BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Jabariyah
Kata
Jabariyah secara etimologi berasal dari kata jabara yang
berarti memaksa. Dalam al-Munjid dijelaskan bahwa jabariyah
berasal dari kata jabara yang berarti memaksa dan mengharuskannya
melakukan sesuatu.[1]
Seperti salah satu sifat Allah yaitu sifat al-Jabbar (dengan bentuk mubalaghah)
yang artinya Allah Maha Pemaksa, selanjutnya kata jabara (bentuk
pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya’
nisbah) berarti suatu kelompok atau aliran (isme).[2]
Sedangkan
secara terminologi Jabariyah adalah kelompok yang menolak adanya
perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan
kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).[3]
Dalam hal ini Asy-Syahratsan menegasakan bahwa aliran al-Jabbar
menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan
menyandarkannya kepada Allah.[4] Sejalan
dengan Asy-Syahratsan, Aliran al-Jabbar menurut Harun Nasution, Jabariyah
adalah faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari
semula oleh qadha dan qadar Tuhan. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang
dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia sendiri, melainkan
diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, artinya di sini manusia tidak
mempunyai kebebasan dalam berbuat[5],
karena tidak memiliki kemampuan.[6]
2.2 Asal-Usul dan
Perkembangan Jabariyah[7]
Aliran
al-Jabbar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian
disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan[8]. Namun,
dalam perkembangannya, Aliran al-Jabbar juga dikembangkan oleh tokoh
lainnya seperti Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d Dirrar.
Mengenani
kemunculan aliran al-Jabbar ini, para ahli sejarah pemikiran ada yang
mengkajinya melalui pendekatan geokultural Arab. Diantaranya Ahmad Amin dalam
bukunya Fajr Al-Islam menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang
dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara
hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas tersebut
memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.[9]
Lebih
lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat
Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan
keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran
hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini yang
membawa mereka kepada sikap fatalism.[10]
Sebenarnya benih-benih
faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh di atas[11].
Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:
1.
Suatu ketika Nabi
menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi
melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari
kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.[12]
2. Khalifah Umar bin Khathab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri.
Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku
mencuri.” Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan mengangap orang itu
telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman
kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua,
hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.[13]
3. Khalifah Ali bin Thalib sesuai Perang Shiffin ditanya oleh seorang
tua tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa.
Orang tua itu bertanya, “Bila perjalanan (menuju Perang Shiffin) itu terjadi
dengan qadha dan qadar Tuhan, tak ada pahala sebagai balasannya”. Ali
menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Ada
pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Sekiranya qadha
dan qadar itu merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur
pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku
dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.[14]
4. Pada pemerintahan Daulah Bani Umayah, pandangan tentang al-jabar
semakin mencuat ke permukaan[15].
Abdullah bin Abbas, melalui suratnya, memberikan reaksi keras kepada penduduk
Syiria yang diduga berfaham Jabariyah.[16]
Paparan di atas menjelaskan bahwa bibit aliran al-jabar telah muncul
sejak awal periode Islam. Namun, aliran al-jabar sebagai suatu pola
pikir atau aliran yang di anut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada
masa pemerintahan Daulah Bani Umayah[17], yakni
oleh kedua tokoh yang telah disebutkan di atas.[18]
Berkaitan dengan kemunculan aliran al-Jabbar, ada pula yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh
pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama
Kristen bermazhab Yacobit.[19]
Namun, tanpa pengaruh asing itu, aliran al-jabar akan muncul juga di
kalangan umat Islam baik dari segi geokultural, tingkat kepasrahan hamba[20] ataupun
karena sebab dalil al-Qur’an itu sendiri[21].
Oleh sebab itu maka dapat dikatakan bahwa ada dua faktor yang melatar
belakangi berdirinya aliran ini:
1.
Faktor
Internal
1)
Al-Qur’an,
yakni dengan banyaknya nash-nash yang mendorong manusia memiliki ilmu
pengetahuan[22]; melakukan penelitian tentang fenomena alam; mengangkat derajat
orang yang berilmu; serta alat untuk membantah taklid dalam berakidah.
