Minggu, 31 Juli 2016

Sikap Shahrur Terhadap Asbab al-Nuzul Sebagai Penafsiran


Jika Fazlur Rahman dan Nasr Hamid Abu Zaid menyatakan keharusan untuk mempelajari Asbab al-Nuzul dalam menafsirkan al-Qur’an[1], maka berbeda dengan Shahrur[2]. Menurutnya al-Qur’an diturunkan untuk generasi saat ini dan mendatang, seolah-olah nabi baru wafat kemarin. Hal ini senada dengan statmen Muhamammad Iqbal yang juga dikutip M. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an” yang menyatakan “bacalah al-Qur’an seakan-akan ia diturunkan kepadamu”. Disisi lain, baginya jika pembacaan harus dikembalikan kepada situasi Arab ketika diturukan maka makna keuniversalannya akan berkurang.[3]
Dari pendapatnya itu maka Shahrur telah menegasikan Asbab al-Nuzul dari ilmu-lmu al-Qur’an. bukan hanya menolak Shahrur juga mengkritik Asbab al-Nuzul yang umumnya diangap sebagia bagian ilmu al-Qur’an dan sekaligus sebagai alat bantu dalam penafsiran. Baginya al-Qur’an eksis pada dirinya sendiri (kainunah), ia tidak terikat pada proses perjalanan sejarah (sairurah). Ia juga menyatakan bahwa Asbab al-Nuzul hanyalah salah satu bentuk varian penasiran yang bersifat historis dan lokal-temporal karena pada dasarnya ia terletak dalam tempurung sejarah dan lebih tepat dikatakan sebagai ilmu sejarah.[4] Sikapnya tersebut tertuang dalam bukunya, Nahw Usul Jadidah, hal: 93-94.
Sikapnya itu juga disebabkan karena kerapuhan Asbab al-Nuzul itu sendiri. Wacana klasik tentang proses naqlyang shahih sebagai salah satunya. Hal ini senada dengan pengakuan Zarkashi bahwa kebanyakan riwayat Asbab al-Nuzul tidak bisa dipercaya meskipun tidak semuanya.[5] Kitab yang menghimpun Asbab al-Nuzul seperti Asbab al-Nuzul karya al-Wahdi dan Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karya as-Suyuti juga diungkap oleh para peneliti seperti Watt yang menyatakan bahwa “dalam koleksi al-Wahidi banyak kecacatan, tidak lengkap dan tidak konsisten bahkan hanya memuat riwayat-riwayat yang tanggal kejadianya tidak diketahui”[6]. Dalam hal ini as-Suyuti menilai al-Wahidi teralu bersemagat dalam menghimpun riwayat Asbab al-Nuzul sehingga tidak memetakan yang bercampur, shahih dan yang dhaif.[7] Selain Watt, Muhammad Hadi Ma’rifat juga menyatakan dalam bukunya at-Tamhid fi Ulum al-Qur’anakan ketidak selamatan as-Suyuti dalam memilah riwayat yang shahih.[8] Hal inilah yang membuat Shahrur berani menyataan[9] bahwa Asbab al-Nuzul layak dihapus dari tradisi Ulum al-Qur’an.[10]

Pekalongan, 24 Juli 2016


[1] Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago & London: The University of Chicago Press: 1998, cet VIII), hal: 5-6. Nashr Hamid Abu Zaid, Teks, Otoritas, Kebenaran, Terj. Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LkiS, 2003), hal 112.
[2] Linguist sekaligus juga Arsitek dalam bidang sipil ini menurut Hallaq, hasil kajian-kajiannya sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya sebagai arsitektur. Lihat Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal: 245.
[3]Muhammad Shahrur, Nahw Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami (Damaskus: al-Ahali, 2000,cet: I), hal: 93-34.
[4] Pandangan ini bukanlah hal baru, sebab al-Zarkashi telah membantahnya dalam bukunya “al-Burhan fi Ulum al-Qur’an” (Beirut: Daar al-Fikr, 2001, juz I, hal: 45-51) hanya saja Sharur memolesnya dengan sentuhan filsafat sehingga menjadi nampak benar-banar baru.
[5]al-Zarkashi, al-Burhan fi Ulum al-Qur;an (Beirut: Daar al-Fikr, 2001, juz II), hal 156.
[6] W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, terj. Lillian D. Tedjasuzana (Jakarta: INIS, 1998), hal: 95.
[7] As-Suyuti, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul,(Beirut: Dar Ihya’ al-Ulum, tth), hal: 17.
[8] Muhammad Hadi Ma’rifat, at-Tamhid fi Ulum al-Qur’an (___: Muassasah al-Nashr al-Islami, 1416 H, jilid I, cet: II), hal: 247-253.
[9]Tentu saja pernyataan ini sangat bertentangan jika dihadapkan dengan beberapa contoh kasus penetapan hukum dalam Islam seperti kwajiban Sa’i, dll. Karena memang Asbab al-Nuzul bagian dari intrumen dalam menafsirkan al-Qur’an, oleh sebab itu, penulis hanya menanggapi bahwa sikap Shahrur ini sebagai “perlindungan Islam”, sebagaimana statment Thaha Husain yang terkenal kontroversi dalam hasil risertnya yang menyatakan “saya menyerang Islam untuk melindungi Islam”. (adapun refrensi untuk statmen Thaha Husain ini dengan alasan tertentu, Insya Allah akan ditampilkan dalam blog ini dalam bulan berikutnya beserta ulasan terhadap hasil risertnya yang sangat kontroversi).
[10]Pernyataan tersebut dilengkapi dengan contoh kasus dan analisis kritis. Lihat Muhammad Shahrur, Nahw Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami (Damaskus: al-Ahali, 2000,cet: I), hal:hal: 93-94.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar