Rabu, 01 Juli 2015

Fiqih: Contoh Kasus Ijma’


Fiqih: Contoh Kasus Ijma’
Dalam buku persepakatan ulama’ dalam hukum Islam ensiklopedi ijma’ berdasarkan karya Sa’di Abu Habieb yang diterjemahkan oleh KH Sahal Mahfudz dan KH Mustafa Bisri penerbit Pustaka Firdaus di Jakarta, tertulis bahwa masalah kasus-kasus ijma’ mencapai 9.588 buah yang terbagi dalam sbb:
1.      Ijma’ Kaum Muslimin : 654 Masalah
2.      Ijma; Shahabat            : 210 Masalah
3.       Ijma’ Ahlul Ilmi         : 1.550 Masalah
4.      Ijma’ Secara Umum    : 4.468 Masalah
5.      Pendapat Shahabat yang tidak diketahui kalau ada yang menentangnya: 548 Masalah
6.      Penafsiran terhadap pendapat seorang Alim: 1.148 Masalah
Jika jumlah tersebut dianggap banyak, tetapi sebenarnya jumlah tersebut masih belum ada setengahnya. Bahkan Abi Ishaq al Isfiroyiny mengatakan “kesepakatan ulama’ (ijma’ itu lebih dari 20.000 masalah”.
Di sini akan dipaparkan beberapa kasus-kasus ijma’, baik para ijma’ sahabat, kaum muslim, ahlul ilm dan ijma’ secara umum. Diantaranya:
1.      Telah disepakati semua orang yang terawat pendapatnya dari kalangan Ahlul Ilmi bahwa bila para penyelewengan meminta genjatan senjata (meminta penghentian peperangan) dari kepala negara (penguasa) maka kepala Negara mempertimbangkan dan menyelidiki keadaan mereka, bila ternyata maksud mereka adalah kembali setia dan mengetahui yang benar maka kepala Negara memberi waktu kepada mereka tetapi jika maksud mereka adalah berkumpul untuk perang dan menunggu bantuan dan semacamnya, maka kepala Negara tidak memberikan kesempatan kepada mereka.
Dan imam-imam bersepakat (ijma’) atas diperbolehkanya melakukan perjanjian damai antara ahlul adli dengan penyeleweng[1].
2.      Penyembelihan yang dilakukan orang junub hukumnya mubah menurut ijma’[2].
3.    Memakan sembelihan yang tidak dihadapkan ke kiblat adalah makruh. Ini tindakan Ibnu Umar dan tidak diketahui ada yang tidak sependapat dari kalangan sahabat[3].
4.      Orang yang menjadi imam dalam shalat jenazah:
Ø  Dalam shalat jenazah, penguasa/penggantinya didahulukan dari pada keluarga orang yang meninggal tersebut. Ini pendapat Ali dan Ibnu Mas’ud dan telah dilakukan oleh Husein dan 80 sahabat. Hal ini sudah tersiar dan tidak ada yang menentang maka menjadi ijma’.
Ø  Orang yang diwasiatkan oleh mayit ialah orang yang paling berhak menshalatkan menurut ijma’ para sahabat.[4]
Ø  Anak laki-laki didahulukan dari pada saudara laki-laki dalam hal menshalatkan jenazah menurut ijma’.
5.      Mengkodho takbir yang terluput/ketinggalan dalam takbir shalat jenazah, disunahkan menggenapinya. Ini pendapat Ibnu Umar dan tidak ada ulama’ yang menyelisihkannya[5].
6.      Ijma’ Ahlus Sunah menetapkan bahwa nabi Muhammad SAW tidak pernah menunjuk seseorang menjadi khalifah beliau. Ijma’ ini ditentang oleh Bakr bin Ukhti Abul Wahid yang menduga nabi menunjuk Abu Bakar. Menurut Ibnu Rawandi, nabi menunjuk Abbas, sedangkan golongan Syiah beranggapan bahwa nabi menunjuk Ali. Semua pernyataan ini batal[6].
7.     Khalifah tidak boleh dipegang oleh wanita, orang kafir, anak kecil yang belum baligh, dan orang gila. Umat islam sepakat budak tidak boleh jadi Khalifah.
8.      Para ulama’ bersepakat (ijma’) bahwa haram menaati pemerintah dalam hal kemaksiatan[7].
9.      Menurut ijma kaum muslimin, memberontak kepada Khalifah hukumnya haram meskipun khalifah itu fasik, zalim atau menyalah gunakan hak, tetapi wajib menasehati dan memperingatkanya. Sebagian ulama’ menolak ijma’ ini dengan dasar perlawana Husain, Abdullah bin Zubair dan Ahlul Madinah terhadap bani Umayah, seta perlawanan sekelompok yang besar dari Tabi’in dan generasi pertama Ibnu Asy’ats terhadap Al-Hajjaj. Konon pada mulanya terjadi perbedaan pendapat, namun setelahnya terjadi kesepakatan[8].
10.  Menurut Abbas diberi keringanan dalam meninggalkan shalat jumat apabila shalat ‘Iid dan shalat Jumat dalam satu waktu yang bersamaan. Hal ini tidak ada yang menentang maka menjadi ijma’.
11.  Ijma’ atas orang yang tidak wajib melaksanakan shalat jumat. Yaitu tidak wajibnya wanita melaksanakan shalat jumat menurut ijma’. Juga menurut ijma (yang mujma’ alaih) tidak wajib pula anak kecil yang belum baligh. Tidak wajib pula atas budak dan musafir menurut ijma’[9].
12.  Perihal tidak sahnya shalat kecuali disertai niat[10].
13.  Perihal najisnya air seni[11].
14.  Perihal awal waktu zhuhur, yaitu sejak tergelincirnya matahari, juga awal waktu maghrib yaitu sejak terbenamnya matahari, serta awal waktu subuh yaitu sejak terbitnya matahari[12].
15.  Perihal gugurnya kewajiban shalat fardhu bagi wanita yang sedang haidh[13].
16.  Perihal kesamaan memandikan jenazah dengan mandi junub[14].
17.  Perihal batalnya wudhu lantaran keluar kotoran dari dubur atau keluar air seni dari alat kelamin[15]. 


[1] Terjemahan KH Sahal Mahfudz dan KH Mustafa Bisri. persepakatan ulama’ dalam hukum islam ensiklopedi ijma’ karya Sa’di Abu Habieb. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hal: 200.
[2] Ibid., Hal: 589.
[3] Ibid., Hal: 587
[4] Sedangkan menurut Asy-Syafi’I para wali lebih utama dari pada yang diwasiati. (Terjemahan KH Sahal Mahfudz dan KH Mustafa Bisri. persepakatan ulama’ dalam hukum islam ensiklopedi ijma’ karya Sa’di Abu Habieb. Jakarta: Pustaka Firdaus.  hal: 723)
[5] Ibid., Hal: 731.
[6] Ibid., Hal: 351.
[7] Ibid., Hal: 354.
[8] Ibid., Hal: 355.
[9] Ibid., Hal:732.
[10] Asmawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH. Hal: 90-91.
[11] Ibid.,hal: 90-91.
[12] Ibid.,hal: 90-91.
[13] Ibid.,hal: 90-91.
[14] Ibid.,hal: 90-91.
[15] Ibid.,hal: 90-91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar