KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Aliran-Aliran dalam Nahwu”.
Makalah
ini berisikan tentang aliran-aliran dalam nahwu. Makalah ini di harapkan dapat
memberikan informasi kepada kita semua tentang aliran-aliran nahwu yang telah
ada. Dalam makalah ini pembaca akan menemukan jawaban atas beberapa pertanyaan
seperti:
Apa saja
aliran-aliran dalam nahwu ? Bagaimana sejarah aliran nahwu Basrah? Bagaimana
Paradigma Aliran Nahwu Basrah ? Bagaimana
karakteristik aliran nahwu Bsrah? Dan siapa diantara ulama’ Basrah yang
termasyur? Bagaimana Produk Nahwu dari Tokoh-Tokoh Tersebut?
Kami
ucapkan Jazakumullah Ahsanal Jaza' kepada semua pihak yang telah membantu
kelancaran dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Terutama kepada
Dosen pengampu mata kuliah Ushul Nahwu Bapak Tamim Mulloh, M.Pd yang selalu
membimbing kami, serta teman-teman yang turut menyumbangkan referensi. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Kami
menyadari makalah ini kurang sempurna jika tanpa bantuan pembaca. Oleh karena
itu, selalu kami nantikan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.Semoga bermanfaat. Amin.
Malang, 01 April 2013
`DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 1
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 3
1.1
Latar Belakang............................................................................................................... 3
1.2
Tujuan............................................................................................................................ 4
1.3
Rumusan Masalah.......................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 5
2.1 Kajian Pustaka............................................................................................................... 5
A. Aliran Nahwu Secara Umum ............................................................................. 5
B. Sejarah Aliran Nahwu Basrah............................................................................. 8
C. Paradigma Aliran Nahwu Bashrah.................................................................... 11
D. Konsep Aliran Bashrah..................................................................................... 11
E. Karateristik Nahwu Bashrah............................................................................. 14
F. Tokoh-tokoh Nahwu Basrah & Contoh Produknya.......................................... 16
BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 23
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 25
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Datangnya
Islam bersamaan dengan bahasa Arab yang berguna sebagai pelengkap alat penjelas
yang mampu memberikan atsar terhadap kebahasaan[1].
Dengan kebahasaan tersebut maka tidak terlepas dari susunan bahasa itu sendiri
yang mana bagian dari kajian ilmu nahwu. Tetapi dalam hal ini, kami bukan ingin
membahasa ilmu nahwu tetapi lebih ke Ushul nahwunya.
Berbicara Ilmu Ushul Nahwu, tidak
akan terlepas dari aliran-aliran nahwu yang berada di tempat atau kota-kota
sesuai dengan perkembangan ilmu gramatika tersebut. Ilmu tersebut berkembang
dengan seiring majunya dan luasnya daerah Islam.
Aliran-aliran tersebut ada kaitannya
dengan penyebaran ilmu nahwu, diantara penyebaran ilmu nahwu pertama kali
adalah di Makkah, Madinah dan Basrah[2],
hal ini wajar mengingat memang al-Qur’an lahir disekitar daerah tersebut serta
kota-kota tersebut memang pusat lahirnya peradaban Islam. Baru beberapa decade
selanjutnya ilmu nahwu berkembang di daerah Kuffah, Baghdad, Andalus, dan
Mesir.
Aliran-aliran yang sangat banyak
tersebut kami hanya mengambil satu pembahasan yang mendalam yaitu aliran
Basrah, meliputi sejarah kelahiran, konsep nahwu menurut aliran Basrah, prodak
nahwu menurut aliran Basrah, serta beberapa tokoh aliran basrah, sedangkan
aliran yang lainnya seperti Kuffah, Baghdad dan Mesir kami hanya membahasnya
sekilas saja mengingat pembahasan aliran-aliran tersebut akan dibahas oleh
pemakalah selanjutnya.
Dengan memahami aliran-aliran ini
dari mulai kemunculan, konsep nahwu, produk nahwu, serta beberapa tokoh aliran
Basrah diharapkan dapat memahami suatu kebahasaan dari akar bahasa itu
diputuskan kedudukan hukumnya dalam ilmu nahwu itu sendiri muncul serta dapat
memberikan sebuah kontribusi dalam bidang ilmu nahwu secara umum. Karena dengan
memahami aliran-aliran ini kita bias mengerti asal-usul suatu kedudukan bahasa
dalam ilmu nahwu, juga singkronisasi diantara kedudukan bahasa yang ada dengan
sumber pengambilan hukumnya yaitu al-Qur’an, syair dan kalam Arab al-Fasihah. Semoga
dapat memberikan tambahan wawasan bagi penulis khususnya dan juga bagi para
pembaca pada umumnya. Amin.
1.2
Tujuan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini dapat dibagi menjadi dua tujuan besar yaitu Main Purpose (tujuan Umum) dan Special Purpose (tujuan khusus). Tujuan
umum penulisan makalah ini adalah mahasiswa dapat memahami secara umum
aliran-aliran nahwu yang ada, sehingga dapat berfikir secara logis serta dapat
mengambil kesimpulan dengan obyektif akan aliran-aliran tersebut. Sedangkan tujuan
khusus dari penulisan malakah ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat Mengetahui Aliran-Aliran Nahwu
2. Dapat Mengetahui
Sejarah Aliran Nahwu Basrah
3. Dapat Mengetahui
Paradigma Aliran Nahwu Basrah
4. Dapat Mengetahui Konsep
Nahwu Aliran Basrah
5. Dapat Mengetahui Karakteristik Nahwu
Aliran Basrah
6. Dapat mengetahui siapa saja Tokoh Nahwu
Basrah dan Produknya
1.3
Rumusan masalah
1. Apa saja aliran
nahwu secara Umum?
2.
Bagaimana Sejarah Aliran Nahwu Basrah ?
3.
Bagaimana Paradigma Aliran Nahwu Basrah ?
4.
Bagaimana Karakteristik Nahwu Aliran Basrah ?
5. Bagaimana Konsep
Nahwu Aliran Basrah?
6. Siapa saja Tokoh Nahwu Basrah dan apa
Bagaimana produknya?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Kajian Pusataka
A. Madrasah
(Aliran) Nahwu Secara Umum
Kelahiran ilmu nahwu
dipicu oleh berbaurnya Bangsa Arab dengan bangsa lain, ketika terjadi
rangkaian-rangkaian usaha penyebaran agama Islam dan penghapusan kedaliman.
Keberhasilan “dakwah” mengharuskan kaum Arab berdomisili di tempat barunya,
terutama para tentara, agar tetap terjaga stabilitas. Perlu sosialisasi, maka
merekapun berkomunikasi dengan masyarakat baru tersebut, dengan menggunakan
bahasa ibunya, Arab. Ada proses peniruan oleh masyarakat, dalam proses itu
timbul kesalahan-kesalahan. Dari sini tersusunlah kemudian ilmu nahwu yang
pada perkembangan selanjutnya menjadi suatu disiplin yang tidak boleh
ditinggalkan bagi siapapun yang ingin mengerti dan mendalami agama Islam.
Setelah
tersusunnya ilmu gramatikal bahasa Arab dan banyaknya para ulama yang telah
memperjelas ilmu tersebut. Hal ini, mengakibatkan timbulnya aliran-aliran dalam
ilmu nahwu, yang disebabkan adanya khilaf dikalangan para ulama nahwu dalam
menentukan posisi (mahal) kata dalam suatu kalimat. Beda persepsi ini,
tidak luput dari pengaruh daerah para ulama tersebut menetap. Diantara
aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris an-Nahwiyah) tersebut menurut Syauqi
Dhoif[3]:
1.
Aliran (madrasah) Al-Basrah,
2.
Aliran (madrasah) Kufah,
3.
Aliran (madrasah) Baghdad,
4.
Aliran (madrasah) Andalus,
5.
Aliran (madrasah) Mesir.
Ilmu nahwu pada mulanya
lahir dan tumbuh di Bashrah, namun kemudian pada periode-periode
berikutnya tersebar ke negeri-negeri Islam lainnya. Ada beberapa manfaat dari
mempelajari nahwu, di antaranya; dapat memahami dengan benar susunan kata-kata
Bahasa Arab yang terdapat pada literatur-literatur hukum Islam (al-Qur’an,
al-Hadits dan kitab-kitab Fiqh), dapat menyusun kata-kata Bahasa Arab dalam
susunan yang sesuai dengan kaidahnya, dan dapat menentukan kedudukan-kedudukan
kata dan dapat mengambil pengertiannya dengan benar.
Namun, aliran (madrasah) yang paling terkenal
dalam kitab-kitab nahwu hanya dua, Basrah dan Kufah.[4] Keduanya disebut sebagai aliran utama, karena keduanya mempunyai otoritas
dan independensi yang tinggi, kedua aliran tersebut juga mempunyai pendukung
yang banyak dan fanatik, sehingga mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya.
Adapun tiga aliran yang lain disebutnya sebagai aliran turunan yang berinduk
pada salah satu aliran utama atau merupakan hasil paduan antara keduanya.[5]
Perkembangan dan penyebar
luasan ilmu nahwu di Bashrah ini tidak lepas dari peranan Madrasah
al-Bashriyah, sebuah lembaga pendidikan khusus yang dibentuk untuk membina
nahwu di Bashrah yang didirikan pada masa Khalil ibn Ahmad al-Farahidi. Dari Madrasah
ini lahir ulama-ulama nahwu lainnya seperti; al-Akhfasy, al-Riyasyi, al-Mazini,
al-Mubarrad dan al-Yazidi.
Ilmu nahwu terus berkembang dan mendapatkan
momentum perkembangannya yang pesat di masa Abbasyiyah, yaitu pertengahan abad
ke- 2 H. Dari Bashrah ilmu nahwu terus berkembang ke Kufah, yang disebarkan
oleh para alumni Madrasah al-Bashriyah. Mereka itu antara lain
Ja’far al-Ruwasi dan Mu’adz al-Harra’. Al-Harra’ belajar kepada Abu Amr, sedang
al-Ruwasi selain belajar kepada Abu Amr juga kekpada Isa ibn Umar dan Abu Amr
al-Ala. Ketiganya ulama ini adalah tokoh nahwu di Bashrah. Sebagai pedoman
murid- muridnya, al-Ruwasi menyusun kitab nahwu berjudul “al-Faishal”. Mereka
berdua mengembangkan ilmu nahwu dan membina kader-kadernya di Kufah. Sejak
itulah bermunculan ulama-ulama nahwu aliran Kufah, seperti: al-Kisa’i, dan
muridnya al-Farra’. Kedua ulama ini telah menyusun satu bentuk nahwu dan meletakkan
dasar-dasarnya yang berbeda dengan pendahulunya.
Tidak berbeda dengan di
Bashrah, di Kufah lahir “Madrasah Kufiah” sebagai tempat pengkaderan ulam-ulama
nahwu Kufah. Madrasah ini dipelopori oleh al-Ruwasi dan al-Harra’. Dari sini
bermunculanlah ulama-ulama nahwu, seperti: Hamzah Muhammad ibn Sa’dan, Ali ibn
Hazim al-Lihyani, Hisyam ibn Mu’awiyah al-Darir, ibn al-Sikkit, al-Thiwal dan
Tsa’lab. Mungkin di Kufah sudah terbentuk madzhab tersendiri di bidang
nahwu. Tetapi, bagaimanapun pengaruh Bashrah masih tetap ada, Karena memang di
sanalah awal mulanya ilmu nahwu lahir. Apalagi ulama-ulama Kufah juga murid
yang pernah belajar di Bashrah.
Rupanya Bashrah dan Kufah
merupakan kiblat ilmu dan perlu diketahui, bahwa nahwu saat itu adalah
primadonanya. Karena itu, banyak orang datang untuk menyerap yang ada di sana.
Kini, pengaruh dua kota ini telah sampai ke Baghdad, dengan munculnya beberapa
tokoh nahwu yang terkenal seperti: Abu Ali al-Farisi dan murid-muridnya, yaitu
Ibn Jinni, ibn Kaisan, ibn Syuqair, dan ibn Khayyat. Di antara tokoh nahwu
Baghdad ada yang condong ke Bashrah, ada juga yang condong ke Kufah.
Usaha-usaha mereka pada umumnya diarahkan untuk melakukan seleksi terhadap
pendahulunya, yaitu pendapat-pendapat dari ulama Bashrah maupun Kufah, di
samping juga berijtihad dan mengeluarkan pendapat sendiri. Generasi yang
terkahir dari Baghdad adalah al-Zamaksari, ibn Syajari, Abu al-Barakat
al-Anbari, ibn Ya’syi, dan al-Ridla al-Istirabadi.
Di Andalusia juga
berkembang ilmu nahwu pada 139 H./756 M. ilmu ini dibawa pertama kali ke
Andalusia oleh Jaudi ibn Utsman al-Maurani yang sebelumnya pernah belajar
kepada al-Kisa’i dan al-Farra’. Ia pula yang pertama memasukkan buku-buku nahwu
Kufah ke negerinya, Lebih dari itu, pada masa pemerintahan Khalifah Harun
Ar-Rasyid, Al-Kasai bahkan dipercaya oleh khalifah untuk menjadi guru bagi
kedua putranya yang bernama Amin dan Makmun. Dan ketika kesehatannya mulai
menurun, dia menunjuk temannya yang bernama Ali bin Malik Al-Ahmar untuk
menggantikannya menjadi guru bagi kedua putra khalifah. Demikianlah, al-Kisa’i
telah mampu menempatkan aliran nahwu Kuffah di Baghdad, dan memasukkannya ke
dalam pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid. Tokoh lain yang datang ke Baghdad
setelah Al-Kasai dan Al-Ahmar adalah Yahya bin Ziad Al-Fara’, yaitu tepatnya
pada masa pemerintahan khalifah Makmun, untuk menjadi guru bagi kedua putra
khalifah.[6] Karena itu, pengaruh Kufahlah yang lebih dulu daripada Bashrah. Nahwu
Bashrah masuk ke Andalusia baru sekitar abad ke 3 H. dibawa oleh al-Afusyniq
Muhammad ibn Musa ibn Hasyim. Adapun tokoh-tokoh lainnya antara lain: Muhammad
ibn Yahya al-Mahlabi, ibn Bazisi, al-Suhaili, ibn Hisyam al-Khadrawi, dan ibn
Malik. Setelah itu, sekitar abad ke-8 H. tampil pula beberapa ulama seperti:
Ibn Abi al-Rabi’ (w. 688 H.) dan ibn Hayyan (w. 745 H.). Dengan kedatangan para
pakar Bashrah ini, maka dapat diketahui bahwa ada dua macam aliran nahwu yang
masuk ke Baghdad, yaitu aliran Kuffah dan aliran Bashrah. Kedua aliran
ini tumbuh di Baghdad dengan karakteristik masing-masing, sehingga pendukung
keduanyapun juga terbagi menjadi dua kelompok yang berbeda. Dengan adanya
berbagai perbedaan yang ada dalam kedua aliran ini, maka yang muncul ke
permukaan pada tahap selanjutnya adalah adanya persaingan sengit antara
keduanya dan tidak pernah mencapai titik temu. Perbedaan dan perselisihan dua
aliran tersebut selanjutnya melahirkan sebuah aliran baru yang diberi nama
aliran Baghdad, yaitu aliran yang memadukan aliran Kuffah dan aliran Bashrah
kemudian disesuaikan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab yang telah ada.[7]
Pada
abad keempat hijriyah para ahli nahwu Baghdad memunculkan metode baru dalam
ilmu nahwu, yaitu dengan memilih yang terbaik dari kedua pendapat aliran nahwu
yang telah ada, Basrah dan Kufah.[8]
Hal ini bermula ketika mereka belajar nahwu kepada dua tokoh yang berbeda aliran,
yaitu Tsa’lab dan Al-Mubarrad kemudian mulai mempertemukan kedua aliran
tersebut hingga memunculkan aliran baru yang dapat dibedakan dari keduanya.
Selain Baghdad dan
Andalusia, ilmu nahwu juga berkembang di Mesir. Perkembangan di sini dengan
jalan mengajarkan ke beberapa kota seperti Fustat dan Iskandariah. Ulama yang
membawa nahwu ke Mesir ialah Wallad ibn Muhammad al-Tamimi. Ia adalah murid
al-Khalil ibn Ahmad. Karena itu ketika kembali ke Mesir, ia membawa beberapa
buku gurunya dan mengajarkannya kepada generasi-generasi muda Mesir. Ulama
nahwu yang semasa dengannya ialah Abu al-Hasan al-Azzu yang menjadi murid
al-Kisa’i. Ulama dari generasi berikutnya dari Mesir adalah al-Dainuri Ahmad
ibn Ja’far, murid al-Mazini.
Para ulama nahwu
generasi-generasi berikutnya, pada umumnya tidak lagi membuat kaidah-kaidah
baru di bidang nahwu, tetapi mereka melakukan usaha memberikan syarah
(memberikan penjelasan terhadap karya-karya sebelumnya), atau membuat hasyiyah,
semacam membuat catatan pinggir sebagai komentar apa yang terdapat dalam
kitab-kitab sebelumnya.
Bila melihat sejarah
kehidupan para ulama nahwu, sebenarnya mereka tidak hanya mendalami ilmu
tersebut, tetapi juga ilmu-ilmu penting lainnya, seperti: bahasa, qira’ah, fiqh,
hadits, dan juga sejarah. Lebih dari itu, merekapun belajar tekun ilmu Aqidah
(teologi), sebut misalnya al-Farra’, yang dikenal sebagai ahli nahwu. Dia punya
kecendrungan rasional karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh Mu’tazilah dan
Khalifah al-Ma’mun, walaupun penganut “jalan tengah”, atau al-Suyuthi, yang
dikenal dengan ilmu tafsir, ia juga mempunyai beberapa karya di bidang nahwu.
B. Sejarah Aliran (Madrasah) Bashrah
Dalam sebuah riwayah disebutkan, “Suatu
hari Abu al-Aswad al-Du’ali berkunjung ke Ubaidillah ibn Ziyad, wali kota
Bashrah. Abu al-Aswad berkata : Saya melihat orang-orang Arab kini bicaranya
tidak teratur, lidah mereka tidak fasih (al-Lahn) berbicara Arab karena
pergaulannya dengan bangsa lain ( orang-orang ajam), bagaimana kalau misalnya
saya susun sebuah buku yang dapat dijadikan pedoman dalam berbahasa Arab?
Kontan Ziyad menjawab ”jangan!” Pada hari yang lain, datang pula kepadanya
seorang laki-laki, dan berkata, "أصلح الله الآمير، توفى أبانا وترك
بنونا" (semoga Tuan diberkahi kedamaian, telah diambil hak ayah
kami sedang dia meninggalkan banyak anak). Sang Amir
terperanjat, lalu berkata “Panggil kemari Abu al-Aswad !”. Kemudian ia berkata
“Susunlah apa yang dulu aku larang !”.
Dikisahkan juga, pada suatu malam yang
penuh bintang, Abu al-Aswad keluar rumah untuk menikmati indahnya malam bersama
putrinya. Sang putri berkata: “ما أحسن السماء” = nun di-dlommah,
hamzah di-kasroh (apa yang paling indah di langit). Ayahnya menjawab “نجومها” (yang paling
indah di langit adalah bintangnya). Lalu putrinya menimpali,”saya tidak
bertanya, tapi mengutarakan kekaguman”. Mendengar ucapan putrinya demikian, Abu
al-Aswad menjelaskan “Kalau begitu, ucapan yang benar adalah "ما أحسن السماء" nun dan
hamzah di-fathah (betapa indahnya langit). Sejak saat itu Abu al-Aswad
menyusun ilmu nahwu, dan yang pertama disusun adalah mengenai Ta’ajub.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa
penyusun pertama ilmu nahwu adalah Abu al-Aswad al-Du’ali. Selain itu, ada juga
pendapat lain yang menyebutkan Abdurrahman ibn Hurmuz. Sementara yang lain
mengatakan Nashr ibn Ashim. Namun pendapat yang paling shahih adalah Ali
ibn Abi Thalib sebagai peletak pertama dasar-dasarnya, kemudian disusun dan
dikembangkan oleh Abu al-Aswad. Dia sendiri pernah ditanya, “dari mana
kau dapatkan (ilmu) ini?”. “Dari arahan-arahan Ali ibn Abi Thalib”, jawabnya
(Dhaif, 1976:13).
Menilik masa perkembangan ilmu nahwu,
ada 4 (empat) fase. Pertama, masa peletakan dan penyusunan. Ini berpusat
di Bashrah, sejak peletakan pertama oleh Abu al-Aswad sampai al-Khalil ibn
Ahmad. Kedua, masa pertumbuhan, yaitu masa perkembangan di mana kiblat
nahwu sudah dua arah Bashrah dan Kufah. Tokoh pada fase ini Abu Ja’far Muhammad
ibn al-Hasan al-Ru’asi, Abu Utsman al-Mazini al-Bashri dan Ya’qub ibn al-Sikkit
al-Kufi. Ketiga, fase kematangan dan penyempurnaan. Otoritas ilmu nahwu
pada masa ini masih berada di tangan ulama-ulama di kedua kota tersebut. Mereka
itu, selain kedua tokoh di atas adalah al-Mubarrad al-Bashri dan Tsa’lab
al-Kufi. Keempat, fase terakhir nahwu sudah menyebar ke berbagai kota,
seperti Baghdad, Mesir, Syiria, dan Andalusia. Penyebar nahwu di kota-kota ini
adalah para alumni madrasah-madrasah yang berada di Bashrah dan Kufah (Dlaif,
1976: 27).
Menurut Muhammad al-Thanthawi, pesatnya aliran Basrah
didukung oleh situasi-situasi berikut[9]:
Pertama, banyak warga Bangsa Arab dari suku yang dikenal
fasih dalam tradisi berbahasa Arab mengungsi ke Bashrah, terutama dari suku
Qais dan Tamim. Kedua, adanya pasar “al-Mirbad” di Bashrah. Pasar ini
kedudukannya seperti pasar “Ukadh” di Arab pada zaman jahiliyah. Di pasar ini,
para sastrawan (penyair), ahli sejarah dan ahli bahasa berkumpul untuk “beradu”
kemampuan. Dari sini pula para ahli nahwu mendapatkan sesuatu sebagai rujukan
kaidah nahwunya. Ketiga, posisi geografis yang mendukung kemurnian Bahasa Arab.
Bashrah berada di tengah padang sahara, sebelah selatan laut dan sebelah
baratnya Lembah Najd.[10]
Usaha yang dilakukan pertama kali oleh
Abu al-Aswad bersama dengan dua orang muridnya Nashr ibn Ashim dan Abdurrahman
ibn Hurmuz baru sampai pada usaha memberi harakat di huruf terakhir kata-kata
yang terdapat dalam al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-huruf Hija’iyyah,
agar bisa dibedakan antara huruf satu dengan lainnya. Misalnya (ب, ت, ث), (ج, ح, خ) dan
sebagainya.
Dasar-dasar yang diletakkan itu
kemudian dikembangkan oleh ulam-ulama berikutnya yang juga merupakan
murid-muridnya, seperti Abdullah ibn Abi Ishaq al-Hadrami (w. 117 H./735 M.),
ulama nahwu pertama di Bashrah yang dikatakan sebagai “pakar intelektual nahwu
Bashrah. Ulama lain adalah Isa ibn Umar al-Tsaqafi yang menyusun dua kitab
nahwu “al-Jami’ dan al-Ikmal”dan Khalil ibn Ahmad al-Farahidi al-Bashri (w. 175
H./791 M.) yang merupakan murid dari Abu Ishaq. Mereka mengembangkan
kaidah-kaidah yang telah dibuat gurunya dengan mempertajam kajian nahwu
memperkuat dasar-dasar dan menetapkan fondasinya. Khalil ibn Ahmad sendiri
adalah ulama yang membuat kaidah-kaidah tentang mabni, musytaq, i’lal,
badal, amil dan ma’mul. Di samping itu ia menetapkan kaidah-kaidah sama’i,
qiyas, dan ta’lil. Dia pula yang pertama menemukan rima
musik Arab dan ilmu Arud. Meskipun demikian, ia mengomentari kitab yang
dikarang rekannya dengan mengatakan dalam sebuah syair (Dhaif, 1976:29):
ذهب النحو جميعا كله غير ما أحدث عيسى
بن عمر
ذاك إكمال وهذاجامع فهما للنـاس شـمس
وقمر
Perkembangan dan penyebar luasan ilmu nahwu di Bashrah ini
tidak lepas dari peranan Madrasah al-Bashriyah, sebuah lembaga
pendidikan khusus yang dibentuk untuk membina nahwu di Bashrah yang didirikan
pada masa Khalil ibn Ahmad al-Farahidi. Dari Madrasah ini lahir ulama-ulama
nahwu lainnya seperti; al-Akhfasy, al-Riyasyi, al-Mazini, al-Mubarrad dan
al-Yazidi.
C. Paradigma Ulama’ Nahwu Bashrah
Ulama’
bashrah menggunakan dalil qiyas sebagaimana menggunakan sama’. Berbeda dengan ulama’ kuffah, ulama’
bashrah menolak menggunakan dalil dengan syawahid yang tidak jelas penuturnya.[11] Dan
mereka menganggap bahwa syawahid yang didapat dari sembarang orang dan terdapat
syadz, maka tidak bisa dijadikan dasar hukum.
Ulama’ bashrah
berpendapat bahwa ulama’ kuffah mengambil semua yang mereka dengar dari orang
Arab untuk dijadikan ashl (maqis alaih). Seolah-olah ulama’bashrah ingin
berkata: ulama’ kuffah tidak dapat dipercaya dalam menetapkan ashl, karena
mereka mengqiyaskan terhadap sesuatu yang jarang (naadir) dan janggal (syadz).[12]
Imam sibawaih
sangat memperhatikan sama’. Dia dan para ulama; bashrah lainnya sangat berhati
hati dalam sama’ sebagaimana mereka berhati- hati dalam qiyas. Mereka tidak
mengambil dalil kecuali dari orang yang dipercaya ke-arab-annya dari segi
fashohah dll. [13]
Dan imam
suyuthhi mengungkapkan: bahwa ulama’ bashrah lebih shahih dalam hal qiyas
karena mereka tidak mengambil dalil dari setiap yang mereka dengar, dan tidak
mengqiyaskan terhadap sesuatu yang syadz. Adapun ulama’ kuffah itu lebih luas
riwayatnya.[14]
D. Konsep Aliran (Madrasah) Nahwu Bashrah
Shalah Rawwa dalam kitabnya “al Nahw al Arabi: Nasy’atuhu
Tathowuruhu, Madarisuhu, Rijaluhu,” menegaskan bahwa paradigma atau metode
Basrah diantaranya:
Mereka
mengambil data bahasa Arab fusha yang disampaikan oleh orang-orang yang belum
terkontaminasi, Orang yang menerima infortamasi diharuskan orang tsiqoh, Data
bahasa yang ada harus banyak sehingga tidak bertentangan dengan data yang lain.
Ulama’
nahwu Basrah menetapkan suatu hukum dengan landasan menetapkan untuk berpegang
pada sumber-sumber dibawah ini sebagai landasan hukumnya:
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an dan
Qiroat-qiroatnya adalah sumber yang paling akurat bagi Sibawaih ketika dia
menetapkan kaidah–kaidah penulisan ushul nahwu, pada nash Al-Qur’an tidak ada
perbedaan didalamnya karena merupakan redaksi langsung dari Allah SWT.
Perbedaan itu hanya terdapat pada bacaan-bacaannya[15].
Sehingga Al-Qur’an menjadi contoh paling tinggi yang menjadikan para fuqoha dan
para ulama bahasa condong serta merujuk kepada Al-Qur’an, yang mana dengan
Alqur’an, mereka meletakkan kaidah-kaidah nahwu dan dasar-dasar nahwu, dan
Sibawaih adalah ulama nahwu yang paling berpedoman pada Al-Qur’an dan yang
paling memuliakan Al-Qur’an selain itu Sibawaih juga memempatkan Al-Qur’an
dalam tingkatan pertama, karena Al-Quran merupakan kalam yang paling fashih
dengan isi nash yang paling tepercaya, karena redaksi Alqur’an menyerupai
bahasa arab yang asli dengan tata bahasanya sangat baik juga mengkhithob
orang-orang arab dengan bahasa mereka sesuai dengan yang mereka harapakan.
Imam Sibawaih
menjadikan al-qur’an sebagai asas dalam pengambilan sebuah dalil, pada umumnya
Sibawaih menulis sebuah bab berdasarkan dari apa yang ia telah jelaskan dan
memberikan contoh-contoh yang dikiaskan pada Al-Qur’an lalu menyebutkan
ayat-ayat dalam Alqur’an yang sesuai dengan contohnya. Selain itu Sibawaih juga
menyebutkan contoh-contoh yang ia dengar langsung dari orang arab atau
contoh-contoh yang diriwayatkan dari orang yang mendengarkannya, dan yang
didengarkan dari para guru-gurunya juga dari orang yang tepercaya dalam
periwayatanya berupa syi’ir-syi’ir arab.[16]
2.
Kalam
Arab
Selain
Al-Qur’an, ulama’ nahwu Basrah juga berpedoman kepada kalam Arab yang
fasih yang tidak tercampur dengan
bahasa lain dengan kata lain yang masih murni.
ada dua jenis
kalam Arabi dalam kaitaanya dengan ushul Nahwu, Yaitu :
1).
Syi’ir
Imam Sibawaih menetapkan dalam
sebuah bab dalam kitabnya hal-hal yang berkaitan dengan syi’ir, ia berkata
tentang sesuatu yang membolehkan dan tidak diperbolehkanya penyair untuk
melakukan dlorurot syi’ir dalam kalam, yaitu seperti pemberian harokat tanwin
kepada lafadz yang tidak boleh ditanwin dan membuang hal-hal yang tidak boleh
dibuang.
2). Natsr
Kalam Arab adalah sumber ketiga
sebagai dalil dalam ilmu bahasa dan nahwu, namun yang dimaksud disini adalah
kalam dari suku-suku Arab yang dapat dpercaya akan kefashihan dan kemurnian
bahasanya baik itu kalam atsar maupun kalam syi’ir. Sebelum diutusnya Nabi,
pada zaman Nabi dan setelahnya sampai dengan penduduk asli Arab, sudah
terkontaminasi oleh bahasa orang non Arab. Para ulama ahli bahasa hanya tertuju
pada bahasa yang dimiliki oleh kabilah atau suku yang disepakati akan
kefashihannya dan kemurnian bahasanya. Kabilah yang menduduki posisi tertinggi
ketika itu adalah bahasa kaum Quraisy, hal itu dikarenakan suku Quraisy adalah
suku Arab yang paling berkualitas dan bahasa kaum Quraisy paling mudah
pengucapannya, paling indah didengarkan, dan lebih ekspresif
pengungkapannya.
Imam Ahmad bin
Fariz berpendapat bahwasanya kaum Quraisy adalah kabilah bangsa Arab yang
paling fashih. Karena itu Allah SWT memilih mereka di antara sekian banyak
kabilah bangsa Arab dan memilih sebagian dari mereka seorang Nabi, sebagai
pembawa risalah. kabilah Quraisy dengan kefashihan dan keindahan bahasanya
ketika datang kepada mereka seorang utusan dari kabilah Arab yang lain, maka
mereka memilih “memperhatikan” bahasa
yang paling baik dan kalam yang paling murni dari kalam –kalam dan
syi’ir-syi’ir kaum Quraisy.
Para ulama
Bashrah sepakat untuk mengambil dalil-dalil dari golongan pertama dan kedua[17],
Kebanyakan dari ulama Bashrah tidak mengambil dalil-dalil dari golongan ketiga,
namun Ulama Baghdad berpendapat bahwa yang benar adalah diperbolehkannya
mengambil dalil syi’ir dari golongan ketiga. Sementara itu Abu Umarbin
al-Alaa’, Abdullah bin Abi Ishaq, Hasan al-Bashri, dan Abdullah bin Syibromah
menganggap adanya salah dalam hal bahasa dari Farozdaq, Al-Kumaid dan
Dza al-Romah juga sesamanya. Dan mereka dianggap dari golongan Al-Muwalladun
karena mereka hidup pada masa golongan Al-Muwalladun. Dan hidup dalam satu masa
“Muwalladun” adalah sebuah penghalang.
Adapun kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh kelompok
Bashrah, diantaranya[18]:
1. Shifat hanya beramal pada nafi, istifham,
dan maushuf. Baik itu secara maknawi, lafdhi ataupun taqdir (dikira-kirakan).
2. Yang merafa’kan
mubtada’ adalah ibtida’ (karena posisinya di awal kalimat)
3. Rofa’nya Khobar
dengan mubtada’
4. Fiil memberikan amil pada fail dan maful
5. Fiil yang kedua itu amil dalam bab
tanazu’
6. Marfu’nya khobarnya Inna karena Inna.
7. Dhorof yang menjadi khobarnya mubtada’
itu Nasab dengan fiil yang dikira-kirakan.
8. Nasabnya mustasna’ dengan fiil atau
dengan fiil yang ditengahi Illa
9. Mudz dan mundzu itu keduanya mubtada’
dan setelahnya itu khobar atau keduanya huruf jer dan setelahnya itu majrur
karenanya.
10. Fi’il harus mudzakar ketika digunakan
untuk isim mudzakar, dan harus mu’anats ketika untuk isim
mu’anats.
11. Mashdar adalah asal dari kalimat, sedangkan
fi’il merupakan musytaqnya. Dengan kata lain mashdar adalah asal
dari fi’il.
12. Na’ib fa’il tidak boleh diganti dengan dharf,
jer majrur atau mashdar selam ada maf’ul bihi.
13. Tamyiz harus terbentuk dari isim nakirah
14. Kata
(بئس) dan (نعم) adalah kata kerja, begitu pula fi’il
ta’ajub
15. Tidak boleh membuat taukid dari isim nakirah.
16. Fi’il mudlari’ yang jatuh setelah (حتى), (أو) atau (فاء السببية) atau (واو المعية) dinashabkan
dengan (أن
) yang harus tersimpan (mudlmar)
17. Fi’il mudlari’ mu’rab karena
menyerupai isim fa’il.
18. Setelah (كى), أن tidak boleh
ditampakkan, tetapi harus mudlmar (tersimpan)
19. (أن) Yang sudah dibuang (محذوفة) tidak bisa
beramal lagi (tidak berfungsi manashabkan).
20. Nasabnya lafadz "لاتأكل
السماك وتشربَ اللبن" itu dengan taqdir "أن"
E. Karateristik Nahwu Bashrah
Ada
beberapa generasi tokoh nahwu Basrah, sehingga dalam bahasan ini dipisahkan
karakteristik nahwunya berdasarkan urutan generasi.
1. Generasi Pertama
Diantara
tokohnya adalah Abul Aswad Ad-Duali, Abdurrahman bin Hurmuz. Adapun karakteristik
periode pertama ini adalah:
a. Tergabung
dalam profesi Qori’. Para ulama Bashrah secara menyeluruh sebagai Qari
Al-Qur’an, yang mempelajari hukum-hukumnya, yang haus akan bacaan al-Qur’an dan
juga sebagai para perawi hadits.
b. Memberi
perhatian khusus terhadap lahn dalam kalam Arab, dan dalam al-Qur’an dan menentang
fenomena terlarang ini.
c.
Mushaf-mushaf diberi titik dengan i‘rab yang dimulai oleh Abul Aswad Ad-Duali
yang mendapat nasihat dari Ziyad ibn Abihi, kemudian diikuti oleh murid-murid
setelahnya, sebagai penentangan terhadap lahn dalam al-Qur’an.
d. Awal
penysusunan ilmu nahwu mendapat petunjuk dari Imam Ali r.a yang diawali oleh
Abul Aswad dan diikuti oleh murid-muridnya.
e. Tidak
terdapat peninggalan berupa tulisan tentang GENERASI ini kecuali riwayat yang
diklaim oleh Ibn Nadiim dan Qifthi.
2. Generasi Kedua
Diantara
tokohnya adalah Yahya bin Ya’mur Al-Udwan Al-Laitsi, Maimun Al-Aqran, Anbasah
Al-Fil, Nashr bin Ashim Al-Laitsi. Adapun karakteristik periode ini adalah:
1.
Tergabung dalam profesi Ahli Qira dan Ahli
Hadits.
2.
Memiliki
perhatia pada realitas lahn dalam kalam Arab dan al-Qur’an, juga dalam
pembicaraan para pemimpin seperti al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqfi dan pemimpin
lainnya.
3.
Ada kesepakatan
dalam memberi titik mushaf dengan titik i‘rab.
4.
Memberi titik
mushaf dengan titik dan harakat atas nasihat dari Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqfi.
5.
Terdapat
tambahan atas penyusunan ilmu Nahwu.
6.
Belum terdapat
peninggalan berupa tulisan.
3. Generasi Ketiga
Diantara
tokohnya adalah Abdullah bin Abu Ishak, Abu Umar bin Ula, Isa binAmr Ats-Tsaqfi.
Adapun karakteristik pada periode ini adalah:
a. Dimulainya
derivasi qias, dan implementasinya atas pembacaan al-Qur’an dan puisi Arab.
b. Dimulainya
ta’lil kaidah nahwu dan ta’wil terhadap hal yang menyalahi kaidah.
c. Dimulai
munculnya berbagai pendapat seperti terdapatnya pendapat antara Abu Umar al-Ula
dan Abdullah bin Abu Ishak, dan antara Abu Umar al-Ula dan Isa bin Amr.
d. Munculnya
pendapat nahwu yang bersifat individual, dan pembacaan al-Qur’an yang berbeda
dari ulama Jumhur.
e. Tidak
terdapat peninggalan berupa tulisan kecuali yang diriwayatkan dari al-Jami’ dan
al-Kamil karya Isa ibn Amr.
4. Generasi Keempat
Diantara
tokohnya Al-Akhfa al-Akbar, Al-Khalil bin Ahmad, dan Yunus bin Habib.
5. Generasi Kelima
Diantara tokohnya adalah Sibawaih dan Al-Yazidy.
Pada masa ini, ilmu tatabahasa Arab memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
periode-periode sebelumnya, yaitu:
1.
Penyempurnaan
konsep ilmu tatabahasa Arab
2.
Kitab-kitab
yang disusun
3.
Adanya diskusi-diskusi.
6. Generasi Keenam
Diantara
tokohnya adalah Al-Akhfasy al-Awsath, Qathrab
7. Generasi Ketujuh
Diantara
tokohnya adalah Al-Jurmy, At-Tauzy, Al-Maziny, Ar-Riyasy.
8. Generasi Kedelapan
Diantara
tokohnya adalah Al-Mubarrad.
F. Tokoh Ulama’ Basrah yang
Termasyhur
1. Abul Aswad Ad-Du'ali
Sebagian ahli mengatakan, peletak
dasar Ilmu Nahwu adalah Abul Aswad Ad-Du'ali.
Sebagian yang lain mengatakan, Nashr bin 'Ashim. Ada juga yang
mengatakan, Abdurrahman bin Hurmus[19].
Namun, dari perbedaan perbedaan itu pendapat yang
paling populer dan diakui oleh mayoritas ahli sejarah
adalah Abul Aswad. Pendukung pendapat ini dari golongan ahli sejarah
terdahulu antara lain Ibnu Qutaibah (wafat 272 H), Al-Mubarrad (wafat
285 H), As-Sairafiy (wafat 368 H), Ar-Raghib Al-Ashfahaniy (502 H),
dan As-Suyuthiy (wafat 911 H), sedangkan dari golongan ahli nahwu kontemporer
antara lain Kamal Ibrahim, Musthofa As-Saqa, dan Ali an- Najdiy
Nashif[20].
Seperti yang sudah dibahas di awal, Abul
Aswad Ad-Du'ali (wafat 69 H) adalah orang pertama yang mendapat
kepercayaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk
menangani dan mengatasi masalah lahn yang mulai mewabah di kalangan masyarakat awam.
Ali memilihnya untuk hal itu karena ia adalah salah seorang
penduduk Bashrah yang berotak genius, berwawasan luas, dan berkemampuan tinggi dalam bahasa Arab[21].
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa suatu
ketika Abul Aswad mendengar seorang membaca ayat Al-Qur'an: "Inna AIlaha bariun minal mu'mini:na warasu:lihi" dengan mengkasrah lam dari kata rasu:lihi, padahal
seharusnya didlammah. Atas kejadian itu dia kemudian meminta izin kepada Ziyad bin Abieh, Gubernur Bashrah, untuk
menulis buku tentang dasar-dasar kaidah bahasa Arab[22] .
Ibnu Salam (tanpa tahun) dalam kitabnya Thabaqatu
Fuhulisy Syu'ara:" mengatakan bahwa Abul Aswad adalah
orang pertama yang meletakkan dasar ilmu bahasa Arab.
Hal itu dilakukannya ketika ia melihat lahn mulai mewabah di kalangan orang arab. Dia menulis antara lain bab fa:'il,
maf'ul, harf jar, rafa', nashab, dan jazm."
Satu riwayat yang cukup populer dan diakui keabsahannya oleh
para ahli adalah bahwa Abul Aswad berjasa dalam member syakal (tanda baca) pada
mushaf Al-Qur'an. Sebagaimana diketahui pada mulanya tulisan Arab itu
tidak bertitik dan tidak menggunakan tanda
baca. Tidak ada tanda pembeda antara huruf dal dan dzal,
antara huruf sin dan syin, dan
sebagainya. Juga tidak ada perbedaan antara yang berbaris
/a/, /i/, dan /u/. Demikian juga tulisan yang ada pada mushaf
Al-Qur'an, sehingga banyak orang yang keliru dalam membaca Al-Qur'an,
terutama umat Islam non-Arab.
Lama kelamaan, karena
khawatir kesalahan itu akan semakin mewabah, Ziad bin Abi
Sufyan meminta Abul Aswad untuk mencari solusi yang tepat. Berangkat dari permintaan itu akhirnya Abul Aswad menemukan jalan,
yaitu dengan memberi tanda baca dalam Al-Qur'an. Dengan tinta
yang warnanya berlainan dengan tulisan Al-Qur'an.
Tanda baca itu adalah titik diatas huruf untuk fathah,
titik dibawah huruf untuk kasrah, dan titik di sebelah
kiri atas untuk dlammah. Karena tanda baca itu berupa titik-titik, maka dikenal dengan sebutan naqthul i'rab (titik
penanda i'rab)[23]
(Sirajuddin, 1992: 33).
Atas jasanya dalam memberi
tanda baca mushaf Al-Qur'an itu Abul Aswad kemudian dikenal sebagai peletak
dasar ilmu I'rab, dan setelah itu banyak orang yang datang kepadanya
untuk belajar ilmu qira'ah dan dasar-dasar ilmu i'rab. Dia
melaksanakan pengajaran itu di masjid Jami' Bashrah. Dari sinilah awal mula
kota Bashrah dikenal sebagai kota kelahiran Ilmu Nahwu. Banyak murid yang
berhasil dan kemudian menjadi generasi penerus yang mengembangkan
gagasan-gagasan yang telah dirintisnya, diantaranya adalah Anbasah bin Ma'dan
yang dikenal dengan panggilan Anbasah Al-fil, Nashr bin 'Ashim al-Laitsiy
(wafat 89H), dan Yahya bin Ya'mur Al-Adwaniy (wafat 129 H). Anbasah
kemudian mempunyai seorang
murid yang banyak berpengaruh dalam pengembangan Ilmu Nahwu yaitu Maimun
Al-Aqran (Al-Fadlali, 1986:26).
2. Ibnu Abi Ishaq
Abdullah bin Ishaq (wafat 117H)[24] ialah
orang yang pertama merumuskan kaidah-kaidah nahwu, menerapkan prinsip-prinsip
analogi, dan menerangkan berbagai alasan secara linguistis. Kepeduliannya
terhadap prinsip analogi tidak hanya ia terapkan pada masalahmasalah nahwu,
tetapi juga ia tanamkan pada pola berpikir murid muridnya. Dengan metode ini ia
banyak menentang Farazdaq, seorang penyair ulung yang dinilainya banyak
menyalahi kaidah bahasa Arab. Misalnya, ia menyalahkan Farazdaq dalam syairnya:
"wa
'adldlu zama:nin ya bna marwa:na lam yada'
minal
ma:li illa: mus-hatan aw mujarrafu".
Kata mujarrafu (berakhir vokal
/u/ karena dibaca rafa') menurutnya tidak benar, karena menyalahi kaidah
nahwu. Kata itu seharusnya di baca mujarrafa (berakhir vokal /a/ atau nashab)
karena diathafkan pada mushatan. Dengan penentangannya itu ia
ingin menunjukkan bahwa seorang penyair, bagaimanapun fasihnya, tidak boleh
seenaknya menyalahi kaidah nahwu.
Keteguhannya berpegang pada analogi
(qiyas) membuatnya tidak takut untuk kadang-kadang bertentangan dengan jumhurul
qurra' (para ahli baca Al-Qur'an). Sebagai contoh ia berbeda dengan mereka
dalam membaca ayat "as sa:riqu was sa:riqatu faqtha'u: aydiya
huma:.....". Para qurra' membaca as sa:riqu was sa:riqatu dengan
rafa' sebagai mubtada'subjek', yang khabar 'predikat'-nya
berupa klausa faqtha'u: aydiya huma, sedangkanIbnu Abi Ishaq membacanya
dengan nashab " as sa:riqa wassa:riqata" sebagai maf'ul
bih 'objek pelengkap'. Sampai pada akhir hayatnya Ibnu Abi Ishaq
tidak meninggalkan satu buku pun tentang nahwu. Ilmu yang berharga itu ia
sampaikan kepada murid-muridnya secara lisan saja melalui muhadlarah-muhadlarah
(kuliah- kuliah) dan pengajian-pengajian di berbagai tempat.
3. Sibawaehi
Sibawaehi
(Nama lengkapnya: ‘Amr ibn Utsman Ibn Qunbar [148-180 H./765-795 M.].
Julukannya adalah: “Abu Bisyr” tapi orang banyak mengenalnya: “Sibawaehi”[25].
Dalam bahasa Persia, kata Sibawaehi artinya: harum buah apel. Imam pakar Ilmu
Nahwu ini dilahirkan di suatu komunitas besar di kota Baidha’, salah satu kota
di propinsi Istikhar, Persia (Iran sekarang).
Dalam
umur yang relatif dini, Sibawaehi kecil bersama keluarganya hijrah ke kota
Bashrah meninggalkan tanah kelahirannya, Baidha’. Dunia metropolitan Bashrah
yang menjadi basis keilmuan Islam saat itu merupakan saksi awal keilmuan
Sibawaehi dibangun dan ditata. Di situlah tempat ia menuntut ilmu bersama para
ulama-ulama terkemuka di zamanya hingga ajal menjemput di usia yang belum
terlalu tua, tahun 180 H. Ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang di
kota Ahwaz, Iran.
Beliau mempunyai guru yang bernama Imam Khalil
bin Ahmad, ia belajar Hadits dalam halaqah Syeikh Himad ibn Salamah ibn Dinar,
salah seorang Muhadist termashur saat itu. Dalam kegigihan itu, Sibawaehi
mendapati lahn (kesalahan-ungkap) pada pembelajaran Syeikh ketika membacakan
beberapa hadist Nabi. Ia kecewa dengan sang guru. Dirinya bertekat tidak
mengulangi kesalahan tersebut (lahn) sebagaimana telah dialami Syeikh Himad. Di
sinilah awal Sibawaehi tergiur belajar bahasa Arab agar terhindar dari lahn.
Imam Khalil juga dikenal sebagai pengarang kitab al-A’in, kitab/ kamus
bahasa Arab pertama yang muncul di permukaan bumi. Sibawaihi berguru kepada
Imam Khalil selama beberapa tahun lamanya bersama seorang teman seperguruannya
yang bernama Asmu’i. Sibawaihi adalah seorang yang sangat jenius, terbukti
dalam beberapa kesempatan beliau pernah berdebat sengit dengan gurunya dan tak
jarang Imam Khalil dibuat kewalahan oleh muridnya yang satu itu.
Sebagaimana biasa, pada tiap harinya
Imam Sibawaihi selalu belajar dengan gurunya Imam Khalil bin Ahmad Al-Farahidi.
Kebetulan
pada hari itu objek kajian mereka berkenaan dengan isim-isim ma’rifah. Setelah
mendengar keterangan dari gurunya yang menjelaskan bahwa isim ma’rifah yang
paling ma’rifah itu adalah isim dhomir, muncullah suatu keraguan dihati Imam
Sibawaihi. Dia bertanya-tanya dalam hati sembari merenungkan kalimat demi
kalimat yang disampaikan oleh gurunya itu. Pas pada waktu gurunya diam,
Sibawaihipun angkat bicara seraya berkata “setelah mendengarkan keterangan
guru, saya agak ragu apakah benar isim yang paling ma’rifah itu adalah isim
dhomir..?”, mendengar pertanyaan skeptis dari muridnya itu Imam Khalil
mengeluarkan seluruh dalil-dalil dan keterangan-keterangan untuk menjelaskan
dan menguatkan pendapatnya.
Namun setelah dijelaskan beberapa kali, tetap saja Imam
Sibawaihi meragukannya dan malahan menyanggah apa yang disampaikan oleh gurunya
itu. Dengan tanpa mengurangi rasa hormatnya terhadap sang guru, Sibawaihi
mencoba menyampaikan pendapatnya dengan tenang dan argumentatif. Sibawaihi
lebih setuju kalau isim yang paling ma’rifah diantara asmaaul ma’rifah itu
adalah isim alam. Akan tetapi gurunya tidak terima dengan pendapat yang barusan
dia utarakan dan bersikokoh dengan pendapatnya.
Tapi Sibawaihi adalah
seorang yang sangat jenius, dia membuktikan sendiri kebenaran pendapatnya itu
dengan pendekatan empiris. Suatu malam, dia sengaja berkunjung ke rumah gurunya
itu. Setelah berada didepan pintu rumah gurunya, Sibawaihi tidak langsung masuk
dan menemui Imam Khalil sebagaimana biasanya. Akan tetapi dia mengetok-ngetok
pintu rumah gurunya itu beberapa kali dengan harapan beliau akan bertanya siapa
sebenarnya yang datang. Setelah beberapa kali diketuk, ternyata gurunya itu
belum juga muncul dan bertanya.
Kemudian untuk kesekian kalinya kembali
ia mengetuk pintu sampai terdengar dari dalam rumah suara Imam Khalil yang
bertanya “siapa..?”. Mendengar suaru tersebut, bukan main senangnya hari Imam
Sibawaihi, karena memang pertanyaan itulah yang ia harapkan terlontar dari
mulut Imam Khalil. Dengan segera dia menjawab “ana”. Karena merasa belum jelas,
Imam Khalil kembali bertanya “ana siapa.?”, kemudian dijawab lagi oleh Imam
Sibawaih “ana”. Mendengar jawaban tersebut Imam Khalil merasa penasaran siapa
sebenarnya orang yang menjawab saya itu. Saking penasarannya, beliau langsung
berjalan kedepan pintu dan langsung membukanya. Pada saat pintu terbuka,
ternyata orang yang menjawab ana itu tak lain adalah Sibawaihi murid kesayangan
beliau sendiri.
Pada saat yang bersamaan Sibawaihpun tersenyum melihat
gurunya yang tengah berdiri didepan pintu sembari berkata “bagaimana guru,
apakah engkau hingga saat ini masih bersekukuh mengatakan Isim dhomir sebagai
isim yang paling ma’rifah..?, bukannya ketika saya datang kemudian anda
bertanya siapa kepada saya, terus saya jawab “ana” (isim dhomir) belum
memberikan pengertian yang jelas terhadap anda..?, belum cukupkah bukti itu
menunjukkan bahwa Isim A’lam lebih ma’rifah daripada isim dhomir..?. Mendengar
pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan dari muridnya itu, Imam Khalil diam
membisu dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia telah dikalahkan oleh muridnya
sendiri, yaitu Sibawaihi.
Karya Monumental Sibawaehi“al-Kitâb” Hampir disetiap diktat
Ilmu Nahwu yang kita pelajari tak pernah lepas dari rujukan yang bersumber dari
al-Kitâb Sibawaehi. Benar juga kesaksian yang mengatakan kitab-kitab Nahwu
selepas Sibawaehi tidak lebih dari sekedar pengulangan-pengulangan al-Kitâb,
serasa tidak ada referensi lain selain karya dari aliran Bashrah itu. Hal ini
bukti ketajaman dan ketelitian pengarang dalam mempelajari gramatika bahasa
Arab.
Al-Kitâb Sibawaehi terdiri tiga juz dan terdapat 1500 bait
syi’ir yang dimulai dari bab kalam dan diakhiri dengan bab jer. Konon, sejarah
dinamakan al-kitab ini merupakan kumpulan tulisan Sibawaehi tentang kaidah
Bahasa Arab yang lebih dominan membahasa tentang Ilmu Nahwu. Tanpa menafikan
ilmu Balaghah di dalamnya. Kemudian setelah beliau wafat, maka para ulama
bahasa membukukan tulisan-tulisannya dengan nama yang megah: “al-Kitâb”.
Abu Ja’far berkata, Muhammad ibn Zaid
bercerita bahwasanya para pengoreksi tulisan-tulisan Arab dan orang-orang yang
ahli bahasa di negara Arab banyak yang merujuk pada al-Kitâb Sibawaehi dan
mereka berkesimpulan bahwasanya kitab Sibawaehi tidak pernah meninggalkan kosa
kata yang berpatokan pada lisan orang arab kecuali pada tiga kata.
Adapun salah satu kaidah yang beliau tetapkan adalah
“bahwasanya fi’il harus senantiasa dibarengi oleh isim sehingga akan membentuk
suatu kalam. Dan sebaliknya, isim tidak membutuhkan fiil seperti contoh “الله إلهنا و عبد الله أخونا”.
4.
Al-Maziny.
Dia bernama Abu ‘Utsman Bakr bin Muhammad bin
‘Utsman. Nama al-Maziny dihubungkan dengan Bani Mazin bin Syaiban bin Dzahl bin
Tsa‘labah bin ‘Ukabah bin Sha‘b bin ‘Ali bin Bakr bin Wail. Dia adalah hamba
Bani Sadus yang dihadiahkan kepada Bani Mazin. Al-Maziny adalah ahli tatabahasa
dan qira’ah. Pada masa al-Watsiq di Samarra’, al-Maziny berada di sampingnya
untuk membacakan kitab Sibawaih atas permintaan al-Mubarrad. Al-Maziny
mendapatkan belanja sebanyak seratus dinar setiap bulan dari al-Watsiq.
Al-Maziny wafat di Basrah pada tahun 249 H.
Dari segi ideologi, al-Maziny adalah pengikut
aliran Murji’ah. Al-Maziny dikenal sebagai ulama yang sangat anti terhadap
analogi (qiyas) dalam merumuskan kaidah-kaidah tatabahasa dan qira’ah. Banyak
kitab yang telah disusun oleh al-Maziny, di antaranya: ‘Ulumul-Qur’an,
‘Ilalin-Nachw, Tafasir Kitab Sibawaih, Lachnul-‘Ammah, al-‘Alif wal-Lam, al-‘Arudh,
al-Qawafy, dan ad-Dibaj. Dia tidak mau menyusun sebuah kitab tatabahasa dengan
menyatakan bahwa siapa saja yang menyusun kitab tatabahasa setelah Sibawaih,
maka dia akan merasa malu. Akan tetapi, al-Maziny memiliki pendapat sendiri, di
antaranya:
1.
Alif mutsanna,
waw jam‘, dan ya’ al-mukhathabah pada fi‘l, misalnya يَـقُوْمَـانِ ,
يَـقُوْ مُوْنَ , dan تَـقُوْمِيْـنَ ,
bukanlah fa‘il, tetapi tanda tatsniyah, jam‘, dan ta’nits. Adapun fa‘il adalah
damir mustathir.
2.
Alif, waw, dan
ya’ pada mutsanna’ dan jam‘ mudzakkar salim, misalnya مُسْلِمَانِ ,
مُسْلِمَيْنِ , مُسْلِمُوْنَ , dan مُسْلِمِيْنَ ,
bukanlah tanda i‘rab, tetapi tanda mutsanna’ dan jam‘ mudzakkar salim.
3.
Jam‘ mu’annats salim wajib mabni fathah jika
didahului la nafiyah lil-jins, misalnya لاَ مُطِيْعَاتَ
لَكَ .
4.
Al-Khalil
menyatakan bahwa ‘ain fi‘l dalam kata seperti اِسْتَـحْيَى itu
dibuang karena ada pertemuan dua sukun, sedangkan al-Maziny menyatakan bahwa
‘ain fi‘l itu dibuang karena sebagai takhfif karena banyak digunakan.
5.
Sibawaih
menyatakan bolehnya qiyas pada ism tafdhil dari fi‘l mudhari‘ dengan wazan أَفْعَـلَ ,
tetapi al-Maziny menyatakan tidak boleh sehingga tidak ambigu antara fi‘l madhi
dan ism tafdhil.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
A.
Sejarah Aliran
Nahwu
Masa
perkembangan ilmu nahwu, ada 4 (empat) fase. Pertama, masa peletakan dan
penyusunan. Ini berpusat di Bashrah, sejak peletakan pertama oleh Abu al-Aswad
sampai al-Khalil ibn Ahmad. Kedua, masa pertumbuhan, yaitu masa
perkembangan di mana kiblat nahwu sudah dua arah Bashrah dan Kufah. Tokoh pada
fase ini Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan al-Ru’asi, Abu Utsman al-Mazini
al-Bashri dan Ya’qub ibn al-Sikkit al-Kufi. Ketiga, fase kematangan dan
penyempurnaan. Otoritas ilmu nahwu pada masa ini masih berada di tangan
ulama-ulama di kedua kota tersebut. Mereka itu, selain kedua tokoh di atas
adalah al-Mubarrad al-Bashri dan Tsa’lab al-Kufi. Keempat, fase terakhir
nahwu sudah menyebar ke berbagai kota, seperti Baghdad, Mesir, Syiria, dan
Andalusia.
B.
Sejarah Perkembangan
Nahwu Basrah
Dasar-dasar
yang diletakkan Abu Aswad Ad-Dauli kemudian dikembangkan oleh ulam-ulama
berikutnya yang juga merupakan murid-muridnya, seperti Abdullah ibn Abi Ishaq
al-Hadrami (w. 117 H./735 M.), ulama nahwu pertama di Bashrah yang dikatakan
sebagai “pakar intelektual nahwu Bashrah. Ulama lain adalah Isa ibn Umar
al-Tsaqafi yang menyusun dua kitab nahwu “al-Jami’ dan al-Ikmal”dan Khalil ibn
Ahmad al-Farahidi al-Bashri (w. 175 H./791 M.) yang merupakan murid dari Abu
Ishaq. Mereka mengembangkan kaidah-kaidah yang telah dibuat gurunya dengan
mempertajam kajian nahwu memperkuat dasar-dasar dan menetapkan fondasinya.
C.
Paradigma
Ulama’ Nahwu Basrah
Ulama’ bashrah menggunakan dalil qiyas sebagaimana
menggunakan sama’. Ulama’ bashrah menolak menggunakan dalil dengan syawahid
yang tidak jelas penuturnya. Dan mereka menganggap bahwa syawahid yang didapat dari
sembarang orang dan terdapat syadz, maka tidak bisa dijadikan dasar hukum.
D.
Konsep Madrasah Bashrah
Ulama’
nahwu Basrah menetapkan suatu hukum dengan landasan menetapkan untuk berpegang
pada sumber-sumber dibawah ini sebagai landasan hukumnya:
1. Al-Qur’an, 2. Kalam Arab yang meliputi
syair dan natsr.
E.
Karakteristik Nahwu Basrah
Ada
beberapa generasi tokoh nahwu Basrah, sehingga dalam bahasan karakteristinya
nahwunya tergantung berdasarkan urutan generasi. Seperti karakeristik pada
generasi pertama dibawah ini:
a. Tergabung dalam profesi Qori’. Para ulama Bashrah secara
menyeluruh sebagai Qari Al-Qur’an, yang mempelajari hukum-hukumnya, yang haus
akan bacaan al-Qur’an dan juga sebagai para perawi hadits.
b. Memberi perhatian khusus terhadap lahn dalam kalam Arab,
dan dalam al-Qur’an dan menentang fenomena terlarang ini.
c. Mushaf-mushaf diberi titik dengan i‘rab yang dimulai oleh
Abul Aswad Ad-Duali yang mendapat nasihat dari Ziyad ibn Abihi, kemudian diikuti
oleh murid-murid setelahnya, sebagai penentangan terhadap lahn dalam al-Qur’an.
d. Awal penysusunan ilmu nahwu mendapat petunjuk dari Imam
Ali r.a yang diawali oleh Abul Aswad dan diikuti oleh murid-muridnya.
F. Tokoh
Ulama’ Basrah
1. Sibawaehi
bahwasanya
kitab Sibawaehi tidak pernah meninggalkan kosa kata yang berpatokan pada lisan
orang arab kecuali pada tiga kata.
Adapun salah
satu kaidah yang beliau tetapkan adalah “bahwasanya fi’il harus senantiasa
dibarengi oleh isim sehingga akan membentuk suatu kalam. Dan sebaliknya, isim
tidak membutuhkan fiil seperti contoh “الله إلهنا و عبد الله أخونا”.
2.
Abul
Aswad Ad-Du'ali
Para
ahli dalam rangka mendukung Abul Aswad seagai tokoh peletak dasar
Ilmu Nahwu. Satu
riwayat yang cukup popular dan diakui keabsahannya oleh para ahli adalah bahwa Abul Aswad
berjasa dalam member syakal (tanda baca) pada mushaf Al-Qur'an.
3.
Ibnu
Abi Ishaq
Keteguhannya berpegang pada analogi
(qiyas) membuatnya tidak takut untuk kadang-kadang bertentangan dengan jumhurul
qurra'. Sebagai contoh ia berbeda dengan mereka dalam membaca ayat "as
sa:riqu was sa:riqatu faqtha'u: aydiya huma:.....". Para qurra' membaca
as sa:riqu was sa:riqatu dengan rafa' sebagai mubtada',
yang khaba'-nya berupa klausa faqtha'u: aydiya huma,
sedangkanIbnu Abi Ishaq membacanya dengan nashab " as sa:riqa wassa:riqata"
sebagai maf'ul bih 'objek pelengkap.
DAFTAR PUSTAKA
As-Samara’i,
Ibrahim. 1987. Madaris Nahwiyyah.Beirut: Darul Fikri.
Al-Fadlali,
Abdul Hadi. 1986. Marakizud Dirasatin Nahwiyyah. Bairut: Maktabah
Al-Manar.
Abdul Al Salim
Mukrim. _____. Al-Halqoh Al-Mafkudah fi Tarikh An-Nahwi Al-Araby.
Kuwait: Muassasah Ar-Risalah.
Al-Khaditsi,
Khadijah .1994. As-Shahid wa Ushul an-Nahwi fi Kitabi Sibawaih. Kuwait: Jamiah
Kuwait.
Al-Afghoni,
Said. _____. Min
Tarikh Nahwu Al-Araby. Beirut: Darul Fikri.
Catatan Akhir Pengantar Sastra
Arab. 22 September 2011
Dr.Abdul
Amir Muhammad Amin Al-Ward. 1998. Al-Madaris An-Nahwiyah baina Taswir wa
Tasdiq wa Sual al-Kabir. Baghdad: Al-Maktabah Al-Misriyah.
Dlaif, Syauqi. 1968. Al-Madarisun
Nahwiyyah. Mesir: Darul Ma'arif.
Jinni,
Ibnu.____. Al-Khosois. Mesir: Darul Kutub.
Tantowi
Muhammad. _____. Nasy’atu an-Nahwi wa Tarikhi Asyharun Nuhat. Mesir:
Darul Maarif.
http://forumstudinahwu.blogspot.com/ diunduh
pada tanggal, 30 maret 2013
http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/muamalah/allsub/470/ilmu-nahwu-dan-abu-aswad-ad-dhuali.html,
diunduh pada tanggal, 30 maret 2013
http://usniyah.wordpress.com/2012/12/05/sejarah-perkembangan-nahwu-aliran-mesir/,
diunduh pada tanggal, 30 maret 2013
http://zoelfansyah.blogspot.com/2011/12/imam-sibawaih-dan-ilmu-nahwu.html,
diunduh pada tanggal, 30 maret 2013
http://fitrahidea.wordpress.com/2012/06/16/sejarah-dan-pembaharuan-nahwu/,
diunduh pada tanggal, 30 maret 2013
[2]
Yaitu pada abad I, kemudian disusul Kufah, Baghdad, Mushal, Irbal, Andalus pada
abad I, kemudian Marocco, Persia pada abad II, Mesir pada abad III, selanjutnya
Damaskus, Haleb pada abad IV, disusul Najed, Yaman pada abad V, Hulah, Eropa
pada abad VI, India pada abad VII, Romawi pada abad VIII, kemudian Rusia,
Amerika, dan Afrika non Arab pada abad 14. (http://usniyah.wordpress.com/2012/12/05/sejarah-perkembangan-nahwu-aliran-mesir/
diakses 30 Maret April 2013)
[3]
Dr.Abdul Amir Muhammad Amin Al-Ward.Al-Madaris An-Nahwiyah baina Taswir wa
Tasdiq wa Sual al-Kabir.Hal:14
[4] http://zoelfansyah.blogspot.com/2011/12/imam-sibawaih-dan-ilmu-nahwu.html,diunduh
pada tanggal, 30 Maret 2013
[5]
Syauqi Daif, Madrasah al-Mishri, Al-Madârisun Nahwiyah, 1976. Darul
Ma’arif. Kairo. Mesir
[6]
http://fitrahidea.wordpress.com/2012/06/16/sejarah-dan-pembaharuan-nahwu/,diunduh
pada tanggal, 30 Maret 2013
[7]
Ibid.
[8]
Tantowi Muhammad.Nasyatu Nahwi wa Tarikh Asyharun Nuhat. Hal: 187.
[9]
Tantowi Muhammad. Nasy’atu an-Nahwi wa Tarikhi Asyharun Nuhat.Hal:126-127
[10]
Lihat Tantowi Muhammad. Nasy’atu an-Nahwi wa Tarikhi Asyharun Nuhat.Hal:126-127
(http://fitrahidea.wordpress.com/2012/06/16/sejarah-dan-pembaharuan-nahwu/)
[11]
Ibrahim as-samara’i. madaris nahwiyah : 17
[12] Ibid.,
17
[13]
Ibid., 19
[14]
Ibid., 19
[15]
Pengambilan dalil dengan qiroah mutawatiroh dan yang sama dengan qiyas, itu
menjadi acuan ulama-ulama Bashroh. Apabila pengambilan dalil dari qiroah yang
syadz dan menqiyaskannya kemudian menganggapanya sebagai dasar dari dasar-dasar
pengambilan dalil, meskipun itu bukan
merupakan metode dari ulama Bashroh, karena mereka tidak menganggap qiroat sebagai
dalil atau hujjah kecuali apabila dalil itu sesuai dengan kaidah-kaidah dan
pengqiyasan yang mereka anut. Jika tidak sesuai mereka menolaknya.
[16]
Khodijah Alkhaditsi. As-syahid Wa Ushulin Nahwi fi kitabi Sibawaih.
Kuwait: Jami’atul Kuwait, 1974. Hal: 30-32
[17] Dalam buku Tarikh Adab karya Dr.Wildana Wargadinata dan Laili
Fitriani tertulis:Tingkatan-tingkatan para penyair secara umum dibagi menjadi
empat tingkatan menurut Ibnu Rosyid, yaitu:
1)
Para
penyair Jahiliyah yang hidup sebelum Islam, seperti Amrul Qoiys
2)
Para
penyair mukhdlaramun, mereka hidup pada masa jahiliyah dan Islam seperti Labid
dan Hasan
3)
Al-Mutaqoddimun,
yang hidup pada masa permulaan Islam seperti Jarir dan Farozdaq
4)
Al-muwalladun,
yang hidup setelah mutaqoddimun seperti Basyar bin Barod dan Abu Nuwas
[18]
Madaris An-Nahwiyah.Hal:66-70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar