ahmad Syauqi tentang pujian kepada bunga mawar (Dr. Muhammad Said bin Husain, 1405 H:27)
قم فى فم الدنيا و حي الأزهرا             وانثر على سمع الزمان الجواهر
واجعل مكان الدر إن فصلته             فى مدحه جرخ السماء النير

c.       Ar Ritsa’
Ar ritsa adalah puisi yang membicarakan kesedihan. Karena selalu mengungkapkan tentang rasa gagal, sendu, dan tidak menyenangkan.Dalam ritsa’, kadang-kadang penyair mengungkapkan sifat-sifat yang terpujii dari orang telah meninggal, atau mengajak kita untuk berpikir tentang kehidupan dan kematian. Tema ini paling banyak memberikan pengaruh, karena penyair mengungkapkan tentang kejadian yang disaksikan (Dr. H. Ahmad Muzakki, M.A, 2011;113).
Berikut  contoh puisi Ahmad Syauqi tentang ayahnya:
يا أبي والموت كأس مرّة                لاتذوق النفس منها مرتين
كيف كانت ساعة قضيتها كل شيء قبلها أو بعد هيت
أشربت الموت فيها جرعة   أم أشربت الموت فيها جرعتين
d.      Al Ghozal
Yakni seni yang membicarakan tentang perilaku orang-orang arab. Khusus di masa modern. Berikut contoh puisi Rofi’i:
من للمحب ومن يعنيه               والحب أهنؤه حزينه                  
أنا من عرفت سوى قساوته فقولوا كيف لينه
ان يقض دين ذوى الهوى   فأنا الذى بقيت ديونه              
قلبى هو الذهب الكريم               فلا يفارقه زينة

e.       Al Fakhr wa al hammasah
Fakhr adalah tema ini pada mulanyad digunakan untuk menggambarkan kemegahan diri atau suku, namun sekarang digunakan untuk kepentingan bangsa (Dr. H. Ahmad Muzakki, M.A, 2011;133). Sebagaimana puisi Al Barudi:
إذا استلّ منا سيد غرب سيفه        تفزّعت الأفلاك و التفت الدهر    

f.       Al Hija’
Merupakan salah satu tema yang sedikit menjadi urusan di masa modern, semenjak diangkat kembali oleh para penyair.Khususnya puisi hija’ kepada seseorang.Puisi ini sangat sarat kelembutan dalam lafaz-lafaznya.Pada masa ini hija’ ditujukan kepada musuh-musuh bangsa, musuh-musuh Islam.Para penyair yang sering menuliskan tema hija adalah Muhromi, Hafiz, dan lain sebagainya.
Dan ketika mereka mencela seseorang dengan aib mereka, akhlak mereka, dan sifat-sifat mereka yang agung dan baik.Seperti Syauqi ketika menghina Mustafa Kalam Turki.
أديم وجهك يازنديق لوجعلت                  منه الوقاية والتجليد للكتب
لم يعلها عنكبوت أينما تركت                 ولا تخاف عليها سطوة اللهب
g.      Puisi tanah air
Puisi menggambarkan tentang nasionalisme rakyat dari satu negeri, angan-angan mereka, perspektif mereka terhadap kolonial-kolonial dan lawan negeri.Dan tema puisi tanah air sebenarnya berisi tentang penghinaan.Puisi dengan tema cinta tanah air berupa pujaan kepada tanah kelahiran atau negeri tercinta.
قف الخلق ينظرون جميعا              كيف أينى قواعد المجد وحده


h.      Puisi Sosial
Puisi membicarkan tentang kondisi masyarakat, himbauankepada perbaikan dari apa saja yang merusak kehidupan bermasyarakat. Memberitakan tentang kemiskinan dan sebab-sebabnya, dan pengkhianatan dari para arsitektur, para dokter, para ilmuwan, dan para fuqoha’, dan lain sebagainya. Sama halnya seperti yang mereka bicarakan tentang khurafat dan kekuasaan dalam masyarakat. Dan mereka mengatur tentang pendidikan para remaja dan pembangunan sosial dan penyediaannya. Dengan sastra bertema puisi sosial ini menghimbau untuk menyebarkan rasa untuk belajar dan memerangi kebodohan  dan kemiskinan.
 أحياؤنا لايرزقون بدرهم             وبألف ألف ترزق الأموات
من فى بحظ النائمين بجفرة            فأنت على أحجارها الصلوات
Dan selain puisi-puisi neo-klasik di atas, pada masa modern ada juga puisi bertema sejarah, pendidikan, puisi simpati dan puisi keagamaan.
2.      Seni Baru dalam Puisi

a.       Musikalisasi Puisi
Puisi yang membicarakan tentang musik dan mengungkapkan perasaan dan emosi sebagaimana perasaan orang dulu yakni al madh, al fakhr, al ghozal, ar ritsa’, al washfu dan lain sebagainya.
b.      Epos
Yakni puisi tematik yang menyampaikan tentang kisah-kisah yang berhubungan dengan kehidupan seorang pahlawan dan dipadukan dengan legenda yang pernah bergolak dengan perasaan. Dan lirik syairnya panjang karena sampai pada 1000 bait.
Dengan adanya komunikasi dengan sastra dari para bangsa barat dan menerjemah epos Yunani seperti Elijah dan Odessa (Homerus), dan Synamah dari puisi al Faris (Firdaus) para penyair berusaha memasukkannya dengan warna sastra arab, dan contohnya (pemuda gunung yang hitam) Khalil Gibran, (Elizah Islam) Ahmad Muhrom, yakni yang menggambarkan tentang saat-saat perang-perang masa Rasulullah. Dan Tidak lupa pada apa yang disusun oleh Umar Abu Rishah yakni epos-epos pahlawan dalam Tarikh al Arab (Hasan Khamis al Maliji: 1149; 340)-341.

c.       Puisi Drama
Jenis puisi yang membicarkan tentang berbagai peristiwa ragam kepribadian dan berbagai percakapan yang ditulis untuk drama menjadi sebuah sandiwara atau yang dibangun dengan alur peristiwa. Dan jenis ini adalah asli dari sastra arab modern dari penyair Ahmad Syauqi yang dirintisnya dalam bidang puisi drama dianggap sebagai pemuka drama puisi (Hasan Khamis al Maliji: 1149; 341). 
2.3 Prosa Modern
Pada awal masa-masa ini, bahasa ‘aamiyah berada dalam puncak kemerosotan. Kemudian setelah pengajaran tersebar ke semua lapisan masyarakat Mesir, masuklah kedalam bahasa mereka banyak sekali kata-kata fasih, yang kemudian meluas kepada keluarga mereka yang buta huruf dan kepada kaum wanita.
Hal ini ditunjang oleh penggunaan bahasa fasih dalam pengaduan-pengaduan ke Mahkamah, dan oleh banyaknya surat kabar, majalah-majalah, dan cerita-cerita sastra. Puisi-puisi jenis zaji, mawaliya dan wawu berkembang, dan wawu berkembang, dan pada masa Ismail Pasya puisi zaji mencapai puncaknya. Diantara para tokoh-tokohnya yang kenamaan ialah Muhammad Usman Jalal Bey, Sayid Abdullah an-Nadiem, Syaikh Muhammad an-Najjar, Syaikh Muhammad al-Qoushy, dan lain-lain tetapi jenis puisi ini akhirnya merosot sebab dikalahkan oleh puisi fasih dan dikarenakan keengganan para pembesar untuk mendengarkannya.[3]
Perkembangan prosa dalam kesusastraan Arab dapat dibedakan menjadi dua tahap, yaitu:[4]
1. Prosa pada tahap permulaan pembaharuan
Pada masa ini, para penulis masih mengikuti para pengarang masa sebelumnya, yaitu masa Turki. Mereka tidak saja meniru gayanya, tapi juga isinya. Mereka masih tetap memperhatikan saja' (prosa lirik), jinas (asonansi), dan tibaq (antitesis). Mereka lebih mementingkan permainan kata-kata daripada isi dan idenya. Gaya dan isi seperti ini muncul di berbagai negara Arab. Akan tetapi, setelah itu, muncul unsur-unsur pembaharuan seperti yang tampak pada pengarang terkenal seperti: Adurrahman Jabarti (1754-1822), Ismail Khasab (w. 1815), dan Abdullah Fikri (1834-1889).
Unsur-unsur pembaharuan dalam prosa Arab ini berkembang secara bertahap dalam masyarakat Arab. Para pengarang sudah mulai memperhatikan aspek pemikiran dan makna tulisannya, kebiasaan mengarang sudah mulai tumbuh dalam masyarakat Arab. Di antara para pengarang masa ini adalah Rifa'at Tahtawi (1801-1873), Ibrahim al-Muwailihi (1846-1906), dan Nasif al-Jazili (1800-1871).

2. Prosa pada tahap pembaharuan 
Terjadinya pembaharuan di bidang prosa pada masa ini disebabkan oleh munculnya para reformis dan pemikir yang menyebabkan terjadinya pembaharuan dalam masyarakat Arab dan Islam, seperti Muhammad Abdul Wahab (1703-1792) di Saudi Arabia, Jamaludin al-Afgani (1838-1897) di Afganistan, dan Muhammad Abduh (1839-1905) di Mesir, serta Abdurrahman Kawakibi (1849-1902) di Syiria, serta munculnya sarana-sarana kebudayaan, terutama bidang penerbitan dan surat kabar. Surat kabar mempunyai peran besar dalam pembaharuan prosa di negara-negara Arab, juga munculnya kesadaran politik dan sosial di negara-negara Arab. 
Ciri-ciri prosa pada masa ini adalah lebih memperhatikan pemikrian daripada unsur gayanya, tidak banyak menggunakan kata-kata retoris seperti saja' tibaq, seperti pada masa sebelumnya. Pemikirannya runtun dan sistematis, penulis tidak keluar dari sati gagasan ke gagasan yang lain, kecuali gagasan yang satu telah selesai, pendahuluannya tidak terlalu panjang, temanya cenderung pada tema yang sedang terjadi pada masyarakat, seperti masalah politik, sosial, dan agama.
Perkembangan prosa Arab pada tahap ini tidak berjalan pada satu garis, melainkan berjalan pada dua kecenderungan. Kecenderungan pertama, mereka yang menyerukan agar berpegang teguh pada kebudayaan Arab dan Islam yang asli dengan mengambil manfaat dari kebudayaan Barat. Di antara para pengarang yang mempunyai kecenderungan seperti ini adalah: Mustafa Luthfi al-Manfaluti, Mustafa Shadiq ar-Rafi'i (1881-1937), Abdul Aziz Bisyri (1886-1943), Syarkib Arsalan (1869-1946), Ahmad Hasan az-Ziyat (1885-1968), dan Mahmud Abbas al-Aqqad.
Kecenderungan kedua, mereka yang sama sekali menjauhkan diri dari pengaruh kebudayaan Barat. Di antar pengarang yang masuk ke dalam kecenderungan ini adalah: Amin Rihani (1876-1940), Ibrahim Abdul Qadir al-Mazini (1890-1949), Muhamad Husein Haekal (1869-1946), Ahmad Amin (1878-1954), dan Taha Husein.
A. Genre Prosa Modern[5]
1. Rosail atau risalah
Rosail merupakan salah satu genre prosa yang ada pada masa ini. pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 banyak terdapat kitab rosail terkenal karangan para sastrawan pada masa ini seperti Abdullah Fikry, Syeikh Muhammad Abduh, Hifni Na’shif, Adib Ishaq, Ahmad Miftah, Abdul Aziz jäwiz, dan bahitah al badiyah. Karangan mereka terkenal dengan sebutan Rasail Al-Ikhwaniyah yang  mana penjelasan didalamnya menjelaskan tentang sebagian hubungan kemanusiaan (hubungan sosial) diantaranya adalah ucapan selamat, ucapan bela sungkawa,  rindu, harapan, celaan, dan sifat yang menggambarkan tentang permasalahan kehidupan, dan hubungan antara antara manusia. (Mansyur Ahmad dkk, 1972: 174)
2. Khitabah
Khitabah adalah sejenis perkataan dan merupakan cara untuk memuaskan sesuatu dalam mempengaruhi seseorang ataupun kelompok, hadirnya khitabah adalah untuk mempertahankan pendapatnya sendiri dan merupakan reaksi terhadap hal-hal yang menyangkut pendapat tersebut. Sedangkan perkembangan khitobah pada masa ini lebih berisi tentang as siyaisyah atau politik. (Mansyur Ahmad dkk, 1972: 177)
3. Kisah (Qishshah) adalah cerita tentang berbagai hal, baik yang bersifat realistis maupun fiktif, yang disusun menurut urutan penyajian yang logis dan menarik, perkembangan Qishshah pada masa sastra Arab modern terbagi dalam 3 tahapan (Mansyur Ahmad dkk, 1972: 178), yaitu:
1.      Fase pertama ialah fase penerjemahan Qishshah sastra Barat kedalam bahasa Arab, Rifah Athohtowi merupakan sastrawan pertama penerjemah Qishashah pada fase ini
2.      Fase yang kedua adalah fase untuk Qishshah bahasa Arab, Qishshah ini muncul dikarenakan munculnya kisah-kisah tentang sejarah. George zaedan merupakan orang yang pertama kali menulis 18 kisah yang disandarkan pada sejarah Arab Islam.
3.      Fase yang ketiga adalah Qishshah bahasa Arab yang muncul dikarenakan adanya kisah social.
Prosa modern mempunyai tiga jenis utama, yaitu:[6]
1. Kitabah Diwaniyah(الكتابة الديوانية)
Kitabah Diwaniyah adalah prosa yang ditulis dengan pena para kuttab diwan dan editor di sebuah lembaga pemerintahan dan umum. Kitabah diwaniyah terdapat di Mesir dan Syam (Syria) pada permulaan masa modern. Prosa jenis ini menggunakan bahasa ‘amiyah yang bercampur dengan bahasa Turki, sedangkan bahasa fushahnya ditiadakan. Hal itu membuat prosa ini menjadi lemah. Jenis prosa ini hanya ada di dua negara tersebut (Mesir dan Syam) dan negara-negara disekitarnya, seperti Irak  kira-kira hingga tahun 1325 H. Kemudian para pemikir muda di Mesir mulai mengadopsi reformasi metode-metode kitabah diwaniyah. Hal itu mengalami kemajuan dalam perkembangannya dari waktu ke waktu hingga pertengahan abad keempat belas dan sangat bagus dalam hal kefasihan lafaz, kontinuitas gaya bahasa dan menjaganya dengan mudah.
2. Kitabah at-Ta’lif (كتابة التأليف)
Kitabah at-Ta’lif adalah metode yang dirumuskan/disusun dari realitas ilmiah dalam segala bidang ilmu seperti fiqh, sastra, kedokteran, dan lain-lain. Prosa ini menggunakan bahasa fushah yaitu gaya bahasa yang jelas, beda dengan kitabah diwaniyah.
Dalam prosa ini tidak diperbolehkan menggunakan majaz serta jenis-jenisnya, seperti majaz aqli, mursal, isti’aroh, kinayah dan tasybih dimni. Sedangkan tasybih wadih boleh digunakan ketika dibutuhkan untuk menjelaskan beberapa masalah. Pada permulaan masa modern bahasa karangan merupakan kelemahan seni badi’, seperti halnya bahasa ‘amiyah pada gaya bahasa sebagian para pengarang, termasuk al-Gibrani dan Ibnu Ghanam. Ketika koran mulai bermunculan, percetakan mencetak buku-buku tersebut. Para pengarang mulai menyusun gaya bahasa baru seperti al-Jahith dan Ibnu Kholdun. Maka kitabah ta’lif mengalami kemajuan hingga mendapat tempat di dunia percetakan. Gaya bahasa pengarang yang ilmiah menjadi percontohan bahasa arab asli baik secara lafad maupun gaya bahasa.
3. Kitabah Adabiyah (الكتابة الأدبية)
Kitabah adabiyah adalah prosa yang dihasilkan oleh rasa dan perasaan insan yang menggambarkan keburukan dan kecantikan serta kejadian-kejadian dalam kehidupan manusia. Yang mana ketika sastrawan mulai merangkai kata-kata mereka dipengaruhi intuisi dan perasaan dalam suatu kejadian yang berbeda dengan kecenderungan dan orientasi sang sastrawan pada tema-tema dan seni sastra. Begitu pula perbedaan kemampuan sastrawan dalam bidang bahasa dan penggambaran sastra.
Pada permulaan masa modern prosa jenis ini memiliki struktur lafaz tanpa rasa, intuisi, dan perasaan seperti dalam media massa. Sebelum pertengahan abad ketigabelas hijriah orang-orang Nasrani Barat menggiatkan prosa di Syam, khususnya Lebanon. Mereka juga membuka sekolah-sekolah yang berusaha menarik minat anak-anak negeri pada prosa. Dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa pendidikan, dan diharuskan menggunakan buku-buku sastra arab dalam belajar mengajar. Maka anak-anak Syam dipengaruhi oleh gaya bahasa arab klasik dan mereka mulai berusaha menyalinnya. Kitabah fanniyah digiatkan di Syam dan benar-benar diajarkan pada masyarakatnya yang mayoritas orang-orang Nasrani yang hijrah dari Mesir yang melarikan diri dari Usmani. Mereka merintis koran (media cetak) di Mesir, yang mereka adaptasi dari koran Syam. Masyarakat Mesir melihat adanya pemikiran dan sastra yang mirip dengan Syam. Hal itu menghasilkan gerakan sastra yang menghidupkan kitabah fanniyah dengan baik dan para pemuda yang sangat unggul dalam bidang sastra itu memprioritaskan kitabah adabiyah. Hal ini diwarisi dari tulisan-tulisan yang ada pada hadis-hadis dan karangan-karangan. Orang-orang yang pertama kali menyebutkannya antara lain Mustafa Lutfi, Muh. Husein Haikal, Thoha Husein, dan masih banyak lagi. Dengan tangan merekalah kitabah adabiyah mencapai puncak kejayaannya hingga pada tahun 1372 H koran dan majalah tidak lagi berpedoman pada pemikiran ketuhanan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kitabah:
1.      Munculnya warisan Arab
2.      Adanya koran
3.      Digiatkannya gerakan kritik
4.      Kebangkitan umum yang mengawali di bidang ini
B. Karakteristik Prosa Modern:[7]
Dalam sejarah kesusastraan Arab modern, sastra prosa telah berhasil mengekspresikan suasana yang kontemporer dan menyebarkan isu-isu individu, keluarga, dan masyarakat. Ciri-ciri kebangkitan sastra prosa pada masa ini dapat dilihat dengan adanya perhatian yang besar terhadap bangkitnya kembali karya-karya Arab klasik, baik dalam bentuk kesusastraan, filsafat, dan disiplin ilmu lainnya (Ahmad Bahruddin, 2011).
Ciri-ciri prosa pada masa ini adalah lebih memperhatikan pemikrian daripada unsur gayanya, tidak banyak menggunakan kata-kata retoris seperti saja’, tibaq, seperti pada masa sebelumnya. Pemikirannya runtun dan sistematis, penulis tidak keluar dari satu gagasan ke gagasan yang lain, kecuali gagasan yang satu telah selesai, pendahuluannya tidak terlalu panjang, temanya cenderung pada tema yang sedang terjadi pada masyarakat, seperti masalah politik, sosial, dan agama. Perkembangan bahasa pun mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang panjang-panjang, dan berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan kosakata klasik berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman, serba singkat, dan serba cepat. Perkembangan bahasa pun mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang panjang-panjang, dan berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan kosakata klasik berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman, serba singkat, dan serba cepat (Ahmad Bahruddin, 2011).

2.4  Drama Arab Modern


Defenisi Drama yaitu suatu karya sastra yang mengungkapkan suatu cerita melalui dialog-dialog para tokohnya. Salah satu ciri drama adalah dialog, dialog merupakan unsur drama yang membedakan antara drama dengan epos dan kisah-kisah.[8]
A.    Drama Dalam Sastra Arab
Pertama kali drama Arab dirintis sekitar pertengahan abad 19 di suriah. Suriah juga mencakup libanon dan palestina karena semuanya di gabungkan. Adapun orang yang pertama kali memulai drama arab yaitu (marwan an-naqos 1817-1855). Sedangkan kebudayanya bangsa italia, perancis, turki dan kebudayaan bangsa arab itu mengambil dari seni italia akan tetapi dari segi tema mereka bergantung pada drama-drama dan kebudayaan perancis. Pada tahun 1848 marwan naqos menampilkan drama di rumahnya yang terletak di Beirut dengan bantuan ahli penerjemah karya sastra drama, drama yang ditampilkan berjudul البخيل ( L’Avare) dalam drama yang ditampilkan tersebut menunjukan karakter bangsa-bangsa arab dilihat dari segi nama- nama tokohnya dan  latarnya. Adapun drama yang ke dua yaitu drama komedi oleh Abu Hasan yang diambil dari karya sastra 1001 malam. Abu Hasan adalah keturunan dari kholifah Harun ar-Rosyid, dan drama yang ke tiga sekaligus drama terakhir yang menceritakan sejarah drama oleh Moliere .
Kelompok dramawan suriya yang dipimpin oleh salim an-naqos (ibn akhi marwan an-naqos tiba di mesir pada abad 19. Diantara kelompok ini Adib ishaq dan Yusuf  Khayat merupakan orang pertama yang tiba di mesir sejak tahun 1876. Mereka juga sebagai wakil dramawan di kairo atau iskandariah, dan sudah banyak drama-drama perancis klasik yang sudah di terjemahkannya. Seperti drama (Andromak), (vedder) oleh penyair perancis yaitu rosin , drama هوراس  oleh penyair كورني, drama (زينوبيا) oleh penyair perancis klasik yaitu I’abbe D’aubignac.[9]
Drama di bagi menjadi 2 yaitu:
1.         Komedi  adalah cerita yang akhirnya menyenangkan
2.         Tragedy adalah cerita yang akhirnya  menyedihkan
Sastra Arab baru mengenal genre drama pada masa modern. Mereka mengambil genre tersebut dari Barat. Dalam perkembangan berikutnya, seni drama di dalam sastra Arab adalah melalui empat fase:
1.      fase Marun Nuqas al-Lubnani yang meresepsi seni drama ini dari Italia. Dalam karya dramanya berjudul al-Bakhil karya Muller. Kemudian diikuti pula oleh karya-karya drama yang lain seperti Harun al-Rasyid (1850). Karya dramanya yang bersifat jenaka musikal lebih dapat dikatakan sebagai seni operet yang begitu memperhatikan aspek musikalitas dari pada dialoq. Karya-karya dramanya dapat dicerna oleh cita rasa awam, hanya saja karya ini ditulis dengan menggunakan bahasa campuran antara fusha, ami, dan Turki dalam gaya longgar (tidak baku).
2.      fase Abu Khalil al-Qubbani di Damaskus yang memajukan seni drama dengan menampilkan banyak sekali kriteria-kriterianya serta bercita rasa dapat dinikmati oleh awam dengan cara memilih drama-drama kerakyatan seperti alfu laylah. Dialognya menggunakan bahsa fusha berupa campuran antara puisi dan prosa yang kadang-kadang mempertimbangkan juga sisi persajakan. Ia terus menghasilkan karya-karya drama di Damskus antara 1878-1884. Sayangnya, beberapa saat setelah itu panggung dramanya ditutup dia pun lalu hijrah ke Mesir dan tetap menulis karya drama.
3.      fase Yakkub Sannu’. Pada masa pemerintahan Ismail Basha yang pada saat itu dibangun gedung pertunjukan di mana disitu ditampilkan opera “Aida’ dengan menggunakan bahasa Perancis, dipentaskan pada pembukaan terusan Suez tahun 1869. Pada tahun 1876 muncul tokoh Mesir dalam bidang drama yang bernama Sannu’, populer dengan nama Abu Nazarah. Ia cenderung mengkritisi sosial politik dengan menggunakan bahasa ammi. Kelompok-kelompok penulis Siria dan Mesir melanjutkan penulisan karya drama di Mesir.
4.      fase perkembangan pada awal abad 20. Hingga pada tahap ini, banyak drama di Mesir merupakan hasil terjemahan atau resepsi, sebagian diantaranya diterangkan  ini.  Fase pertama 1910, George Abyad pulang dari Perancis setelah di sana mempelajari prinsip-prinsip seni drama, lalu dibuatkan karya drama sosial antara lain berjudul Misr al-Jadidah tulisan Farh Anton, juga dibantu oleh Khalil Mutron dalam menerjemahkan beberapa novel Shakespeare seperti Tajir al-Bunduqiyah,Athil, Macbat, dan Hamlet. Fase kedua, adalah Yusuf Wahbi mendirikan kelompok ramsis yang memperhatikan tragedi. Ketua kelompok ini telah menulis kurang lebih 200 drama. muncul pula kelompok Najib al-Raihani yang memiliki kecenderungan drama komedi kritik sosialFase ketiga, pasca perang dunia pertama. Di dalam dunia drama muncul aliran Mesir Baru (madrasah al-Misriyah al-Jadidah) yang begitu perhatian terhadap karya drama. Memberikan sentuhan pada probelatika sosial serta cara-cara mengatasinya dengan pasti. Di antara tokohnya adalah Muhammad dan Mahmud Taymur. Fase keempat, mucullah penulis drama Arab modern terbesar Taufiq el-Hakim yang berhasil menuntaskan studi atas prinsip pokok drama di Perancis. Ia menulis lebih dari 60 judul karya drama lengkap dengan struktur dan temanya, demikian pula dialog dan penokohannya. Taufiq begitu ambisius untuk dapat menyertai gerakan perkembanga modern dalam dunia drama. Oleh karena itu, tampak terus mengikuti perkembanga draman barat beserta kecenderungannya. Tidak heran, bila ia dapat berpindah-pindah tema dari drama sejarah ke drama sosial, lalu drama ideologis yang menyelesaikan problema mentalitas. Setelah di dunia Barat muncul drama absurd, ia pun juga melakukan hal yang sama berjudul, Ya Tali’ Syajarah, dan Ta’am Likulli Famm.

2.5 Para Sastrawan Modern
1. Abbas Mahmud Al-Aqqod (1307 H – 1384 H)
Lahir di kota Aswan, Mesir 28 Juni 1889 M / 1307 H. Dia merupakan penyair dan penulis prosa. Sejak kecil dia suka membaca buku atau majalah di perpustakaan ayahnya, terutama yang berkaitan dengan sastra. Dia juga suka mendengar syair-syair dan hadist di majlis ilmu Syekh Ahmad Al-Jadawi.[10]Tampak dalam dirinya aura kecerdasan. Kegemaran dan kepiawaian al-‘Aqqâd dalam bidang tulis-menulis, membuatnya dibanjiri pujian oleh guru-gurunya. Seperti Muhammad ‘Abduh, Sa’d Zaglul, dan Abdullah Nâdim. Sementara di luar sekolah, ia juga belajar kepada Qadhi Ahmad Jadami, seorang ahli fiqih sahabat Jamaluddin al-Afgani.
Al-‘Aqqâd adalah seorang jurnalis, kritikus, dan sastrawan Mesir terkemuka. Kontribusi pemikirannya cukup berperan dalam pengembangan wacana keagamaan dan sosial. Bahkan dirinya juga termasuk salah seorang penyair ternama Mesir yang bersama Abdurrahmân Syukri dan Ibrâhîm Abd al-Qâdir rl-Mâzinî membentuk grup Diwan, yaitu kelompok pembaharu dalam sastra arab Mesir.
Karier  al-‘Aqqod sebagai jurnalis dimulai sejak ia berumur 16 tahun. Pada mulanya, cita-citanya ingin menjadi pegawai pemerintah, tetapi peraturan yang ada mensyaratkan bahwa calon pegawai harus berumur 18 tahun. Sehingga keinginannya belum dapat tercapai, sebab ia harus menunggu dua tahun lagi. Pada masa menunggu inilah , al-‘Aqqod menerbitkan majalah mingguan Raj’u Sada, juga menjadi penulis pada majalah al-jaridah pimpinan Ahmad Luthfî al-Sayyid, dan majalah az-Zahir pimpinan Abu Syadi, al-Mu’ayyad, dan al-Liwa’. Dalam bidang jurnalistik ini, ia mendapat bimbingan dari Muhammad Farîd Wajdi, seorang ulama’ dan penulis terkemuka di Mesir dan pernah bergabung dalam penerbitan surat kabar ad-Dustur. Membaca adalah hobinya, sehingga membuat dirinya bekerja hanya untuk dapat membeli buku. Akibatnya, tulisan-tulisannya begitu tajam, kritis dan cerdas.
Sebagai satrawan, sumbangan al-‘Aqqod terlihat pada tulisan-tulisannya, baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Ciri khas puisinya terletak pada sisi kehalusan perasaan (kepekaan rasa) dan pikiran yang menjadi suatu paduan yang sangat serasi. Karya puisi-puisinya mengetengahkan pendapat-pendapat yang brilian. Menurutnya, puisi yang hanya menerbitkan bentuk teksnya saja tidak akan berbobot dan puisi tidak hanya cukup pada cerita atau puisi cerita. Akan tetapi, yang terpenting dalam puisi adalah maknanya. Sebagai kritikus, al-‘Aqqod telah memberikan kritik terhadap puisi dan prosa yang ada sambil mengemukakan pendapat untuk memperbaharuinya. Susunan bahasa puisi dan prosa yang penuh hinaan tak berisi diarahkannya kepada susunan kata yang penuh arti dan padat isi. Hal tersebut dapat digali dari keindahan lingkungan dan kekayaan budaya Mesir. Sebab, hal itu dapat menjadi bahan imajinasi dan bahan gubahan. Pikiran-pikirannya dalam bentuk puisi dipublikasikan di majalah yang telah disebutkan di atas sejak sebelum Perang Dunia I.
Al-‘Aqqod berpendapat bahwa seorang penulis sejati adalah pemikiran orisinil dari pikiran dan metodenya sendiri tanpa mencontoh sedikitpun karya-karya sebelumnya. Oleh karena itu, ia mengkritik penulis-penulis seperti Ahmad Syauqi dan Thaha Husein yang dianggapnya hanya mampu berfikir dengan metode orang lain dan sedikit sekali pemikiran orisinil yang dihasilkannya.[11]
Bukunya mengenai peradaban mencapai seratus buku.Salah satunya yaitu شعراء مصر وبيئاتهم في الجيل الماضي. Buku ini menjelaskan tentang uslub (gaya bahasa) yang dipakai para ilmuwan ahli sastra serta mencakup ide dan pemikiran Al-Aqqod.[12] Selain itu, karyanya yang berjudul Mausu’ah ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad (Ensiklopedi ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad)(1970) yang terdiri dari 5 jilid juga diterbitkan oleh  Dar al-Kitab al-Arabi di Beribut. Buku tersebut adalah kumpulan tulisan. Dalam karya-karya itulah al-‘Aqqad mempublikasikan beberapa pemikiran yang dianggap orisinil tentang berbagai segi kehidupan umat Islam. Pemikiran yang berupa obsesi untuk membawa umat Islam kepada kemajuan.
Karya sastra al-‘Aqqod pertama kali diterbitkan pada tahun 1916 berupa antologi puisi. Setelah itu menyusul beberapa buku antologi puisi yang lainnya seperti: هداية الكروان, أعاصير المغرب, حي الأربعين, dan عابر سبيل. Abbâs Mahmûd Al-‘Aqqod meninggal di Kairo 12 Maret 1964.
2. Mustafa Shodiq ar-Rofi’i (1298 H – 1356 H)
Lahir pada tahun 1298 H di Mesir. Pada masanya, dia adalah pembawa bendera asli sastra dan balaghah. Dia memulai kehidupan sastranya dengan menjadi penyair dan mulai membuat tiga diwan yang membuat takjub para sastrawan pada zamannya. Mereka menyebutnya “Penyairnya Pemuda Pemudi”. Kemudian dia beranggapan bahwa syair tidak realistis dan dia mulai menulis prosa dan kadang-kadang menulis syair.[13]
3. Thaha Husein[14]
Thaha Husein dilahirkan tahun 1889 M. di Izbat al-Kilu. Ketika berumur dua tahun telah terkena penyakit optualmia (kebutaan), penyakit yang biasa menyerang anak-anak ketika itu, namun penyakit tersebut tidak menghalanginya menuntut ilmu. Ia belajar al-Quran dan dapat menghafalnya pada usia sembilan tahun.
Pada tahun 1902, ia dikirim orang tuanya untuk belajar di al-Azhar dengan harapan agar kelak Thaha Husein menjadi alim Azhar, memberi palajaran agama dalam halaqah yang besar.
Akan tetapi Thaha Husein keluar dari al-Azhar, ia kecewa dengan sistem pengejarannya yang sempit dan tidak berkembang serta materi pelajarannya amat tradisonal dan menjemukan. Pada tahun 1905, ia mendalami pemikiran Muhammad Abduh, salah satu yang amat menonjol dari keterpengaruhannya adalah sikapnya yang menentang praktek tawassul di desanya sehingga dicap sebagai seorang yang tersesat dan menyesatkan.
Pada tahun 1908 bersamaan dengan dibukanya Universitas Kairo, Thaha Husein mendaftarkan diri, di sinilah ia berkenalan dengan sederatan orientalis semisal Iguazio Buidi, Enno Litman, Santillana, Nallino dan Masignon. Pada tanggal 5 Mei 1914 Thaha Husein mempertahankan disertasinya yang berjudul Dzikra Abi al-'Ala dan berhasilyudisium jayyid jiddan pada tahun itu juga Thaha Husein dikirim ke Perancis untuk belajar sejarah.
Di Perancis Thaha Husein mulai mengkaji hal-hal yang selama ini ia cari, ia belajar pada beberapa ilmuan, di antaranya Glota, G. Blook, Seigneboj, Emile Durkheim. Pada tahun 1917 ia menikah dengan seorang wanita Perancis yang bernama Suzanne Brusseau. Pada tahun 1918, Thaha Husein berhasil menyelesaikan penulisan disertasi doktornya yang berjudul Etude Analitique et Critique de la Philosophie Sociale d' Ibn Khaldoundengan memperoleh yudisium tres honorable, dan di tahun berikutnya memperoleh gelar Doctorat d' Etat.
Pada tahun beikutnya 1919, ia kembali ke Mesir dan ditunjuk menjadi dosen sejarah Yunani dan Romawi Kuno di Universitas Kairo hingga tahun 1925. Ia juga aktif menulis di surat kabar dan menjadi redaktur al-Siyasah pada tahun 1922. Pada tahun 1926 diangkat menjadi dosen sejarah sastra Arab pada Universitas Negeri. Pada tahun 1930 diangkat menjadi dosen sastra dan pada tahun 1932 dialih tugaskan ke kementerian pengajaran.
Pada tahun 1942 diangkat menjadi rektor Universitas Iskandaria hingga 1944. Pada tahun 1950-1952 ia ditunjuk sebagai Menteri pendidikan Mesir. Pada tahun 1973 Thaha Husein ditetapkan untuk mendapat hadiah nobel dalam bidang sastra. Thaha Husein wafat pada tanggal 28 Oktober 1973.
4. Kahlil Gibran
Khalil Gibran adalah seorang seniman Lebanon-Amerika, penyair dan penulis. Lahir di kota Bsharri, Lebanon, ia bermigrasi dengan keluarganya ke Amerika Serikat di mana ia belajar seni dan memulai karir sastra. Di dunia Arab, Gibran dianggap sebagai pemberontak sastra dan politik, gaya romantisis-nya berada di jantung renaissance dalam sastra Arab modern, khususnya puisi prosa. Di Lebanon, ia masih dipuja sebagai pahlawan sastra, di negara-negara lain Gibran mulai dikenal pada 1923 dengan karya bukunya The Prophet, sebuah contoh awal dari fiksi inspirasional dengan serangkaian esai filosofis yang ditulis dalam prosa puitis bahasa Inggris. Buku ini dijual dengan baik dan mulai populer di tahun 1930-an. Gibran adalah penyair dengan penjualan terbaik ketiga setelah Shakespeare dan Lao-Tzu. Sebagian besar dari tulisan-tulisan awal Gibran berbahasa Arab, yang akhirnya diterbitkan setelah tahun 1918 dalam bahasa Inggris.
Sebagai seorang seniman yang bisa menggambar dan melukis, ia masuk sekolah seni di Paris 1908-1910, mengejar gaya romantisis dan simbiolis. Gibran mengadakan pameran seni pertama pada tahun 1904 di Boston. Pada pamerannya tersebut, Gibran bertemu Mary Elizabeth Haskell, yang akhirnya menjadi wanita yang membawa pengaruh besar tidak hanya di kehidupan pribadi Gibran, tetapi juga karirnya.
Gibran meninggal di New York City pada tanggal 10 April 1931, penyebabnya karena sirosis hati dan TBC. Sebelum kematiannya, Gibran mengatakan keinginan untuk dikuburkan di Lebanon. Keinginan ini dipenuhi oleh kekasihnya Haskell pada tahun 1932.
5. Najib Mahfudz
Nama lengkapnya adalah Najib Mahfuz Abdul Aziz Ibrahim Basya, dilahirkan pada tanggal 15 Desember 1911, di Bandar Gamalia daerah pinggiran Kairo, Mesir. Keluarganya tergolong misikin dan tidak mengecap pendidikan yang memadai. Ayahnya adalah seorang pegawai rendahan yang kemudian beralih profesi menjadi pedagang. Pada tahun 1917, usia enam tahun, Mahfuz dan keluarganya pindah ke kawasan Abbasiyah. Pada saat itu, Mahfuz mulai mengecap pendidikan dasar, al-Madrasah al-Ibtida'iyyah. Pada tahun 1924, di usia tiga belas tahun, Mahfuz memasuki Sekolah Lanjutan; al-Madrasah ats-Tsanawiyyah Fu'ad al-Awwal.
Seiring peningkatan perekonomian keluarganya, pada tahun 1930 Mahfuz melanjutkan studinya di jurusan Filsafat Islam Universitas Kairo. Pada tahun 1934, Mahfuz mengantongi ijazah Sarjana Filsafat. Sebenarnya, Mahfuz mendapatkan tawaran dari Mustafa Abdul Raziq, salah seorang Guru Besar Universitas Kairo untuk menempuh program Doktor dalam bidang Filsafat dan Mistik Islam, namun tawaran itu ditolaknya. Kesenjangan sosial yang dirasakannya sejak kecil dan penderitaan kaum kecil yang tertindas oleh kekuasaan birokrasi Mesir membuat solidaritasnya bangkit. Mahfuz memilih pekerjaan di almamaternya dan menekuni bidang tulis-menulis.
Sejak pertengahan 1936 sampai 1939, Mahfuz mengabdi di almamaternya sebagai staf Sekretaris Universitas. Karier Mahfuz menanjak perlahan. Selepas dari pekerjaan ini, ia ditugaskan di Kementrian Agama dan Urusan Waqaf. Pekerjaan ini ditekuninya hingga tahun 1964. Pada tahun yang sama, di usia 43 tahun, ia mengakhiri masa lajangnya. Dan sejak saat itulah terjadi perubahan mendasar pada karier Mahfuz, ia diangkat sebagai Direktur Pengawasan Seni.
Sepanjang kehidupannya, Mahfuz telah menulis sekitar 70 cerita pendek, 46 karya fiksi, serta sekitar 30 naskah drama. Hingga saat ini, karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia termasuk Indonesia. Karya pertama Mahfuz diterbitkan pada tahun 1932, di usia 21 tahun, dalam bentuk terjemahan berjudul al-Misr al-Qadimah. Sejak itu berturut-turut Mahfudz menulis; Hams al-Junun (1938, Cerpen), Abats al-Akdar (1939), serta Redouvis (1943) dan kisah Kifah Thibah (1944). Karya-karyanya tersebut di atas, kerap dianggap sebagai akhir dari periode romantisme Mahfuz. Setelah karya-karya tersebut, ia menjauhi gaya bahasa Manfalutisme (gaya bahasa yang digunakan oleh al-Manfaluti). Kemudian Mahfuz menulis al-Qahirah al-Jadidah (1945).
Tahun 1946, Mahfuz menulis Khan al-Khalili. Selanjutnya berturut-turut ia menulis Zuqaq al-Midaq (1947), as-Sarab (1948), serta Bidayah wa Nihayah (1949). Karya-karyanya ini menandai perubahan gaya bertutur Mahfuz dari romantisme menjadi realisme. Pada tahun 1956-1957, Mahfuz mulai menulis triloginya; Baina al-Qasrain, Qasr asy-Syauq, dan as-Sukriyyah. Trilogi setebal 1500 halaman ini menjadikannya dianugerahi hadiah Nobel Sastra yang diterimanya pada tanggal 13 Oktober 1988 dari Akademi Sastra Internasional di Swedia.
Tahun 1960, Mahfuz menulis Aulad Haratina (edisi bahasa Inggris oleh Philip Steward dengan judul The Children of Our Quarter, London; 1981). Novel panjang ini terbagi dalam lima bab, yakni; Adham, Jabal, Irfah, Rifa'ah, dan Qasim. Penulisan serial novel ini sekaligus menggambarkan arah baru gaya kepenulisan Mahfuz, yakni Simbolisme-Filosofis.
Selanjutnya, Mahfuz menulis al-Liss wa al-Kilab (1961), as-Samman wa al-Kharif, dan Dunya Allah (1962), ath-Thariq (1964), Bait Sayyi' as-Sum'ah dan asy-Syihaz (1965) serta Sarsarah Fauza an-Nil (1966), masih dengan kecenderungan Simbolisme-Filosofis. Pertengahan tahun 1967 sampai 1969, ia membuat cerpen-cerpennya yang merespon persoalan-persoalan keagamaan, nasionalisme Mesir, dan politik. Hal ini bisa dilihat dalam Khimarah al-Qiththi al-Aswad dan Tahta al-Mizallah serta Qisytamar (1969), Hikayah Bi La Bidayah Wa La Nihayah dan Syahru al-'Asal (1971), al-Maraya (1972), al-Hubbu Tahta al-Mathar (1973), al-Karnak (1974), Hikayat Haratina, Qalbu al-Lail, dan Hadhrat al-Muhtaromi (1975), Milhamah al-Harafisy (1977), al-Hubbu Fauqa Hadhbat al-Haram dan asy-Syaithan (1979), 'Ashru al-Hubbi (1980), dan Afrah al-Qubbah (1981).
Pada tahun 1994, Mahfuz mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Ia ditikam di bagian leher dengan sebilah pisau dapur. Kejadian ini membuat tangan kanan Mahfuz hampir mengalami kelumpuhan. Dua orang anggota kelompok militan yang terlibat dalam kejadian ini, divonis hukuman mati oleh pemerintah Mesir. Pada masa tuanya, Najib Mahfuz hidup dengan mata yang hampir buta dan kemudian meninggal pada 30 Agustus 2006 setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit.

BAB III: PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Perkembangan puisi modern ditunjukkan dengan adanya dinamika dalam  pengembangan puisi. Di antaranya ditunjukkan dengan adanya aliran-aliran dalam puisi.Seperti aliran neo-klasik, aliran romantisme, dan aliran puisi bebas.Ketiganya memiliki ciri-ciri dan latar belakang yang berbeda.Aliran neo-klasik adalah aliran yang masih menjaga karakteristik puisi klasik.Mereka membuat puisi dengan tetap menjaga wazan dan qafiyah.Tema-tema sastranya pun seperti halnya masa-masa klasik.Dan mereka juga membuat puisi-puisi dengan tema sosial, politik, keagamaan, pendidikan dan lain sebagainya.Aliran romantisme ada karena mereka melakukan migrasi ke negara-negara eropa.Dalamnya ada dua aliran yang berbeda dan berkesamaan. Karena satu golongan masih menjaga irama dalam puisi dan satu golongan lain malah sebaliknya. Sedangkan yang ketiga aliran puisi bebas adalah aliran puisi dengan bahasa yang familiar dan tidak lagi menggunakan wazan dan qofiyah dalam berpuisi.
Perkembangan prosa arabmodern dibedakan dalam dua tahap, yakni prosa terhadap permulaan pembaharauan dan prosa terhadap perkembangan. Prosa modern dibedakan pada tiga jenis utama yakni prosa diwan, kitabah adabiyah, kitabah diwaniah, dan kitabh at ta’lif. Sedangkan genre prosa modern dibagi tiga yaitu rosail, khitabah, dan qishshah. Karakteristiknya yang membedakan dengan sastra klasik yaitulebih memperhatikan pemikiran daripada unsur gayanya, tidak banyak menggunakan kata-kata retoris seperti saja’, tibaq, seperti pada masa sebelumnya, pemikirannya runtun dan sistematis, pendahuluannya tidak terlalu panjang, temanya cenderung pada tema yang sedang terjadi pada masyarakat, perkembangan bahasa pun mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang panjang-panjang, dan berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan kosakata klasik berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman, serba singkat, dan serba cepat. 
Drama Arab dirintis sekitar pertengahan abad 19 di Suriah yang diprakarsai oleh Marwan an-naqos. Genre drama Arab meliputi fase Marun Nuqas al-Lubnani,  fase Abu Khalil al-Qubbani, fase Yakkub Sannu’,fase perkembangan pada awal abad 20. Sedangkan para sastrawan Arab pada masa ini banyak sekali diantaranya Abbas Mahmud al-Aqqod, Thaha Husein, Kahlil Gibran, dan Najib Mahfudz.  
BACA PULA:   

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad al Isykindi, Syekh, Syekh Mustofa Annan, al Wasith fi al adab al arobi wa tarikhihi, (Darul Ma’arif Bimad).          
Al  Maliji, Hasan Khamis, al Adab wa annusus lighairi an natiqina biha bil arobiyyah (Riyadh: Jamiah al Malik as Su’ud, 1149 H)        
Bin Said Bin Hasan, Dr. Muhammad, al Adab al Arobiyyu wa Tarikhuhu (al ‘asru al hadis), (Riyadh: Jami’ah al Imam Muhammad bin Sa’ud al Islamiyyah, 1405 H)
Majid So’idi, Dr, Dr. Toriq Syamli, Fi al Adab al Arobiy al Hadis, (Jami’ah Ain Hasyim)
Muzakki, Ahmad Dr. Pengantar Teori Sastra, (Malang:UIN Press, 2011)
Husein, Muhammad bin Saad. Al Adab Al Aroby wa Tarikhuhu. Saudi Arabia: Jamiah Imam Muhammad bin Suud Islamiyah.
(http://bocahsastra.wordpress.com/2012/12/08/sejarah-munculnya-drama/)
(http://bocahsastra.wordpress.com/2012/12/08/sejarah-munculnya-drama/ )
(http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/sastra-arab-modern/)
http://alwaysterk.blogspot.com/2011/10/perkembangan-prosa-arab-modern.html.



[1] Hal; 234.
[2] cerita kepahlawanan; syair panjang yg menceritakan riwayat perjuangan seorang pahlawan; wiracarita
[3] الوسيط في الأدب العربي وتاريخه
[4]http://alwaysterk.blogspot.com/2011/10/perkembangan-prosa-arab-modern.html.
[5]http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/sastra-arab-modern/.
[6]الأدب العربي وتاريخه, محمد بن سعد بن حسين ص 67-69.
[7]http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/sastra-arab-modern/.
[8]http://bocahsastra.wordpress.com/2012/12/08/sejarah-munculnya-drama/
[9]Ibid.
[10]الأدب العربي وتاريخه, محمد بن سعد بن حسين ص 77-79.
[11]www.uinblog.com
[12]الأدب العربي وتاريخه, محمد بن سعد بن حسين ص 80.
[13]الأدب العربي وتاريخه, محمد بن سعد بن حسين ص 81-82.
[14]http://www.referensimakalah.com/2012/07/biografi-thaha-husein.html.

1 komentar: