Rabu, 28 September 2016

Aliran (Madrasah) Basrah (ILmu Ushul Nahwu)



KATA PENGANTAR
           
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Aliran-Aliran dalam Nahwu”.
            Makalah ini berisikan tentang aliran-aliran dalam nahwu. Makalah ini di harapkan dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang aliran-aliran nahwu yang telah ada. Dalam makalah ini pembaca akan menemukan jawaban atas beberapa pertanyaan seperti:
Apa saja aliran-aliran dalam nahwu ? Bagaimana sejarah aliran nahwu Basrah? Bagaimana Paradigma Aliran Nahwu Basrah ? Bagaimana karakteristik aliran nahwu Bsrah? Dan siapa diantara ulama’ Basrah yang termasyur? Bagaimana Produk Nahwu dari Tokoh-Tokoh Tersebut?
            Kami ucapkan Jazakumullah Ahsanal Jaza' kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Terutama kepada Dosen pengampu mata kuliah Ushul Nahwu Bapak Tamim Mulloh, M.Pd yang selalu membimbing kami, serta teman-teman yang turut menyumbangkan referensi. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
            Kami menyadari makalah ini kurang sempurna jika tanpa bantuan pembaca. Oleh karena itu, selalu kami nantikan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.Semoga bermanfaat. Amin.
  
Malang, 01 April 2013



`DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 1
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 3
1.1  Latar Belakang............................................................................................................... 3
1.2  Tujuan............................................................................................................................ 4
1.3  Rumusan Masalah.......................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 5
2.1 Kajian Pustaka............................................................................................................... 5
A. Aliran Nahwu Secara Umum ............................................................................. 5
B. Sejarah Aliran Nahwu Basrah............................................................................. 8
C. Paradigma Aliran Nahwu Bashrah.................................................................... 11  
D. Konsep Aliran Bashrah..................................................................................... 11
E. Karateristik Nahwu Bashrah............................................................................. 14  
F. Tokoh-tokoh Nahwu Basrah & Contoh Produknya.......................................... 16

BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 23
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 25

  
BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Datangnya Islam bersamaan dengan bahasa Arab yang berguna sebagai pelengkap alat penjelas yang mampu memberikan atsar terhadap kebahasaan[1]. Dengan kebahasaan tersebut maka tidak terlepas dari susunan bahasa itu sendiri yang mana bagian dari kajian ilmu nahwu. Tetapi dalam hal ini, kami bukan ingin membahasa ilmu nahwu tetapi lebih ke Ushul nahwunya.
Berbicara Ilmu Ushul Nahwu, tidak akan terlepas dari aliran-aliran nahwu yang berada di tempat atau kota-kota sesuai dengan perkembangan ilmu gramatika tersebut. Ilmu tersebut berkembang dengan seiring majunya dan luasnya daerah Islam.
Aliran-aliran tersebut ada kaitannya dengan penyebaran ilmu nahwu, diantara penyebaran ilmu nahwu pertama kali adalah di Makkah, Madinah dan Basrah[2], hal ini wajar mengingat memang al-Qur’an lahir disekitar daerah tersebut serta kota-kota tersebut memang pusat lahirnya peradaban Islam. Baru beberapa decade selanjutnya ilmu nahwu berkembang di daerah Kuffah, Baghdad, Andalus, dan Mesir.
Aliran-aliran yang sangat banyak tersebut kami hanya mengambil satu pembahasan yang mendalam yaitu aliran Basrah, meliputi sejarah kelahiran, konsep nahwu menurut aliran Basrah, prodak nahwu menurut aliran Basrah, serta beberapa tokoh aliran basrah, sedangkan aliran yang lainnya seperti Kuffah, Baghdad dan Mesir kami hanya membahasnya sekilas saja mengingat pembahasan aliran-aliran tersebut akan dibahas oleh pemakalah selanjutnya.
Dengan memahami aliran-aliran ini dari mulai kemunculan, konsep nahwu, produk nahwu, serta beberapa tokoh aliran Basrah diharapkan dapat memahami suatu kebahasaan dari akar bahasa itu diputuskan kedudukan hukumnya dalam ilmu nahwu itu sendiri muncul serta dapat memberikan sebuah kontribusi dalam bidang ilmu nahwu secara umum. Karena dengan memahami aliran-aliran ini kita bias mengerti asal-usul suatu kedudukan bahasa dalam ilmu nahwu, juga singkronisasi diantara kedudukan bahasa yang ada dengan sumber pengambilan hukumnya yaitu al-Qur’an, syair dan kalam Arab al-Fasihah. Semoga dapat memberikan tambahan wawasan bagi penulis khususnya dan juga bagi para pembaca pada umumnya. Amin.

1.2              Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini dapat dibagi menjadi dua tujuan besar yaitu Main Purpose (tujuan Umum) dan Special Purpose (tujuan khusus). Tujuan umum penulisan makalah ini adalah mahasiswa dapat memahami secara umum aliran-aliran nahwu yang ada, sehingga dapat berfikir secara logis serta dapat mengambil kesimpulan dengan obyektif akan aliran-aliran tersebut. Sedangkan tujuan khusus dari penulisan malakah ini adalah sebagai berikut:
1.      Dapat Mengetahui Aliran-Aliran Nahwu
2.      Dapat Mengetahui Sejarah Aliran Nahwu Basrah
3.      Dapat Mengetahui Paradigma Aliran Nahwu Basrah
4.      Dapat Mengetahui Konsep Nahwu Aliran Basrah
5.      Dapat Mengetahui Karakteristik Nahwu Aliran Basrah
6.      Dapat mengetahui siapa saja Tokoh Nahwu Basrah  dan Produknya

1.3              Rumusan masalah
1.      Apa saja aliran nahwu secara Umum?
2.      Bagaimana Sejarah Aliran Nahwu Basrah ?
3.      Bagaimana Paradigma Aliran Nahwu Basrah ?
4.      Bagaimana Karakteristik Nahwu Aliran Basrah ?
5.      Bagaimana Konsep Nahwu Aliran Basrah?
6.      Siapa saja Tokoh Nahwu Basrah dan apa Bagaimana produknya?










BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Kajian Pusataka
A. Madrasah (Aliran) Nahwu Secara Umum
Kelahiran ilmu nahwu dipicu oleh berbaurnya Bangsa Arab dengan bangsa lain, ketika terjadi rangkaian-rangkaian usaha penyebaran agama Islam dan penghapusan kedaliman. Keberhasilan “dakwah” mengharuskan kaum Arab berdomisili di tempat barunya, terutama para tentara, agar tetap terjaga stabilitas. Perlu sosialisasi, maka merekapun berkomunikasi dengan masyarakat baru tersebut, dengan menggunakan bahasa ibunya, Arab. Ada proses peniruan oleh masyarakat, dalam proses itu timbul kesalahan-kesalahan. Dari sini tersusunlah kemudian ilmu nahwu yang pada perkembangan selanjutnya menjadi suatu disiplin yang tidak boleh ditinggalkan bagi siapapun yang ingin mengerti dan mendalami agama Islam.
Setelah tersusunnya ilmu gramatikal bahasa Arab dan banyaknya para ulama yang telah memperjelas ilmu tersebut. Hal ini, mengakibatkan timbulnya aliran-aliran dalam ilmu nahwu, yang disebabkan adanya khilaf dikalangan para ulama nahwu dalam menentukan posisi (mahal) kata dalam suatu kalimat. Beda persepsi ini, tidak luput dari pengaruh daerah para ulama tersebut menetap. Diantara aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris an-Nahwiyah) tersebut menurut Syauqi Dhoif[3]:
1.       Aliran (madrasah) Al-Basrah,
2.       Aliran (madrasah) Kufah,
3.       Aliran (madrasah) Baghdad,
4.       Aliran (madrasah) Andalus,
5.       Aliran (madrasah) Mesir.
Ilmu nahwu pada mulanya lahir dan tumbuh di Bashrah, namun kemudian pada periode-periode berikutnya tersebar ke negeri-negeri Islam lainnya. Ada beberapa manfaat dari mempelajari nahwu, di antaranya; dapat memahami dengan benar susunan kata-kata Bahasa Arab yang terdapat pada literatur-literatur hukum Islam (al-Qur’an, al-Hadits dan kitab-kitab Fiqh), dapat menyusun kata-kata Bahasa Arab dalam susunan yang sesuai dengan kaidahnya, dan dapat menentukan kedudukan-kedudukan kata dan dapat mengambil pengertiannya dengan benar.
Namun, aliran (madrasah) yang paling terkenal dalam kitab-kitab nahwu hanya dua, Basrah dan Kufah.[4] Keduanya disebut sebagai aliran utama, karena keduanya mempunyai otoritas dan independensi yang tinggi, kedua aliran tersebut juga mempunyai pendukung yang banyak dan fanatik, sehingga mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya. Adapun tiga aliran yang lain disebutnya sebagai aliran turunan yang berinduk pada salah satu aliran utama atau merupakan hasil paduan antara keduanya.[5]
Perkembangan dan penyebar luasan ilmu nahwu di Bashrah ini tidak lepas dari peranan Madrasah al-Bashriyah, sebuah lembaga pendidikan khusus yang dibentuk untuk membina nahwu di Bashrah yang didirikan pada masa Khalil ibn Ahmad al-Farahidi. Dari Madrasah ini lahir ulama-ulama nahwu lainnya seperti; al-Akhfasy, al-Riyasyi, al-Mazini, al-Mubarrad dan al-Yazidi.
Ilmu nahwu terus berkembang dan mendapatkan momentum perkembangannya yang pesat di masa Abbasyiyah, yaitu pertengahan abad ke- 2 H. Dari Bashrah ilmu nahwu terus berkembang ke Kufah, yang disebarkan oleh para alumni Madrasah al-Bashriyah. Mereka itu antara lain Ja’far al-Ruwasi dan Mu’adz al-Harra’. Al-Harra’ belajar kepada Abu Amr, sedang al-Ruwasi selain belajar kepada Abu Amr juga kekpada Isa ibn Umar dan Abu Amr al-Ala. Ketiganya ulama ini adalah tokoh nahwu di Bashrah. Sebagai pedoman murid- muridnya, al-Ruwasi menyusun kitab nahwu berjudul “al-Faishal”. Mereka berdua mengembangkan ilmu nahwu dan membina kader-kadernya di Kufah. Sejak itulah bermunculan ulama-ulama nahwu aliran Kufah, seperti: al-Kisa’i, dan muridnya al-Farra’. Kedua ulama ini telah menyusun satu bentuk nahwu dan meletakkan dasar-dasarnya yang berbeda dengan pendahulunya.
Tidak berbeda dengan di Bashrah, di Kufah lahir “Madrasah Kufiah” sebagai tempat pengkaderan ulam-ulama nahwu Kufah. Madrasah ini dipelopori oleh al-Ruwasi dan al-Harra’. Dari sini bermunculanlah ulama-ulama nahwu, seperti: Hamzah Muhammad ibn Sa’dan, Ali ibn Hazim al-Lihyani, Hisyam ibn Mu’awiyah al-Darir, ibn al-Sikkit, al-Thiwal dan Tsa’lab. Mungkin di Kufah sudah terbentuk madzhab tersendiri di bidang nahwu. Tetapi, bagaimanapun pengaruh Bashrah masih tetap ada, Karena memang di sanalah awal mulanya ilmu nahwu lahir. Apalagi ulama-ulama Kufah juga murid yang pernah belajar di Bashrah.
Rupanya Bashrah dan Kufah merupakan kiblat ilmu dan perlu diketahui, bahwa nahwu saat itu adalah primadonanya. Karena itu, banyak orang datang untuk menyerap yang ada di sana. Kini, pengaruh dua kota ini telah sampai ke Baghdad, dengan munculnya beberapa tokoh nahwu yang terkenal seperti: Abu Ali al-Farisi dan murid-muridnya, yaitu Ibn Jinni, ibn Kaisan, ibn Syuqair, dan ibn Khayyat. Di antara tokoh nahwu Baghdad ada yang condong ke Bashrah, ada juga yang condong ke Kufah. Usaha-usaha mereka pada umumnya diarahkan untuk melakukan seleksi terhadap pendahulunya, yaitu pendapat-pendapat dari ulama Bashrah maupun Kufah, di samping juga berijtihad dan mengeluarkan pendapat sendiri. Generasi yang terkahir dari Baghdad adalah al-Zamaksari, ibn Syajari, Abu al-Barakat al-Anbari, ibn Ya’syi, dan al-Ridla al-Istirabadi.
Di Andalusia juga berkembang ilmu nahwu pada 139 H./756 M. ilmu ini dibawa pertama kali ke Andalusia oleh Jaudi ibn Utsman al-Maurani yang sebelumnya pernah belajar kepada al-Kisa’i dan al-Farra’. Ia pula yang pertama memasukkan buku-buku nahwu Kufah ke negerinya, Lebih dari itu, pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, Al-Kasai bahkan dipercaya oleh khalifah untuk menjadi guru bagi kedua putranya yang bernama Amin dan Makmun. Dan ketika kesehatannya mulai menurun, dia menunjuk temannya yang bernama Ali bin Malik Al-Ahmar untuk menggantikannya menjadi guru bagi kedua putra khalifah. Demikianlah, al-Kisa’i telah mampu menempatkan aliran nahwu Kuffah di Baghdad, dan memasukkannya ke dalam pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid. Tokoh lain yang datang ke Baghdad setelah Al-Kasai dan Al-Ahmar adalah Yahya bin Ziad Al-Fara’, yaitu tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Makmun, untuk menjadi guru bagi kedua putra khalifah.[6] Karena itu, pengaruh Kufahlah yang lebih dulu daripada Bashrah. Nahwu Bashrah masuk ke Andalusia baru sekitar abad ke 3 H. dibawa oleh al-Afusyniq Muhammad ibn Musa ibn Hasyim. Adapun tokoh-tokoh lainnya antara lain: Muhammad ibn Yahya al-Mahlabi, ibn Bazisi, al-Suhaili, ibn Hisyam al-Khadrawi, dan ibn Malik. Setelah itu, sekitar abad ke-8 H. tampil pula beberapa ulama seperti: Ibn Abi al-Rabi’ (w. 688 H.) dan ibn Hayyan (w. 745 H.). Dengan kedatangan para pakar Bashrah ini, maka dapat diketahui bahwa ada dua macam aliran nahwu yang masuk ke Baghdad, yaitu aliran Kuffah dan aliran Bashrah. Kedua aliran ini tumbuh di Baghdad dengan karakteristik masing-masing, sehingga pendukung keduanyapun juga terbagi menjadi dua kelompok yang berbeda. Dengan adanya berbagai perbedaan yang ada dalam kedua aliran ini, maka yang muncul ke permukaan pada tahap selanjutnya adalah adanya persaingan sengit antara keduanya dan tidak pernah mencapai titik temu. Perbedaan dan perselisihan dua aliran tersebut selanjutnya melahirkan sebuah aliran baru yang diberi nama aliran Baghdad, yaitu aliran yang memadukan aliran Kuffah dan aliran Bashrah kemudian disesuaikan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab yang telah ada.[7]
Pada abad keempat hijriyah para ahli nahwu Baghdad memunculkan metode baru dalam ilmu nahwu, yaitu dengan memilih yang terbaik dari kedua pendapat aliran nahwu yang telah ada, Basrah dan Kufah.[8] Hal ini bermula ketika mereka belajar nahwu kepada dua tokoh yang berbeda aliran, yaitu Tsa’lab dan Al-Mubarrad kemudian mulai mempertemukan kedua aliran tersebut hingga memunculkan aliran baru yang dapat dibedakan dari keduanya.
Selain Baghdad dan Andalusia, ilmu nahwu juga berkembang di Mesir. Perkembangan di sini dengan jalan mengajarkan ke beberapa kota seperti Fustat dan Iskandariah. Ulama yang membawa nahwu ke Mesir ialah Wallad ibn Muhammad al-Tamimi. Ia adalah murid al-Khalil ibn Ahmad. Karena itu ketika kembali ke Mesir, ia membawa beberapa buku gurunya dan mengajarkannya kepada generasi-generasi muda Mesir. Ulama nahwu yang semasa dengannya ialah Abu al-Hasan al-Azzu yang menjadi murid al-Kisa’i. Ulama dari generasi berikutnya dari Mesir adalah al-Dainuri Ahmad ibn Ja’far, murid al-Mazini.
Para ulama nahwu generasi-generasi berikutnya, pada umumnya tidak lagi membuat kaidah-kaidah baru di bidang nahwu, tetapi mereka melakukan usaha memberikan syarah (memberikan penjelasan terhadap karya-karya sebelumnya), atau membuat hasyiyah, semacam membuat catatan pinggir sebagai komentar apa yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya.
Bila melihat sejarah kehidupan para ulama nahwu, sebenarnya mereka tidak hanya mendalami ilmu tersebut, tetapi juga ilmu-ilmu penting lainnya, seperti: bahasa, qira’ah, fiqh, hadits, dan juga sejarah. Lebih dari itu, merekapun belajar tekun ilmu Aqidah (teologi), sebut misalnya al-Farra’, yang dikenal sebagai ahli nahwu. Dia punya kecendrungan rasional karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh Mu’tazilah dan Khalifah al-Ma’mun, walaupun penganut “jalan tengah”, atau al-Suyuthi, yang dikenal dengan ilmu tafsir, ia juga mempunyai beberapa karya di bidang nahwu.
B. Sejarah Aliran (Madrasah) Bashrah
Dalam sebuah riwayah disebutkan, “Suatu hari Abu al-Aswad al-Du’ali berkunjung ke Ubaidillah ibn Ziyad, wali kota Bashrah. Abu al-Aswad berkata : Saya melihat orang-orang Arab kini bicaranya tidak teratur, lidah mereka tidak fasih (al-Lahn) berbicara Arab karena pergaulannya dengan bangsa lain ( orang-orang ajam), bagaimana kalau misalnya saya susun sebuah buku yang dapat dijadikan pedoman dalam berbahasa Arab? Kontan Ziyad menjawab ”jangan!” Pada hari yang lain, datang pula kepadanya seorang laki-laki, dan berkata, "أصلح الله الآمير، توفى أبانا وترك بنونا" (semoga Tuan diberkahi kedamaian, telah diambil hak ayah kami sedang dia meninggalkan banyak anak). Sang Amir terperanjat, lalu berkata “Panggil kemari Abu al-Aswad !”. Kemudian ia berkata “Susunlah apa yang dulu aku larang !”.
Dikisahkan juga, pada suatu malam yang penuh bintang, Abu al-Aswad keluar rumah untuk menikmati indahnya malam bersama putrinya. Sang putri berkata: “ما أحسن السماء” = nun di-dlommah, hamzah di-kasroh (apa yang paling indah di langit). Ayahnya menjawab “نجومها” (yang paling indah di langit adalah bintangnya). Lalu putrinya menimpali,”saya tidak bertanya, tapi mengutarakan kekaguman”. Mendengar ucapan putrinya demikian, Abu al-Aswad menjelaskan “Kalau begitu, ucapan yang benar adalah "ما أحسن السماء" nun dan hamzah di-fathah (betapa indahnya langit). Sejak saat itu Abu al-Aswad menyusun ilmu nahwu, dan yang pertama disusun adalah mengenai Ta’ajub.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa penyusun pertama ilmu nahwu adalah Abu al-Aswad al-Du’ali. Selain itu, ada juga pendapat lain yang menyebutkan Abdurrahman ibn Hurmuz. Sementara yang lain mengatakan Nashr ibn Ashim. Namun pendapat yang paling shahih adalah Ali ibn Abi Thalib sebagai peletak pertama dasar-dasarnya, kemudian disusun dan dikembangkan oleh Abu al-Aswad. Dia sendiri pernah ditanya, “dari mana kau dapatkan (ilmu) ini?”. “Dari arahan-arahan Ali ibn Abi Thalib”, jawabnya (Dhaif, 1976:13).
Menilik masa perkembangan ilmu nahwu, ada 4 (empat) fase. Pertama, masa peletakan dan penyusunan. Ini berpusat di Bashrah, sejak peletakan pertama oleh Abu al-Aswad sampai al-Khalil ibn Ahmad. Kedua, masa pertumbuhan, yaitu masa perkembangan di mana kiblat nahwu sudah dua arah Bashrah dan Kufah. Tokoh pada fase ini Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan al-Ru’asi, Abu Utsman al-Mazini al-Bashri dan Ya’qub ibn al-Sikkit al-Kufi. Ketiga, fase kematangan dan penyempurnaan. Otoritas ilmu nahwu pada masa ini masih berada di tangan ulama-ulama di kedua kota tersebut. Mereka itu, selain kedua tokoh di atas adalah al-Mubarrad al-Bashri dan Tsa’lab al-Kufi. Keempat, fase terakhir nahwu sudah menyebar ke berbagai kota, seperti Baghdad, Mesir, Syiria, dan Andalusia. Penyebar nahwu di kota-kota ini adalah para alumni madrasah-madrasah yang berada di Bashrah dan Kufah (Dlaif, 1976: 27).
Menurut Muhammad al-Thanthawi, pesatnya aliran Basrah didukung oleh situasi-situasi berikut[9]:
Pertama, banyak warga Bangsa Arab dari suku yang dikenal fasih dalam tradisi berbahasa Arab mengungsi ke Bashrah, terutama dari suku Qais dan Tamim. Kedua, adanya pasar “al-Mirbad” di Bashrah. Pasar ini kedudukannya seperti pasar “Ukadh” di Arab pada zaman jahiliyah. Di pasar ini, para sastrawan (penyair), ahli sejarah dan ahli bahasa berkumpul untuk “beradu” kemampuan. Dari sini pula para ahli nahwu mendapatkan sesuatu sebagai rujukan kaidah nahwunya. Ketiga, posisi geografis yang mendukung kemurnian Bahasa Arab. Bashrah berada di tengah padang sahara, sebelah selatan laut dan sebelah baratnya Lembah Najd.[10]
Usaha yang dilakukan pertama kali oleh Abu al-Aswad bersama dengan dua orang muridnya Nashr ibn Ashim dan Abdurrahman ibn Hurmuz baru sampai pada usaha memberi harakat di huruf terakhir kata-kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-huruf Hija’iyyah, agar bisa dibedakan antara huruf satu dengan lainnya. Misalnya (ب, ت, ث), (ج, ح, خ) dan sebagainya.
Dasar-dasar yang diletakkan itu kemudian dikembangkan oleh ulam-ulama berikutnya yang juga merupakan murid-muridnya, seperti Abdullah ibn Abi Ishaq al-Hadrami (w. 117 H./735 M.), ulama nahwu pertama di Bashrah yang dikatakan sebagai “pakar intelektual nahwu Bashrah. Ulama lain adalah Isa ibn Umar al-Tsaqafi yang menyusun dua kitab nahwu “al-Jami’ dan al-Ikmal”dan Khalil ibn Ahmad al-Farahidi al-Bashri (w. 175 H./791 M.) yang merupakan murid dari Abu Ishaq. Mereka mengembangkan kaidah-kaidah yang telah dibuat gurunya dengan mempertajam kajian nahwu memperkuat dasar-dasar dan menetapkan fondasinya. Khalil ibn Ahmad sendiri adalah ulama yang membuat kaidah-kaidah tentang mabni, musytaq, i’lal, badal, amil dan ma’mul. Di samping itu ia menetapkan kaidah-kaidah sama’i, qiyas, dan ta’lil. Dia pula yang pertama menemukan rima musik Arab dan ilmu Arud. Meskipun demikian, ia mengomentari kitab yang dikarang rekannya dengan mengatakan dalam sebuah syair (Dhaif, 1976:29):
ذهب النحو جميعا كله غير ما أحدث عيسى بن عمر
ذاك إكمال وهذاجامع فهما للنـاس شـمس وقمر
Perkembangan dan penyebar luasan ilmu nahwu di Bashrah ini tidak lepas dari peranan Madrasah al-Bashriyah, sebuah lembaga pendidikan khusus yang dibentuk untuk membina nahwu di Bashrah yang didirikan pada masa Khalil ibn Ahmad al-Farahidi. Dari Madrasah ini lahir ulama-ulama nahwu lainnya seperti; al-Akhfasy, al-Riyasyi, al-Mazini, al-Mubarrad dan al-Yazidi.
C. Paradigma Ulama’ Nahwu Bashrah
Ulama’ bashrah menggunakan dalil qiyas sebagaimana menggunakan sama’.  Berbeda dengan ulama’ kuffah, ulama’ bashrah menolak menggunakan dalil dengan syawahid yang tidak jelas penuturnya.[11] Dan mereka menganggap bahwa syawahid yang didapat dari sembarang orang dan terdapat syadz, maka tidak bisa dijadikan dasar hukum.
Ulama’ bashrah berpendapat bahwa ulama’ kuffah mengambil semua yang mereka dengar dari orang Arab untuk dijadikan ashl (maqis alaih). Seolah-olah ulama’bashrah ingin berkata: ulama’ kuffah tidak dapat dipercaya dalam menetapkan ashl, karena mereka mengqiyaskan terhadap sesuatu yang jarang (naadir) dan janggal (syadz).[12]
Imam sibawaih sangat memperhatikan sama’. Dia dan para ulama; bashrah lainnya sangat berhati hati dalam sama’ sebagaimana mereka berhati- hati dalam qiyas. Mereka tidak mengambil dalil kecuali dari orang yang dipercaya ke-arab-annya dari segi fashohah dll. [13]
Dan imam suyuthhi mengungkapkan: bahwa ulama’ bashrah lebih shahih dalam hal qiyas karena mereka tidak mengambil dalil dari setiap yang mereka dengar, dan tidak mengqiyaskan terhadap sesuatu yang syadz. Adapun ulama’ kuffah itu lebih luas riwayatnya.[14]
D. Konsep Aliran (Madrasah) Nahwu Bashrah
Shalah Rawwa dalam kitabnya “al Nahw al Arabi: Nasy’atuhu Tathowuruhu, Madarisuhu, Rijaluhu,” menegaskan bahwa paradigma atau metode Basrah diantaranya:
Mereka mengambil data bahasa Arab fusha yang disampaikan oleh orang-orang yang belum terkontaminasi, Orang yang menerima infortamasi diharuskan orang tsiqoh, Data bahasa yang ada harus banyak sehingga tidak bertentangan dengan data yang lain.
Ulama’ nahwu Basrah menetapkan suatu hukum dengan landasan menetapkan untuk berpegang pada sumber-sumber dibawah ini sebagai landasan hukumnya:
1.      Al-Qur’an
Al-Qur’an dan Qiroat-qiroatnya adalah sumber yang paling akurat bagi Sibawaih ketika dia menetapkan kaidah–kaidah penulisan ushul nahwu, pada nash Al-Qur’an tidak ada perbedaan didalamnya karena merupakan redaksi langsung dari Allah SWT. Perbedaan itu hanya terdapat pada bacaan-bacaannya[15]. Sehingga Al-Qur’an menjadi contoh paling tinggi yang menjadikan para fuqoha dan para ulama bahasa condong serta merujuk kepada Al-Qur’an, yang mana dengan Alqur’an, mereka meletakkan kaidah-kaidah nahwu dan dasar-dasar nahwu, dan Sibawaih adalah ulama nahwu yang paling berpedoman pada Al-Qur’an dan yang paling memuliakan Al-Qur’an selain itu Sibawaih juga memempatkan Al-Qur’an dalam tingkatan pertama, karena Al-Quran merupakan kalam yang paling fashih dengan isi nash yang paling tepercaya, karena redaksi Alqur’an menyerupai bahasa arab yang asli dengan tata bahasanya sangat baik juga mengkhithob orang-orang arab dengan bahasa mereka sesuai dengan  yang mereka harapakan.
Imam Sibawaih menjadikan al-qur’an sebagai asas dalam pengambilan sebuah dalil, pada umumnya Sibawaih menulis sebuah bab berdasarkan dari apa yang ia telah jelaskan dan memberikan contoh-contoh yang dikiaskan pada Al-Qur’an lalu menyebutkan ayat-ayat dalam Alqur’an yang sesuai dengan contohnya. Selain itu Sibawaih juga menyebutkan contoh-contoh yang ia dengar langsung dari orang arab atau contoh-contoh yang diriwayatkan dari orang yang mendengarkannya, dan yang didengarkan dari para guru-gurunya juga dari orang yang tepercaya dalam periwayatanya berupa syi’ir-syi’ir arab.[16]
2.      Kalam Arab
Selain Al-Qur’an, ulama’ nahwu Basrah juga berpedoman kepada kalam Arab yang
fasih yang tidak tercampur dengan bahasa lain dengan kata lain yang masih murni.
ada dua jenis kalam Arabi dalam kaitaanya dengan ushul Nahwu, Yaitu :
1). Syi’ir
            Imam Sibawaih menetapkan dalam sebuah bab dalam kitabnya hal-hal yang berkaitan dengan syi’ir, ia berkata tentang sesuatu yang membolehkan dan tidak diperbolehkanya penyair untuk melakukan dlorurot syi’ir dalam kalam, yaitu seperti pemberian harokat tanwin kepada lafadz yang tidak boleh ditanwin dan membuang hal-hal yang tidak boleh dibuang.
2). Natsr
               Kalam Arab adalah sumber ketiga sebagai dalil dalam ilmu bahasa dan nahwu, namun yang dimaksud disini adalah kalam dari suku-suku Arab yang dapat dpercaya akan kefashihan dan kemurnian bahasanya baik itu kalam atsar maupun kalam syi’ir. Sebelum diutusnya Nabi, pada zaman Nabi dan setelahnya sampai dengan penduduk asli Arab, sudah terkontaminasi oleh bahasa orang non Arab. Para ulama ahli bahasa hanya tertuju pada bahasa yang dimiliki oleh kabilah atau suku yang disepakati akan kefashihannya dan kemurnian bahasanya. Kabilah yang menduduki posisi tertinggi ketika itu adalah bahasa kaum Quraisy, hal itu dikarenakan suku Quraisy adalah suku Arab yang paling berkualitas dan bahasa kaum Quraisy paling mudah pengucapannya, paling indah didengarkan, dan lebih ekspresif pengungkapannya. 
Imam Ahmad bin Fariz berpendapat bahwasanya kaum Quraisy adalah kabilah bangsa Arab yang paling fashih. Karena itu Allah SWT memilih mereka di antara sekian banyak kabilah bangsa Arab dan memilih sebagian dari mereka seorang Nabi, sebagai pembawa risalah. kabilah Quraisy dengan kefashihan dan keindahan bahasanya ketika datang kepada mereka seorang utusan dari kabilah Arab yang lain, maka mereka memilih “memperhatikan” bahasa  yang paling baik dan kalam yang paling murni dari kalam –kalam dan syi’ir-syi’ir kaum Quraisy.
Para ulama Bashrah sepakat untuk mengambil dalil-dalil dari golongan pertama dan kedua[17], Kebanyakan dari ulama Bashrah tidak mengambil dalil-dalil dari golongan ketiga, namun Ulama Baghdad berpendapat bahwa yang benar adalah diperbolehkannya mengambil dalil syi’ir dari golongan ketiga. Sementara itu Abu Umarbin al-Alaa’, Abdullah bin Abi Ishaq, Hasan al-Bashri, dan Abdullah bin Syibromah menganggap adanya salah dalam hal bahasa dari Farozdaq, Al-Kumaid dan Dza al-Romah juga sesamanya. Dan mereka dianggap dari golongan Al-Muwalladun karena mereka hidup pada masa golongan Al-Muwalladun. Dan hidup dalam satu masa “Muwalladun” adalah sebuah penghalang.
Adapun kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh kelompok Bashrah, diantaranya[18]:
1.      Shifat hanya beramal pada nafi, istifham, dan maushuf. Baik itu secara maknawi, lafdhi ataupun taqdir (dikira-kirakan).
2.       Yang merafa’kan mubtada’ adalah ibtida’ (karena posisinya di awal kalimat)
3.      Rofa’nya Khobar dengan mubtada’
4.      Fiil memberikan amil pada fail dan maful
5.      Fiil yang kedua itu amil dalam bab tanazu’
6.      Marfu’nya khobarnya Inna karena Inna.
7.      Dhorof yang menjadi khobarnya mubtada’ itu Nasab dengan fiil yang dikira-kirakan.
8.      Nasabnya mustasna’ dengan fiil atau dengan fiil yang ditengahi Illa
9.      Mudz dan mundzu itu keduanya mubtada’ dan setelahnya itu khobar atau keduanya huruf jer dan setelahnya itu majrur karenanya.
10.  Fi’il harus mudzakar ketika digunakan untuk isim mudzakar, dan harus mu’anats ketika untuk isim mu’anats.
11.  Mashdar adalah asal dari kalimat, sedangkan fi’il merupakan musytaqnya. Dengan kata lain mashdar adalah asal dari fi’il.
12.  Na’ib fa’il tidak boleh diganti dengan dharf, jer majrur atau mashdar selam ada maf’ul bihi.
13.  Tamyiz harus terbentuk dari isim nakirah
14.  Kata (بئس) dan (نعم) adalah kata kerja, begitu pula fi’il ta’ajub
15.  Tidak boleh membuat taukid dari isim nakirah.
16.  Fi’il mudlari’ yang jatuh setelah (حتى), (أو) atau (فاء السببية) atau (واو المعية) dinashabkan dengan (أن ) yang harus tersimpan (mudlmar)
17.  Fi’il mudlari’ mu’rab karena menyerupai isim fa’il.
18.  Setelah (كى), أن tidak boleh ditampakkan, tetapi harus mudlmar (tersimpan)
19.  (أن) Yang sudah dibuang (محذوفة) tidak bisa beramal lagi (tidak berfungsi manashabkan).
20.  Nasabnya lafadz "لاتأكل السماك وتشربَ اللبن" itu dengan taqdir "أن"
E. Karateristik Nahwu Bashrah
Ada beberapa generasi tokoh nahwu Basrah, sehingga dalam bahasan ini dipisahkan karakteristik nahwunya berdasarkan urutan generasi.
1.      Generasi Pertama
Diantara tokohnya adalah Abul Aswad Ad-Duali, Abdurrahman bin Hurmuz. Adapun karakteristik periode pertama ini adalah:
a. Tergabung dalam profesi Qori’. Para ulama Bashrah secara menyeluruh sebagai Qari Al-Qur’an, yang mempelajari hukum-hukumnya, yang haus akan bacaan al-Qur’an dan juga sebagai para perawi hadits.
b. Memberi perhatian khusus terhadap lahn dalam kalam Arab, dan dalam al-Qur’an dan menentang fenomena terlarang ini.
c. Mushaf-mushaf diberi titik dengan i‘rab yang dimulai oleh Abul Aswad Ad-Duali yang mendapat nasihat dari Ziyad ibn Abihi, kemudian diikuti oleh murid-murid setelahnya, sebagai penentangan terhadap lahn dalam al-Qur’an.
d. Awal penysusunan ilmu nahwu mendapat petunjuk dari Imam Ali r.a yang diawali oleh Abul Aswad dan diikuti oleh murid-muridnya.
e. Tidak terdapat peninggalan berupa tulisan tentang GENERASI ini kecuali riwayat yang diklaim oleh Ibn Nadiim dan Qifthi. 
2.      Generasi Kedua
Diantara tokohnya adalah Yahya bin Ya’mur Al-Udwan Al-Laitsi, Maimun Al-Aqran, Anbasah Al-Fil, Nashr bin Ashim Al-Laitsi. Adapun karakteristik periode ini adalah:
1.       Tergabung dalam profesi Ahli Qira dan Ahli Hadits. 
2.      Memiliki perhatia pada realitas lahn dalam kalam Arab dan al-Qur’an, juga dalam pembicaraan para pemimpin seperti al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqfi dan pemimpin lainnya.
3.      Ada kesepakatan dalam memberi titik mushaf dengan titik i‘rab.
4.      Memberi titik mushaf dengan titik dan harakat atas nasihat dari Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqfi.
5.      Terdapat tambahan atas penyusunan ilmu Nahwu.
6.      Belum terdapat peninggalan berupa tulisan.
3.      Generasi Ketiga
Diantara tokohnya adalah Abdullah bin Abu Ishak, Abu Umar bin Ula, Isa binAmr Ats-Tsaqfi. Adapun karakteristik pada periode ini adalah:
a. Dimulainya derivasi qias, dan implementasinya atas pembacaan al-Qur’an dan puisi Arab.
b. Dimulainya ta’lil kaidah nahwu dan ta’wil terhadap hal yang menyalahi kaidah.
c. Dimulai munculnya berbagai pendapat seperti terdapatnya pendapat antara Abu Umar al-Ula dan Abdullah bin Abu Ishak, dan antara Abu Umar al-Ula dan Isa bin Amr.
d. Munculnya pendapat nahwu yang bersifat individual, dan pembacaan al-Qur’an yang berbeda dari ulama Jumhur.
e. Tidak terdapat peninggalan berupa tulisan kecuali yang diriwayatkan dari al-Jami’ dan al-Kamil karya Isa ibn Amr.
4.      Generasi Keempat
Diantara tokohnya Al-Akhfa al-Akbar, Al-Khalil bin Ahmad, dan Yunus bin Habib.
5.      Generasi Kelima
Diantara tokohnya adalah Sibawaih dan Al-Yazidy. Pada masa ini, ilmu tatabahasa Arab memiliki beberapa kelebihan dibandingkan periode-periode sebelumnya, yaitu:
1.      Penyempurnaan konsep ilmu tatabahasa Arab
2.      Kitab-kitab yang disusun
3.      Adanya diskusi-diskusi.
6.      Generasi Keenam
Diantara tokohnya adalah Al-Akhfasy al-Awsath, Qathrab
7.      Generasi Ketujuh
Diantara tokohnya adalah Al-Jurmy, At-Tauzy, Al-Maziny, Ar-Riyasy.
8.      Generasi Kedelapan
Diantara tokohnya adalah Al-Mubarrad. 
F. Tokoh Ulama’ Basrah yang Termasyhur
1.      Abul Aswad Ad-Du'ali
Sebagian ahli mengatakan, peletak dasar Ilmu Nahwu adalah Abul Aswad Ad-Du'ali. Sebagian yang lain mengatakan, Nashr bin 'Ashim. Ada juga yang mengatakan, Abdurrahman bin Hurmus[19]. Namun, dari perbedaan perbedaan itu pendapat yang paling populer dan diakui oleh mayoritas ahli sejarah adalah Abul Aswad. Pendukung pendapat ini dari golongan ahli sejarah terdahulu antara lain Ibnu Qutaibah (wafat 272 H), Al-Mubarrad (wafat 285 H), As-Sairafiy (wafat 368 H), Ar-Raghib Al-Ashfahaniy (502 H), dan As-Suyuthiy (wafat 911 H), sedangkan dari golongan ahli nahwu kontemporer antara lain Kamal Ibrahim, Musthofa As-Saqa, dan Ali an- Najdiy Nashif[20].
Seperti yang sudah dibahas di awal, Abul Aswad Ad-Du'ali (wafat 69 H) adalah orang pertama yang mendapat kepercayaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk menangani dan mengatasi masalah lahn yang mulai mewabah di kalangan masyarakat awam. Ali memilihnya untuk hal itu karena ia adalah salah seorang penduduk Bashrah yang berotak genius, berwawasan luas, dan berkemampuan tinggi dalam bahasa Arab[21].
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa suatu ketika Abul Aswad mendengar seorang membaca ayat Al-Qur'an: "Inna AIlaha bariun minal mu'mini:na warasu:lihi" dengan mengkasrah lam dari kata rasu:lihi, padahal seharusnya didlammah. Atas kejadian itu dia kemudian meminta izin kepada Ziyad bin Abieh, Gubernur Bashrah, untuk menulis buku tentang dasar-dasar kaidah bahasa Arab[22] . Ibnu Salam (tanpa tahun) dalam kitabnya Thabaqatu Fuhulisy Syu'ara:" mengatakan bahwa Abul Aswad adalah orang pertama yang meletakkan dasar ilmu bahasa Arab. Hal itu dilakukannya ketika ia melihat lahn mulai mewabah di kalangan orang arab. Dia menulis antara lain bab fa:'il, maf'ul, harf jar, rafa', nashab, dan jazm."
Satu riwayat yang cukup populer dan diakui keabsahannya oleh para ahli adalah bahwa Abul Aswad berjasa dalam member syakal (tanda baca) pada mushaf Al-Qur'an. Sebagaimana diketahui pada mulanya tulisan Arab itu tidak bertitik dan tidak menggunakan tanda baca. Tidak ada tanda pembeda antara huruf dal dan dzal, antara huruf sin dan syin, dan sebagainya. Juga tidak ada perbedaan antara yang berbaris /a/, /i/, dan /u/. Demikian juga tulisan yang ada pada mushaf Al-Qur'an, sehingga banyak orang yang keliru dalam membaca Al-Qur'an, terutama umat Islam non-Arab.
Lama kelamaan, karena khawatir kesalahan itu akan semakin mewabah, Ziad bin Abi Sufyan meminta Abul Aswad untuk mencari solusi yang tepat. Berangkat dari permintaan itu akhirnya Abul Aswad menemukan jalan, yaitu dengan memberi tanda baca dalam Al-Qur'an. Dengan tinta yang warnanya berlainan dengan tulisan Al-Qur'an. Tanda baca itu adalah titik diatas huruf untuk fathah, titik dibawah huruf untuk kasrah, dan titik di sebelah kiri atas untuk dlammah. Karena tanda baca itu berupa titik-titik, maka dikenal dengan sebutan naqthul i'rab (titik penanda i'rab)[23] (Sirajuddin, 1992: 33).
Atas jasanya dalam memberi tanda baca mushaf Al-Qur'an itu Abul Aswad kemudian dikenal sebagai peletak dasar ilmu I'rab, dan setelah itu banyak orang yang datang kepadanya untuk belajar ilmu qira'ah dan dasar-dasar ilmu i'rab. Dia melaksanakan pengajaran itu di masjid Jami' Bashrah. Dari sinilah awal mula kota Bashrah dikenal sebagai kota kelahiran Ilmu Nahwu. Banyak murid yang berhasil dan kemudian menjadi generasi penerus yang mengembangkan gagasan-gagasan yang telah dirintisnya, diantaranya adalah Anbasah bin Ma'dan yang dikenal dengan panggilan Anbasah Al-fil, Nashr bin 'Ashim al-Laitsiy (wafat 89H), dan Yahya bin Ya'mur Al-Adwaniy (wafat 129 H). Anbasah kemudian mempunyai seorang murid yang banyak berpengaruh dalam pengembangan Ilmu Nahwu yaitu Maimun Al-Aqran (Al-Fadlali, 1986:26).
2.      Ibnu Abi Ishaq
Abdullah bin Ishaq (wafat 117H)[24] ialah orang yang pertama merumuskan kaidah-kaidah nahwu, menerapkan prinsip-prinsip analogi, dan menerangkan berbagai alasan secara linguistis. Kepeduliannya terhadap prinsip analogi tidak hanya ia terapkan pada masalahmasalah nahwu, tetapi juga ia tanamkan pada pola berpikir murid muridnya. Dengan metode ini ia banyak menentang Farazdaq, seorang penyair ulung yang dinilainya banyak menyalahi kaidah bahasa Arab. Misalnya, ia menyalahkan Farazdaq dalam syairnya:
"wa 'adldlu zama:nin ya bna marwa:na lam yada'
minal ma:li illa: mus-hatan aw mujarrafu".
Kata mujarrafu (berakhir vokal /u/ karena dibaca rafa') menurutnya tidak benar, karena menyalahi kaidah nahwu. Kata itu seharusnya di baca mujarrafa (berakhir vokal /a/ atau nashab) karena diathafkan pada mushatan. Dengan penentangannya itu ia ingin menunjukkan bahwa seorang penyair, bagaimanapun fasihnya, tidak boleh seenaknya menyalahi kaidah nahwu.
Keteguhannya berpegang pada analogi (qiyas) membuatnya tidak takut untuk kadang-kadang bertentangan dengan jumhurul qurra' (para ahli baca Al-Qur'an). Sebagai contoh ia berbeda dengan mereka dalam membaca ayat "as sa:riqu was sa:riqatu faqtha'u: aydiya huma:.....". Para qurra' membaca as sa:riqu was sa:riqatu dengan rafa' sebagai mubtada'subjek', yang khabar 'predikat'-nya berupa klausa faqtha'u: aydiya huma, sedangkanIbnu Abi Ishaq membacanya dengan nashab " as sa:riqa wassa:riqata" sebagai maf'ul bih 'objek pelengkap'. Sampai pada akhir hayatnya Ibnu Abi Ishaq tidak meninggalkan satu buku pun tentang nahwu. Ilmu yang berharga itu ia sampaikan kepada murid-muridnya secara lisan saja melalui muhadlarah-muhadlarah (kuliah- kuliah) dan pengajian-pengajian di berbagai tempat.
3.      Sibawaehi
Sibawaehi (Nama lengkapnya: ‘Amr ibn Utsman Ibn Qunbar [148-180 H./765-795 M.]. Julukannya adalah: “Abu Bisyr” tapi orang banyak mengenalnya: “Sibawaehi”[25]. Dalam bahasa Persia, kata Sibawaehi artinya: harum buah apel. Imam pakar Ilmu Nahwu ini dilahirkan di suatu komunitas besar di kota Baidha’, salah satu kota di propinsi Istikhar, Persia (Iran sekarang).
Dalam umur yang relatif dini, Sibawaehi kecil bersama keluarganya hijrah ke kota Bashrah meninggalkan tanah kelahirannya, Baidha’. Dunia metropolitan Bashrah yang menjadi basis keilmuan Islam saat itu merupakan saksi awal keilmuan Sibawaehi dibangun dan ditata. Di situlah tempat ia menuntut ilmu bersama para ulama-ulama terkemuka di zamanya hingga ajal menjemput di usia yang belum terlalu tua, tahun 180 H. Ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang di kota Ahwaz, Iran.
 Beliau mempunyai guru yang bernama Imam Khalil bin Ahmad, ia belajar Hadits dalam halaqah Syeikh Himad ibn Salamah ibn Dinar, salah seorang Muhadist termashur saat itu. Dalam kegigihan itu, Sibawaehi mendapati lahn (kesalahan-ungkap) pada pembelajaran Syeikh ketika membacakan beberapa hadist Nabi. Ia kecewa dengan sang guru. Dirinya bertekat tidak mengulangi kesalahan tersebut (lahn) sebagaimana telah dialami Syeikh Himad. Di sinilah awal Sibawaehi tergiur belajar bahasa Arab agar terhindar dari lahn.
Imam Khalil juga dikenal sebagai pengarang kitab al-A’in, kitab/ kamus bahasa Arab pertama yang muncul di permukaan bumi. Sibawaihi berguru kepada Imam Khalil selama beberapa tahun lamanya bersama seorang teman seperguruannya yang bernama Asmu’i. Sibawaihi adalah seorang yang sangat jenius, terbukti dalam beberapa kesempatan beliau pernah berdebat sengit dengan gurunya dan tak jarang Imam Khalil dibuat kewalahan oleh muridnya yang satu itu.
Sebagaimana biasa, pada tiap harinya Imam Sibawaihi selalu belajar dengan gurunya Imam Khalil bin Ahmad Al-Farahidi. Kebetulan pada hari itu objek kajian mereka berkenaan dengan isim-isim ma’rifah. Setelah mendengar keterangan dari gurunya yang menjelaskan bahwa isim ma’rifah yang paling ma’rifah itu adalah isim dhomir, muncullah suatu keraguan dihati Imam Sibawaihi. Dia bertanya-tanya dalam hati sembari merenungkan kalimat demi kalimat yang disampaikan oleh gurunya itu. Pas pada waktu gurunya diam, Sibawaihipun angkat bicara seraya berkata “setelah mendengarkan keterangan guru, saya agak ragu apakah benar isim yang paling ma’rifah itu adalah isim dhomir..?”, mendengar pertanyaan skeptis dari muridnya itu Imam Khalil mengeluarkan seluruh dalil-dalil dan keterangan-keterangan untuk menjelaskan dan menguatkan pendapatnya.
Namun setelah dijelaskan beberapa kali, tetap saja Imam Sibawaihi meragukannya dan malahan menyanggah apa yang disampaikan oleh gurunya itu. Dengan tanpa mengurangi rasa hormatnya terhadap sang guru, Sibawaihi mencoba menyampaikan pendapatnya dengan tenang dan argumentatif. Sibawaihi lebih setuju kalau isim yang paling ma’rifah diantara asmaaul ma’rifah itu adalah isim alam. Akan tetapi gurunya tidak terima dengan pendapat yang barusan dia utarakan dan bersikokoh dengan pendapatnya.
 Tapi Sibawaihi adalah seorang yang sangat jenius, dia membuktikan sendiri kebenaran pendapatnya itu dengan pendekatan empiris. Suatu malam, dia sengaja berkunjung ke rumah gurunya itu. Setelah berada didepan pintu rumah gurunya, Sibawaihi tidak langsung masuk dan menemui Imam Khalil sebagaimana biasanya. Akan tetapi dia mengetok-ngetok pintu rumah gurunya itu beberapa kali dengan harapan beliau akan bertanya siapa sebenarnya yang datang. Setelah beberapa kali diketuk, ternyata gurunya itu belum juga muncul dan bertanya.
Kemudian untuk kesekian kalinya kembali ia mengetuk pintu sampai terdengar dari dalam rumah suara Imam Khalil yang bertanya “siapa..?”. Mendengar suaru tersebut, bukan main senangnya hari Imam Sibawaihi, karena memang pertanyaan itulah yang ia harapkan terlontar dari mulut Imam Khalil. Dengan segera dia menjawab “ana”. Karena merasa belum jelas, Imam Khalil kembali bertanya “ana siapa.?”, kemudian dijawab lagi oleh Imam Sibawaih “ana”. Mendengar jawaban tersebut Imam Khalil merasa penasaran siapa sebenarnya orang yang menjawab saya itu. Saking penasarannya, beliau langsung berjalan kedepan pintu dan langsung membukanya. Pada saat pintu terbuka, ternyata orang yang menjawab ana itu tak lain adalah Sibawaihi murid kesayangan beliau sendiri.
Pada saat yang bersamaan Sibawaihpun tersenyum melihat gurunya yang tengah berdiri didepan pintu sembari berkata “bagaimana guru, apakah engkau hingga saat ini masih bersekukuh mengatakan Isim dhomir sebagai isim yang paling ma’rifah..?, bukannya ketika saya datang kemudian anda bertanya siapa kepada saya, terus saya jawab “ana” (isim dhomir) belum memberikan pengertian yang jelas terhadap anda..?, belum cukupkah bukti itu menunjukkan bahwa Isim A’lam lebih ma’rifah daripada isim dhomir..?. Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan dari muridnya itu, Imam Khalil diam membisu dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia telah dikalahkan oleh muridnya sendiri, yaitu Sibawaihi.
Karya Monumental Sibawaehi“al-Kitâb” Hampir disetiap diktat Ilmu Nahwu yang kita pelajari tak pernah lepas dari rujukan yang bersumber dari al-Kitâb Sibawaehi. Benar juga kesaksian yang mengatakan kitab-kitab Nahwu selepas Sibawaehi tidak lebih dari sekedar pengulangan-pengulangan al-Kitâb, serasa tidak ada referensi lain selain karya dari aliran Bashrah itu. Hal ini bukti ketajaman dan ketelitian pengarang dalam mempelajari gramatika bahasa Arab.
Al-Kitâb Sibawaehi terdiri tiga juz dan terdapat 1500 bait syi’ir yang dimulai dari bab kalam dan diakhiri dengan bab jer. Konon, sejarah dinamakan al-kitab ini merupakan kumpulan tulisan Sibawaehi tentang kaidah Bahasa Arab yang lebih dominan membahasa tentang Ilmu Nahwu. Tanpa menafikan ilmu Balaghah di dalamnya. Kemudian setelah beliau wafat, maka para ulama bahasa membukukan tulisan-tulisannya dengan nama yang megah: “al-Kitâb”.
Abu Ja’far berkata, Muhammad ibn Zaid bercerita bahwasanya para pengoreksi tulisan-tulisan Arab dan orang-orang yang ahli bahasa di negara Arab banyak yang merujuk pada al-Kitâb Sibawaehi dan mereka berkesimpulan bahwasanya kitab Sibawaehi tidak pernah meninggalkan kosa kata yang berpatokan pada lisan orang arab kecuali pada tiga kata.                                    
Adapun salah satu kaidah yang beliau tetapkan adalah “bahwasanya fi’il harus senantiasa dibarengi oleh isim sehingga akan membentuk suatu kalam. Dan sebaliknya, isim tidak membutuhkan fiil seperti contoh “الله إلهنا و عبد الله أخونا”.
4.      Al-Maziny.     
Dia bernama Abu ‘Utsman Bakr bin Muhammad bin ‘Utsman. Nama al-Maziny dihubungkan dengan Bani Mazin bin Syaiban bin Dzahl bin Tsa‘labah bin ‘Ukabah bin Sha‘b bin ‘Ali bin Bakr bin Wail. Dia adalah hamba Bani Sadus yang dihadiahkan kepada Bani Mazin. Al-Maziny adalah ahli tatabahasa dan qira’ah. Pada masa al-Watsiq di Samarra’, al-Maziny berada di sampingnya untuk membacakan kitab Sibawaih atas permintaan al-Mubarrad. Al-Maziny mendapatkan belanja sebanyak seratus dinar setiap bulan dari al-Watsiq. Al-Maziny wafat di Basrah pada tahun 249 H.
Dari segi ideologi, al-Maziny adalah pengikut aliran Murji’ah. Al-Maziny dikenal sebagai ulama yang sangat anti terhadap analogi (qiyas) dalam merumuskan kaidah-kaidah tatabahasa dan qira’ah. Banyak kitab yang telah disusun oleh al-Maziny, di antaranya: ‘Ulumul-Qur’an, ‘Ilalin-Nachw, Tafasir Kitab Sibawaih, Lachnul-‘Ammah, al-‘Alif wal-Lam, al-‘Arudh, al-Qawafy, dan ad-Dibaj. Dia tidak mau menyusun sebuah kitab tatabahasa dengan menyatakan bahwa siapa saja yang menyusun kitab tatabahasa setelah Sibawaih, maka dia akan merasa malu. Akan tetapi, al-Maziny memiliki pendapat sendiri, di antaranya:
1.      Alif mutsanna, waw jam‘, dan ya’ al-mukhathabah pada fi‘l, misalnya يَـقُوْمَـانِ , يَـقُوْ مُوْنَ , dan تَـقُوْمِيْـنَ , bukanlah fa‘il, tetapi tanda tatsniyah, jam‘, dan ta’nits. Adapun fa‘il adalah damir mustathir. 
2.      Alif, waw, dan ya’ pada mutsanna’ dan jam‘ mudzakkar salim, misalnya مُسْلِمَانِ , مُسْلِمَيْنِ , مُسْلِمُوْنَ , dan مُسْلِمِيْنَ , bukanlah tanda i‘rab, tetapi tanda mutsanna’ dan jam‘ mudzakkar salim.
3.       Jam‘ mu’annats salim wajib mabni fathah jika didahului la nafiyah lil-jins, misalnya لاَ مُطِيْعَاتَ لَكَ
4.      Al-Khalil menyatakan bahwa ‘ain fi‘l dalam kata seperti اِسْتَـحْيَى itu dibuang karena ada pertemuan dua sukun, sedangkan al-Maziny menyatakan bahwa ‘ain fi‘l itu dibuang karena sebagai takhfif karena banyak digunakan. 
5.      Sibawaih menyatakan bolehnya qiyas pada ism tafdhil dari fi‘l mudhari‘ dengan wazan أَفْعَـلَ , tetapi al-Maziny menyatakan tidak boleh sehingga tidak ambigu antara fi‘l madhi dan ism tafdhil.































BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
A.    Sejarah Aliran Nahwu
Masa perkembangan ilmu nahwu, ada 4 (empat) fase. Pertama, masa peletakan dan penyusunan. Ini berpusat di Bashrah, sejak peletakan pertama oleh Abu al-Aswad sampai al-Khalil ibn Ahmad. Kedua, masa pertumbuhan, yaitu masa perkembangan di mana kiblat nahwu sudah dua arah Bashrah dan Kufah. Tokoh pada fase ini Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan al-Ru’asi, Abu Utsman al-Mazini al-Bashri dan Ya’qub ibn al-Sikkit al-Kufi. Ketiga, fase kematangan dan penyempurnaan. Otoritas ilmu nahwu pada masa ini masih berada di tangan ulama-ulama di kedua kota tersebut. Mereka itu, selain kedua tokoh di atas adalah al-Mubarrad al-Bashri dan Tsa’lab al-Kufi. Keempat, fase terakhir nahwu sudah menyebar ke berbagai kota, seperti Baghdad, Mesir, Syiria, dan Andalusia.
B.     Sejarah Perkembangan Nahwu Basrah
Dasar-dasar yang diletakkan Abu Aswad Ad-Dauli kemudian dikembangkan oleh ulam-ulama berikutnya yang juga merupakan murid-muridnya, seperti Abdullah ibn Abi Ishaq al-Hadrami (w. 117 H./735 M.), ulama nahwu pertama di Bashrah yang dikatakan sebagai “pakar intelektual nahwu Bashrah. Ulama lain adalah Isa ibn Umar al-Tsaqafi yang menyusun dua kitab nahwu “al-Jami’ dan al-Ikmal”dan Khalil ibn Ahmad al-Farahidi al-Bashri (w. 175 H./791 M.) yang merupakan murid dari Abu Ishaq. Mereka mengembangkan kaidah-kaidah yang telah dibuat gurunya dengan mempertajam kajian nahwu memperkuat dasar-dasar dan menetapkan fondasinya.
C.     Paradigma Ulama’ Nahwu Basrah
Ulama’ bashrah menggunakan dalil qiyas sebagaimana menggunakan sama’. Ulama’ bashrah menolak menggunakan dalil dengan syawahid yang tidak jelas penuturnya. Dan mereka menganggap bahwa syawahid yang didapat dari sembarang orang dan terdapat syadz, maka tidak bisa dijadikan dasar hukum.
D.      Konsep Madrasah Bashrah
Ulama’ nahwu Basrah menetapkan suatu hukum dengan landasan menetapkan untuk berpegang pada sumber-sumber dibawah ini sebagai landasan hukumnya:
1.      Al-Qur’an, 2. Kalam Arab yang meliputi syair dan natsr.
E.     Karakteristik Nahwu Basrah
Ada beberapa generasi tokoh nahwu Basrah, sehingga dalam bahasan karakteristinya nahwunya tergantung berdasarkan urutan generasi. Seperti karakeristik pada generasi pertama dibawah ini:
a. Tergabung dalam profesi Qori’. Para ulama Bashrah secara menyeluruh sebagai Qari Al-Qur’an, yang mempelajari hukum-hukumnya, yang haus akan bacaan al-Qur’an dan juga sebagai para perawi hadits.
b. Memberi perhatian khusus terhadap lahn dalam kalam Arab, dan dalam al-Qur’an dan menentang fenomena terlarang ini.
c. Mushaf-mushaf diberi titik dengan i‘rab yang dimulai oleh Abul Aswad Ad-Duali yang mendapat nasihat dari Ziyad ibn Abihi, kemudian diikuti oleh murid-murid setelahnya, sebagai penentangan terhadap lahn dalam al-Qur’an.
d. Awal penysusunan ilmu nahwu mendapat petunjuk dari Imam Ali r.a yang diawali oleh Abul Aswad dan diikuti oleh murid-muridnya.
F.      Tokoh Ulama’ Basrah
1.      Sibawaehi
bahwasanya kitab Sibawaehi tidak pernah meninggalkan kosa kata yang berpatokan pada lisan orang arab kecuali pada tiga kata.                                    
Adapun salah satu kaidah yang beliau tetapkan adalah “bahwasanya fi’il harus senantiasa dibarengi oleh isim sehingga akan membentuk suatu kalam. Dan sebaliknya, isim tidak membutuhkan fiil seperti contoh “الله إلهنا و عبد الله أخونا”.
2.       Abul Aswad Ad-Du'ali
Para ahli dalam rangka mendukung Abul Aswad seagai tokoh peletak dasar Ilmu Nahwu. Satu riwayat yang cukup popular dan diakui keabsahannya oleh para ahli adalah bahwa Abul Aswad berjasa dalam member syakal (tanda baca) pada mushaf Al-Qur'an.
3.       Ibnu Abi Ishaq
Keteguhannya berpegang pada analogi (qiyas) membuatnya tidak takut untuk kadang-kadang bertentangan dengan jumhurul qurra'. Sebagai contoh ia berbeda dengan mereka dalam membaca ayat "as sa:riqu was sa:riqatu faqtha'u: aydiya huma:.....". Para qurra' membaca as sa:riqu was sa:riqatu dengan rafa' sebagai mubtada', yang khaba'-nya berupa klausa faqtha'u: aydiya huma, sedangkanIbnu Abi Ishaq membacanya dengan nashab " as sa:riqa wassa:riqata" sebagai maf'ul bih 'objek pelengkap.


DAFTAR PUSTAKA

As-Samara’i, Ibrahim. 1987. Madaris Nahwiyyah.Beirut: Darul Fikri.
Al-Fadlali, Abdul Hadi. 1986. Marakizud Dirasatin Nahwiyyah. Bairut: Maktabah Al-Manar.
Abdul Al Salim Mukrim. _____. Al-Halqoh Al-Mafkudah fi Tarikh An-Nahwi Al-Araby. Kuwait: Muassasah Ar-Risalah.
Al-Khaditsi, Khadijah .1994. As-Shahid wa Ushul an-Nahwi fi Kitabi Sibawaih. Kuwait: Jamiah Kuwait.
Al-Afghoni, Said. _____. Min Tarikh Nahwu Al-Araby. Beirut: Darul Fikri.
Catatan Akhir Pengantar Sastra Arab. 22 September 2011
Dr.Abdul Amir Muhammad Amin Al-Ward. 1998. Al-Madaris An-Nahwiyah baina Taswir wa Tasdiq wa Sual al-Kabir. Baghdad: Al-Maktabah Al-Misriyah.
Dlaif, Syauqi. 1968. Al-Madarisun Nahwiyyah. Mesir: Darul Ma'arif.
Jinni, Ibnu.____. Al-Khosois. Mesir: Darul Kutub.
Tantowi Muhammad. _____. Nasy’atu an-Nahwi wa Tarikhi Asyharun Nuhat. Mesir: Darul Maarif.         
http://forumstudinahwu.blogspot.com/ diunduh pada tanggal, 30 maret 2013
http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/muamalah/allsub/470/ilmu-nahwu-dan-abu-aswad-ad-dhuali.html, diunduh pada tanggal, 30 maret 2013
http://usniyah.wordpress.com/2012/12/05/sejarah-perkembangan-nahwu-aliran-mesir/, diunduh pada tanggal, 30 maret 2013
http://zoelfansyah.blogspot.com/2011/12/imam-sibawaih-dan-ilmu-nahwu.html, diunduh pada tanggal, 30 maret 2013
http://fitrahidea.wordpress.com/2012/06/16/sejarah-dan-pembaharuan-nahwu/, diunduh pada tanggal, 30 maret 2013


[1] Min Tarikh Nahwu Al-Araby., hal: 2.
[2] Yaitu pada abad I, kemudian disusul Kufah, Baghdad, Mushal, Irbal, Andalus pada abad I, kemudian Marocco, Persia pada abad II, Mesir pada abad III, selanjutnya Damaskus, Haleb pada abad IV, disusul Najed, Yaman pada abad V, Hulah, Eropa pada abad VI, India pada abad VII, Romawi pada abad VIII, kemudian Rusia, Amerika, dan Afrika non Arab pada abad 14. (http://usniyah.wordpress.com/2012/12/05/sejarah-perkembangan-nahwu-aliran-mesir/ diakses 30 Maret April 2013)
[3] Dr.Abdul Amir Muhammad Amin Al-Ward.Al-Madaris An-Nahwiyah baina Taswir wa Tasdiq wa Sual al-Kabir.Hal:14
[4] http://zoelfansyah.blogspot.com/2011/12/imam-sibawaih-dan-ilmu-nahwu.html,diunduh pada tanggal, 30 Maret 2013
[5] Syauqi Daif, Madrasah al-Mishri, Al-Madârisun Nahwiyah, 1976. Darul Ma’arif. Kairo. Mesir
[6] http://fitrahidea.wordpress.com/2012/06/16/sejarah-dan-pembaharuan-nahwu/,diunduh pada tanggal, 30 Maret 2013
[7] Ibid.                                                             
[8] Tantowi Muhammad.Nasyatu Nahwi wa Tarikh Asyharun Nuhat. Hal: 187.
[9] Tantowi Muhammad. Nasy’atu an-Nahwi wa Tarikhi Asyharun Nuhat.Hal:126-127
[10] Lihat Tantowi Muhammad. Nasy’atu an-Nahwi wa Tarikhi Asyharun Nuhat.Hal:126-127
(http://fitrahidea.wordpress.com/2012/06/16/sejarah-dan-pembaharuan-nahwu/)
[11] Ibrahim as-samara’i. madaris nahwiyah : 17
[12] Ibid., 17
[13] Ibid., 19                                  
[14] Ibid., 19
[15] Pengambilan dalil dengan qiroah mutawatiroh dan yang sama dengan qiyas, itu menjadi acuan ulama-ulama Bashroh. Apabila pengambilan dalil dari qiroah yang syadz dan menqiyaskannya kemudian menganggapanya sebagai dasar dari dasar-dasar pengambilan dalil,  meskipun itu bukan merupakan metode dari ulama Bashroh, karena mereka tidak menganggap qiroat sebagai dalil atau hujjah kecuali apabila dalil itu sesuai dengan kaidah-kaidah dan pengqiyasan yang mereka anut. Jika tidak sesuai mereka menolaknya.
[16] Khodijah Alkhaditsi. As-syahid Wa Ushulin Nahwi fi kitabi Sibawaih. Kuwait: Jami’atul Kuwait, 1974. Hal: 30-32
[17] Dalam buku Tarikh Adab karya Dr.Wildana Wargadinata dan Laili Fitriani tertulis:Tingkatan-tingkatan para penyair secara umum dibagi menjadi empat tingkatan menurut Ibnu Rosyid, yaitu:
1)       Para penyair Jahiliyah yang hidup sebelum Islam, seperti Amrul Qoiys
2)       Para penyair mukhdlaramun, mereka hidup pada masa jahiliyah dan Islam seperti Labid dan Hasan
3)       Al-Mutaqoddimun, yang hidup pada masa permulaan Islam seperti Jarir dan Farozdaq
4)       Al-muwalladun, yang hidup setelah mutaqoddimun seperti Basyar bin Barod dan Abu Nuwas
[18] Madaris An-Nahwiyah.Hal:66-70                    
[19] ضاعف 1998 :13
[20] الفضال، 1986 : 9-17                    
[21] الفضال 1986 : 8
[22] ضاعف 1986 :15
[23] 1992 : 33  سيراج الدين
[24] نزهة الباء 26
[25] الشاهد وأصول النحو

Tidak ada komentar:

Posting Komentar