2)
Politik
dan Estafet Pemikiran, tepatnya adanya Fitnah kubro pasca terbunuhnya
Utsman bin Affan yang berimplikasi kepada konflik politis hingga merembet pada
masalah akidah, karena masing-masing pihak menjastifikasi kelompoknya dengan
argumentasi teologis. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini seperti apa yang
diuraikan oleh Syaikh Abdul Halim dalam bukunya at-Tafkir al-Falsafi fi
al-Islam bahwa Muawiyah pendiri Dinasti Umayah mempopulerkan do’a Nabi setelah
shalat dengan tujuan menampakan restu tuhan atas kekuasaan yang mereka peroleh
setelah memerangi Ali bin Abi Thalib sambil “membenarkan” kekejaman-kekejaman
mereka dengan dalih yang demikian itu sudah kehendak tuhan, do’a itu sebagai
berikut:
اللهم لا مانع لما أعطيت ولامعتي لما منعت ولا رادّ لما قضيت ولا ينفع
ذا الجد منك الجد (رواه البخاري)
Artinya:
“Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, tidak juga
ada yang dapat memberi apa yang Engkau halangi. Tidak ada yang dapat membatalkan
ketetapanmu, dan tidak berguna bagi siapapun usahanya, tetapi yang berguna
hanyalah curahan rahmat-Mu”. (HR. Bukhari melalui Warid Maula al-Mughirah ibnu
Syu’bah)[23]Dari
kejadian itulah maka ada protes yang kemudian dikenal dengan aliran Qodairiyah.
Contoh
lain misalnya pada kasus pengkafiran Khawarij terhadap kelompok Ali bin
Abi Thalib dan Muawiyyah akibat proses arbritase / pengambilan keputusan (tahkim)
yang dianggap keluar dari koridor Islam yang kemudian terus dilanjutkan hingga
muncul aliran-aliran baru sebagai wujud estafet pemikiran seperti munculnya
aliran Murjiah, Jabariyah, Qodariyah, Mu’tazilah, dst.
2.
Eksternal
1)
Interaksi Islam dengan Peradaban non Islam.
Hal tersebut tampak dengan terjadi interaksi kaum
muslimin dengan budaya Romawi-Persia (kental dengan warna filsafat) yang
telah ditaklukkan Islam[24].
2)
Hubungan Mu’tazilah dengan Yunani.
2.3 Dalil /
Landasan yang Menimbulkan Pemikiran Jabariah
Dalil
/ landasan yang menimbulkan pemikiran Jabariyah diantaranya adalah ayat-ayat
yang terdapat dalam al-Qur’an, seperti:
öqs9ur $oY¯Rr& !$uZø9¨tR ãNÍkös9Î) spx6Í´¯»n=yJø9$# ÞOßgyJ¯=x.ur 4tAöqpRùQ$# $tR÷|³ymur öNÍkön=tã ¨@ä. &äóÓx« Wxç6è% $¨B (#qçR%x. (#þqãZÏB÷sãÏ9 HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# £`Å3»s9ur öNèdusYò2r& tbqè=ygøgs ÇÊÊÊÈ
Artinya:
Kalau
Sekiranya Kami turunkan Malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati
berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan
mereka[25],
niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki,
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Q.S. Al-An’am [6] : 111)
ª!$#ur
ö/ä3s)n=s{
$tBur
tbqè=yJ÷ès?
ÇÒÏÈ
Artinya:
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu".
(Q.S.
Ash-Shaffat [37] : 96)
öNn=sù
öNèdqè=çFø)s?
ÆÅ3»s9ur
©!$#
óOßgn=tGs%
4 $tBur
|MøtBu
øÎ)
|MøtBu
ÆÅ3»s9ur
©!$#
4tGu
4 uÍ?ö7ãÏ9ur
úüÏZÏB÷sßJø9$#
çm÷ZÏB
¹äIxt/
$·Z|¡ym
4 cÎ)
©!$#
ììÏJy
ÒOÎ=tæ
ÇÊÐÈ
Artinya:
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan
tetapi Allah lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika
kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian
untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang
mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui. (Q.S. Al-Anfal [8] : 17)
$tBur
tbrâä!$t±n@
HwÎ)
br&
uä!$t±o
ª!$#
4 ¨bÎ)
©!$#
tb%x.
$¸JÎ=tã
$VJÅ3ym
ÇÌÉÈ
Artinya:
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (Q.S. Al-Insan [76] : 30)
!$tB
z>$|¹r&
`ÏB
7pt6ÅÁB
Îû
ÇÚöF{$#
wur
þÎû
öNä3Å¡àÿRr&
wÎ)
Îû
5=»tGÅ2
`ÏiB
È@ö6s%
br&
!$ydr&uö9¯R
4 ¨bÎ)
Ï9ºs
n?tã
«!$#
×Å¡o
ÇËËÈ
Artinya:
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah. (Q.S. Al-Hadid [57] : 22)
Ayat-ayat tersebut terkesan membawa seseorang pada alam
pikiran Jabariyah. Mungkin inilah yang menyebabkan pola pikir Jabariyah
masih tetap ada di kalangan umat Islam kini walaupun anjurannya telah
tiada.
2.4 Tokoh dan Dokrin
Jabariyah
Menurut
Asy-Syahratsani doktrin Jabariyah terbagi menjadi dua bagian[26]. Pertama,
doktrin aliran al-Jabbar ekstrim[27].
Di antara tokohnya adalah Jahm bin Shofwan berpendapat bahwa:
1.
Manusia
tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.[28]
2.
Surga
dan Nerak tidak kekal. Karena yang kekal hanya Allah.
3.
Iman
dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati (sama dengan
konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah).
4.
Tuhan
tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.[29] Aliran
ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.[30]
Adapun
Ja'ad bin Dirham[31],
berpendapat bahwa:
1.
Allah
tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan
melihat[32].
2.
Al-Qur’an
adalah makhluk oleh karena itu sesuatu yang baru tidak dapat disifatkan kepada
Allah.
3.
Manusia
terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[33]
Dengan
demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah,
tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai
kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh Qadariyah. Seluruh tindakan
dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari skenario dan kehendak Allah.
Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan
hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
1.
Tuhan
menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia
mempunyai bagian di dalam mewujudkan perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya, inilah yang kemudian disebut Kasb atau acquisition
dalam aliran al-Asy’ari.
2.
Tuhan
tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, an-Najjar menyatakan bahwa Tuhan
dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat
melihat Tuhan.
Sedangkan
Dhirar bin Amr (tokoh jabariayah moderat lainnya) berpendapat bahwa:
1.
Pendapatnya
mengenai perbuatan manusia sama dengan pendapat Husain an-Najjar, yakni manusia
tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Melainkan manusia mempunyai
bagian dalam perwujudannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan
perbuatannya. Dengan tegas Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat
ditimbulkan oleh dua pihak secara bersamaan.
Artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbukan oleh Tuhan semata tetapi juga
oleh manusia itu sendiri.
2.
Tuhan
dapat saja dilihat diakhirat dengan indera keenam. Ia juga berpendapat
bahwa hujjah yang dapat diterima setelah nabi adalah ijtihad. Hadits
ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[36]
2.5 Studi Kritis
Mengenai
doktrin yang paling terkenal dari Jabariyah akan penolakan adanya
perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah secara
mutlak, serta makhluk tidak boleh mempunyai kesamaan sifat dengan sifat Tuhan, dan
kalau itu terjadi, berarti menyamakan Tuhan dengan makhluknya mejadikan mereka
menolak keadaan Allah Maha Hidup dan Maha Mengetahui, namun mereka
mengakui keadaan Allah Yang Maha Kuasa (Al-Jabbar).
Disisi lain aliran al-Jabbar juga bertentangan dengan Qodariyah
yang salah satu doktrin paling terkenalnya adalah bahwa semua tindakan
mutlak ada ditangan manusia itu sendiri tanpa adanya campur tangan Tuhan. Sedangkan
doktrin Qodariyah tersebut juga disandarkan dengan ayat-ayat al-Qur’an[37].
Namun demikian, juga memang terbukti ada fenomena masyarakat
mengenai beberapa tingkatan kepasrahan hamba, artinya benar-benar pasrah kepada
Allah dalam segala hal, misalnya dalam ilmu Tasawuf ada tingkatan Maqom
Tajrid[38] (Apa kata Allah). Dari
situlah maka dapat diartikan bahwa sebenarnya permasalahan seputar penolakan adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua
perbuatan kepada Allah itu benar dalam tingkatan tertentu. Oleh sebab itu maka
akan menjadi seimbang manakala ada porsi tersendiri antara keduanya,
yakni kekuasaan Allah dan kekuasaan atau kehendak manusia.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aliran
al-Jabbar adalah aliran yang menyatakan bahwa perbuatan manusia telah
ditentukan oleh qodho dan qodar Tuhan, yaitu manusia seperti wayang yang
digerakan oleh dalang (Tuhan) dimana wayang tersebut tidak memiliki daya
ataupun peran dalam perbuatannya.
Muncul
aliran ini karena faktor internal dan ekstenal. Faktor internal yang meliputi:
1) nash-nash al-Qur’an yang memiliki atau mendukung Jabariyah, 2) politik dan estafet pemikiran pasca Fitnah
Kubro setelah adanya tahkim antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Sedangkan
faktor ekternal meliputi: 1) interaksi Islam dengan peradaban non muslim, 2)
hubungan Mu’tazilah dengan Yunani.
Doktrin
Jabariyah meskipun bersandar atas ayat-ayat al-Qur’an namun tetap
berbenturan dengan Qodariyah yang juga bersandar dengan ayat-ayat
al-Qur’an, oleh karenanya perlu disikapi dengan bijak dalam memaknai dan
memberikan porsi al-Jabbar.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Razaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka
Setia. 2010).
Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1998).
Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal. (Beirut-Libanon:
Darul Fikr, t.th).
Ali Musthafa Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah.
(Kairo, 1958).
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan. (Jakarta: UI.Press, Cet. V, 1986).
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspek,
(Jakarta: UIPress, cet. VI, 1986).
Huwaidhy, Dirasat fi ilmi Al-Kalam wa Al-falsafah Al-Islamiyah,
(Kairo: Dar Ats-Tsaqafah, 1980).
Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1994).
Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-Alam. (Beirut:
Dar Al-Masyriq, 1998).
M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta sampai Seks, dari Nikah
Mut’ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru, (Tanggerang
Selatan: Lentera Hati: 2005).
M. Thoyyibi, Filsafat Islam (Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 1999).
Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali, 1991).
Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar
Baru Van Hoeve, 1997).
Yusran
Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan
Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).
[1] Luwis Ma’luf, Al-Munjid
fi Al-Lughah wa Al-Alam. (Beirut: Dar Al-Masyriq, 1998). Hal: 78.
[2] Adapun dalam
bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination. Lihat: Abdul
Razaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia. 2010). Hal:
63.
[3] Abdul Razaq
dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia. 2010). Hal: 63.
[4] Asy-Syahrastani,
al-Milal wa an-Nihal. (Beirut-Libanon: Darul Fikr, t.th). Hal: 85.
[5] Ada yang
mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan
sebagai dalangnya.
[6] Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. (Jakarta:
UI.Press, Cet. V, 1986). Hal 31.
[7] Dalam sub bab
ini akan dibahas asal usul kemunculan dan perkembangan Jabariyah serta
situasi saat aliran ini muncul.
[8] Dalam sejarah
teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah
dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan
selalu menemaniya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah. Lihat Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
UI. Press, cet. V. 1986). Hal: 33.
[9] Abdul Razaq
dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hal: 64.
[10] Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. (Jakarta:
UI. Press, cet. V. 1986). Hal: 31.
[11] Hal ini
disebabkan karena faktor geokultural, tingkat kepasrahan hamba ataupun karena
dalil al-Qur’an itu sendiri.
[12] Abdul Razaq
dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hal: 64.
[13] Ali Musthafa
Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah. (Kairo, 1958). Hal: 15.
[14] Ali Musthafa
Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah. (Kairo, 1958). Hal: 28.
[15] Golongan
Murji’ah menganggap bahwa penderitaan rakyat di satu pihak dan kekejaman
penguasa di pihak lain itu adalah sudah takdirnya demikian, seperti dinyatakan
oleh Yāzid bin Mu’awiyah waktu dia menerima kepala Sayidina Husain bin Abi
Thalib yang dibawa kepadanya dia berkata dan langsung menyitir ayat alquran QS.
Ali Imran (3) ayat 26. Dengan mengemukakan ayat ini, Yāzid bermaksud mengatakan
bahwa apa yang diderita oleh Husain bin ‘Ali yang dibunuh dengan kejam oleh
serdadu Yāzid bin Mu’awiyah dari dinasti Umayyah itu, adalah sudah kehendak
Tuhan, bukan kehendak Yazid dan serdadunya. Agar umat yang mendukung Husain
tidak marah atau dendam, karena itu “takdir” Tuhan semata-mata.
http://islamadalahrahmah.blogspot.co.id/2011/02/jabariyah-dan-qadariyah-pemikiran-dan.html diakses: 24 Maret 2016.
[16] Huwaidhy, Dirasat
fi ilmi Al-Kalam wa Al-falsafah Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Ats-Tsaqafah,
1980). Hal: 98.
[17] Golongan
muslim yang pertama kali memperkenalkan aliran al-Jabbar ini adalah Ja’d
bin Dirham, tetapi waktu itu belum begitu berkembang. Kemudian Jahm bin Shafwān
dari Khurāsān mempelajari paham ini dari Ja’d bin Dirham yang kemudian menyebar
luaskannya. Jahm yang terdapat dalam aliran al-Jabbar ini sama dengan
Jahm yang mendirikan aliran al-Jahmiyyah dalam kalangan Murji’ah.
Sehingga aliran al-Jabbar juga identik dengan sebutan Jahmiyyah
karena berkembang setelah disebarluaskan oleh Jahm bin Shafwan. Sebagai
sekretaris Syurayh ibn al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani
Umayyah. Dalam perlawanan tersebut Jahm ditangkap dan dihukum mati tahun 131 H.
http://islamadalahrahmah.blogspot.co.id/2011/02/jabariyah-dan-qadariyah-pemikiran-dan.html diakses 24 Maret 2016.
[18] Harun Nasution,
Islam Ditinjau dari berbagai Aspek, (Jakarta: UIPress, cet. VI, 1986). Hal:
37.
[20] Atau istilahnya dalam ilmu Tasawuf Makam tadjrid / apa kata
Allah.
[21] Misalnya:
ª!$#ur
ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ (Q.S.
Ash-Shaffat /37: 96) öNèdqè=çFø)s? Nn=sù ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |MøtBu øÎ) |MøtBu ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4 uÍ?ö7ãÏ9ur úüÏZÏB÷sßJø9$# çm÷ZÏB ¹äIxt/ $·Z|¡ym 4 cÎ) ©!$# ììÏJy ÒOÎ=tæ ÇÊÐÈ (Q.S. Al-Anfal
/8: 17) tbrâä!$t±n@ $tBur HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ (Q.S. Al-Insan /76: 30)
[22] Dasar
munculnya aliran al-Jabbar ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara:
pertama, adanya paham Qadariyah, kedua, telalu tekstualnya pamahaman agama
tanpa adanya keberanian mentakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang
ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat
Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih. Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah"
(Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997).
[23] M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta sampai Seks, dari Nikah
Mut’ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru, (Tanggerang
Selatan: Lentera Hati: 2005), hal 35-36.
[24] Pada peradaban
Yunani, Mitologi memberikan jawaban terkait pertanyaan tentang alam semesta ini
dengan jawaban dalam bentuk mitos, namun lama kelamaan manusia tidak lagi puas
dengan jawaban mitologi tersebut, dan mencoba mencari jawaban dengan jawaban
yang rasional yang kemudian munculah filsafat yang kemudian tradisi ini
berlanjut kembali pasca Islam sudah meluas (ekspansi) dan berinteraksi dengan
budaya tersebut. Lihat: M. Thoyyibi, Filsafat Islam (Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 1999), hal: 18 dan 52.
[25] Maksudnya untuk menjadi saksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.
[26]
Asy-Syahratnasy, Al-Milal wa an-Nihal, Beirut-Libanon: Darul Fikr.,
t.th). Hal 85.
[27] Dalam teks
asli (bukan terjemahan) lafadznya adalah Jabariyah Ashli (Jabariyah
murni) dan Jabariyah Mutawashit (Jabariyah Moderat) namun karena
dalam kerangka perbandingan befikir akhirnya diterjemahkan dengan Jabariyah
Ekstrim.
[28] Pendapat Jahm
tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang
surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat
Tuhan di akherat.
[29] Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, cet V, 1986). Hal: 31.
[30] Dengan
demikian dalam beberapa hal, pendapat Jahm hampir sama dengan Murjiah,
Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Abdul Razaq dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. (Bandung:
Pustaka Setia, 2010). Hal: 67-68.
[31] Al-Ja’d adalah
seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam
lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya
untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak
pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d
lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya
kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan. Abdul Razaq dan Rosihon
Anwar. Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hal: 68.
[32] Sebagai kritik dalam hal ini, mereka menolak keadaan
Allah Maha Hidup dan Maha Mengetahui, namun mereka mengakui keadaan Allah
Yang Maha Kuasa (al-Jabbar).
[33] Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, cet V, 1986). Hal: 31.
[34] Nama
lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 210 H). Para pengikutnya
disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah.
[35] Abdul Razaq
dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hal: 69.
[36] Abudin Nata, Ilmu
Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998). Hal:
41-42; Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan
Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996). Hal: 75.
[37] Diantaranya
Q.S. Ar-Rad / 13: 11., Q.S. al-Kahfi /
18: 29., Q.S. Ali Imran / 3: 165., Q.S. An-Nisa’ / 4: 111.
[38] Lawannya
adalah Maqom Asbab yaitu mengandalkan usaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar