MAKALAH
“Unsur Integral dalam Proses Seni Menerjemah”
Guna Memenuhi Mata Kuliah Nadhariyat Al-Tarjamah
Dosen Pengampu: Nur Qomari, M.Pd
Oleh:
Badiatul Laihah (11310012)
M. Subhi Mahmasoni (11310017)
Fitri Aprilina (11310023)
Habib Syaikur Rahman (11310033)
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS HUMANIORA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2013
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Proses Integral dalam Menerjemah”.
Makalah ini berisikan tentang tahap-tahap
proses integral dalam menerjemah. Makalah ini di harapkan dapat memberikan
informasi kepada kita semua tentang proses unsur integral dengan tahapannya
yang telah ada. Dalam makalah ini pembaca akan menemukan jawaban atas beberapa
pertanyaan seperti:
Apa itu proses integral dalam menerjemah ? bagaimana proses integral
dalam menerjemah ?
Kami ucapkan Jazakumullah Ahsanal
Jaza' kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran dalam penyusunan
makalah ini dari awal sampai akhir. Terutama kepada Dosen pengampu mata kuliah Nadhariyat
Al-Tarjamah Ustadz Nur Qomari, M.Pd yang selalu membimbing kami, serta
teman-teman yang turut menyumbangkan referensi. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.
Kami menyadari makalah ini kurang
sempurna jika tanpa bantuan pembaca. Oleh karena itu, selalu kami nantikan
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga bermanfaat.
Amin.
Malang,
20 April
2013
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR .......................................................................................................... 1
DAFTAR
ISI....................................................................................................................... 2
BAB
I PENDAHULUAN.................................................................................................... 3
1.1 A. Latar
Belakang............................................................................................................ 3
B. Tujuan ......................................................................................................................... 4
C. Rumusan Masalah....................................................................................................... 4
BAB
II PEMBAHASAN..................................................................................................... 5
2.1
Kajian Pustaka................................................................................................................. 5
A.
Pengertian Unsur Integral dalam Seni Menerjemah .................... ………………….. 5
B
Unsur-Unsur Pengertiaan
dari Proses Intergal dalam Seni Menerjemah Menurut
.... Dr. Ronald H. Bathgate............................................................................................ 5
C.
Unsur-Unsur Pengertiaan dari Proses Intergal dalam Seni Menerjemah
Menurut
.... Ibnu
Burdah................................................................................................................ 5
....
BAB
III PENUTUP.............................................................................................................. 17
3.1
Kesimpulan....................................................................................................................... 17
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................................ 18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring meluasnya perkembangan islam keberbagai
penjuru, ilmu agamapun semakin berkembang dan bagaimanapun harus ada yang
memahamkan dalam ilmu agama salah satunya dengan penerjemahan buku-buku islam
keberbagai bahasa semisal bahasa Inggris, bahasa sepanyol, bahasa Persia, dll. Dengan terjemahan tersebut maka tidak terlepas
dari proses penerjemahan bahasa itu sendiri yang mana bagian dari kajian ilmu
sekaligus terapan ini yaitu Nadhariyat Al-Tarjamah. Tetapi dalam hal ini, kami
bukan ingin membahasa sejarah penerjemahan tetapi lebih ke bagaimana proses
penerjemahan yang komplek atau lebih spesifiknya lagi membahas bagaimana proses
integral dalam menerjemah.
Berbicara Ilmu Nadhariyat Al-Tarjamah, tidak akan
terlepas dari proses penerjemahan itu sendiri. Proses terjemahan tersebut ada kaitannya
dengan proses integral dalam menerjemah, yaitu suatu keseluruhan tahap
penyempurnaan dalam proses menerjemah.
Prosesnyapun
terhitung banyak, yaitu ada tujuh tahap dengan beberapa model. Ketujuh tahap
tersebut yang akan dibahas lebih rinci sedangkan model-modelnya hanya dibahas
dalam kaitan-kaitanya saja yang dirasa perlu untuk dimasukan.
Dengan
memahami proses integral dalam menerjemah diharapkan dapat memahami suatu cara
menerjemah yang lebih kompleks dari akar mulai tahapan awal yang harus ditempuh
hingga proses integral ini. Karena dengan memahami proses integral dalam
menerjemah diharapkan dapat memahami suatu cara menerjemah yang lebih kompleks
dari akar mulai tahapan awal yang harus ditempuh kita bisa membuat terjemahan
akan menjadi tampak lebih bagus dan enak dibaca, juga singkronisasi diantara
kedudukan proses menerjemah bahasa yang ada dengan sumber pengambilan dasarnya
yaitu teks ataupun konteks kalimat itu sendiri. Semoga dapat memberikan
tambahan wawasan bagi penulis khususnya dan juga bagi para pembaca pada
umumnya. Amin.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa saja pengertiaan dari proses intergal dalam seni menerjemah?
2) Apa saja
unsur-unsur pengertiaan dari
proses intergal dalam seni menerjemah menurut Dr. Ronald H. Bathgate?
3) Apa saja
unsur-unsur pengertiaan dari
proses intergal dalam seni menerjemah menurut Ibnu Burdah?
1.3 Tujuan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini dapat di bagi menjadi dua tujuan besar yaitu Main Purpose (tujuan Umum) dan Special Purpose (tujuan khusus). Tujuan
umum penulisan makalah ini adalah mahasiswa dapat memahami secara umum Proses
Integral dalam Menerjemah, sehingga dapat berfikir secara logis serta dapat
mengambil kesimpulan dengan obyektif akan aliran-aliran tersebut. Sedangkan
tujuan khusus dari penulisan malakah ini adalah sebagai berikut:
1) Pengertiaan dari
proses intergal dalam seni menerjemah
2)
Unsur-unsur pengertiaan dari proses intergal dalam seni menerjemah menurut Dr. Ronald H. Bathgate?
3)
Unsur-unsur pengertiaan dari proses intergal dalam seni menerjemah menurut Ibnu Burdah?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Unsur Integral dalam Proses Perenjemahan
Menerjemahkan bukanlah menuliskan pikiran-pikirannya sendiri,
betapapun baiknya. Dan bukan pula menyadur saja, dengan pengertian menyadur sebagai pengungkapan kembali
amanat dari suatu karya dengan meninggalkan detail-detailnya tanpa harus mempertahankan
gaya bahasanya dan tidak harus ke dalam bahasa lain. (pengertian menyadur
tersebut diberikan oleh Harimurti Kridalaksana.) selain memahami apa itu
menerjemahkan dan apa yang harus dihasilkan dalam terjemahannya, seorang
penerjemah hendaknya mengetahui bahwa kegiatan menerjemahkan itu kompleks,
merupakan suatu proses, terdiri dari serangkaian kegiatan unsur sebagai unsur
integralnya.
Dalam menerjemah memiliki
berbagai macam unsur yang yang bisa ditempuh agar mendapatkan hasil yang baik.
Pada kesempatan kali ini yang akan dijelaskan adalah unsur integral dalam
proses menerjemah. Ketika pertama kali mendengar kata integral, maka kita akan
langsung mebanyangkan matematika. Karena kata integral identik dengan salah
satu bab yang dipelajari dalam bidang matematika. Akan tetapi, integral yang
akan di bahas ini memiliki arti yang berbeda. Integral di sini berkaitan dengan
menerjemah.
Kata integral di sini jika
di lihat dati arti perkatanya yaitu “integral” yang berarti sempurna dan dalam
KBBI integral adalah sesuatu mengenai keseluruhan, meliputi seluruh bagian yang
perlu menjadikan lengkap, utuh, sempurna dan semuanya dikerjakan tidak dengan
secara sebagian-sebagian. Sedangkan “menerjemah” sendiri jika diartikan
bermakna proses pemindahan bahasa suatu naskah dari bahasa asli ke dalam bahasa
yang lain. Jadi unsur integral dalam proses menerjemah berarti
unsur-unsur yang harus ditempuh dalam menerjemahkan suatu naskah agar menjadi
terjemahan yang sempurna.
Model ini muncul dari
pertumbuhan akan strategi penerjemahan yang menyeluruh untuk menjamin
terjaganya konsistensi dan keindahan dalam produk fase perakitan ini. Model
integral ini diperlukan bila hendak menerjemahkan teks seperti misalnya sajak
atau puisi. ‘peta’ teks bahasa sumber perlu dibuat terlebih dahulu: apa jenis
sajaknya? Bagaimana rima (persamaan bunyi)-nya? Bagaiman iramanya? dan
sebagainya. Kemudian ‘peta’ yang sama perlu ditentukan untuk terjemahannya:
bila aslinya soneta, apakah terjemahannya juga soneta? Apakah rima aslinya
dapat dipertahankkan atau bahkan diperindah dalam terjemahannya? Demikian juga
mengenai irama atau metrumnya? Apakah tatanan bait perlu diubah? dan
sebagainya.
2.2 Unsur Integral dalam
Proses Penerjemahan Menurut Dr. Ronald H. Bathgate
Menerjemahkan bukanlah menuliskan pikiran-pikirannya sendiri,
betapapun baiknya. Dan bukan pula menyadur saja, dengan pengertian menyadur
sebagai pengungkapan kembali amanat dari suatu karya dengan meninggalkan
detail-detailnya tanpa harus mempertahankan gaya bahasanya dan tidak harus ke
dalam bahasa lain. (Pengertian menyadur tersebut diberikan oleh Harimutri
Kridalaksana). Selain memahami apa itu menerjemahkan dan apa yang harus
dihasilkan dalam terjemahannya, seorang penerjemah hendaknya mengetahui bahwa
kegiatan menerjemahkan itu kompleks, merupakan suatu proses, terdiri dari
serangkaian kegiatan unsur sebagai unsur integralnya.
Dalam resensi Willie Koen,
disebutkan bahwa menurut Nida dan Traber proses menerjemahkan dapat diringkas
sebagai berikut: analysis, transfer dan restructuring. Analysis
digunakan untuk mengetahui pesan yang ingin diterjemahkan, dan memuat analisis
gramatika, analisis semantic (baik arti refrensial maupun konotatif). Transfer
mempersoalkan “bagaimana hasil analisis tersebut diatas ditransfer dari bahasa
sumber kedalam bahasa terjemahan dengan sedikit pemincangan arti dan konotasi
tetapi dengan kesamaan reaksi seperti pada orang aslinya. Maka disini perlu
diperingatkan adanya sikap hati-hati jangan-jangan soal-soal pribadi dimasukan.
Kemudian restructuring membicarakan macam-macam bahasa atau gaya bahasa,
teknik yang dapat dipakai untuk membuat gaya yang diinginkan.
Untuk mendapatkan suatu
terjemahan yang sempurna dan bisa diterima oleh para pembaca, kita membutukah
beberapa tahap yang harus ditempuh untuk mendapatkan suatu terjemahan yang
dinginkan. Dan unsur-unsur tersebut menurut Dr. Ronald H. Bathgate, dalam
karangannya yang berjudul “A Survey of Translation Theory”, mengemukakan tujuh
unsur, langkah, atau bagian integral dari proses penerjemahan yang dikemukakan
seperti gambar dibawah ini;
Naskah Bahasa Sumber
1.
Tuning (Penjajagan)
2.
Analysis (Penguraian)
3.
Understanding (Pemahaman)
4.
Terminologi (Peristilahan)
5.
Restructuring (Perakitan)
6.
Checking (Pengecekan)
7.
Discuccion (Pembicaraan)
Naskah
Bahasa Sasaran
ketujuh langkah ini diuraikan dengan
penjelasan di bawah ini:
1.
Penjajagan (tuning). Seperti
halnya pencarian gelombang yang tepat ketika kita menyetel radio atau ketika pencarian
nada yang tepat dengan mengetok garpu tala waktu kita akan menyanyi. Ketika
kita akan menerjemah, hal pertama yang harus kita lakukan adalah “tuning” yaitu
menjajagi bahan yang akan kita terjemahkan. Sebab bahasa terjemahan harus
selaras dengan bahasa yang diterjemahkan dalam hal makna dan gayanya. Oleh
karena itu, hal kita harus mengetahui bahan yang hendak ditejemahkan itu bahasa
siapa. Bahasa seorang pujangga, seorang novelis, seorang ahli hukum, seorang
penulis penelitian ilmiah dan lain sebagainya. Selain itu kita harus menentukan
Ragam bahasa terjemahan yang tepat sejak permulaan. Sebuah sajak harus menjadi
sebuah sajak, bukan sebuah prosa. Sejak semula seorang penerjemah harus dapat
menentukan sikap atau pendekatan mental yang tepat kemudian dapat membayangkan
pilihan kata atau susunan frase dan kalimat yang selaras. Isi bahan yang akan
diterjemahkan mungkin belum seluruhnya dipahami pada awalnya, tetapi nada harus
sudah selaras sejak permulaan di pikiran dan hati penerjemah. Bila perlu,
penerjemah berkonsultasi terlebih dahulu dengan pengarang, atau seseorang yang
ahli dalam membaca suatu karya tulis sebagai latar belakang. Bandingkan dengan
pentingnya keselarasan gelombang pada radio bila ingin mendengarkan suatu
siaran atau keselarasan nada bila kita ingin menyanyi atau memainkan
instrument. Bila gelombang sudah selaras, volume suara tinggal dikeraskan. Bila
nada sudah selaras, sebuah lagu tinggal dipergelarkan. Tetapi bagi seorang
penerjemah, bila sudah dapat menggambarkan nada yang selaras, ia masih perlu
persiapan lanjut, yaitu penguraian (analisis).
Fase dalam proses penerjemahan tuning
(penjajahan) ini memiliki beberapa model atau pola penerjemahan, yaitu
hermeneutic, situasional, dan stilistik.
Pertama model hermeneutic, Model ini digunakan
dalam fase tuning (penjajahan) menurut table proses penerjemahan Bathgate.
Hermeneutic adalah teori atau ilmu penafsiran lambing/nas, misalnya lambing
atau naskah yang terdapat dalam kitab suci.
Menurut model hermeneutic, pesan dalam bahasa
sumber yang akan diterjemahkan –atau
diterangkan- dalam bahasa sasaran harus digarap dengan kesiapan sediaan untuk
melaksanakan empat cara berikut:
Ø
Percaya
bahwa amanatnya layak untuk disampaikan,
Ø
Mendalani
atau meresapi maknanya,
Ø
Menyajikan
dalam bahasa penerima yang berkepentingan,
Ø
Menyelaraskan
pernyataan amanat dalam bahasa penerima itu dengan daya tangkap penerima atau
dengan situasi penyampaian amanat.
Kedua model situasional, situasi sangat
menentukan untuk memahami makna suatu ujaran. Ujaran “hebat
benar khotbahnya!’’ dapat
merupakan pujian atau makian, tergantung dari situasinya. Dalam masyarakat
bahasa sumber, misalnya kera barangkali dipuji-puji sedangkan di dalam
masyarakat bahasa sasaran tidak. Bila makna atau pesan “pemujaan
kepada binatang” hendak
kita sampaikan kepada masyarakat penerima terjemahan (masyarakat bahasa
sasaran), maka kera harus kita ganti dengan binatang lain yang dipuji
dimasyarakat sasaran, misalnya sapikah, burungkah atau yang lainya.
Ada berbagai motif yang melatarbelakangi ujaran
dalam situasi tertentu:
Ø
Orang
mungkin ingin menunjukan adanya sesuatu, tidak lebih.
Ø
Atau
sekeder melukiskan sesuatu itu.
Ø
Atau
melukiskan secara perasaan hidup agar mengesan pada pembaca.
Ø
Atau
mengungkapkan perasaan sendiri mengenai hal itu.
Ø
Atau ingin
mempengaruhi atau mendorong pembaca untuk berbuat.
Ø
Atau
menata bagaimana menghadapi sesuatu untuk menguasainya.
Ø
Atau
dibalik semua motif itu dan barangkali secara tidak langsung berkaitan dengan
motif itu, orang bertujuan mencapai sesuatu maksud.
Ø
Atau
melampiaskan perasaan tentang sesuatu sehingga orang merasa tidak harus berbuat
apa-apa mengenai hal itu.
Kemudian yang terakhir adalah model stilistik, selain
menjajahi situasi dan motif ujaran untuk dapat menangkap dengan tepat makna
ujaran itu, kita pada tahap pertama ini perlu juga menjajahi stilnya, gaya
ungkapan (gaya bahasa). Dalam menerjemah kita barangkali ingin lebih dekat
dengan bentuk naskah bahasa aslinya (bahasa sumber), atau barangkali ingin
menyelaraskan bentuk itu seluruhnya dengan tuntutan-tuntutan bahasa sasaran.
Atau barangkali bukan bentuk yang hendak lebih diperhatikan, melainkan isi.
Dengan demikian berbagai kemungkinan hasil penerjemahan akan dapat kita coba,
gayanya akan lain-lain.
2.
Penguraian (analysis). Setelah
penerjemah selesai menlakukan proses “tuning”, ia perlu
melakukan analisis. Apa yang harus dianalisis? Apa yang harus diurai? Tiap-tiap
kalimat dalam bahasa sumber harus diurai ke dalam satuan-satuan berupa
kata-kata atau frase-frase. Kemudian penerjemah harus dapat menentukan hubungan
sintaksis antara pelbagai unsur kalimat itu. Pada tahap itu, penerjemah harus
sudah dapat melihat hubungan antara unsur-unsur dalam bagian teks yang lebih
besar agar penerjemah mulai dapat berpikir untuk menciptakan konsistensi dalam
terjemahannya. Analisis ini masih perlu berlanjut dalam tahap pemahaman dan
peristilahan. Bila istilah-istilah yang dipakai konsisten, yaitu tidak
berganti-ganti istilahnya, dan tidak berganti-ganti arti istilah yang dipakai,
maka terjemahan lebih mudah dipahami.
Seperti halnya proses tuning (penjajahan),
proses analisis (penguraian) juga memiliki tiga model atau pola penerjemahan,
yaitu kata demi kata, sintaktik, dan transformasional.
Dalam fase penguraian, ada tiga model: kata demi
kata, sintaktik dan tranformasional. Menganalisis bahan-bahan bahasa sumber
yang akan diterjemahkan perlu agar kemudian dapat dirakit bahan-bahan menjadi
produk dalam bahasa penerima. Produk bahasa dapat diumpamakan bingkisan. Produk
bahasa yang akan diterjemahkan adalah sebuah bingkisan. Bingkisan harus dikupas
dan diulas kata demi kata frase demi frase, klausa demi klausa, kalumat demi
kalimat dan alenia demi alenia.
Kemudian model sintaktik, seperti anak kecil
dapat mengatakan sebuah kalimat, misalnya “sekolahku
tidak jauh dari rumah” –kalimat
sempurna- tetapi tidak dapat menerangkan mana subjek kalimatnya dan mana
predikat kalimatnya. Kita dapat menerjemahkan sebuah kalimat sederhana secara
langsung dengan tidak merefleksikan hubungan antara bagian-bagiannya; kalau
tidak penerjemahan akan macet atau hasilnya tidak baik. Jangankan kalimat yang
rumit, frase yang panjang pun tidak jarang sukar dapat diterjemahkan tanpa
refleksi atas bagian-bagiannya. Penerjemahan harus dapat mengidentifikasi
jenis-jenis kaliamat, satuan-satuan kalimat, baik satuan yang lebih besar
ataupun satuan yang lebih kecil, hubungan gagasan antara satuan-satuan itu atau
jabatan satuan-satuan itu.
Alur Model sintaktik:
Kalimat Bahasa sumber ---à kerangka
pengenalan (tata bahasa-bahasa sumber) ---s1-à kerangka
trasformasi structural (sediaan struktur-struktur sumber) ---s2-à Kerangka
rekontruksi (tata bahasa-bahasa sasaran) ---à kalimat
bahasa sasaran.
Kemudian model transformasional, kerap kali
untuk mengembangkan kemampuan berbahasa tulis bergaya, siswa atau mahasiswa
diminta agar merangkum sejumlah kalimat pendek menjadi satu kalimat panjang,
entah berupa kalimat luasan, atau majemuk. Penerjemahan pun tidak jarang harus
menyusun kalimat panjang seperti itu dalam bahasa sasaran.
Kemudian model Transformasi, kerap kali untuk
mengembangkan berbahasa tulis bergaya, mahasiswa diminta agar merangkum
sejumlah kalimat pendek menjadi satu kalimat panjang, entah berupa kalimat
perluasan atau majemuk. Penerjemahanpun tidak jarang menyusun kalimat panjang
seperti itu dalam bahasa sasaran (bahasa penerima). Kalimat dalam bahasa sumber
sendiri juga tidak jarang panjang-panjang karena bahasa Barat misalnya bahasa
Inggris yang lebih bersifat sintetis.
Karena menghadapi kenyataan itu, model
transformasional dapat memberikan andilnya disini. Kalimat yang rumit dalam
bahasa sumber dipecah-pecah menjadi kernel sentences kalimat-kalimat tunggal
kalau perlu hanya ada satu subjek, satu predikat dan satu objek.
Kemudian kernel sentences hasil analisis atas
teks bahasa sumber tersebut kemudian ditransfer kedalam bahasa penerima. Dari
kalimat-kalimat inti ini melalui restructuring dihasilkan produk terjemahan
jadi dalam bahasa penerima.
Dibawah ini adalah proses model
transformasional:
Teks b. sumber -----> analisis ----->
kalimat-kalimat inti -----> transfer -----> kalimat-kalimat inti
-----> perakitan -----> teks b. sasaran
3.
Pemahaman (understanding). Sesudah
penerjemah melihat satuan-satuan dalam setiap kalimat dan unsure-unsure teks
yang lebih besar, sekarang penerjemah berusaha memahami isi bahan yang akan
diterjemahkan. Ia harus menangkap gagasan utama tiap paragraf (aline) dan
ide-ide pendukung dan pengembangnya, ia harus menangkap hubungan gagasan satu
sama lain dalam tiap paragraph dan antarparagraf. Seorang penerjemah yang ideal
adalah seseorang yang sebidang ilmu dengan pengarang yang akan diterjemahkan,
sekurang-kurangnya harus mempunyai pengetahuan umum yang memadai. Sebenarnya,
selain menerjemah, penerjemah perlu menguasai bidang ilmu pengetahuan yang akan
diterjemahkan, ia juga harus benar-benar memahami bahasa sumbernya. Ilmu
pengetahuan yang akan diterjemahkan itu harus diterjemahkan dan ditulis oleh
pengarang. Janganlah penerjemah menjadi pengarang sendiri meskipun ia sebidang
ilmu dengan pengarang aslinya. Penerjemah mungkin mengatakan sesuatu yang benar
tetapi tidak terdapat dalam buku aslinya. Maka ia tidak menerjemahkan. Bila
perlu, penerjemah harus mengkonsultasikan sebuah kalimat atau ungkapan yang
tidak diketahui maksudnya.
Adapun model dalam proses tahap ini adalah interlingua,
semantic, dan teori-informasi. Ketiganya ditempatkan oleh Bathgate dalam fase
pemahaman. Setelah teks dalam berbahasa sumber yang akan kita terjemahkan kita
uraikan, kita harus memahami betul-betul makna tiap kata dan hubungan
gagasan-gagasan antara satuan-satuan dalam frase/klausa, antara satuan-satuan
kalimat dan seterusnya.
Model ini meminta suatu bahasa lain diluar bahasa sumber dan
bahasa sasaran untuk menjadi pendukung suatu arti/makna yang ditangkap oleh
pikiran penerjemah. Barangkali penerjemah belum menemukan kata atau istilah yang
tepat dalam bahasa sasaran; ia lalu memakai kata dari bahasa lain untuk
mengungkapkan arti tersebut.
4.
Peristilahan (terminology). Setelah
memahami isi dan bentuk dalam bahasa sumber, penerjemah kemudian berpikir
tentang pengungkapannya dalam bahasa sasaran (bahasa terjemahan). Kemudain ia
akan mencari istilah-istilah, ungkapan-ungkapan dalam bahasa sasaran (misalnya
bahasa Indonesia) yang tepat cermat, dan selaras. Kata, ungkapan atau istilah
yang dipakai dalam bahasa sasaran jangan sampai menyesatkan, menertawakan, atau
menusuk hati pemakai bahasa sasaran. Sekali lagi, konsultasi dengan orang lain
yang ahli dapat sangat berguna untuk membantu penerjemah bila ia menghadapi
masalah-masalah kebahasaan seperti itu.
Adapun model dalam proses tahap keempat ini adalah
nomenklatif (terjemahan lurus), konsultasi (cipta istilah baru)
5.
Perakitan (restructuring). Dalam
bahasa inggris berarti “restructuring’. Dalam
bidang industry mobil, misalnya, merakit berarti menyusun suku-suku cadang
menjadi produk yang dikehendaki mobil. Setelah masalah bahasa sasaran diatasi
dan semua “batu bata” yang
diperlukan untuk menyusun “bangunan” dalam
bahasa sasaran tersedia dan terkumpul, maka penerjemah tinggal menyusun batu
bata tersebut menjadi bangunan yang
selaras dengan norma-norma dalam bahasa sasaran. Bentuk bangunan itu, selain
harus selaras dengan pemakai bahasa sasaran, juga harus menerjemahkan secara
tepat makna dan gaya bahasa sumber. Bila bangunan dalam bahasa sumber bercorak
gaya naturalis, bangunan dalam bahasa sasaran juga harus naturalis.
Adapun model dalam proses tahap ini adalah modulasi,
generative, dan integral.
Model Generatif, model ini banyak pola kalimat bahasa Inggris yang lain dengan pola
kalimat bahasa Indonesia. Verba kalimat Inggris
tidak selalu dapat menjadi verba kalimat Indonesia. Kalimat “Derborah
leads a verry easy life” tidak dapat di terjemahkan secara lurus, tetapi secara
generatif: Deborah hidup (secara) bersantai-santai. Atau : Hidup Deborah
bersantai-santai.
Model generatif mengungkapkan kenyataan bahwa proses penerjemahan
melibatkan banyak keputusan, dan keputusan yang satu mempengaruhi
keputusan-keputusan berikutnya yang di ambil. Misalnya penerjemahan kalimat bahasa
Inggris di atas: keputusan menggunakan hidup sebagai predikat kalimat harus
di ikuti dengan keputusan bahwa very easy harus di terjemahkan sebagai
adverbial, bukan sebagai atributif. Maka terakitlah terjemahan: Deborah hidup
(secara) bersantai-santai. Adapun keputusan bahwa hidup menjadi subjek
kalimat harus di ikuti dengan keputusan Deborah sebagai posesif (bukan
lagi nominatif) dan bersantai-santai menjadi predikat kalimat. Maka terakitlah
terjemahan: Hidup deborah bersantai-santai. Kalimat ini termasuk kalimat
nominal, sedang kalimat yang pertama kalimat verbal.
Contoh lagi:
Those French cigarettes make a terrible smell.
Kalimat Inggris itu tidak dapat di terjemahkan secara lurus, tanpa
menghasilkan terjemahan yang kaku dan tidak idiomatis. Bila kita mengambil
keputusan bahwa terjemahan harus mulai dengan bau sebagai subyek
kalimat, maka menyusulah keputusan-keputusan yang lain, dan semua keputusan itu
menghasilkan terjemahan:
Bau rokok Prancis itu amat tidak enak.
Bila kita mengambil keputusan untuk memulai terjemahan dengan rokok
Prancis sebagai subyek kalimat, keputusan itu bersama keputusan-keputusan
yang menyusul akan menghasilkan rakitan:
Rokok Prancis itu sangat tidak enak baunya. Atau
Rokok Prancis itu mengeluarkan bau yang sangat tidak enak.
Itulah proses generatif dalam penerjemahan. Seperti bermain-main dengan kalimat.
Memang, seorang penerjemah harus pandai-pandai bermain-main dengan kalimat.
Adapun
Model integral, ini muncul dari
pertumbuhan akan strategi penerjemahan yang menyeluruh untuk menjamin
terjaganya konsistensi dan keindahan dalam produk fase perakitan ini. Model
integral ini terutama diperlukan bila hendak menerjemahkan teks yang canggih,
seperti misalnya sajak atau puisi. ‘peta’ teks bahasa sumber perlu dibuat
terlebih dahulu: apa jenis sajaknya? Bagaimana rima (persamaan bunyi)-nya?
Bagaiman iramanya? Dsb. Kemudian ‘peta’ yang sama perlu ditentukan untuk
terjemahannya: bila aslinya soneta, apakah terjemahannya juga soneta? Apakah
rima aslinya dapat dipertahankkan atau bahkan diperindah dalam teremahannya?
Demikian juga mengenai irama/metrumnya? Apakah tatanan
bait perlu diubah? Dst.
6.
Pengecekan
(checking). Sebagaimana sebuah karangan yang baik kerap kali merupakan hasil
revisi berkali-kali, demikian juga sebuah terjemahan bisa menjadi berhasil.
Yang pasti, janganlah menganggap pekerjaan penerjemahan selesai bila baru
menghasilkan draft pertama. Draft pertama harus diperiksa
kesalahan-kesalahannya dalam penulisan kata dan pemakaian tanda baca, harus
diperbaiki susunan-susunan kalimatnya untuk menghasilkan kalimat yang lebih
efektif. Seringkali, penerjemah meminta bantuan orang lain untuk mengecek dan
menyarankan perubahan-perubahan. Bila ada perubahan-perubahan, tentu saja harus
disetujui oleh penerjemah. Jangan sampai kekurangan-kekurangan yang terjadi
akibat perubahan dari orang lain tanpa pengetahuan penerjemah ditanggungkan
padanya kelak bila terjemahan tersebut telah diterbitkan.
Adapun model dalam proses tahap ini adalah normative, tiga
tahap (terjemahan kata, terjemahan makna, dan terjemahan situasi)
Situasi sangat menentukan
untuk memahami makna suatu ujaran. Ujaran “Hebat benar khotbahnya!” dapat
berupa pujian atau makian, tergantung dari situasinya. Dalam masyarakat sumber,
misalnya, kera barangkali dipuja puja, sedang dalam
masyarakat bahasa sasaran, tidak. Bila makna atau pesan “pemujaan kepada
binatang” hendak kita sampaikan pada masyarakat penerima terjemahan (masyarakat
bahasa sasaran), maka kera harus kita ganti dengan binatang lain yang dipuja di
masyarakat itu; sapikah, burung perkututkah?
Pentingnya situasi dalam
penerjemahan juga ditekankan oleh Catford. Defisi Catford tentang penerjemahan
dapat kita baca di atas. Dalam bukunya ia juga mengatakan bahwa “teks-teks atau
hal ihwal bahasa sumber dan bahasa sasaran merupakan ekuivalen penerjemahan
bilamana saling dapat ditukarkan dalam suatu situasi” (SL and TL texts or items
are translation equivalents when they are interchangeable in a given
situation).
7.
Pembicaraan (discussing). Yaitu membentuk
tim penelaah hasil terjemahan. Cara yang baik untuk mengakhiri proses
penerjemahan ialah dengan mendiskusikan hasil terjemahannya. Baik menyangkut
isinya maupun menyangkut bahasanya. Memang tidak perlu sebuah panitia untuk
memperbaiki hasil terjemahan. Terlalu banyak orang yang berbicara, hanya akan
merusakkan. Penerjemah bisa berkonsulsi dengan pengarang buku secara langsung
atau jika tidak memungkinkan bisa mengkonsultasikannya dengan seseorang yang
ahli dalam bidangnya. Agar mengetahui jika masih terdapat kesalahan istilah
atau pemahaman sehingga penerjemah bisa memperbaikinya sebelum hasil terjemahan
tersebut dipublikasikan. Adapun model dalam proses tahap ini adalah interaktif.
Dr.
Ronald H. Bathgate menyodorkan ketujuh langkah dalam proses penerjemahan itu
sebagai salah satu model lain dalam proses penerjemahan di samping model-model
atau pola-pola yang sudah pernah dikemukakan oleh ahli-ahli lain. Model
penerjemahan Bathgate disebut Model Operasional. Model-model lain yang
dikemukakan dalam referensi-referensi lain ialah sebagaimana yang sudah
ditemukan oleh Bathgate yaitu model hermeneutic, model situasional, model stilistik, model
kata-demi-kata, model sintaksis, model transformasional, model interlingua,
model semantik, model teori-informasi, model modulasi, model generatif, model
integral, model normatif, model tiga-tahap. Bathgate bertujuan menyintesiskan
atau mendamaikan (reconcile) model-model itu ke dalam model operasionalnya
karena ia melihat bahwa tiap model itu bertujuan pertama-tama untuk memerikan
salah satu dari tahap atau langkah penerjemahan. Hanya untuk langkah
peristilahan dan pembicaraan (Diskusi) dalam model operasionalnya/dalam tabel
langkah-langkah dan model-model proses penerjemahan, ia tidak menemukan bahwa
suatu model telah pernah dikemukakan, maka ia menciptakan sebuah model untuk
langkah peristilahan, yaitu model nomenklatif, dan untuk langkah pembicaraan
model interaktif. (A. Widyamartaya, 2006:14-19).
Dari penjelasan diatas, maka dapat digambarkan
pemetakanya seperti table dibawah ini:
TABEL LANGKAH-LANGKAH DAN MODEL-MODEL DALAM
PROSES PENERJEMAHAN
FASE DALAM PROSES PENERJEMAHAN JENIS
MODEL/POLA PENERJEMAHAN
PENJAJAGAN -hermeneutik
-situasional
-stilistik
PENGURAIAN -kata-demi-kata
-sintaktik
-transformasional
PEMAHAMAN -interlingua
-semantik
-teori
informasi
PERISTILAHAN -nomenklatif:
terjemahan lurus,
-Konsultasi, cipta istilah baru.
PERAKITAN -module
-generatif
-integral
PENGECEKAN -normatif
-tigatahap: terjemahan kata, terjemahan makna, terjemahan situasi
PEMMBICARAAN/DISKUSI -interaktif
2.3
Unsur Integral dalam Proses Perenjemahan Menurut Ibnu Burdah
Selain
tujuh yang telah di kemukakan oleh Dr. Ronald H. Bathgate diatas, Ibnu Burdah
pun mengemukakan tentang tiga tahap dalam proses menerjemahan. Dan jika diamati
tiga unsur yang dikemukakan beliau memiliki persamaan dengan tujuh unsur yang
telah dikemukakan oleh Dr. Ronald H. Bathgate. Tiga unsur tersebut adalah:
1.
Penyelaman pesan naskah sumber yang hendak
diterjemah
Yang
dimaksud penyelaman pesan naskah di sini bisa disamakan dengan proses tuning
dan understanding dalam unsur-unsur yang telah dikemukakan Dr. Ronald H.
Bathgate. Karena unsur ini sebenarnya memiliki tujuan yang sama yaitu bagaimana
caranya agar penerjemah betul-betul memahami semua hal yang ada dalam sebuah
naskah. Dengan tujuan mempermudah penerjemah untuk langkah selanjutnya karena
tidak mungkin penerjemah bisa mulai menulis suatu terjemahan tanpa memahami
betul naskah yang akan diterjemahkan terlebih dahulu.
2.
Penuagan naskah sumber ke dalam bahasa sasaran
Setelah
memahami secara detail tentang naskah yang akan diterjemahan, langkah
selanjutnya yang harus ditempuh adalah penuangan naskah ke dalam bahasa
sasaran. Apa yang telah penerjemah pahami tentang suatu naskah harus dituangkan
kembali menggunakan bahasa sasaran. Termasuk didalamnya peristilahan dan
perakitan yang telah dikemukakan oleh Dr. Ronald H. Bathgate dalam teorinya.
3.
Editing
Proses editing ini adalah tahapan
terakhir yang harus dilakukan penerjemah. Karena penerjemah bukanlan orang yang
tidak luput dari kesalahan, maka ada baiknya apa yang telah penerjemeh tulis di
periksa kembali agar bisa mengubah kesalahan-kesalahan kata atau peristilaha
yang kurang tepat. Selain itu penerjemah bisa langsung berkonsultasi dengan
penulis asli, jadi ketika terjadi pemahan yang kurang tepat antara naskah asli
dan naskah terjemahan bisa dperbaiki terlebih dahulu sebelum hasil terjemahan
tersebut dipublikasikan. Dan jika disamankan dengan teori yang dikemukakan oleh
Dr. Ronald H. Bathgate,
editing sama halnya dengan pembicaraan dan pengecekan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Jika di lihat dati arti
perkatanya yaitu “integral” yang berarti sempurna dan “menerjemah” sendiri jika
diartikan bermakna proses pemindahan bahasa suatu naskah dari bahasa asli ke
dalam bahasa yang lain. Jadi unsur integral dalam proses menerjemah berarti
unsur-unsur yang harus ditempuh dalam menerjemahkan suatu naskah agar menjadi
terjemahan yang sempurna.
2.
Menurut Dr. Ronald H. Bathgate dalam
karangannya yang berjudul “ A Survey of Translation Theory” mengemukakan tujuh
unsur, langkah, atau bagian integral dari proses penerjemahan sebagi berikut:
Ø Tuning,
yaitu memahami laras bahasa (register) teks.
Ø Analysis
yaitu memahami konstruksi teks.
Ø Understanding
yaitu memahami isi teks.
Ø Terminology
yaitu memahami arti unsur-unsur leksikal (kata, kolokasi,
idiom, dan lain-lain).
idiom, dan lain-lain).
Ø Restructuring
yaitu menuangkan pesan penulis teks bahasa sumber ke dalam
bahasa sasaran yang baku.
bahasa sasaran yang baku.
Ø Checking
yaitu memeriksakan draf terjemahan kepada orang lain yang
mengusai bidangnya
mengusai bidangnya
Ø Discussion
yaitu membentuk tim penelaah hasil terjemahan.
Dr. Ronald H. Bathgate menyodorkan
tujuh langkah tersebut dalm proses penerjemahan itu sebagai salah satu model
lain dalam proses penerjemahan di samping model-model atau pola-pola yang sudah
dikemukakan oleh ahli-ahli lain. Model penerjemahan Bathgate disebutnya model
operasional. Model-model lain sebagaimana dikemukakan oleh Bathgate ialah model
hermeneutik, model siotuasi oral, model stilistik, model kata demi kata, model
sintaktik, dan lain sebagainya.
3.
Ibnu Burdah mengemukakan
tentang tiga tahap dalam proses menerjemahan, yaitu penyelaman pesan naskah
sumber yang hendak diterjemah, penuagan naskah sumber ke dalam bahasa sasaran, editing.
DAFTAR PUSTAKA
Aloys Widyamartaya. 2006. Seni Menerjemahkan. Cet. XV.
Yogyakarta: Kanisius.
Aloys Widyamartaya dan Vero Sudiati. 2005. Panggilan Menjadi
Penerjemah. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Douglas Robinson. 2005. Menjadi Penerjemah Profesional,
terj. SPA Team Work. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hartono. 2003. Belajar Menerjemah: Teori dan Praktek,
Malang: UMM Press
M. Faisol Fatawa. 2009. Seni Menerjemah. Malang: UIN Malang
Press
Rochayah Machali. 2009. Pedoman bagi Penerjemah. Bandung:
Kaifa PT Mizan Pustaka
Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Hariyanto. 2011. Translation:
Bahasan Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan. Cet. VI. Yogyakarta:
Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar