Fiqih: Contoh Kasus Ijma’
Dalam buku persepakatan ulama’ dalam hukum Islam ensiklopedi
ijma’ berdasarkan karya Sa’di Abu Habieb yang diterjemahkan oleh KH Sahal
Mahfudz dan KH Mustafa Bisri penerbit Pustaka Firdaus di Jakarta, tertulis
bahwa masalah kasus-kasus ijma’ mencapai 9.588 buah yang terbagi dalam sbb:
1. Ijma’ Kaum Muslimin : 654 Masalah
2. Ijma; Shahabat : 210
Masalah
3. Ijma’ Ahlul Ilmi : 1.550
Masalah
4. Ijma’ Secara Umum : 4.468
Masalah
5. Pendapat Shahabat yang tidak diketahui
kalau ada yang menentangnya: 548 Masalah
6. Penafsiran terhadap pendapat seorang
Alim: 1.148 Masalah
Jika jumlah tersebut dianggap banyak, tetapi
sebenarnya jumlah tersebut masih belum ada setengahnya. Bahkan Abi Ishaq al
Isfiroyiny mengatakan “kesepakatan ulama’ (ijma’ itu lebih dari 20.000
masalah”.
Di sini akan dipaparkan beberapa kasus-kasus ijma’,
baik para ijma’ sahabat, kaum muslim, ahlul ilm dan ijma’ secara umum.
Diantaranya:
1. Telah disepakati semua orang yang
terawat pendapatnya dari kalangan Ahlul Ilmi bahwa bila para penyelewengan
meminta genjatan senjata (meminta penghentian peperangan) dari kepala negara
(penguasa) maka kepala Negara mempertimbangkan dan menyelidiki keadaan mereka,
bila ternyata maksud mereka adalah kembali setia dan mengetahui yang benar maka
kepala Negara memberi waktu kepada mereka tetapi jika maksud mereka adalah
berkumpul untuk perang dan menunggu bantuan dan semacamnya, maka kepala Negara
tidak memberikan kesempatan kepada mereka.
Dan
imam-imam bersepakat (ijma’) atas diperbolehkanya melakukan perjanjian damai
antara ahlul adli dengan penyeleweng[1].
2. Penyembelihan yang dilakukan orang junub
hukumnya mubah menurut ijma’[2].
3. Memakan sembelihan yang tidak dihadapkan
ke kiblat adalah makruh. Ini tindakan Ibnu Umar dan tidak diketahui ada yang
tidak sependapat dari kalangan sahabat[3].
4. Orang yang menjadi imam dalam shalat
jenazah:
Ø Dalam shalat jenazah,
penguasa/penggantinya didahulukan dari pada keluarga orang yang meninggal tersebut.
Ini pendapat Ali dan Ibnu Mas’ud dan telah dilakukan oleh Husein dan 80
sahabat. Hal ini sudah tersiar dan tidak ada yang menentang maka menjadi ijma’.
Ø Orang yang diwasiatkan oleh mayit ialah
orang yang paling berhak menshalatkan menurut ijma’ para sahabat.[4]
Ø Anak laki-laki didahulukan dari pada
saudara laki-laki dalam hal menshalatkan jenazah menurut ijma’.
5. Mengkodho takbir yang
terluput/ketinggalan dalam takbir shalat jenazah, disunahkan menggenapinya. Ini
pendapat Ibnu Umar dan tidak ada ulama’ yang menyelisihkannya[5].
6. Ijma’ Ahlus Sunah menetapkan bahwa nabi
Muhammad SAW tidak pernah menunjuk seseorang menjadi khalifah beliau. Ijma’ ini
ditentang oleh Bakr bin Ukhti Abul Wahid yang menduga nabi menunjuk Abu Bakar.
Menurut Ibnu Rawandi, nabi menunjuk Abbas, sedangkan golongan Syiah beranggapan
bahwa nabi menunjuk Ali. Semua pernyataan ini batal[6].
7. Khalifah tidak boleh dipegang oleh
wanita, orang kafir, anak kecil yang belum baligh, dan orang gila. Umat islam
sepakat budak tidak boleh jadi Khalifah.
8. Para ulama’ bersepakat (ijma’) bahwa
haram menaati pemerintah dalam hal kemaksiatan[7].
9. Menurut ijma kaum muslimin, memberontak
kepada Khalifah hukumnya haram meskipun khalifah itu fasik, zalim atau menyalah
gunakan hak, tetapi wajib menasehati dan memperingatkanya. Sebagian ulama’
menolak ijma’ ini dengan dasar perlawana Husain, Abdullah bin Zubair dan Ahlul
Madinah terhadap bani Umayah, seta perlawanan sekelompok yang besar dari
Tabi’in dan generasi pertama Ibnu Asy’ats terhadap Al-Hajjaj. Konon pada
mulanya terjadi perbedaan pendapat, namun setelahnya terjadi kesepakatan[8].
10. Menurut Abbas diberi keringanan dalam
meninggalkan shalat jumat apabila shalat ‘Iid dan shalat Jumat dalam satu waktu
yang bersamaan. Hal ini tidak ada yang menentang maka menjadi ijma’.
11. Ijma’ atas orang yang tidak wajib
melaksanakan shalat jumat. Yaitu tidak wajibnya wanita melaksanakan shalat
jumat menurut ijma’. Juga menurut ijma (yang mujma’ alaih) tidak wajib pula
anak kecil yang belum baligh. Tidak wajib pula atas budak dan musafir menurut
ijma’[9].
12. Perihal tidak sahnya shalat kecuali
disertai niat[10].
13. Perihal najisnya air seni[11].
14. Perihal awal waktu zhuhur, yaitu sejak
tergelincirnya matahari, juga awal waktu maghrib yaitu sejak terbenamnya
matahari, serta awal waktu subuh yaitu sejak terbitnya matahari[12].
15. Perihal gugurnya kewajiban shalat fardhu
bagi wanita yang sedang haidh[13].
16. Perihal kesamaan memandikan jenazah dengan
mandi junub[14].
17. Perihal batalnya wudhu lantaran keluar
kotoran dari dubur atau keluar air seni dari alat kelamin[15].
[1] Terjemahan
KH Sahal Mahfudz dan KH Mustafa Bisri. persepakatan ulama’ dalam hukum islam
ensiklopedi ijma’ karya Sa’di Abu Habieb. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hal: 200.
[2] Ibid., Hal: 589.
[3] Ibid., Hal: 587
[4] Sedangkan menurut Asy-Syafi’I para wali lebih utama dari pada yang
diwasiati. (Terjemahan
KH Sahal Mahfudz dan KH Mustafa Bisri. persepakatan ulama’ dalam hukum islam
ensiklopedi ijma’ karya Sa’di Abu Habieb. Jakarta: Pustaka Firdaus. hal: 723)
[5] Ibid., Hal: 731.
[6] Ibid., Hal: 351.
[7] Ibid., Hal: 354.
[8] Ibid., Hal: 355.
[9] Ibid., Hal:732.
[10] Asmawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH. Hal: 90-91.
[11] Ibid.,hal: 90-91.
[12] Ibid.,hal: 90-91.
[13] Ibid.,hal: 90-91.
[14] Ibid.,hal: 90-91.
[15] Ibid.,hal: 90-91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar