Jika Fazlur Rahman
dan Nasr Hamid Abu Zaid menyatakan keharusan untuk mempelajari Asbab
al-Nuzul dalam menafsirkan al-Qur’an[1],
maka berbeda dengan Shahrur[2].
Menurutnya al-Qur’an diturunkan untuk generasi saat ini dan mendatang,
seolah-olah nabi baru wafat kemarin. Hal ini senada dengan statmen Muhamammad
Iqbal yang juga dikutip M. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an”
yang menyatakan “bacalah al-Qur’an seakan-akan ia diturunkan kepadamu”. Disisi
lain, baginya jika pembacaan harus dikembalikan kepada situasi Arab ketika
diturukan maka makna keuniversalannya akan berkurang.[3]
Dari
pendapatnya itu maka Shahrur telah menegasikan Asbab al-Nuzul dari
ilmu-lmu al-Qur’an. bukan hanya menolak Shahrur juga mengkritik Asbab al-Nuzul
yang umumnya diangap sebagia bagian ilmu al-Qur’an dan sekaligus sebagai alat
bantu dalam penafsiran. Baginya al-Qur’an eksis pada dirinya sendiri (kainunah),
ia tidak terikat pada proses perjalanan sejarah (sairurah). Ia juga
menyatakan bahwa Asbab al-Nuzul hanyalah salah satu bentuk varian
penasiran yang bersifat historis dan lokal-temporal karena pada dasarnya ia
terletak dalam tempurung sejarah dan lebih tepat dikatakan sebagai ilmu
sejarah.[4]
Sikapnya tersebut tertuang dalam bukunya, Nahw Usul Jadidah, hal: 93-94.
Sikapnya itu
juga disebabkan karena kerapuhan Asbab al-Nuzul itu sendiri. Wacana
klasik tentang proses naqlyang shahih sebagai salah satunya. Hal
ini senada dengan pengakuan Zarkashi bahwa kebanyakan riwayat Asbab al-Nuzul
tidak bisa dipercaya meskipun tidak semuanya.[5]
Kitab yang menghimpun Asbab al-Nuzul seperti Asbab al-Nuzul karya
al-Wahdi dan Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karya as-Suyuti juga
diungkap oleh para peneliti seperti Watt yang menyatakan bahwa “dalam koleksi
al-Wahidi banyak kecacatan, tidak lengkap dan tidak konsisten bahkan hanya
memuat riwayat-riwayat yang tanggal kejadianya tidak diketahui”[6].
Dalam hal ini as-Suyuti menilai al-Wahidi teralu bersemagat dalam menghimpun
riwayat Asbab al-Nuzul sehingga tidak memetakan yang bercampur, shahih
dan yang dhaif.[7]
Selain Watt, Muhammad Hadi Ma’rifat juga menyatakan dalam bukunya at-Tamhid
fi Ulum al-Qur’anakan ketidak selamatan as-Suyuti dalam memilah riwayat
yang shahih.[8]
Hal inilah yang membuat Shahrur berani menyataan[9]
bahwa Asbab al-Nuzul layak dihapus dari tradisi Ulum al-Qur’an.[10]
Pekalongan,
24 Juli 2016
[1] Lihat Fazlur
Rahman, Islam and Modernity (Chicago & London: The University of
Chicago Press: 1998, cet VIII), hal: 5-6. Nashr Hamid Abu Zaid, Teks,
Otoritas, Kebenaran, Terj. Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LkiS, 2003), hal
112.
[2] Linguist
sekaligus juga Arsitek dalam bidang sipil ini menurut Hallaq, hasil
kajian-kajiannya sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya sebagai
arsitektur. Lihat Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An
Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press,
1997), hal: 245.
[3]Muhammad
Shahrur, Nahw Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami (Damaskus: al-Ahali,
2000,cet: I), hal: 93-34.
[4] Pandangan ini
bukanlah hal baru, sebab al-Zarkashi telah membantahnya dalam bukunya “al-Burhan
fi Ulum al-Qur’an” (Beirut: Daar al-Fikr, 2001, juz I, hal: 45-51)
hanya saja Sharur memolesnya dengan sentuhan filsafat sehingga menjadi nampak
benar-banar baru.
[5]al-Zarkashi, al-Burhan
fi Ulum al-Qur;an (Beirut: Daar al-Fikr, 2001, juz II), hal 156.
[6] W. Montgomery
Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, terj. Lillian D. Tedjasuzana
(Jakarta: INIS, 1998), hal: 95.
[7] As-Suyuti, Lubab
al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul,(Beirut: Dar Ihya’ al-Ulum, tth), hal: 17.
[8] Muhammad Hadi
Ma’rifat, at-Tamhid fi Ulum al-Qur’an (___: Muassasah al-Nashr
al-Islami, 1416 H, jilid I, cet: II), hal: 247-253.
[9]Tentu saja
pernyataan ini sangat bertentangan jika dihadapkan dengan beberapa contoh kasus
penetapan hukum dalam Islam seperti kwajiban Sa’i, dll. Karena memang Asbab
al-Nuzul bagian dari intrumen dalam menafsirkan al-Qur’an, oleh sebab itu,
penulis hanya menanggapi bahwa sikap Shahrur ini sebagai “perlindungan Islam”,
sebagaimana statment Thaha Husain yang terkenal kontroversi dalam hasil
risertnya yang menyatakan “saya menyerang Islam untuk melindungi Islam”.
(adapun refrensi untuk statmen Thaha Husain ini dengan alasan tertentu, Insya
Allah akan ditampilkan dalam blog ini dalam bulan berikutnya beserta ulasan
terhadap hasil risertnya yang sangat kontroversi).
[10]Pernyataan
tersebut dilengkapi dengan contoh kasus dan analisis kritis. Lihat Muhammad
Shahrur, Nahw Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami (Damaskus:
al-Ahali, 2000,cet: I), hal:hal: 93-94.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar