Posted by : Cak_Son Selasa, 04 Oktober 2016


APPROACHES TO THE STUDY OF RELIGION
(ANEKA PENDEKATAN SETUDI AGAMA)[1]
Pendahuluan
Buku ini bermaksud untuk memberikan petunjuk bagi mahasiswa yang tertarik dengan studi keagamaan agar mampu menangkap dan mempelajari informasi dari materi yang ada. Buku ini mencakup tujuh pendekatan dalam studi agama yang paling banyak digunakan. Masing-masing memiliki titik tekan dan membawa sejumlah asumsi yang berbeda-beda dalam melaksanakan penelitian karena masing-masing pendekatan ini mencakup berbagai prespektif. Ditinjau dari hubungannya dengan keagamaan, semua pendekatan yang diungkapkan dalam buku ini (selain pendekatan teologi) pada dasarnya adalah jenis pendekatan dari luar yang berarti pendekatan ini bisa dilakukan oleh orang yang religius ataupun non-religius, artinya seorang penelitinya tidak membawa suatu komitmen tentang kebenaran, dan tidak pula mebawa keyakinan kesalah pandangan dunia tersebut yang menjadikan pikiran terbuka menjadi keniscayaan yang pokok. (Peter Connolly, 2002: 2)
Tujuan dari buku ini tidak lain agar para peneliti dalam bidang agama akan terbiasa mengakui bahwa terwujudnya pikiran yang terbuka (open mind) adalah suatu yang langka. Karena kebanyakan orang yang menaruh pada studi agama telah memiliki beberapa pendirian tentang persoalan ini. Di mana mereka membawa dan melibatkan sejumlah filter presepsi dan intrepetasi yang berfungsi mengarahkan mereka selama studi keagamaan. Artinya, peneliti dari dalam (insider) harus belajar bagaimana agar bisa memperoleh banyak ide seperti yang diperoleh orang lain. Sedangkan peneliti dari luar (outsider) seperti mereka yang dari kalangan non-religius harus mengimajinasikan bagaimana bentuk suatu dunia ketika di dalamnya terdapat wilayah suci. Singkatnya, dapatkah mereka (paling tidak untuk sesaat) memandang agamanya sendiri sebagaimana dilakukan peneliti dari luar. Dapatkah mereka melihat dirinya sendiri seperti orang lain melihatnya?. (Peter Connolly, 2002: 3)
Dengan menggunakan pendekatan berarti secara eksplisit menerima asumsi-asumsi dan prioritas tertentu termasuk juga komitmen untuk menggunakan metodologi hingga cakupan batasannya untuk menjelaskan fenomena tersebut. Adapun apa yang menjadi filter para peneliti yang sedang bekerja dan mengunakan pendekatan-pendekatan itu dari timbulnya distorsi yang tidak tepat terhadap fenomena yang hendak dijelaskan disyaratkannya pencermatan publik terutama oleh tokoh dari dalam disiplin itu sendiri bahkan terkadang oleh sarjana dari berbagai disiplin lain. Proses pemberian peluang pencermatan terhadap penjelasan menjadikan orang lain memberikan komentar dan usulan perbaikan melalui arus balik yang diterima. Proses seperti inilah yang memberikan sifat ilmiah pada penelitian dalam bidang kemanusiaan. (Peter Connolly, 2002: 4)
Seluruh pendekatan yang diuraikan dalam buku ini berupaya untuk memetakkan wilayah agama. Sebagaimana wilayah-wilayah lainnya, agama memiliki sejumlah batas yang diperselisihkan. Tepatnya apa yang mencakup dalam istilah agama tersebut? Persoalan definisi ini sangat layak dieksplorasi karena jika tidak memiliki beberapa gambaran apa yang dapat dan apa yang tidak dapat digolongkan sebagai religius maka akan sulit mengetahui di mana kajian kita akan bermula dan berakhir. Oleh karena itu, tidaklah aneh banyak studi yang dimulai dari definisi. (Peter Connolly, 2002: 6)
Terlepas dari definisi yang tidak pernah selamat dari kritik, definisi ini menjadi salah satu alat bantu dalam mengkaji pendekatan-pendekatan yang diuraikan dalam buku ini. Alat bantu lainnya adalah dengan membagi tiga bagian pokok di bawah tulisan yang sama, perkembangan historis, karakteristik dasar, persoalan dan berdebatan (kecuali terkait pendektan teologis yang memiliki karakter yang berbeda, misalnya bahwa pendekatan ini adalah satu-satunya pendekatan yang benar-benar insider sehingga menuntut pembahasan yang berbeda. Alat bantu yang terakhir misalnya dengan sistem cros-reference (penunjukan hubungan) anatar tulisan yang dimaksudkan guna memberikan kesempatan pada pembaca menyelidiki posisi pemikir-pemikir atau ide-ide kunci dalam berbagai disiplin. (Peter Connolly, 2002: 10)
Orang mungkin mengira bahwa karya yang menggunakan pendekatan yang berbeda-beda terhadap pokok-pokok persoalan yang sama. Akan tetapi sebenarnya tidak demikian. Para peneliti dari masing-masing disiplin yang dipaparkan dalam buku ini memiliki kecenderungan untuk tetap mengfokuskan diri dalam disiplin mereka. Setiap disiplin memiliki kecenderungan dan oleh karena itu menjadi agak intovert (berpusat pada disiplin ilmu masing-masing). Ini tidak sederhana karena para sarjana hanya tertarik pada bidangnya masing-masing meskipun jelas bahwa bidang itu hanya sebuah faktor. Hal ini karena penjajakan pada disiplin yang lain sering memakan waktu, terminologi-terminologi teknis sering tidak akrab dan tampak sedikit sekali mengunakan konsep-konsep kunci yang dimiliki. Semua ini mendorong para sarjana untuk tetap dalam batasan-batasan spesialisasi yang dia pilih yang sering berarti suatu sub bagian khusus dari suatu disiplin. (Peter Connolly, 2002: 11)
Maka dari itu, mahasiswa dibidang agama dihadapkan pada tugas yang lebih kompleks. Satu sisi dia harus membangun pengetahuan khusus tentang beberapa metodologi partikular dan tentang kelompok kecil topik-topik subjek penelitian sehingga dia dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat untuk memperluas pemahaman kita. Di sisi lain, pokok persoalan agama menuntut apa yang disebut Ninian Smart sebagai pendekatan Polymethodik, pendekatan yang menggunakan banyak metode. Ini mengharuskan pengembangan suatu pandangan generalis. Oleh karena itu, mahasiswa agama harus menjadi seorang spesialis dan generalis dalam satu waktu. Meski demikian, tantangan itu tidak perlu dikhawatirkan dan ditakuti. Bagi mahasiswa yang optimis biasanya menemukan beberapa tradisi agama lebih menarikdibanding yang lain, oleh karnanya mereka mengkaji lebih dalam, demikian pula menemukan beberapa methode yang lebih cocok dari pada yang lain dan selanjutnya meneliti lebih detail. (Peter Connolly, 2002: 11)
Berangkat dari semua itulah buku ini memberikan rekomendasi sederhana bahwa seorang mahasiswa selayaknya memutuskan untuk mengkhususkan pada satu atau dua metodologi. Sebagaimana tujuan umum buku ini adalah membantu mahasiswa menentukan disiplin manakah yang paling menarik dan cocok sebagaimana mereka merefleksikan pilihan spesialisasi metodologis. Karena hal itu adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh mahasiswa agama, dan pada hakikatnya yang terpenting adalah bagaimana setiap mahasiswa menghubungkan fenomena keagamaan yang diminati dengan ide, wawasan dan teknik yang dikemukakan oleh tulisan-tulisan terkait berbagai pendekatan dalam buku ini akan menjadi dasar penelitian mereka dimasa yang akan datang. Adapun pendekatan tersebut meliputi:
1.      Pendekatan Antropologis
Antropologi bermula pada abad XIX sebagai penelitian terhadap asal-usul manusia. Dari situ maka pada tahap selanjutnya juga digunakan untuk struktur sosial dan keagamaan atau juga dari tahap evolusionis ke tahap fungsionalis yang hal itu menjadi legitimasi apa yang kemudian menjadi dasar antropologi sosial dan antropologi budaya yang khas. Dengan bantuan observasi yang melihat suatu hal terkait dengan suatu yang lain (holisme). Tokohnya adalah Malinowski (1884-1942) dimana ia menjelaskan fungsi agama dan ilmu melalui teori fungsionalis tentang keutuhan manusia serta mengkritik teori Magic Darkhem yang sudah ada sebelumnya. (Peter Connolly, 2002: 15 dan 24-27)
Antropologi sosialnya Malinowski diperkuat dan disistematisasikan oleh Radcliffe Brown (1881-1955) yang kemudian dikenal dengan fungsionalisme struktural untuk membedakan dari fungsionalisme Malinowski. Bedanya ia tidak menjadi etnografi yang melakukan penelitian lapangan dan fokus pada kebutuhan biologis tetapi dia seorang toritis yang fokus pada kebutuhan masyarakat yang keduanya tetap sama-sama menekankan holisme. (Peter Connolly, 2002: 28-29)
Dalam pandangan fungsionalisme struktural, agama dilihat sebagai perekat masyarakat, agama dianalisis guna menunjukan bagimana agama memberikan kontribusi dalam mempertahankan struktur sosial suatu kelompok. (Peter Connolly, 2002: 29)
Pada saat yang sama, antropolog menjadi lebih tertarik mengkaji budaya masyarakat demi kepentingan budaya itu sendiri dan bukan semata-mata memberikan kontribusi dalam mewujudkan stabilitas sosial. Dimana tokoh yang berpengaruh adalah antropolog Prancis, Claude Levi-Strauss. Sistem pemikiran dianlisis dari sudut pandang oposisi biner, yang mengungkapkan inti logikanya. Oposisi dasar dianggap bersifat universal ditemukan dalam mite, simbol, dan prilaku-prilaku budaya diseluruh dunia. Metode ini terinspirasi oleh metode linguistik struktural. (Peter Connolly, 2002: 30)
Di sisi lain, kebanyakan antropolog seperti Clifford Geertz, memberi penekanan yang lebih besar untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang masyarakat itu sendiri (atau juga melihat dari luar (outside). Dalam disiplin yang lain, dapat disebut prespektif fenomenologis atau hermeneotik. (Peter Connolly, 2002: 31)
Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah holisme, yaitu pandangan bahwa praktek-praktek sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktek yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Sehingga agama misalnya tidak bisa dilihat sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktek-praktek sosial lainya. Dalam hal ini, para antropolog harus melihat agama dan praktek-praktek pertanian, kekeluargaan dan politik, magic, dan pengobatan secara bersama-sama. (Peter Connolly, 2002: 34)
Dalam pembahasan penekatan ini, ditutup dengan pembahasan terkait pengertian makna agama dalam konteks fungsi masyarakat guna menjangkau awal penelitian yang akan dilakukan karena pendekatan ini memang diawali dengan makna agama guna mempu memulai dan menyelesaikan penelitan yang akan dilakukan.
Kesimpulan: antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dengan segala aspeknya secara keseluruhan (holisme). Antropologi terbagi menjadi 2: 1. Antropologi fisik seperti mencari asal usul / klasifikasi manusia. Kaitannya dengan agama Islam misalnya dengan sejarah penyebaran islam di Indonesia siapa yang membawa dengan meneliti tengkorak kepalanya. Dll. 2. Antropologi budaya, meliputi material (seperti segala sesuatu yang dihasilkan dari karya manusia) dan non material (seperti konsep-konsep, makna-makna, magic, lambang, dll). Oleh karenanya, antropologi dapat membantu lebih untuk mengetahui agama islam, misalnya terkait makna tongkat pada saat khutbah jumat dalam masyarakat jawa, makna ngukir cengkir saat tradisi ngapati atau mitoni, dll.
2.      Pendekatan Feminis
Pendekatan feminis dalam studi agama tidak lain merupakan suatu transformasi kritis dari prespektif teoritis yang ada dengan menggunakan gender sebagai kategori analisis utamanya. Tujuan utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terdapat persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan terhadap kedirian dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain. (Peter Connolly, 2002: 63)
Feminisme bukanlah fenomena tunggal atau monolitik, melainkan mencakup spektrum perspektif politis atau ideologis yang luas. Oleh karenanya tidak mungkin atau bahkan merupakan kesalahan untuk memulai dengan apapun kecuali melalui suatu definisi inklusif yang luas seperti yang ditawarkan David Bouchier yang mendeskripsikan feminisme dengan berbagai bentuk perlawanan terhadap beragam bentuk diskriminasi sosial, personal, atau ekonomi di mana perempuan sebagai pihak yang menderita karena jenis kelaminnya. (Peter Connolly, 2002: 64)
Studi feminis terhadap agama memiliki asal-usul panjang dan menarik. Asal-usul bentuk dapat dikenali dari feminisme religius Anglo-American yang terorganisir muncul pada abad XIX dan didominasi oleh dua isu utama, perbedaan terkait persamaan akses terhadap jabatan pendeta (ministry) dan kritisme Injil. (Peter Connolly, 2002: 65) pola serupa ditunjukan dalam kajian-kajian perempuan revitalis Inggris dalam metodis sektarian kelas pekerja. (Peter Connolly, 2002: 67) Keterlibatan mereka ini merupakan suatu yang rumit dan berbelit namun mengilhami baik tanggapan yang konservatif maupun radikal. Feminis liberal selain menentang ideal-ideal Injil tentang subordinasi dan domestifikasi perempuan, menuntut kesetaraan politik dan sosial sekalipun dengan perbedaan seks sebagai hak yang diberikan Tuhan. (Peter Connolly, 2002: 69) Ada pula yang tidak berusaha menolak Injil sekaligus, hanya saja membongkar watak androsentrisme (keterpusatan pada laki-laki) dari tafsir yang ada. (Peter Connolly, 2002: 71)
Seperti pendekatan teoritis para pendahulunya, proyek kritis feminisme kontemporer dimulai dengan bahasan yang komprehensif terhadap misoginitas agama Barat. Yang salah satu hasilnya mampu membuka kedok penyebaran inferioritas perempuan dalam setiap periode sejarah Yahudi dan Kristen. Dari perintah Bibel terhadap pembungkaman perempuan hingga tulisan-tulisan klasik Tertullian, Jerome, Augustine, dan Aquinas pada tingkatan pertama  ini selain mampu mendokumentasikan sumber-sumber agama yang memiliki distorsi terhadap perempuan juga mengemukakan alasan-alasannya yang pada periode berikutnya berhasil membangkitkan berbagai macam strategi yang bertalian dengan feminisme dan agama. (Peter Connolly, 2002: 71-73)
Feminis menyadari bahwa generasi pengalaman yang diasumsikan oleh metodologi androsentris lebih sering menunjukan suatu persoalan tentang penafian perempuan secara terus terang dari pada permusuhan palsu meskipun hasilnya sama. Dalam dominasi ini yang terbangun secara historis, sruktur sosial penuh dosa yang terbuka untuk direvisi melalui perjuangan politik feminis. (Peter Connolly, 2002: 73-75) Ursula King mendeskripsikan pendekatan feminis dalam studi agama sebagai pergeseran paradigma karena perlawanan yang sangat hebat terhadap prespektif teoritis yang ada cara komitmen kepada “pengalaman perempuan”. Dan ini adalah hasil bentuk perbaikan dari model androsentris dan tentu juga sebagai karakter dasarnya adalah fokus pada penemuan kembali sejarah keagamaan perempuan. (Peter Connolly, 2002: 76-77)
Persoalan muncul ketika feminis kontemporer berusaha membuat metodologis yang paling langgeng menuntut suatu penggabungan konsep analitis kunci untuk menggabungkan pengalaman perempuan yang khas dan berbeda dari berbagai status entnik. Perdebatan yang menghasilkan perbaikan serta kebutuhan feminis untuk mengemukakan konsep teoritis tentang “perbedaan” (dan menuntut persamaan) dipertajam lagi fokusnya di mana pengalaman perempuan dari sudut pandang ras, usia, agama, etnisitas, serta status ekonomi yang menyebabkan penyesuaian kembali pemahaman patriarki yang begitu terkait dengan pluralitas etnik dan kultural. (Peter Connolly, 2002: 93-95).
3.      Pendekatan Fenomenologis
Fenomenologi lahir dan ditetapkan dalam studi agama sebagai sebuah metode penelitian ilmiah yang ditawarkan dengan pendekatan-pendekatan teologis. (Peter Connolly, 2002: 105) filsafat Hegel dikatakan sebagai dasar dibangunnya pendekatan fenomenologis di mana ia mengembangkan tesis bahwa esensi dipahami melalui penyelidikan atas penampakan dan manifestasi. Dari Hegel inilah lalu melahirkan Van der Leeuw. Pengaruh filosofis kedua yang dijadikan dasar adalah filsafat Edmund Husserl, yaitu dengan munculnya istilah yang diambil dari bahasa Yunani epoche (apa yang ada di dalam) dan pandangan eidetic (melihat apa yang ada sesungguhnya). Pierre Daniel Chantepie de la Saussaye lalu menjadikan ini sebagai pendekatan agama ketahap disiplin ilmiah selain juga Rudolf Otto yang berhasil memecahkan persoalan dasar dalam studi ini. (Peter Connolly, 2002: 110-110)
Karakteristik dalam pendekatan ini yang pertama adalah dengan melaksanakan kajian agama “deskriptif” dengan tujuan mengukuhkan pengetahuan tentang berbagai ekspresi fenomena (Peter Connolly, 2002: 117) yang secara tipologis diintrepetasikan menurut prinsip-prinsip filosifis pragmatik yang jelas dan prinsip-prnsip psikologis. (Peter Connolly, 2002: 120)
Smart misalnya, ia berusaha mengidentifikasi perbedaan antara agama yang dilihat dari dalam (suatu tradisi dan peran teolog) dan dari luar (sebagai seorang fenomenolog) tanpa memutuskan hubungan yang harus ada antara mereka. Smart kembali pada pandangan epoche dan pandangan eidetic Husserlian dan membangun suatu tipolog yang terdiri dari enam dimensi (dimensi ritual, mitologis, doktrinal, etis, sosial, dan eksperiensial).
Objek fenomenologi tidak lolos dari kritik hingga memiliki implikasi pergeseran objek yang penting, 1). Ia memberikan penekanan pada watak kontemporer, 2). Ia lebih fokus pada individual, kelompok, dan pandangan keagamaan sehari-hari dari pada melihat tradisi, otoritas, dan pernyataan doktrinal tentang tema-tema teologis, 3). Ia mengakui bahwa pluralitas tidak hanya ada pada serangkaian tradisi, melainkan pada relaitas agama yang jauh lebih komplek baik lokal maupun global, dinamis maupun tradisionalis, 4). Agama dan budaya adalah hubungan yang kompleks. (Peter Connolly, 2002: 131)
Kritik terhadap objek studi berakibat pada metode. Tworuschka berpandangan perlunya konsentrasi pada sejarah oral dari pada sejarah tertulis dan fungsi primer dalam kehidupan sehari-hari (soal makan, minum, seksualitas, bernafas, tidur, pendidikan, kesehatan, periode kehidupan, kehidupan keluarga, pakaian, bekerja, waktu luang, dan kehidupan). Adapun tujuannya tidak lain untuk mengakses segala sesuatu dalam pengalaman hidup sehari-hari. Lalu pada tahapan intrepetasi yang didasarkan pada penelitian lapangan inilah disebut “deskripsi tebal”. (Peter Connolly, 2002: 132)
4.      Pendekatan Filosofis
Pendekatan filosofis ini mengalami krisis identitas karena 1). di mana pendekatan filosofis dalam studi agama dapat ditemukan, karena pada faktanya ini bisa ditemukan di filsafat, studi agama, teologi, dan departemen kemanusiaan. 2). mengapa banyaknya tempat atau konteks yang berbeda-beda menyebabkan krisis identitas. (Peter Connolly, 2002: 149)
Jika dalam progam studi teologi, pendekatan filosofis dalam studi agama mungkin harus melakukan penelitian dan penyelidikan yang berfokus pada bagaimana ide-ide dan konsep-konsep dalam sejarah filsafat memungkinkan kita memperoleh pemahaman yang lebih  baik tentang doktrin atau memahami pandangan para teolog secara lebih akurat. Dari sinilah maka pendekatan ini terkadang disebut dengan “teologi filosofis”. (Peter Connolly, 2002: 151)
Filsafat yang dipresepsikan dengan ketidak relevanan, nilai guna yang dipertanyakan, ketidak mampuan filsafat dalam memberikan kesimpulan. Namun Dalferd menyatakan ketika mengkaji agama, tidak mungkin menghindari filsafat. Suatu pendekatan filosifis terhadap agama merefleksikan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pengalaman keagamaan pra teologis dan dalam wacana keyakinan. Dengan kata lain, tugas filsafat adalah melihat berbagai persoalan yang melingkupi pengalaman manusia, faktor-faktor yang menyebabkan pengalaman manusia menjadi pengalaman religius, membahas bahasa yang digunakan umat beriman, dan membicarakan keyakinan mereka. Inilah yang kemudian dikatakan sebagai meniscayakan adanya hubungan agama dan filsafat yang terfokus pada rasionalitas oleh Dalferd. (Peter Connolly, 2002: 156-157)
Pendekatan filosofis terhadap agama adalah proses rasional yang mencakup pada dua hal. 1). Kita menunjukan fakta bahwa akal memainkan peranan fundamental dalam refleksi pengalaman dan keyakinan keagamaan dalam tradisi keagamaan. 2). Menunjukan fakta bahwa dalam menguraikan keimanannya, tradisi keagamaan harus dapat memproduksi argumen-argmen logis dan dalam membuat klaim-klaim yang dapat dibenarkan. (Peter Connolly, 2002: 157) Adapun pusat filsafat adalah pertanyaan-pertanyaan tertentu, dari pertanyaan inilah maka pendekatan filsafat dimulai. (Peter Connolly, 2002: 161)
Menjawab presepsi umum yang begitu negatif tentang nilai guna filsafat, maka filsafat dalam nilai guna (yang pertama) sebagai suatu aktivitas yang dilakukan oleh individu, suatu proses kerja gradual, abadi melalui ide, argumen, pemikiran dan pengalaman. Nilai guna kedua filsafat adalah belajar bagaimana berfikir (suatu proses yang melibatkan produksi alasan dan argumen. Dengan produksi inilah menunjukan bahwa kita sedang berpikir tentang apa yang sedang kita katakan, atau apa yang kita yakini, kita sedang berusaha menemukan cara untuk mendukung dan membenarkan pernyatan-pernyataan kita. (Peter Connolly, 2002: 158-159)
Dalam pemaparan selanjutnya, buku ini dibahas asal usul datangnya filsafat, pengertian dari para filosof, unsur-unsurnya, kerangka umum filsafat, serta kesejarahan keterkaitan dengan agama yang mana ada 4 posisi utama: 1. Filsafat sebagai agama, 2. Filsafat sebagai pelayan agama, 3. Filsafat sebagai pembuat ruang bagi keimanan, 4. Filsafat sebagai perangkat analitis dalam agama, dan boleh ditambahkan yang ke 5. Filsafat sebagai studi tentang penalaran yang digunakan dalam pemikiran keagamaan. (Peter Connolly, 2002: 167)
Logika sebagi cabang pendekatan filosifis pertama yang menuntut premis yang benar guna membangun argumen yang tidak keliru sebelum akhirnya menyimpulkan. Cabang aktivitas filosofis kedua adalah metafisika, yang secara literal berarti kehidupan, alam, dan segala hal yang syarat akan petanyaan fundamental (kehidupan, eksistensi, dan watak itu sendiri) terkait hal yang paling besar. Cabang aktivitas filosofis ketiga adalah epistimologi, yang menitik beratkan pada apa yang kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui. Tugasnya tidak lain untuk menemukan bagaimana pengetahuan berbeda dari keyakinan dan pendapat. Cabang keempat aktiviatas filosofis adalah etika, yang minitik beratkan pada pertanyaan-pertanyaan tentang kewajiban, keadilan, cinta, dan kebaikan. Dalam kaitannya dengan studi agama jelas terlihat dalam kehidupan keagamaan aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang menerangkan tentang cara kehidupan religius yang sumbernya dikatakan adalah Tuhan. (Peter Connolly, 2002: 10-175)
Dari situlah maka persoalan yang diperdebatkan muncul. Pertama, terkait wilayah studi bahasa keagamaan dengan pandangan kultural dan linguistik. Kedua, wilayah kejahatan (persoalan penderitaan dan kesengsaraan). Ketiga, terkait perbuatan Tuhan di dunia(Peter Connolly, 2002: 177)


[1] Di-resume dari Buku Peter Connolly, Approaches to The Study of Religion (Aneka Pendekatan Studi Islam terj. Oleh Imam Khoiri) Yogyakarta: LKiS, 2002. Tiga pendekatan lainnya belum sempat diresum, insya Allah nanti segera saya entrikan sisanya. Buku ini bisa menjadi refrensi wajib bagi mahasiswa Pengkajian Islam terlebih jika peneliti ingin memakai beberapa pendekatan yang tepat dan strategis sehingga mampu memberikan poin lebih dalam hasil penlitiannya nanti.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Total Tayangan Halaman

Popular Post

- Copyright © MBB -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -