Rabu, 28 September 2016

Tema Besar Mistik Jawa: Manunggaling Kawula-Gusti’ dan Pamoring Kawula-Gusti (Loro-Loroning Atunggal)

Tema Besar Mistik Jawa: Manunggaling Kawula-Gusti’ dan Pamoring Kawula-Gusti
(Loro-Loroning Atunggal)

 Perjalanan Mistik sering digambarkan melalui empat tahap, mulai dari luar terus kedalam, keempat istilah tersebut baik Islam ataupun Jawa artinya sama. Tahap mistik yang paling rendah Sarengat adalah menghormati dan hidup sesuai dengan hukum-hukum agama seperti menghormati rang tua, guru, raja atau menjalankan sembahyang lima waktu. Pada tahap kedua disebut tarekat dimana kesadaran tentang hakikat tingkah laku tahap pertama harus diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan seperti ritual do’a-do’a dll. Tahap ketiga, adalah hakekat yaitu tahap menghadap kebenaran. Yaitu mengabdi dan menggantungkan diri kepada Tuhan. Adapaun tahap terakhir adalah ma’rifat, yaitu ketika mencapai jumbuhing kawula lan Gusti. Inilah yang dialami Syekh Siti Jenar dalam kisah Wali Songo ditanah Jawa yang selanjutnya akan dibahas lebih dalam dalam sub bab ini. (Niels Mulder: 1982: 23-25)    
Dalam pergulatannya di dunia religius-spiritual, kebanyakan dalam pandangan Jawa selalu mendiskusikan tema besar yang tidak asing lagi; yaitu manunggaling kawula Gusti dan pamoring kawula Gusti. Kedua istilah tersebut sebenarnya subtansinya sama saja karena merupakan penggambaran kedekatan seorang kawula (hamba Tuhan) kepada Sang Pencipta.
Pertama, konsep manunggaling kawula Gusti dimaksudkan sebagai refleksi atas kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Ini merupakan pengambaran out put (produk atau hasil) dari seorang yang benar-benar menjalani olah rasa, sehingga dalam kehidupannya selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Demikian pula dalam konsep kejawen (kebatinan) tentang manunggaling kawula Gusti bukan berarti manunggalnya badan fisik (wadhag) manusia dengan Tuhan, tetapi dalam konteks ini diartikan sebagai manunggalnya cipta, rasa, dan karsa dengan kehendak Tuhan.
Sebagaimana Syekh Siti Jenar dengan Tuhannya, yaitu mengisyaratkan tingginya frekuensi zikir (eling) kepada Allah. Artinya orang yang selalu berdzikir dalam segala posisi, dia akan memiliki akhlak, jiwa, cipta, rasa, dan karsa sesuai dengan asma dan sifat-Nya. Dan itulah yang disebut manunggal dengan-Nya. Artinya, ia bisa mengatasi dan menyatukan rasa senang dan susah, kaya atau miskin di dalam dirinya. Acuan mengenai konsep manunggaling kawula Gusti, biasanya tercermin dalam bait-bait Dhandhang gula (Macapat);
“Yen weruh pamoring Kawula Gusti, sarta Suksma kang sinedya ana, de warna neng sira nggone, lir wayang sarireku, saking dhalang solahing ringgit, mangku pangung kang jagad, lire badan iku, asolah lamun pinolah, sasolahe kumedhep myarsa ningali, tumindak lan pangucap.”
Artinya:
“Kalau tahu Pamoring Kawula Gusti, serta suksma yang dituju ada, oleh warna padamu tempatnya, dirimu seperti wayang, dari dalanggerak wayang, padahal panggung itu jagat, seperti badan  itu, bergerak jika digerakkan, pergerakannya tertatap mendengar melihat, bertindak dan berkata.”
“kawisesa amisesa sami, datan antara pamoring karsa, jer tanpa rupa rupane, wus aneng ing sireku, upamane paesan jati, ingkang ngilo Hyang Suksma, wayangan puniku, kang ana sajroning kaca, iya sira jenenging manusa iki, rupa sajroning kaca.”
Artinya:
“Sama menguasi dikuasai, tak antara pamoring karsa, memang tanpa rupa, sudah ada pada dirimu, umpama paesan hati, yang berkaca Hyang Suksma, wayang adalah, yang ada dalam kaca, yaitu dirimu nama manusia, rupa dalam kaca.”
Syekh Abdul Qadir al-Jaelani pernah mengatakan, “Untuk mencapai tingkatan manunggal dengan Allah, seseorang harus melakukan praktek zikir (mengingat Allah). Hal ini dilakukan agar cermin hati seseorang menjadi suci dan sempurna, karena digosok terus menerus dengan menyebut Asma Ilahi, yaitu Lailaha Ilallah, Allah, Hu dan seterusnya. Dengan inilah mata hati bisa melihat cahaya penyatuan (manuggal). Apalagi cahaya suci dari Ilahi menjadi terwujud, seluruh kualitas materi akan lenyap. Segala sesuatunya menjadi kosong. Pada saat mencapai tingkat kosong (fana’) inilah cahaya Allah menyinari, sehingga terjadi penyatuan.”
Kedua, ungkapan “Pamoring Kawula Gusti”, dalam buku Tafsir Ajaran Sesat Wulanggreh dijelaskan, kata “pamor” terbentuk dari kata “amor” yang berarti berkumpul, bersatu, manunggal. Sedangkan kata “e” adalah akhiran yang berarti “nya”; identik dengan “kawula” yang berarti rakyat, tenaga pelaksana; dalam konteks ini berarti “badan wadhag” (jasmaniah). Sementara, “Gusti”; identik dengan raja, pemberi perintah, pemimpin yang dikontekskan menjadi rohani atau batin. Dengan demikian, jika digabung akan menjadi “besatunya jasmani dengan ruhani.
Dalam hal ini jelas mengisyaratkan proses tapa-brata atau semadi yang dilakukan seseorang hingga mampu menembus Sang Alus atau rasa jati dalam prespektif “sembah rasa” dalam empat strata panembah orang Jawa. ‘Perjalanan badan alus’ dalam diri manusia utama, memang secara fitrahnya bermaksud menuju kepada Sang Alus di ‘alam sunyaruri’ atau ‘alam kaenengan’.
Imam Martosoepodmo dalam bukunya Apakah Perlu Semadhi? (1958) menjelaskan mengenai istilah ‘Tan Ana’, yang diartikan sebagai ‘Makrpating Makripat’ atau ‘mati dalam keadaan hidup’ (mati sajroning urip) alias ‘hidup laksana mati’ (urip sajraning mati). Tegasnya tak berkemauan (si karep tan nggagas) dan tak berbudi (si akal tan mikir) lagi. Mengapa demikian?... karena yang memikirkan, dalam hal ini jiwa atau cipta orang yang ber-semadhi, dan yang dipikirkanya (kang kaesthi) kini telah menjadi satu (manuggal).
Pengertian lebih jauh dari wacana ‘mati sajroning urip’ atau ‘urip sajroning mati’, jelas Imam, yang mati – dalam arti tak bergiat lagi – yakni angan-angan (perasaan, kemauan, budi, nafsu, dll). Meski demikian, angan-angan itu sewajarnya masih hidup, tetapi tidak dikembangkan dengan mengangan-angankan yang bukan-bukan. Keadaan tersebut, barangkali seperti keadaan orang yang sedang tidur – merupakan gambaran orang yang sedang lupa – yakni tidak sadar sama sekali tehadap keadaan yang meliputinya. Yang demikian dalam bahasa Kawi disebut tan-pramana; berarti tak terbatas atau ak terhingga. Dalam keadaan tidak sadar tersebut, diilustrasikan dengan ungkapan gumeleng; yakni dipusatkan ke satu arah tujuan, yaitu mengingat Gusti Kang Akarya Jagad (Sang Maha Pencipta).
Purwadi dalam bukunya Penghayatan Keagamaan Orang Jawa (2002), konsep atau gagasan manuggaling kawula Gusti (pamoring kawula Gusti) dalam nuansa religius spiritual dapat digolongkan kedalam tiga tipe sebagai berikut;
Pertama, tipe ethis; merupakan prwujudan makna menunggaling kawula Gusti dengan harapan adanya manusia yang waskitha dan susila. Harmonitas antara suara bathin dan laku amalannya dalam dharma baktinya di kehidupan sosial.
Kedua, tipe kosmologis; yaitu peleburan diri untuk membebaskan dari belenggu alam empiris materiil menuju pada kondisi eksistensial transeden, sehingga tercipta kesatuan mutlak. Secara emanatif manusia dilukiskan sebagai percikan cahaya dan akan kembali keasal muasalnya, sangkan paraning dumadi, yakni Dzat kosmos yang Ilahi-Adikodrati.
Ketiga, tipe theologis; hampir mirip dengan tipe kosmologis. Bedanya hanya pada istilahnya diambil dari kitab suci dalam ajaran para nabi.
Dalam masyarakat Jawa, salah satunya fenomena yang muncul mengenai gagasan konsep ‘manunggaling kawula Gusti’ atau ‘pamoring kawula Gusti’, yakni fenomena Syekh Siti Jenar yang menghebohkan. Setelah dilacak dari akarnya, ternyata fenomena spiritual keagamaan Shekh Siti Jenar itu memang berkaitan dengan wacana ilmu dari pendahulunya (yang ada di Timur Tengah) yaitu Al-Hallaj. Syekh Siti Jenar memang mempelajari dan mengembangkan konsep pemkiran Al-Hallaj dan Ibnu Arabi; yakni mengenai konsep manunggaling kawula Gusti. Jika al-Hallaj adalah seorang tokoh sufi Baghdad yang pernah mengalami hukuman pancung karena mengatakan; “Ana al-Haq” sementara Syekh Siti Jenar terkenal dengan pernyataannya “Syekh Siti Jenar tidak ada, yang ada hanya Allah” dan “Allah tidak ada, yang ada hanya Syekh Siti Jenar”.[1]

Refrensi:
 Niels Mulder. Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa Kelangsungan dan Perubahan Kultural. Jakarta: Gramedia, 1984.
Mark R. Woodward. Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan karya. Yogyakarta: LKiS, 2006.
Rahnip M.BA. Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan. _______:Pustaka Progesif, Tanpa Tahun.


[1] Untuk lebih ringkas dan mengerti berbagai versi cerita tentang Syekh Siti Jenar bisa dibaca buku Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan karya Mark R. Woodward (Yogyakarta: LKiS, 2006) hal: 154-161. Adapun versi yang lebih kearah negatif bisa dbaca buku Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan karya Rahnip M.BA. (______:Pustaka Progesif, Tanpa Tahun) Hal: 233-235.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar