Tema Besar Mistik Jawa: Manunggaling Kawula-Gusti’ dan Pamoring Kawula-Gusti
(Loro-Loroning Atunggal)
Perjalanan
Mistik sering digambarkan melalui empat tahap, mulai dari luar terus kedalam,
keempat istilah tersebut baik Islam ataupun Jawa artinya sama. Tahap mistik
yang paling rendah Sarengat adalah menghormati dan hidup sesuai
dengan hukum-hukum agama seperti menghormati rang tua, guru, raja atau
menjalankan sembahyang lima waktu. Pada tahap kedua disebut tarekat
dimana kesadaran tentang hakikat tingkah laku tahap pertama harus diinsyafi
lebih dalam dan ditingkatkan seperti ritual do’a-do’a dll. Tahap ketiga, adalah
hakekat yaitu tahap menghadap kebenaran. Yaitu mengabdi dan
menggantungkan diri kepada Tuhan. Adapaun tahap terakhir adalah ma’rifat,
yaitu ketika mencapai jumbuhing kawula lan Gusti. Inilah yang dialami
Syekh Siti Jenar dalam kisah Wali Songo ditanah Jawa yang selanjutnya akan
dibahas lebih dalam dalam sub bab ini. (Niels Mulder: 1982: 23-25)
Dalam
pergulatannya di dunia religius-spiritual, kebanyakan dalam pandangan Jawa
selalu mendiskusikan tema besar yang tidak asing lagi; yaitu manunggaling
kawula Gusti dan pamoring kawula Gusti. Kedua istilah tersebut
sebenarnya subtansinya sama saja karena merupakan penggambaran kedekatan
seorang kawula (hamba Tuhan) kepada Sang Pencipta.
Pertama,
konsep manunggaling kawula Gusti dimaksudkan sebagai refleksi atas kedekatan
seorang hamba dengan Tuhannya. Ini merupakan pengambaran out put (produk
atau hasil) dari seorang yang benar-benar menjalani olah rasa, sehingga
dalam kehidupannya selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan.
Demikian pula dalam konsep kejawen (kebatinan) tentang manunggaling
kawula Gusti bukan berarti manunggalnya badan fisik (wadhag) manusia dengan
Tuhan, tetapi dalam konteks ini diartikan sebagai manunggalnya cipta, rasa,
dan karsa dengan kehendak Tuhan.
Sebagaimana
Syekh Siti Jenar dengan Tuhannya, yaitu mengisyaratkan tingginya frekuensi zikir
(eling) kepada Allah. Artinya orang yang selalu berdzikir dalam segala
posisi, dia akan memiliki akhlak, jiwa, cipta, rasa, dan karsa sesuai dengan
asma dan sifat-Nya. Dan itulah yang disebut manunggal dengan-Nya. Artinya, ia
bisa mengatasi dan menyatukan rasa senang dan susah, kaya atau miskin di dalam
dirinya. Acuan mengenai konsep manunggaling kawula Gusti, biasanya tercermin
dalam bait-bait Dhandhang gula (Macapat);
“Yen weruh pamoring Kawula Gusti, sarta Suksma kang sinedya ana, de
warna neng sira nggone, lir wayang sarireku, saking dhalang solahing ringgit,
mangku pangung kang jagad, lire badan iku, asolah lamun pinolah, sasolahe
kumedhep myarsa ningali, tumindak lan pangucap.”
Artinya:
“Kalau
tahu Pamoring Kawula Gusti, serta suksma yang dituju ada, oleh warna padamu
tempatnya, dirimu seperti wayang, dari dalanggerak wayang, padahal panggung itu
jagat, seperti badan itu, bergerak jika
digerakkan, pergerakannya tertatap mendengar melihat, bertindak dan berkata.”
“kawisesa amisesa sami, datan antara pamoring karsa, jer tanpa rupa
rupane, wus aneng ing sireku, upamane paesan jati, ingkang ngilo Hyang Suksma,
wayangan puniku, kang ana sajroning kaca, iya sira jenenging manusa iki, rupa
sajroning kaca.”
Artinya:
“Sama
menguasi dikuasai, tak antara pamoring karsa, memang tanpa rupa, sudah ada pada
dirimu, umpama paesan hati, yang berkaca Hyang Suksma, wayang adalah,
yang ada dalam kaca, yaitu dirimu nama manusia, rupa dalam kaca.”
Syekh
Abdul Qadir al-Jaelani pernah mengatakan, “Untuk mencapai tingkatan manunggal
dengan Allah, seseorang harus melakukan praktek zikir (mengingat Allah). Hal
ini dilakukan agar cermin hati seseorang menjadi suci dan sempurna, karena
digosok terus menerus dengan menyebut Asma Ilahi, yaitu Lailaha Ilallah,
Allah, Hu dan seterusnya. Dengan inilah mata hati bisa melihat cahaya
penyatuan (manuggal). Apalagi cahaya suci dari Ilahi menjadi terwujud,
seluruh kualitas materi akan lenyap. Segala sesuatunya menjadi kosong. Pada
saat mencapai tingkat kosong (fana’) inilah cahaya Allah menyinari, sehingga
terjadi penyatuan.”
Kedua,
ungkapan “Pamoring Kawula Gusti”, dalam buku Tafsir Ajaran Sesat Wulanggreh
dijelaskan, kata “pamor” terbentuk dari kata “amor” yang berarti
berkumpul, bersatu, manunggal. Sedangkan kata “e” adalah akhiran
yang berarti “nya”; identik dengan “kawula” yang berarti rakyat,
tenaga pelaksana; dalam konteks ini berarti “badan wadhag” (jasmaniah).
Sementara, “Gusti”; identik dengan raja, pemberi perintah, pemimpin yang
dikontekskan menjadi rohani atau batin. Dengan demikian, jika digabung akan
menjadi “besatunya jasmani dengan ruhani.”
Dalam
hal ini jelas mengisyaratkan proses tapa-brata atau semadi yang
dilakukan seseorang hingga mampu menembus Sang Alus atau rasa jati
dalam prespektif “sembah rasa” dalam empat strata panembah orang
Jawa. ‘Perjalanan badan alus’ dalam diri manusia utama, memang secara
fitrahnya bermaksud menuju kepada Sang Alus di ‘alam sunyaruri’
atau ‘alam kaenengan’.
Imam
Martosoepodmo dalam bukunya Apakah Perlu Semadhi? (1958) menjelaskan
mengenai istilah ‘Tan Ana’, yang diartikan sebagai ‘Makrpating
Makripat’ atau ‘mati dalam keadaan hidup’ (mati sajroning urip) alias
‘hidup laksana mati’ (urip sajraning mati). Tegasnya tak berkemauan (si
karep tan nggagas) dan tak berbudi (si akal tan mikir) lagi.
Mengapa demikian?... karena yang memikirkan, dalam hal ini jiwa atau cipta
orang yang ber-semadhi, dan yang dipikirkanya (kang kaesthi) kini
telah menjadi satu (manuggal).
Pengertian
lebih jauh dari wacana ‘mati sajroning urip’ atau ‘urip sajroning mati’, jelas
Imam, yang mati – dalam arti tak bergiat lagi – yakni angan-angan (perasaan,
kemauan, budi, nafsu, dll). Meski demikian, angan-angan itu sewajarnya masih
hidup, tetapi tidak dikembangkan dengan mengangan-angankan yang bukan-bukan.
Keadaan tersebut, barangkali seperti keadaan orang yang sedang tidur –
merupakan gambaran orang yang sedang lupa – yakni tidak sadar sama sekali
tehadap keadaan yang meliputinya. Yang demikian dalam bahasa Kawi disebut
tan-pramana; berarti tak terbatas atau ak terhingga. Dalam keadaan tidak sadar
tersebut, diilustrasikan dengan ungkapan gumeleng; yakni dipusatkan ke
satu arah tujuan, yaitu mengingat Gusti Kang Akarya Jagad (Sang Maha
Pencipta).
Purwadi
dalam bukunya Penghayatan Keagamaan Orang Jawa (2002), konsep atau gagasan
manuggaling kawula Gusti (pamoring kawula Gusti) dalam nuansa religius
spiritual dapat digolongkan kedalam tiga tipe sebagai berikut;
Pertama,
tipe ethis; merupakan prwujudan makna menunggaling kawula Gusti dengan
harapan adanya manusia yang waskitha dan susila. Harmonitas antara suara bathin
dan laku amalannya dalam dharma baktinya di kehidupan sosial.
Kedua,
tipe kosmologis; yaitu peleburan diri untuk membebaskan dari belenggu
alam empiris materiil menuju pada kondisi eksistensial transeden, sehingga
tercipta kesatuan mutlak. Secara emanatif manusia dilukiskan sebagai percikan
cahaya dan akan kembali keasal muasalnya, sangkan paraning dumadi, yakni Dzat
kosmos yang Ilahi-Adikodrati.
Ketiga,
tipe theologis; hampir mirip dengan tipe kosmologis. Bedanya hanya pada
istilahnya diambil dari kitab suci dalam ajaran para nabi.
Dalam
masyarakat Jawa, salah satunya fenomena yang muncul mengenai gagasan konsep ‘manunggaling
kawula Gusti’ atau ‘pamoring kawula Gusti’, yakni fenomena Syekh
Siti Jenar yang menghebohkan. Setelah dilacak dari akarnya, ternyata fenomena
spiritual keagamaan Shekh Siti Jenar itu memang berkaitan dengan wacana ilmu
dari pendahulunya (yang ada di Timur Tengah) yaitu Al-Hallaj.
Syekh Siti Jenar memang mempelajari dan mengembangkan konsep pemkiran Al-Hallaj
dan Ibnu Arabi; yakni mengenai konsep manunggaling kawula Gusti. Jika
al-Hallaj adalah seorang tokoh sufi Baghdad yang pernah mengalami hukuman
pancung karena mengatakan; “Ana al-Haq” sementara Syekh Siti Jenar
terkenal dengan pernyataannya “Syekh Siti Jenar tidak ada, yang ada hanya
Allah” dan “Allah tidak ada, yang ada hanya Syekh Siti Jenar”.[1]
Refrensi:
Niels Mulder. Kebatinan dan Hidup
Sehari-Hari Orang Jawa Kelangsungan dan Perubahan Kultural. Jakarta:
Gramedia, 1984.
Mark
R. Woodward. Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan karya.
Yogyakarta: LKiS, 2006.
Rahnip
M.BA. Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan. _______:Pustaka
Progesif, Tanpa Tahun.
[1] Untuk lebih ringkas dan mengerti berbagai versi cerita tentang
Syekh Siti Jenar bisa dibaca buku Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus
Kebatinan karya Mark R. Woodward (Yogyakarta: LKiS, 2006) hal: 154-161. Adapun
versi yang lebih kearah negatif bisa dbaca buku Aliran Kepercayaan dan
Kebatinan dalam Sorotan karya Rahnip M.BA. (______:Pustaka Progesif, Tanpa
Tahun) Hal: 233-235.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar