APPROACHES TO THE STUDY OF RELIGION
(ANEKA PENDEKATAN SETUDI AGAMA)[1]
Pendahuluan
Buku ini
bermaksud untuk memberikan petunjuk bagi mahasiswa yang tertarik dengan studi
keagamaan agar mampu menangkap dan mempelajari informasi dari materi yang ada.
Buku ini mencakup tujuh pendekatan dalam studi agama yang paling banyak
digunakan. Masing-masing memiliki titik tekan dan membawa sejumlah asumsi yang
berbeda-beda dalam melaksanakan penelitian karena masing-masing pendekatan ini
mencakup berbagai prespektif. Ditinjau dari hubungannya dengan keagamaan, semua
pendekatan yang diungkapkan dalam buku ini (selain pendekatan teologi) pada
dasarnya adalah jenis pendekatan dari luar yang berarti pendekatan ini bisa
dilakukan oleh orang yang religius ataupun non-religius, artinya seorang
penelitinya tidak membawa suatu komitmen tentang kebenaran, dan tidak pula
mebawa keyakinan kesalah pandangan dunia tersebut yang menjadikan pikiran
terbuka menjadi keniscayaan yang pokok. (Peter Connolly, 2002: 2)
Tujuan dari
buku ini tidak lain agar para peneliti dalam bidang agama akan terbiasa
mengakui bahwa terwujudnya pikiran yang terbuka (open mind) adalah suatu
yang langka. Karena kebanyakan orang yang menaruh pada studi agama telah
memiliki beberapa pendirian tentang persoalan ini. Di mana mereka membawa dan
melibatkan sejumlah filter presepsi dan intrepetasi yang berfungsi mengarahkan
mereka selama studi keagamaan. Artinya, peneliti dari dalam (insider) harus
belajar bagaimana agar bisa memperoleh banyak ide seperti yang diperoleh orang
lain. Sedangkan peneliti dari luar (outsider) seperti mereka yang dari
kalangan non-religius harus mengimajinasikan bagaimana bentuk suatu dunia ketika
di dalamnya terdapat wilayah suci. Singkatnya, dapatkah mereka (paling tidak
untuk sesaat) memandang agamanya sendiri sebagaimana dilakukan peneliti dari
luar. Dapatkah mereka melihat dirinya sendiri seperti orang lain melihatnya?. (Peter
Connolly, 2002: 3)
Dengan
menggunakan pendekatan berarti secara eksplisit menerima asumsi-asumsi dan
prioritas tertentu termasuk juga komitmen untuk menggunakan metodologi hingga
cakupan batasannya untuk menjelaskan fenomena tersebut. Adapun apa yang menjadi
filter para peneliti yang sedang bekerja dan mengunakan pendekatan-pendekatan
itu dari timbulnya distorsi yang tidak tepat terhadap fenomena yang hendak
dijelaskan disyaratkannya pencermatan publik terutama oleh tokoh dari dalam disiplin
itu sendiri bahkan terkadang oleh sarjana dari berbagai disiplin lain. Proses
pemberian peluang pencermatan terhadap penjelasan menjadikan orang lain
memberikan komentar dan usulan perbaikan melalui arus balik yang diterima.
Proses seperti inilah yang memberikan sifat ilmiah pada penelitian dalam bidang
kemanusiaan. (Peter Connolly, 2002: 4)
Seluruh
pendekatan yang diuraikan dalam buku ini berupaya untuk memetakkan wilayah
agama. Sebagaimana wilayah-wilayah lainnya, agama memiliki sejumlah batas yang
diperselisihkan. Tepatnya apa yang mencakup dalam istilah agama tersebut?
Persoalan definisi ini sangat layak dieksplorasi karena jika tidak memiliki
beberapa gambaran apa yang dapat dan apa yang tidak dapat digolongkan sebagai
religius maka akan sulit mengetahui di mana kajian kita akan bermula dan
berakhir. Oleh karena itu, tidaklah aneh banyak studi yang dimulai dari
definisi. (Peter Connolly, 2002: 6)
Terlepas dari
definisi yang tidak pernah selamat dari kritik, definisi ini menjadi salah satu
alat bantu dalam mengkaji pendekatan-pendekatan yang diuraikan dalam buku ini.
Alat bantu lainnya adalah dengan membagi tiga bagian pokok di bawah tulisan yang
sama, perkembangan historis, karakteristik dasar, persoalan dan berdebatan
(kecuali terkait pendektan teologis yang memiliki karakter yang berbeda,
misalnya bahwa pendekatan ini adalah satu-satunya pendekatan yang benar-benar
insider sehingga menuntut pembahasan yang berbeda. Alat bantu yang terakhir misalnya
dengan sistem cros-reference (penunjukan hubungan) anatar tulisan yang
dimaksudkan guna memberikan kesempatan pada pembaca menyelidiki posisi
pemikir-pemikir atau ide-ide kunci dalam berbagai disiplin. (Peter Connolly,
2002: 10)
Orang mungkin
mengira bahwa karya yang menggunakan pendekatan yang berbeda-beda terhadap
pokok-pokok persoalan yang sama. Akan tetapi sebenarnya tidak demikian. Para
peneliti dari masing-masing disiplin yang dipaparkan dalam buku ini memiliki
kecenderungan untuk tetap mengfokuskan diri dalam disiplin mereka. Setiap
disiplin memiliki kecenderungan dan oleh karena itu menjadi agak intovert
(berpusat pada disiplin ilmu masing-masing). Ini tidak sederhana karena para
sarjana hanya tertarik pada bidangnya masing-masing meskipun jelas bahwa bidang
itu hanya sebuah faktor. Hal ini karena penjajakan pada disiplin yang lain
sering memakan waktu, terminologi-terminologi teknis sering tidak akrab dan
tampak sedikit sekali mengunakan konsep-konsep kunci yang dimiliki. Semua ini
mendorong para sarjana untuk tetap dalam batasan-batasan spesialisasi yang dia
pilih yang sering berarti suatu sub bagian khusus dari suatu disiplin. (Peter
Connolly, 2002: 11)
Maka dari itu,
mahasiswa dibidang agama dihadapkan pada tugas yang lebih kompleks. Satu sisi
dia harus membangun pengetahuan khusus tentang beberapa metodologi partikular
dan tentang kelompok kecil topik-topik subjek penelitian sehingga dia dapat
memberikan kontribusi yang bermanfaat untuk memperluas pemahaman kita. Di sisi
lain, pokok persoalan agama menuntut apa yang disebut Ninian Smart sebagai
pendekatan Polymethodik, pendekatan yang menggunakan banyak metode. Ini
mengharuskan pengembangan suatu pandangan generalis. Oleh karena itu, mahasiswa
agama harus menjadi seorang spesialis dan generalis dalam satu waktu. Meski
demikian, tantangan itu tidak perlu dikhawatirkan dan ditakuti. Bagi mahasiswa
yang optimis biasanya menemukan beberapa tradisi agama lebih menarikdibanding
yang lain, oleh karnanya mereka mengkaji lebih dalam, demikian pula menemukan
beberapa methode yang lebih cocok dari pada yang lain dan selanjutnya meneliti
lebih detail. (Peter Connolly, 2002: 11)
Berangkat dari
semua itulah buku ini memberikan rekomendasi sederhana bahwa seorang
mahasiswa selayaknya memutuskan untuk mengkhususkan pada satu atau dua
metodologi. Sebagaimana tujuan umum buku ini adalah membantu mahasiswa
menentukan disiplin manakah yang paling menarik dan cocok sebagaimana mereka
merefleksikan pilihan spesialisasi metodologis. Karena hal itu adalah kewajiban
yang harus dilakukan oleh mahasiswa agama, dan pada hakikatnya yang terpenting
adalah bagaimana setiap mahasiswa menghubungkan fenomena keagamaan yang
diminati dengan ide, wawasan dan teknik yang dikemukakan oleh tulisan-tulisan
terkait berbagai pendekatan dalam buku ini akan menjadi dasar penelitian mereka
dimasa yang akan datang. Adapun pendekatan tersebut meliputi:
1.
Pendekatan Antropologis
Antropologi
bermula pada abad XIX sebagai penelitian terhadap asal-usul manusia. Dari situ
maka pada tahap selanjutnya juga digunakan untuk struktur sosial dan keagamaan
atau juga dari tahap evolusionis ke tahap fungsionalis yang hal itu menjadi
legitimasi apa yang kemudian menjadi dasar antropologi sosial dan antropologi
budaya yang khas. Dengan bantuan observasi yang melihat suatu hal terkait
dengan suatu yang lain (holisme). Tokohnya adalah Malinowski (1884-1942)
dimana ia menjelaskan fungsi agama dan ilmu melalui teori fungsionalis tentang
keutuhan manusia serta mengkritik teori Magic Darkhem yang sudah ada sebelumnya.
(Peter Connolly, 2002: 15 dan 24-27)
Antropologi
sosialnya Malinowski diperkuat dan disistematisasikan oleh Radcliffe Brown
(1881-1955) yang kemudian dikenal dengan fungsionalisme struktural untuk
membedakan dari fungsionalisme Malinowski. Bedanya ia tidak menjadi etnografi
yang melakukan penelitian lapangan dan fokus pada kebutuhan biologis tetapi dia
seorang toritis yang fokus pada kebutuhan masyarakat yang keduanya tetap sama-sama
menekankan holisme. (Peter Connolly, 2002: 28-29)
Dalam pandangan
fungsionalisme struktural, agama dilihat sebagai perekat masyarakat, agama
dianalisis guna menunjukan bagimana agama memberikan kontribusi dalam
mempertahankan struktur sosial suatu kelompok. (Peter Connolly, 2002: 29)
Pada saat yang
sama, antropolog menjadi lebih tertarik mengkaji budaya masyarakat demi
kepentingan budaya itu sendiri dan bukan semata-mata memberikan kontribusi
dalam mewujudkan stabilitas sosial. Dimana tokoh yang berpengaruh adalah
antropolog Prancis, Claude Levi-Strauss. Sistem pemikiran dianlisis dari sudut
pandang oposisi biner, yang mengungkapkan inti logikanya. Oposisi dasar
dianggap bersifat universal ditemukan dalam mite, simbol, dan prilaku-prilaku
budaya diseluruh dunia. Metode ini terinspirasi oleh metode linguistik
struktural. (Peter Connolly, 2002: 30)
Di sisi lain,
kebanyakan antropolog seperti Clifford Geertz, memberi penekanan yang lebih
besar untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang masyarakat itu sendiri
(atau juga melihat dari luar (outside). Dalam disiplin yang lain, dapat
disebut prespektif fenomenologis atau hermeneotik. (Peter Connolly, 2002: 31)
Salah satu
konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah holisme, yaitu
pandangan bahwa praktek-praktek sosial harus diteliti dalam konteks dan secara
esensial dilihat sebagai praktek yang berkaitan dengan yang lain dalam
masyarakat yang sedang diteliti. Sehingga agama misalnya tidak bisa dilihat
sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktek-praktek sosial lainya.
Dalam hal ini, para antropolog harus melihat agama dan praktek-praktek
pertanian, kekeluargaan dan politik, magic, dan pengobatan secara bersama-sama.
(Peter Connolly, 2002: 34)
Dalam
pembahasan penekatan ini, ditutup dengan pembahasan terkait pengertian makna
agama dalam konteks fungsi masyarakat guna menjangkau awal penelitian yang akan
dilakukan karena pendekatan ini memang diawali dengan makna agama guna mempu memulai
dan menyelesaikan penelitan yang akan dilakukan.
Kesimpulan: antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dengan segala aspeknya
secara keseluruhan (holisme). Antropologi terbagi menjadi 2: 1. Antropologi
fisik seperti mencari asal usul / klasifikasi manusia. Kaitannya dengan agama
Islam misalnya dengan sejarah penyebaran islam di Indonesia siapa yang membawa
dengan meneliti tengkorak kepalanya. Dll. 2. Antropologi budaya, meliputi
material (seperti segala sesuatu yang dihasilkan dari karya manusia) dan non
material (seperti konsep-konsep, makna-makna, magic, lambang, dll). Oleh
karenanya, antropologi dapat membantu lebih untuk mengetahui agama
islam, misalnya terkait makna tongkat pada saat khutbah jumat dalam masyarakat
jawa, makna ngukir cengkir saat tradisi ngapati atau mitoni, dll.
2.
Pendekatan Feminis
Pendekatan
feminis dalam studi agama tidak lain merupakan suatu transformasi kritis dari
prespektif teoritis yang ada dengan menggunakan gender sebagai kategori
analisis utamanya. Tujuan utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi
sejauh mana terdapat persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan
keagamaan terhadap kedirian dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan
antara yang satu dengan yang lain. (Peter Connolly, 2002: 63)
Feminisme
bukanlah fenomena tunggal atau monolitik, melainkan mencakup spektrum
perspektif politis atau ideologis yang luas. Oleh karenanya tidak mungkin atau
bahkan merupakan kesalahan untuk memulai dengan apapun kecuali melalui suatu
definisi inklusif yang luas seperti yang ditawarkan David Bouchier yang
mendeskripsikan feminisme dengan berbagai bentuk perlawanan terhadap beragam
bentuk diskriminasi sosial, personal, atau ekonomi di mana perempuan sebagai
pihak yang menderita karena jenis kelaminnya. (Peter Connolly, 2002: 64)
Studi feminis
terhadap agama memiliki asal-usul panjang dan menarik. Asal-usul bentuk dapat
dikenali dari feminisme religius Anglo-American yang terorganisir muncul pada
abad XIX dan didominasi oleh dua isu utama, perbedaan terkait persamaan akses
terhadap jabatan pendeta (ministry) dan kritisme Injil. (Peter Connolly,
2002: 65) pola serupa ditunjukan dalam kajian-kajian perempuan revitalis
Inggris dalam metodis sektarian kelas pekerja. (Peter Connolly, 2002: 67)
Keterlibatan mereka ini merupakan suatu yang rumit dan berbelit namun
mengilhami baik tanggapan yang konservatif maupun radikal. Feminis liberal
selain menentang ideal-ideal Injil tentang subordinasi dan domestifikasi
perempuan, menuntut kesetaraan politik dan sosial sekalipun dengan perbedaan
seks sebagai hak yang diberikan Tuhan. (Peter Connolly, 2002: 69) Ada pula yang
tidak berusaha menolak Injil sekaligus, hanya saja membongkar watak
androsentrisme (keterpusatan pada laki-laki) dari tafsir yang ada. (Peter
Connolly, 2002: 71)
Seperti pendekatan
teoritis para pendahulunya, proyek kritis feminisme kontemporer dimulai dengan
bahasan yang komprehensif terhadap misoginitas agama Barat. Yang salah satu
hasilnya mampu membuka kedok penyebaran inferioritas perempuan dalam setiap
periode sejarah Yahudi dan Kristen. Dari perintah Bibel terhadap pembungkaman
perempuan hingga tulisan-tulisan klasik Tertullian, Jerome, Augustine, dan
Aquinas pada tingkatan pertama ini selain
mampu mendokumentasikan sumber-sumber agama yang memiliki distorsi terhadap
perempuan juga mengemukakan alasan-alasannya yang pada periode berikutnya
berhasil membangkitkan berbagai macam strategi yang bertalian dengan feminisme
dan agama. (Peter Connolly, 2002: 71-73)
Feminis
menyadari bahwa generasi pengalaman yang diasumsikan oleh metodologi androsentris
lebih sering menunjukan suatu persoalan tentang penafian perempuan secara terus
terang dari pada permusuhan palsu meskipun hasilnya sama. Dalam dominasi ini
yang terbangun secara historis, sruktur sosial penuh dosa yang terbuka untuk
direvisi melalui perjuangan politik feminis. (Peter Connolly, 2002: 73-75)
Ursula King mendeskripsikan pendekatan feminis dalam studi agama sebagai
pergeseran paradigma karena perlawanan yang sangat hebat terhadap prespektif
teoritis yang ada cara komitmen kepada “pengalaman perempuan”. Dan ini adalah
hasil bentuk perbaikan dari model androsentris dan tentu juga sebagai karakter
dasarnya adalah fokus pada penemuan kembali sejarah keagamaan perempuan. (Peter
Connolly, 2002: 76-77)
Persoalan
muncul ketika feminis kontemporer berusaha membuat metodologis yang paling
langgeng menuntut suatu penggabungan konsep analitis kunci untuk menggabungkan
pengalaman perempuan yang khas dan berbeda dari berbagai status entnik.
Perdebatan yang menghasilkan perbaikan serta kebutuhan feminis untuk
mengemukakan konsep teoritis tentang “perbedaan” (dan menuntut persamaan) dipertajam
lagi fokusnya di mana pengalaman perempuan dari sudut pandang ras, usia, agama,
etnisitas, serta status ekonomi yang menyebabkan penyesuaian kembali pemahaman
patriarki yang begitu terkait dengan pluralitas etnik dan kultural. (Peter
Connolly, 2002: 93-95).
3.
Pendekatan Fenomenologis
Fenomenologi
lahir dan ditetapkan dalam studi agama sebagai sebuah metode penelitian ilmiah
yang ditawarkan dengan pendekatan-pendekatan teologis. (Peter Connolly, 2002: 105)
filsafat Hegel dikatakan sebagai dasar dibangunnya pendekatan fenomenologis
di mana ia mengembangkan tesis bahwa esensi dipahami melalui penyelidikan atas
penampakan dan manifestasi. Dari Hegel inilah lalu melahirkan Van der Leeuw. Pengaruh
filosofis kedua yang dijadikan dasar adalah filsafat Edmund Husserl, yaitu
dengan munculnya istilah yang diambil dari bahasa Yunani epoche (apa
yang ada di dalam) dan pandangan eidetic (melihat apa yang ada
sesungguhnya). Pierre Daniel Chantepie de la Saussaye lalu menjadikan ini
sebagai pendekatan agama ketahap disiplin ilmiah selain juga Rudolf Otto yang
berhasil memecahkan persoalan dasar dalam studi ini. (Peter Connolly, 2002: 110-110)
Karakteristik
dalam pendekatan ini yang pertama adalah dengan melaksanakan kajian agama
“deskriptif” dengan tujuan mengukuhkan pengetahuan tentang berbagai ekspresi
fenomena (Peter Connolly, 2002: 117) yang secara tipologis diintrepetasikan menurut
prinsip-prinsip filosifis pragmatik yang jelas dan prinsip-prnsip psikologis. (Peter
Connolly, 2002: 120)
Smart misalnya,
ia berusaha mengidentifikasi perbedaan antara agama yang dilihat dari dalam
(suatu tradisi dan peran teolog) dan dari luar (sebagai seorang fenomenolog)
tanpa memutuskan hubungan yang harus ada antara mereka. Smart kembali pada
pandangan epoche dan pandangan eidetic Husserlian dan membangun
suatu tipolog yang terdiri dari enam dimensi (dimensi ritual, mitologis,
doktrinal, etis, sosial, dan eksperiensial).
Objek fenomenologi
tidak lolos dari kritik hingga memiliki implikasi pergeseran objek yang
penting, 1). Ia memberikan penekanan pada watak kontemporer, 2). Ia lebih fokus
pada individual, kelompok, dan pandangan keagamaan sehari-hari dari pada
melihat tradisi, otoritas, dan pernyataan doktrinal tentang tema-tema teologis,
3). Ia mengakui bahwa pluralitas tidak hanya ada pada serangkaian tradisi,
melainkan pada relaitas agama yang jauh lebih komplek baik lokal maupun global,
dinamis maupun tradisionalis, 4). Agama dan budaya adalah hubungan yang
kompleks. (Peter Connolly, 2002: 131)
Kritik terhadap
objek studi berakibat pada metode. Tworuschka berpandangan perlunya konsentrasi
pada sejarah oral dari pada sejarah tertulis dan fungsi primer dalam kehidupan
sehari-hari (soal makan, minum, seksualitas, bernafas, tidur, pendidikan,
kesehatan, periode kehidupan, kehidupan keluarga, pakaian, bekerja, waktu
luang, dan kehidupan). Adapun tujuannya tidak lain untuk mengakses segala
sesuatu dalam pengalaman hidup sehari-hari. Lalu pada tahapan intrepetasi yang
didasarkan pada penelitian lapangan inilah disebut “deskripsi tebal”. (Peter
Connolly, 2002: 132)
4.
Pendekatan Filosofis
Pendekatan
filosofis ini mengalami krisis identitas karena 1). di mana pendekatan filosofis
dalam studi agama dapat ditemukan, karena pada faktanya ini bisa ditemukan di
filsafat, studi agama, teologi, dan departemen kemanusiaan. 2). mengapa banyaknya
tempat atau konteks yang berbeda-beda menyebabkan krisis identitas. (Peter
Connolly, 2002: 149)
Jika dalam
progam studi teologi, pendekatan filosofis dalam studi agama mungkin harus
melakukan penelitian dan penyelidikan yang berfokus pada bagaimana ide-ide dan
konsep-konsep dalam sejarah filsafat memungkinkan kita memperoleh pemahaman
yang lebih baik tentang doktrin atau
memahami pandangan para teolog secara lebih akurat. Dari sinilah maka
pendekatan ini terkadang disebut dengan “teologi filosofis”. (Peter Connolly,
2002: 151)
Filsafat yang
dipresepsikan dengan ketidak relevanan, nilai guna yang dipertanyakan, ketidak
mampuan filsafat dalam memberikan kesimpulan. Namun Dalferd menyatakan ketika mengkaji
agama, tidak mungkin menghindari filsafat. Suatu pendekatan filosifis terhadap
agama merefleksikan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pengalaman keagamaan
pra teologis dan dalam wacana keyakinan. Dengan kata lain, tugas filsafat adalah
melihat berbagai persoalan yang melingkupi pengalaman manusia, faktor-faktor
yang menyebabkan pengalaman manusia menjadi pengalaman religius, membahas bahasa
yang digunakan umat beriman, dan membicarakan keyakinan mereka. Inilah yang
kemudian dikatakan sebagai meniscayakan adanya hubungan agama dan filsafat yang
terfokus pada rasionalitas oleh Dalferd. (Peter Connolly, 2002: 156-157)
Pendekatan
filosofis terhadap agama adalah proses rasional yang mencakup pada dua hal. 1).
Kita menunjukan fakta bahwa akal memainkan peranan fundamental dalam refleksi
pengalaman dan keyakinan keagamaan dalam tradisi keagamaan. 2). Menunjukan
fakta bahwa dalam menguraikan keimanannya, tradisi keagamaan harus dapat
memproduksi argumen-argmen logis dan dalam membuat klaim-klaim yang dapat
dibenarkan. (Peter Connolly, 2002: 157) Adapun pusat filsafat adalah
pertanyaan-pertanyaan tertentu, dari pertanyaan inilah maka pendekatan filsafat
dimulai. (Peter Connolly, 2002: 161)
Menjawab
presepsi umum yang begitu negatif tentang nilai guna filsafat, maka filsafat
dalam nilai guna (yang pertama) sebagai suatu aktivitas yang dilakukan oleh
individu, suatu proses kerja gradual, abadi melalui ide, argumen, pemikiran dan
pengalaman. Nilai guna kedua filsafat adalah belajar bagaimana berfikir (suatu
proses yang melibatkan produksi alasan dan argumen. Dengan produksi inilah
menunjukan bahwa kita sedang berpikir tentang apa yang sedang kita katakan,
atau apa yang kita yakini, kita sedang berusaha menemukan cara untuk mendukung
dan membenarkan pernyatan-pernyataan kita. (Peter Connolly, 2002: 158-159)
Dalam pemaparan
selanjutnya, buku ini dibahas asal usul datangnya filsafat, pengertian dari
para filosof, unsur-unsurnya, kerangka umum filsafat, serta kesejarahan
keterkaitan dengan agama yang mana ada 4 posisi utama: 1. Filsafat sebagai
agama, 2. Filsafat sebagai pelayan agama, 3. Filsafat sebagai pembuat ruang
bagi keimanan, 4. Filsafat sebagai perangkat analitis dalam agama, dan boleh
ditambahkan yang ke 5. Filsafat sebagai studi tentang penalaran yang digunakan
dalam pemikiran keagamaan. (Peter Connolly, 2002: 167)
Logika sebagi
cabang pendekatan filosifis pertama yang menuntut premis yang benar guna
membangun argumen yang tidak keliru sebelum akhirnya menyimpulkan. Cabang
aktivitas filosofis kedua adalah metafisika, yang secara literal berarti
kehidupan, alam, dan segala hal yang syarat akan petanyaan fundamental
(kehidupan, eksistensi, dan watak itu sendiri) terkait hal yang paling besar. Cabang
aktivitas filosofis ketiga adalah epistimologi, yang menitik beratkan pada apa
yang kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui. Tugasnya tidak lain untuk
menemukan bagaimana pengetahuan berbeda dari keyakinan dan pendapat. Cabang
keempat aktiviatas filosofis adalah etika, yang minitik beratkan pada
pertanyaan-pertanyaan tentang kewajiban, keadilan, cinta, dan kebaikan. Dalam
kaitannya dengan studi agama jelas terlihat dalam kehidupan keagamaan
aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang menerangkan tentang cara kehidupan religius
yang sumbernya dikatakan adalah Tuhan. (Peter Connolly, 2002: 10-175)
Dari situlah
maka persoalan yang diperdebatkan muncul. Pertama, terkait wilayah studi bahasa
keagamaan dengan pandangan kultural dan linguistik. Kedua, wilayah kejahatan
(persoalan penderitaan dan kesengsaraan). Ketiga, terkait perbuatan Tuhan di
dunia(Peter Connolly, 2002: 177)
[1] Di-resume dari
Buku Peter Connolly, Approaches to The Study of Religion (Aneka
Pendekatan Studi Islam terj. Oleh Imam Khoiri) Yogyakarta: LKiS, 2002. Tiga pendekatan
lainnya belum sempat diresum, insya Allah nanti segera saya entrikan sisanya. Buku
ini bisa menjadi refrensi wajib bagi mahasiswa Pengkajian Islam terlebih jika
peneliti ingin memakai beberapa pendekatan yang tepat dan strategis sehingga
mampu memberikan poin lebih dalam hasil penlitiannya nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar