Senin, 29 Agustus 2016

Jabariyah


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Jabariyah
Kata Jabariyah secara etimologi berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Dalam al-Munjid dijelaskan bahwa jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.[1] Seperti salah satu sifat Allah yaitu sifat al-Jabbar (dengan bentuk mubalaghah) yang artinya Allah Maha Pemaksa, selanjutnya kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya’ nisbah) berarti suatu kelompok atau aliran (isme).[2]
Sedangkan secara terminologi Jabariyah adalah kelompok yang menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).[3] Dalam hal ini Asy-Syahratsan menegasakan bahwa aliran al-Jabbar menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah.[4] Sejalan dengan Asy-Syahratsan, Aliran al-Jabbar menurut Harun Nasution, Jabariyah adalah faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia sendiri, melainkan diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, artinya di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat[5], karena tidak memiliki kemampuan.[6]
2.2 Asal-Usul dan Perkembangan Jabariyah[7]
Aliran al-Jabbar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan[8]. Namun, dalam perkembangannya, Aliran al-Jabbar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya seperti Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d Dirrar.
Mengenani kemunculan aliran al-Jabbar ini, para ahli sejarah pemikiran ada yang mengkajinya melalui pendekatan geokultural Arab. Diantaranya Ahmad Amin dalam bukunya Fajr Al-Islam menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas tersebut memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.[9]
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini yang membawa mereka kepada sikap fatalism.[10]
Sebenarnya benih-benih faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh di atas[11]. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:
1.      Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.[12]
2.      Khalifah Umar bin Khathab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan mengangap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.[13]
3.      Khalifah Ali bin Thalib sesuai Perang Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya, “Bila perjalanan (menuju Perang Shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tak ada pahala sebagai balasannya”. Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.[14]
4.      Pada pemerintahan Daulah Bani Umayah, pandangan tentang al-jabar semakin mencuat ke permukaan[15]. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya, memberikan reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berfaham Jabariyah.[16]
Paparan di atas menjelaskan bahwa bibit aliran al-jabar telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, aliran al-jabar sebagai suatu pola pikir atau aliran yang di anut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah[17], yakni oleh kedua tokoh yang telah disebutkan di atas.[18]
Berkaitan dengan kemunculan aliran al-Jabbar, ada pula yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[19] Namun, tanpa pengaruh asing itu, aliran al-jabar akan muncul juga di kalangan umat Islam baik dari segi geokultural, tingkat kepasrahan hamba[20] ataupun karena sebab dalil al-Qur’an itu sendiri[21].
Oleh sebab itu maka dapat dikatakan bahwa ada dua faktor yang melatar belakangi berdirinya aliran ini:
1.      Faktor Internal
1)      Al-Qur’an, yakni dengan banyaknya nash-nash yang mendorong manusia memiliki ilmu pengetahuan[22]; melakukan penelitian tentang fenomena alam; mengangkat derajat orang yang berilmu; serta alat untuk membantah taklid dalam berakidah.
2)      Politik dan Estafet Pemikiran, tepatnya adanya Fitnah kubro pasca terbunuhnya Utsman bin Affan yang berimplikasi kepada konflik politis hingga merembet pada masalah akidah, karena masing-masing pihak menjastifikasi kelompoknya dengan argumentasi teologis. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini seperti apa yang diuraikan oleh Syaikh Abdul Halim dalam bukunya at-Tafkir al-Falsafi fi al-Islam bahwa Muawiyah pendiri Dinasti Umayah mempopulerkan do’a Nabi setelah shalat dengan tujuan menampakan restu tuhan atas kekuasaan yang mereka peroleh setelah memerangi Ali bin Abi Thalib sambil “membenarkan” kekejaman-kekejaman mereka dengan dalih yang demikian itu sudah kehendak tuhan, do’a itu sebagai berikut:
اللهم لا مانع لما أعطيت ولامعتي لما منعت ولا رادّ لما قضيت ولا ينفع ذا الجد منك الجد (رواه البخاري)
Artinya: “Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, tidak juga ada yang dapat memberi apa yang Engkau halangi. Tidak ada yang dapat membatalkan ketetapanmu, dan tidak berguna bagi siapapun usahanya, tetapi yang berguna hanyalah curahan rahmat-Mu”. (HR. Bukhari melalui Warid Maula al-Mughirah ibnu Syu’bah)[23]Dari kejadian itulah maka ada protes yang kemudian dikenal dengan aliran Qodairiyah.
Contoh lain misalnya pada kasus pengkafiran Khawarij terhadap kelompok Ali bin Abi Thalib dan Muawiyyah akibat proses arbritase / pengambilan keputusan (tahkim) yang dianggap keluar dari koridor Islam yang kemudian terus dilanjutkan hingga muncul aliran-aliran baru sebagai wujud estafet pemikiran seperti munculnya aliran Murjiah, Jabariyah, Qodariyah, Mu’tazilah, dst.
2.      Eksternal
1)      Interaksi Islam dengan Peradaban non Islam.
Hal tersebut tampak dengan terjadi interaksi kaum muslimin dengan budaya Romawi-Persia (kental dengan warna filsafat) yang telah ditaklukkan Islam[24].
2)      Hubungan Mu’tazilah dengan Yunani.
2.3 Dalil / Landasan yang Menimbulkan Pemikiran Jabariah
Dalil / landasan yang menimbulkan pemikiran Jabariyah diantaranya adalah ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an, seperti:
öqs9ur $oY¯Rr& !$uZø9¨tR ãNÍköŽs9Î) spx6Í´¯»n=yJø9$# ÞOßgyJ¯=x.ur 4tAöqpRùQ$# $tR÷Ž|³ymur öNÍköŽn=tã ¨@ä. &äóÓx« Wxç6è% $¨B (#qçR%x. (#þqãZÏB÷sãÏ9 HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# £`Å3»s9ur öNèduŽsYò2r& tbqè=ygøgs ÇÊÊÊÈ  
Artinya:
Kalau Sekiranya Kami turunkan Malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka[25], niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Q.S. Al-An’am [6] : 111)
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ  
Artinya:
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
(Q.S. Ash-Shaffat [37] : 96)
öNn=sù öNèdqè=çFø)s?  ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |MøtBu øŒÎ) |MøtBu  ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4 uÍ?ö7ãŠÏ9ur šúüÏZÏB÷sßJø9$# çm÷ZÏB ¹äIxt/ $·Z|¡ym 4 žcÎ) ©!$# ììÏJy ÒOŠÎ=tæ ÇÊÐÈ  
Artinya:  
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S. Al-Anfal [8] : 17)
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ  
Artinya:
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Insan [76] : 30)
!$tB z>$|¹r& `ÏB 7pt6ŠÅÁB Îû ÇÚöF{$# Ÿwur þÎû öNä3Å¡àÿRr& žwÎ) Îû 5=»tGÅ2 `ÏiB È@ö6s% br& !$ydr&uŽö9¯R 4 ¨bÎ) šÏ9ºsŒ n?tã «!$# ׎Å¡o ÇËËÈ   
Artinya:
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Q.S. Al-Hadid [57] : 22)
Ayat-ayat tersebut terkesan membawa seseorang pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah yang menyebabkan pola pikir Jabariyah masih tetap ada di kalangan umat Islam kini walaupun anjurannya telah tiada.

2.4 Tokoh dan Dokrin Jabariyah
Menurut Asy-Syahratsani doktrin Jabariyah terbagi menjadi dua bagian[26]. Pertama, doktrin aliran al-Jabbar ekstrim[27]. Di antara tokohnya adalah Jahm bin Shofwan berpendapat bahwa:
1.      Manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.[28]
2.      Surga dan Nerak tidak kekal. Karena yang kekal hanya Allah.
3.      Iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati (sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah).
4.      Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.[29] Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.[30]
Adapun Ja'ad bin Dirham[31], berpendapat bahwa:
1.      Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat[32].
2.      Al-Qur’an adalah makhluk oleh karena itu sesuatu yang baru tidak dapat disifatkan kepada Allah.
3.      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[33]
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari skenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua, doktrin aliran al-Jabbar moderat. Diantara tokohnya An-Najr[34] yang berpendapat bahwa[35]:
1.      Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalam mewujudkan perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya, inilah yang kemudian disebut Kasb atau acquisition dalam aliran al-Asy’ari.
2.      Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, an-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
Sedangkan Dhirar bin Amr (tokoh jabariayah moderat lainnya) berpendapat bahwa:
1.      Pendapatnya mengenai perbuatan manusia sama dengan pendapat Husain an-Najjar, yakni manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Melainkan manusia mempunyai bagian dalam perwujudannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Dengan tegas Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak secara bersamaan. Artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbukan oleh Tuhan semata tetapi juga oleh manusia itu sendiri.
2.      Tuhan dapat saja dilihat diakhirat dengan indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah nabi adalah ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[36]

2.5  Studi Kritis
Mengenai doktrin yang paling terkenal dari Jabariyah akan penolakan adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah secara mutlak, serta makhluk tidak boleh mempunyai kesamaan sifat dengan sifat Tuhan, dan kalau itu terjadi, berarti menyamakan Tuhan dengan makhluknya mejadikan mereka menolak keadaan Allah  Maha Hidup dan Maha Mengetahui, namun mereka mengakui keadaan Allah Yang Maha Kuasa (Al-Jabbar).
Disisi lain aliran al-Jabbar juga bertentangan dengan Qodariyah yang salah satu doktrin paling terkenalnya adalah bahwa semua tindakan mutlak ada ditangan manusia itu sendiri tanpa adanya campur tangan Tuhan. Sedangkan doktrin Qodariyah tersebut juga disandarkan dengan ayat-ayat al-Qur’an[37].
Namun demikian, juga memang terbukti ada fenomena masyarakat mengenai beberapa tingkatan kepasrahan hamba, artinya benar-benar pasrah kepada Allah dalam segala hal, misalnya dalam ilmu Tasawuf ada tingkatan Maqom Tajrid[38] (Apa kata Allah). Dari situlah maka dapat diartikan bahwa sebenarnya permasalahan seputar penolakan adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah itu benar dalam tingkatan tertentu. Oleh sebab itu maka akan menjadi seimbang manakala ada porsi tersendiri antara keduanya, yakni kekuasaan Allah dan kekuasaan atau kehendak manusia.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Aliran al-Jabbar adalah aliran yang menyatakan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan oleh qodho dan qodar Tuhan, yaitu manusia seperti wayang yang digerakan oleh dalang (Tuhan) dimana wayang tersebut tidak memiliki daya ataupun peran dalam perbuatannya.
Muncul aliran ini karena faktor internal dan ekstenal. Faktor internal yang meliputi: 1) nash-nash al-Qur’an yang memiliki atau mendukung Jabariyah,  2) politik dan estafet pemikiran pasca Fitnah Kubro setelah adanya tahkim antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Sedangkan faktor ekternal meliputi: 1) interaksi Islam dengan peradaban non muslim, 2) hubungan Mu’tazilah dengan Yunani.
Doktrin Jabariyah meskipun bersandar atas ayat-ayat al-Qur’an namun tetap berbenturan dengan Qodariyah yang juga bersandar dengan ayat-ayat al-Qur’an, oleh karenanya perlu disikapi dengan bijak dalam memaknai dan memberikan porsi al-Jabbar.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Razaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia. 2010).
Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).
Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal. (Beirut-Libanon: Darul Fikr, t.th).
Ali Musthafa Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah. (Kairo, 1958).
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. (Jakarta: UI.Press, Cet. V, 1986).
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspek, (Jakarta: UIPress, cet. VI, 1986).
Huwaidhy, Dirasat fi ilmi Al-Kalam wa Al-falsafah Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Ats-Tsaqafah, 1980).
Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).
Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-Alam. (Beirut: Dar Al-Masyriq, 1998).
M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru, (Tanggerang Selatan: Lentera Hati: 2005).
M. Thoyyibi, Filsafat Islam (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999).
Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali, 1991).
Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997).
Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).


[1] Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-Alam. (Beirut: Dar Al-Masyriq, 1998). Hal: 78.
[2] Adapun dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination. Lihat: Abdul Razaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia. 2010). Hal: 63.
[3] Abdul Razaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia. 2010). Hal: 63.  
[4] Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal. (Beirut-Libanon: Darul Fikr, t.th). Hal: 85.
[5] Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
[6] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. (Jakarta: UI.Press, Cet. V, 1986). Hal 31.
[7] Dalam sub bab ini akan dibahas asal usul kemunculan dan perkembangan Jabariyah serta situasi saat aliran ini muncul.
[8] Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaniya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI. Press, cet. V. 1986). Hal: 33.
[9] Abdul Razaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hal: 64.
[10] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. (Jakarta: UI. Press, cet. V. 1986). Hal: 31.
[11] Hal ini disebabkan karena faktor geokultural, tingkat kepasrahan hamba ataupun karena dalil al-Qur’an itu sendiri.
[12] Abdul Razaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hal: 64.  
[13] Ali Musthafa Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah. (Kairo, 1958). Hal: 15.
[14] Ali Musthafa Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah. (Kairo, 1958). Hal: 28.
[15] Golongan Murji’ah menganggap bahwa penderitaan rakyat di satu pihak dan kekejaman penguasa di pihak lain itu adalah sudah takdirnya demikian, seperti dinyatakan oleh Yāzid bin Mu’awiyah waktu dia menerima kepala Sayidina Husain bin Abi Thalib yang dibawa kepadanya dia berkata dan langsung menyitir ayat alquran QS. Ali Imran (3) ayat 26. Dengan mengemukakan ayat ini, Yāzid bermaksud mengatakan bahwa apa yang diderita oleh Husain bin ‘Ali yang dibunuh dengan kejam oleh serdadu Yāzid bin Mu’awiyah dari dinasti Umayyah itu, adalah sudah kehendak Tuhan, bukan kehendak Yazid dan serdadunya. Agar umat yang mendukung Husain tidak marah atau dendam, karena itu “takdir” Tuhan semata-mata.
[16] Huwaidhy, Dirasat fi ilmi Al-Kalam wa Al-falsafah Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Ats-Tsaqafah, 1980). Hal: 98.
[17] Golongan muslim yang pertama kali memperkenalkan aliran al-Jabbar ini adalah Ja’d bin Dirham, tetapi waktu itu belum begitu berkembang. Kemudian Jahm bin Shafwān dari Khurāsān mempelajari paham ini dari Ja’d bin Dirham yang kemudian menyebar luaskannya. Jahm yang terdapat dalam aliran al-Jabbar ini sama dengan Jahm yang mendirikan aliran al-Jahmiyyah dalam kalangan Murji’ah. Sehingga aliran al-Jabbar juga identik dengan sebutan Jahmiyyah karena berkembang setelah disebarluaskan oleh Jahm bin Shafwan. Sebagai sekretaris Syurayh ibn al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan tersebut Jahm ditangkap dan dihukum mati tahun 131 H.
[18] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspek, (Jakarta: UIPress, cet. VI, 1986). Hal: 37.
[19] Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali, 1991). Hal: 133.
[20] Atau istilahnya dalam ilmu Tasawuf Makam tadjrid / apa kata Allah.
[21] Misalnya:
 ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ (Q.S. Ash-Shaffat /37: 96) öNèdqè=çFø)s? Nn=sù  ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |MøtBu øŒÎ) |MøtBu  ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4 uÍ?ö7ãŠÏ9ur šúüÏZÏB÷sßJø9$# çm÷ZÏB ¹äIxt/ $·Z|¡ym 4 žcÎ) ©!$# ììÏJy ÒOŠÎ=tæ ÇÊÐÈ (Q.S. Al-Anfal /8: 17) tbrâä!$t±n@ $tBur HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ  (Q.S. Al-Insan /76: 30)
[22] Dasar munculnya aliran al-Jabbar ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, kedua, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian mentakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih. Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997).
[23] M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru, (Tanggerang Selatan: Lentera Hati: 2005), hal 35-36.
[24] Pada peradaban Yunani, Mitologi memberikan jawaban terkait pertanyaan tentang alam semesta ini dengan jawaban dalam bentuk mitos, namun lama kelamaan manusia tidak lagi puas dengan jawaban mitologi tersebut, dan mencoba mencari jawaban dengan jawaban yang rasional yang kemudian munculah filsafat yang kemudian tradisi ini berlanjut kembali pasca Islam sudah meluas (ekspansi) dan berinteraksi dengan budaya tersebut. Lihat: M. Thoyyibi, Filsafat Islam (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999), hal: 18 dan 52.
[25] Maksudnya untuk menjadi saksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.
[26] Asy-Syahratnasy, Al-Milal wa an-Nihal, Beirut-Libanon: Darul Fikr., t.th). Hal 85.
[27] Dalam teks asli (bukan terjemahan) lafadznya adalah Jabariyah Ashli (Jabariyah murni) dan Jabariyah Mutawashit (Jabariyah Moderat) namun karena dalam kerangka perbandingan befikir akhirnya diterjemahkan dengan Jabariyah Ekstrim.
[28] Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat.
[29] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, cet V, 1986). Hal: 31.
[30] Dengan demikian dalam beberapa hal, pendapat Jahm hampir sama dengan Murjiah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Abdul Razaq dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hal: 67-68.
[31] Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan. Abdul Razaq dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hal: 68.
[32] Sebagai kritik dalam hal ini, mereka menolak keadaan Allah  Maha Hidup dan Maha Mengetahui, namun mereka mengakui keadaan Allah Yang Maha Kuasa (al-Jabbar).
[33] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, cet V, 1986). Hal: 31.  
[34] Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 210 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah.
[35] Abdul Razaq dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hal: 69.
[36] Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998). Hal: 41-42; Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996). Hal: 75.
[37] Diantaranya Q.S. Ar-Rad / 13: 11., Q.S.  al-Kahfi / 18: 29., Q.S. Ali Imran / 3: 165., Q.S. An-Nisa’ / 4: 111.
[38] Lawannya adalah Maqom Asbab yaitu mengandalkan usaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar