Review
Hasil Penelitian (Tesis):
Konsep Negara dan Demokrasi
dalam
Perpspektif Hukum Islam dan Konstitusi Hukum Modern
Penulis:
Budi Syihabuddin
Judul Tesis :
Konsep Negara dan Demokrasi dalam Perspektif Hukum Islam dan Konstitusi Modern
Penulis : Budi Syihabudin
Dosen Pembimbing : Prof.
Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA dan Dr. Bachtiar Effendy, MA
Tesis
Pada : UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Konsentrasi : Hukum Islam
Tahun : 2005
Jumlah Halaman : vi + 124
Daftar
Isi
KATA PENGANTAR – iii
DAFTAR ISI –v
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah………………………………….……………. 1
B.
Rumusan dan
Pembatasan Masalah…………………………………… 6
C.
Tujuan dan
Kegunaan Penelitian……….……………………….…….. 8
D.
Metode Penelitian…………………………………………....………… 9
E.
Sistematika
Pembahasan…………………………………..…………… 14
BAB II WAWASAN KONSEPTUAL TENTANG NEGARA DAN
DEMOKRASI
A.
Konsep Negara
Persepektif Hukum Islam……………………..……… 16
B.
Konsep
Demokrasi Persepektif Hukum Islam…………………………. 29
C.
Konsep Negara
Perspektif Konstitusi Modern………………………… 42
D.
Konsep
Demokrasi Perspektif Konstitusi Modern…………………….. 47
BAB III KONSEP NEGARA DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM
A.
Hakikat dan
Karakteristis Negara Islam………………………….……. 57
B.
Konsep Islam
tentang Kedaulatan……………………………………... 69
C.
Bentuk Negara
dan Sistem Pemerintahan…………………………….... 74
D.
Prinsip Syura
dan Demokrasi Islam…………………………………… 81
BAB IV KONSEP NEGARA DAN DEMOKRASI DALAM
KONSTITUSI MODERN
A.
Tipikal dan
Karakteristik Negara Konstitusi Modern………….………. 88
B.
Konsep Konstitusi
Modern tentang Kedaulatan……………………….. 90
C.
Bentuk Negara
dan Sistem Pemerintahan……………………………… 94
D.
Tipe-tipe
Demokrasi Modern…………………………..………………. 99
E.
Khilafah-Syura Versus Negara-Demokrasi: Upaya Mencari Titik Konvergensi (Sebuah
Perbandingan)……………...…………………… 101
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan…………………………………………..………………… 117
DAFTAR PUSTAKA…………………………...………………………………… 121
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pemikiran
politik Islam, paling tidak, terdapat tiga paradigma tentang hubungan Islam dan
negara. Pertama, paradigma
integralistik. Kedua, Paradigma
simbiotik, Ketiga, Paradigma
sekelaristik.
Mengenai
konsep demokrasi, para ulama dan cendikiawan Islam membahasnya pada dua tataran
yakni, pertama, pada tataran normatif.
Kedua, pada tataran empiris, konsep
demokrasi dianggap telah mengalami bias sehingga sering disalahgunakan untuk
penindasan dan kurangnya penekanan aspek spritual dalam pelaksanaan konsep
demokrasi tersebut.
Sedangkan
konsep konstitusi modern dan implikasinya yang nyata mencerminkan “kesepakatan”
pendapat umum saat ini, bahwa negara harus berdasarkan pada hukum yang
dirumuskan dalam sebuah konstitusi yang dianggap sebagai “ground norm” bagi semua aktivitas kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Hal ini merupakan prototipe negara modern, di samping berlakunya
asas demokrasi dan susunan negara kesatuan.
B.
Perumusan dan Pembatasan Masalah
Penulis
membatasi diri pada pembahasan masalah antara lain:
Pertama, pembahasan
konsep negara dan demokrasi perspektif hukum Islam. Kedua, pembahasan konsep negara dan demokrasi perspektif kosntitusi
modern. Ketiga, pada tesis ini
diketengahkan pendapat-pendapat ulama cendikiawan Muslim yang pro terhadap
konsep negara dan demokrasi Islam, sedangkan pendapat yang kontra tidak
termasuk dalam pembahasan.
Konsentrasi
persoalan tentu setelah elaborasi ini dilakukan setidaknya dapat dirumuskan
beberapa pandangan pada masing-masing wilayah pembahasan yang “berbeda”,
betapapun perbedaan ini tidak menapikan adanyaan persamaan antara kedua konsep
tersebut.
C.
Tujuan dan
Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan
penelitian:
Penelitian ini
bertujuan untuk:
a.
Mengetahui
konsep negara dan demokrasi dalam perspektif hukum Islam di satu sisi dan
konstitusi modern di sisi lain
b.
Mengelaborasi
karakteristik dan prototipe konsep negara dan demokrasi dalam perspektif hukum
Islam dan konstitusi modern
c.
Merumuskan
titil temu yang memungkinkan antara hukum Islam dan konstitusi modern tentang
konsep negara dan demokrasi
2.
Kegunaan
penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna bagi setiap upaya pengembangan
pemikiran di bidang hukum Islam secara umum, dan khususnya dalam pengembangan
wilayah siyasah al-syar’iyyah dalam
merespon isu-isu politik kontemporer
D.
Metode
Penelitian
1.
Pendekatan dan
Jenis Penelitian
Pendekatan
penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pemilihan pendekatan kualitatif
ini didasarkan pada pertimbangan untuk menjawab masalah dan tujuan penelitian
yaitu tentang konsep negara dan demokrasi dalam perspektif hukum Islam dan konstitusi
modern.
Adapun
karakteristik penelitian kualitatif antara lain adalah ia akan berlangsung
dalam latar belakang yang alamiah, peneliti sendiri merupakan alat pengumpul
data yang utama, analisis datanya dilakukan secara induktif, dan sebagainya.
Ditinjau
dari tujuannya penelitian ini terasuk ke dalam jenis penelitian deskriptif
analitis. Penulis berusaha menggambarkan fenomena sosial tertentu secara
sistematis, faktual dan akurat, kemudian dianalisis secara rinci dan kritis.
Dalam konteks ini berarti penulis menyajikan data-data yang telah diperoleh
tentang konsep negara dan demokrasi dalam perspektif hukum Islam dan konstitusi modern.
2.
Tekhnik
Pengumpulan Data
Data-data
yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi dara primer dan data
sekunder. Data primer terdiri dari dokumen-dokumen yang diperoleh dari kajian
kepustakaan. Studi ini dilakukan melalui pembacaan dan penganalisaan hasil dab
medua publikasi dan penerbitan yang berkaitan dengan masalah konsep negara dan
demokrasi dalam perspektik hukum Islam dan konstitusi modern, yang berupa
buku-buku, dan kitab-kitab yang relevan dengan tema penelitian ini. Sedangkan
sumber sekunder mencakup publikasi ilmiah seperti majalah, suratkabar, jurnal,
bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan kajian ini dan
artikel-artikel karya para ahli atau pemerhati yang concern terhadap isu-isu konsep negara dan demokrasi.
3.
Teknik Analisa
Data
Karena
penelitian ini bersifat kualitatif, maka analisa datanya bersifat iteratif (berkelanjutan) dan
dikembangkan sepanjang penelitian berlangsung.
Dalam
penelitian ini analisa dilakukan secara induktif, yaitu penulis berangkat dari
fakta-fakta dan ketentuan-ketentuan yang bersifat khusus, kemudian membuat
generalasasi analisa sehingga dapat diambil kesimpulan yang bersifat umum.
Kegiatan
analisis data dalam penelitian ini digunakan tiga tahapan: reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Tahap berikutnya adalah
penyajian data dalam konteks ini, peneliti menyajikan sekumpulan informasi yang
tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan.
Data yang telah
dipolakan, difokuskan dan disusun secara sistemastis tersebut diambil
kesimpulan, sehingga makna data dapat ditemukan. Namun kesimpulan itu bersifat
sementara saja dan masih bersifat umum. Agar kesimpulan yang diperoleh secara
final maka data lainnya perlu dicari data baru. Data tersebut bertugas
melakukan pengujian terhadap berbagai kesimpulan tentatif tersebut.
Selanjutnya
sebagai penajaman dalam melihat inti masalah, penulis memilih cara penelitian
deksriptif analitis. Pendekatan ini untuk memperoleh “subjek matter” dari persoalan-persoalan yang menjadi pembahasan. Dalam
hal ini, metode kajian menggunakan penelitian kepustakaan.
E.
Sistematika
Pembahasan
Pembahasan
seluruhnya dituangkan dalam lima bab, yaitu:
Bab I Membahas seputar
pemilihan pokok masalah, perumusan dan pembatasan masalah, metode pembahasan
dan sistematika pembahasan.
Bab II Mengetengahkan wawasan
konseptual tentang konsep negara dan demokrasi perspektif hukum Islam dan
konstitusi modern.
Bab III Bab yang
sangat penting untuk dibaca, di dalam uraiannya mengetengahlan secara panjang
lebar tentang konsep negara dan demokrasi Islam, memuat tentang hakikat dan
karakteristik negara Islam, konsep kedaulatan, bentuk dan sistem negara Islam
serta hubungan prinsip syuro dan demokrasi.
Bab IV Bab yang
mengetengahkan secara panjang lebar rentang wawasan konseptual negara dan
demokrasi perspektif konstitusi modern, yang memuat tipikal dan karakteristil
negara modern, konsep kedaulatan, bentuk dan sistem pemerintahan serta
diketangahkan tipe-tipe demokrasi modern.
Bab V Sebagai bab penutup
yang berisi kesimpulan yang diintrodusir dari semua uraian pembahasan tersebut.
Bab II
WAWASAN KONSEPTUAL
TENTANG NEGARA DAN DEMOKRASI
A.
Konsep Negara
Perspektif Hukum Islam
Dalam al-Qur’an terdapat kata “al-balad” yang disebut sebanyak delapan
kali yaitu pada surat al-A`raf ayat 57 dan 58, al-Nahl ayat 7, Fathir ayat 9,
al-Balad ayat 1 dan 2, al-Tin ayat 2, Ibrahim, ayat 25, al-Baqarah ayat 126.
Sementara itu, kata “bilad” disebut sebanyak lima kali yaitu
pada surat Ali Imran ayat 146, al-Mu’min ayat 4, Qaf ayat 36, al-Fajr ayat 8
dan ayat 11. Sedangkan kata-kata “baladah”
disebut sebanyak lima kali yaitu pada surat al-Furqan ayat 49, al-Zukhruf
ayat 11, Qaf ayat 11, Saba’ ayat 15, al-Naml ayat 91.
Al-Mawardi menyebutkan bahwa
kewajiban mendirikan Imamah adalah berdasarkan konsensus umat Islam. Hal ini
bisa terealisasikan apabila konsep taat melekat pada institusi imamah tersebut,
meskipun yang mengemban kepemimpinan itu adalah orang yang zalim. Hal itu
merupakan bentuk perintah Rasulullah Saw untuk patuh dan taat kepada pemerintah
yang baik dan yang zalim.
Secara tradisional, Al-Mawardi, Ibnu
Khaldun. Al-Qasimi merumuskan tiga komponen dalam sebuah negara Islam yaitu
masyakarakat muslim, hukum Islam dan khilafah. Selanjutnya para ulama dan
cendikiawan Muslim dalam diskursus tentang negara, memusatkan perhatiannya pada
konsep negara dalam arti formal, yakni sebagai organisasi kekuasaan dan tertib
hukum yang mengatur organisasi tersebut.
B.
Konsep
Demokrasi Islam Perspektif Hukum Islam
Secara
etimologi, Islam tidak mengenal istilah demokrasi, Islam hanya mengenal istilah
musyawarah sebagai pondasi paling utama dalam kehidupan politik. Beranjak dari
konsepsi musyawarah inilah Islam memperkenalkan suatu rumusan sistem politik,
yakni gagasan yang mengharuskan seluruh proses politik untuk melandaskan diri
pada partisipasi, kebebasan dan persamaan.
Demokrasi
itu sendiri kata Abdurrahman Wahid, ada yang bersifat pokok dan ada yang
bersifat derivasi. Nilai yang pokok tersebut adalah kebebasan persamaan dan
musyawarah.
Dalam
al-Qur’an ada dua ayat yang menerangkan tentang musyawarah. Pada salah stau
ayat al-Qur;an Allah menyebut bahwa orang-orang yang bermusyawarah adalah
orang-orang yang terpuji dan di ayat lainnya Allah memerintahkan kita untuk
bermusyawarah.
Dalam
ajaran Islam, masalah persamaan derajat dalam aspek kehidupan merupakan sebuah
misi universalisme Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
Para
intelektual Islam telah sepakat bahwa salah satu prinsip ajaran Islam adalah
musyawarah. Prinsip ini terdapat dalam al-Qur’an surat al-Syura ayat 38, Ali
Imran ayat 59. Nabi Muhammad Saw mempraktikkan prinsip ini bersama para
sahabatnya untuk mengambil keputusan yang bersifat untuk publik. Bahkan tidak
jarang nabi mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak. Misalnya seperti
posisi dalam perang Uhud untuk melakukan tindakan ofensif dalam menghadapi
serbuan kaum musyrik.
Meski
secara jelas al-Qur’an menyebutkan istilah syura,
namun konsep ahl hall wa al-‘aqd yang diuraikan oleh Al-Mawardi dan Abu Ya’la
Al-Fara’ tidak mengaitkannya dengan prinsip ini. Hanya Ibn Taimiyah yang
mengaitkannya dalam bukunya al-Syasah
al-Syar’iyyah fi Islah al-Ral wa Raiyyah.
Berbeda
dengan konsep klasik, para ulama intelektual muslim masa kini pada umumnya
menjadikan konsep syura dan musyawarah sebagai prinsip utama dalam teori politik Islam, di mana demokrasi telah menjadi tema utama dalam pembangunan sistem
politik yang beradab.
Dalam
menanggapi relasi anatara syura dan
demokrasi, para intelektual muslim melahirkan pendapat yang berbeda, yaitu:
·
Kelompok
konservatif mempertahan ralasi antara Islam dan negara yang terdiri dari faksi
tradisionalis dan fumdamentalis. Tokoh faksi pertama seperti Rasyid Ridha dan
yang kedua seperti Sayyid Qutb, Al-Maududi dan Hasan Al-Turabi
·
Kelompok
modernis dan neo-modernis berpendapat bahwa Islam mengatur masalah keduaniaan
atau kemasyarakatan secara garis besarnya saja. Sementara secara teknis dapat
mengadopsi sistem lain yang dalam hal ini adalah sistem barat yang telah
menunjukkan kelebihannya. Di antara tokoh kelompok ini adalah Muhammad Abduh,
Husein Haikal, Muhammad Asad.
·
Kelompok
sekuler atau liberal yang ingin memisahkan antara Islam dan negara, karena
menurut kelompok ini Islam sama dengan agama lainnya seperti konsep barat.
Pengusung kelompok ini adalah Thaha Husein dan Ali Abd Al-Raziq.
C.
Konsep Negara
Perspektif Konstitusi Modern
Kata negara yang berarti state
dalam bahasa Inggris memiliki dua arti yaitu masyarakat atau wilayah yang
merupakan kesatuan politis. Dalam arti ini, India, Korsel dan Argentina
merupakan negara, sedangkan suku Papua di Irian Jaya dan suku Kurdi di Timur
Tengah tidak. Kedua, negara adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis
tersebut dan menguasai wilayah itu.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya, negara merupakan integrasi
dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik,
negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk
mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan
fenomena-fenomena kekuasaan dalam masyarakat tersebut.
E.C. Smith dan A.J. Zwicher
merumuskan konsep negara moderns sebagai berikut:
Formally, the
modern state has been defined as a politically organized body of people
occupying a definite territory and living under a government antirely or secure
habitual obedience from all personal with it.
“Secara formal, negara modern diartikan sebagai lembaga politik
yang terorganisasi dari orang-orang atau memiliki daerah teritorial tertentu
serta hidup di bawah pemerintahan yang seluruhnya atau hampir seluruhnya
merdeka dan sanggup memelihara ketaatan
dari semua orang di dalamnya”.
Selanjutnya penulis menyebutkan sifat khusus yang dimiliki oleh
sebuah negara, yaitu: memaksa, monopoli dan mencakup semua.
D.
Konsep
Demokrasi Perspektif Konstitusi Modern
Secara historis
demokrasi ini muncul sebagai respon terhadap sistem monarki di Yunani pada abad
ke-5 SM. Namun demokrasi modern yang muncul sejak abad ke-16 M telah mengalami
perkembangan yang cukup signifikan. Ide demokrasi yang merupakan respon
terhadap teokrasi dan monarki absolut ini berasal dari gagasan tentang
sekularisme oleh Machiavelli [1469-1527], gagasan tentang kontrak sosial oleh
Thomas [1588-1679], gagasan tentang konstitusi negara, liberalisme dan
pemisahan kekuasaan menjadi badan-badan legislatif dan federatif oleh Jhon
Locke [1632-1679], yang kemudian dikembangkan oleh Baron Montesqiue [1689-1785]
dengan gagasannya tentang pemisahan kekuasaan menjadi badan-badan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif serta gagasan tentang kedaulatan rakyat dan kontrak
sosial oleh Jean Jacques Rousseau [1712-1778].
Di Indonesia,
demokrasi dipahami dalam rumusan misalnya, “Bentuk dan sistem pemerintahan yang
segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantara wakilnya”. Atau,
“gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban
serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara”. Dua rumusan ini sangat
representatif dan sangat membantu dalam rangka memahami perkembangan
konsep-konsep demokrasi.
Menurut
konfrensi Bangkok tahun 1965, ada enam kriteria demokrasi sebuah negara
demokrasi demokrasi, yaitu: adanya perlindungan konstitusional terhadap HAM, adanya
badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, terselenggaranya pemilihan umum
yang bebas, terjaminnya kebebasan untuk menyatakan pendapat, terjaminnya
kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroposisi, dan terselenggaranya pendidikan
kewarganegaraan.
Lebih dari ini,
ada tujuh prinsip utama demokrasi: kebebasan berbicara, pelaksanaan pemilu yang
langsung, kekuasaan dipegang oleh mayoritas tanpa mengabaikan kontol minoritas,
rakyat dengan bebas berhak mendukung partai apapun yang sesuai dengan
pilihannya, demokrasi meniscayakan adanya legislatif, eksekutif dan yufikatif,
demokrasi menekankan supremasi hukum semua individu harus tunduk di bawah hukum,
dan kebebasan melakukan aktifitas apapun tanpa boleh diganggu oleh pihak
manapun.
BAB
III
KONSEP
NEGARA DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM
A.
Hakikat Dan
Karakteristik Negara Islam
Organisasi
negara dalam Islam, kata Fazlur Rahman memperoleh kekuasaan dari rakyat, yaitu
komunitas muslim, maka ia bersifat demokratik. Menurut teori Islam, lanjutnya,
negara dapat dibentuk apabila ada sekelompok orang yang telah menyatakan
bersedia melaksanakan kehendak Allah sebagaimana tercermin dalam wahyu-Nya, dan
model negara semacam ini dalam Islam pernah dibentuk oleh Nabi Muhammad Saw,
dengan adanya kesepakatan tersebut, maka telah terbentuk suatu umat Muslim.
Jadi negara adalah organisasi yang mendapatkan kepercayaan dari umatnya untuk
mengemban tugas dalam rangka memenuhi keinginan umat. Karena itu, tidak dapat
diragukan lagi bahwa negara Islam itu mendapat jaminan dari rakyatnya.
Mohammad Asad,
seperti dikuti Syafi’i Ma’arif mengomentari diamnya al-Qur’an da Hadis dalam
memberikan konsep negara sebagai berikut:
1)
Al-Qur’an pada
prinsipnya adalah petunjuk etik bagi manusia, bukanlah buku panduan ilmu
politik
2)
Sudah merupakan
kenyataan bahwa institusi sosio politik mengalami perubahan. Di sinilah letak
keabadian al-Qur’an yang tidak menyebut secara terperinci tentang konsep negara
Ada
beberapa ajaran pokok Islam yang harus ditegakkan dalam membangun suatu negara:
keadilan, musyawarah dan persaudaraan
B.
Konsep Islam
tentang Kedaulatan
Prinsip utama
negara Islam adalah pengakuan terhadap kedaulatan Allah. Arti praktis dari
pernyataan ini adalah bahwa yang menjadi sumber hukum dalam masyarakat Islam
hanyalah Allah semata, demikian ungkap Maududi. Statemen ini bisa dipahami
karena Islam mengajarkan bahwa penguasa yang sebenarnya di alam raya ini adalah
Allah dan secara teoritis negara Islam adalah negara Allah atau kerajaan tuhan
di muka bumi dan kaum muslimin merupakan pihak Allah.
Selanjutnya
Allah menganugerahkan kekuasaannya kepada manusia, orang-orang beriman dan
berbuat baik sebagai khalifah untuk mengelola bumi ini. Sebagaimana firman
Allah dalam surat An-Nur ayat 55.
Al-Maududi menyebutkan
beberapa prinsip yang berkenaan dengan otoritas dan kedaulan kedaulatan
tertinggi berdasarkan legitimasi ayat al-Qur’an antara laim:
1)
Tidak ada
seorangpun atau satu instansipun yang mengklaim atas kedaulatan tertinggi.
Pemegang kedaulatan tertinggi hanyalah Allah, dan manusia adalah pelaksana
kedaulatan
2)
Allah adalah
pencipta hukum yang sebenarnya
3)
Suatu
pemerintahan yang menjalankan syariat Allah wajib memperoleh ketaatan dari
rakyat
Penekanan
Al-Maududi terhadap kedaulatan tuhan yang dialihkan ke dalam kedaulatan politik
ini, pada faktanya, memiliki kelemahan mendasar. Sebab menurut kalangan
modernis, dengan membatasi kedaulatan tuhan pada satu negara Islam, maka
konsekuensi yang langsung muncul darinya adalah bahwa tuhan itu tidak berdaulat
di luar negara Islam. Padahal tuhan dalam Islam bukanlah tuhan yang eksklusif
namun tuhan untuk semua manusia.
Sementara
menurut Fazlur Rahman, tokoh neo modernis Islam mengatakan bahwa terdapat
kekeliruan yang besar ketika dinyatakan secara eksplisit bahwa Allah itu
berdaulat secara politik. Ia beragumentasi dengan mengatakan bahwa istilah
kedaulatan merupakan istilah politik yang relatif baru dan mengandung
faktor-faktor tertentu yang diakui secara sah dan memiliki kekuasaan untuk
memaksa agar mematuhi apa yang dikehendaki oleh pemegang kedaulatan tersebut.
Jadi jelas bahwa Allah bukan pemegang kedaulatan seperti ini. Hanya rakyatlah
yang dapat memegang kedaulatan ini sebab kekuasaan untuk memaksa itu hanya
berada di tangan mereka.
C.
Bentuk Negara
Dan Sistem Pemerintahan Islam
Islam
menyediakan nas-nas hukum yang terbatas mengenai berbagai bidang termasuk
bidang politik, sebagian di antaranya adalah prinsip dan garis besar. Maka
pintu terbuka untuk melakukan ijtihad yang tidak ada nas yang jelas mengenai
masalah-masalah yang kemungkinan timbul dalam berbagai masa sesuai dengan
pendekatan intelektual manusia dan sejalan dengan prinsip-prinsip al-Qur’an dan
Hadis.
Lalu
bagaimanakah bentuk negara Islam; kerajaan atau republik? Husein Muhammad
Haikal dengan melihat pada konteks sejarah Islam mengatakan bahwa bentuk dan
corak negara Islam itu beraneka ragam Periose Khulafa al-Rasyidin tidak sama
dengan dinasti Umayyah begitu juga dengan dinasti Abbasiyah. Maka tidak mudah memilih
atau menentukan salah satu tipe dari tiga tipikal pemerintahan tersebut. Hal
ini disebabkan karena corak atau bentuk negara tersebut tidak semata-mata
ditentukan oleh prinsip-prinsip ajaran saja, tetapi juga oleh situasi sejarah,
latar belakang budaya dan tingkat perkembangan intelektual serta peradaban
manusia.
Kemudian sistem
pemerintahan Islam mempunyai tipikal dan beberapa prinsip antara lain:
1)
Negara Hukum
2)
Sistem
Konstitusional
D.
Prinsip Syura
dan Demokrasi
Adapun hubungan
antara konsep Islam dengan demokrasi yang menjadi tema diskursus para ulama dan
cendikiawan muslim, dibahas dalam pendekatan; normatif dan empiris. Pada
tataran normatif, mereka mempersoalkan nilai-nilai demokrasi ditinjau dari
aspek ajaran Islam. Sementara pada tataran empiris, mereka menganalisis
implementasi demokrasi dalam praktek politik.
Kohesi antara
Islam dengan demokrasi terletak pada prinsip persamaan karena itulah hakikat
dari tauhid; persamaan, solidaritas dan kebebasan.
Fazlur Rahman
mengatakan bahwa institusi semacam syura telah ada semenjak pra Islam. Waktu
itu para pemuka suku dan kota menjalankan urusan bersama melalui
permusyawaratan. Lembaga inilah yang kemudian didemokratisasikan oleh al-Qur’an
dengan menggunakan istilah nadi atau syura. Perubahan dasar yang dilakukan oleh
al-Qur’an adalah merubah syura dari institusi suku mejadi institusi komunitas,
karena ia menggantikan hubungan darah dengan hubungan iman.
BAB
IV
KONSEP
NEGARA DAN DEMOKRASI
DALAM
KONSTITUSI MODERN
A.
Tipikal dan
Karakteristik Negara Konstitusi Modern
Negara
konstitusi modern dapat diartikan sebagai suatu negara di mana hukum dijadikan
sebagai dasar pijakan dari segala tindakan pemerintahan maupun rakyatnya untuk
mencegah timbulnya tindakan sewenang-wenang dari penguasa dan tindakan rakyat
menurut kehendaknya sendiri.
Negara
konstitusi modern memiliki dua macam istilah yaitu Recht Staat dan Rule of Law.
Unsur Recht Staat adalah: hak-hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian
kekuasaaan, tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan-peraturan dan peradilan
administrasi yang berdiri sendiri.
B.
Konsep
Konstitusi Modern tentang Kedaulatan
Dalam literatur
ilmu politik terdapat empat rumusan tentang teori kedaulatan, antara lain: kedaulatan
negara, kedaulatan tuhan, kedaulatan rakyat, dan teori hukum.
C.
Bentuk Negara
dan Sistem Pemerintahan
1)
Bentuk negara
Saat
ini negara memiliki dua bentuk yakni kerajaan dan republik. Pendapat ini
dikemukakan oleh Niccolo Machiavelli. Sedangkan Jellinek membedakan bentuk
negara kerajaan dan republik berdasarkan pembentukan kemauan negara. Kemudian
Jellinek mengatakan jika cara pembentukan kemauan negara ditentukan oleh
seorang raja maka negara menjadi kerajaan, namun jika ditentukan oleh dewan
maka menjadi republik.
2)
Susunan Negara
Negara modern
saat ini memiliki dua bentuk yaitu negara kesatuan dan negara federasi.
3)
Sistem
Pemerintahan
Sistem
pemerintahan memiliki tiga kemungkinan: yaitu eksekutif berkedudukan sama
dengan legislatif, eksekutif lebih tinggi dari legislatif atau pun eksekutif
lebih rendah dari legislatif. Berdasarkan tiga kriteria ini maka pemerintahan
bisa berbentuk presidensil ataupun parlementer.
D.
Tipe-tipe
Demokrasi Modern
a.
Sistem
presidensil
b.
SIstem
parlementer
c.
Sistem
referendum
E.
Khilafah-Syura
versus Negara-Demokrasi: Upaya Mencari Titik Konvergensi (Sebuah Analisa
Perbandingan)
Islam tidak
mengenal adanya pemisahan antara politik dan agama sebagaimana dalam paradigma
Barat, maka Islam memandang politik sebagai tugas keagamaan dan
keduniaan sekaligus. Oleh karena itu, pertama kali yang dilakukan oleh nabi
Muhammad SAW dalam risalahnya adalah membangun teologi yang bercorak egalitarian
dan liberatif.
Dalam konteks
politik, nilai-nilai kemanusiaan universal seperti persamaan, keadilan,
kemerdekaan yang semuanya merupakan derivasi dari ajaran tauhid. Berdasarkan
kerangka dasar nilai inilah nabi mengembangkan kepemimpinan moral dalam
politiknya.
Sebagai sebuah
agama, Islam tentu memiliki batasan-batasan sendiri yang berbeda dengan nilai
barat yang didasarkan pada sekularisme dan liberalisme. Problematika ini akan
tampak jelas ketika pendapat mayoritas bertentangan dengan syariat. Demikian
pula status kewarganegaraan Muslim dan non Muslim serta kedudukan laki-laki dan
perempuan.
Penilaian lain
tentang demokrasi Barat juga diberikan oleh Iqbal. Sejalan dengan kemenangan
sekularisme agama, menurut Iqbal, demokrasi modern barat telah kehilangan sisi
spritualnya. Hal ini mengakibatkan praktek-praktek demokrasi barat jauh dari
etika, sehingga menimbulkan berbagai penyimpangan.
Islam menurut
Iqbal secara jelas menolak segala bentuk otoritarianisme dan kediktatoran.
Namun Islan juga tidak menerima demokrasi Barat yang telah kehilangan basis
moral dan spritual. Sebagai alternatif, Iqbal menekankan prinsip-prinsip yang
disejajarkan dengan syura dalam Islam yaitu tauhid sebagai landasan asasi,
kepatuhan kepada hukum, toleransi terhadap sesama, demokrasi Islam tidak
dibatasi oleh wilayah, suku, bahasa, dan penafsiran hukum tuhan harus dilakukan
melalui ijtihad.
Quraish
Shihab membuat tiga perbedaan antara syura dan demokrasi yaitu pertama: Syura tidak memutlakkan
pengambilan keputusan hanya berdasarkan suara mayoritas, namun juga minortitas
yang lebih baik dan argumentatif. Kedua, perjanjian
atatu kontrak sosial antara pemimpin dan rakyat dalam syura mengacu kepada
perjanjian ilahi, berbeda dengan demokrasi. Ketiga,
karena tidak memiliki landasan ilahiah, maka demokrasi modern dapat
memutuskan masalah apa saja, sedangkan syura sudah tegas memberi
batasan-batasan yang bisa dimusyawarahkan dan apa yang tidak.
Jadi
jelasnya, jika umat Islam mau menerapkan demokrasi, maka harus melakukan
filterisasi terhadap benih-benih sekularisme dan sikap individualisme yang
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas. Hanya dengan cara
ini, umat Islam dapat menerima demokrasi dan mengidentikkannya dengan syura.
Akhirnya,
dari paparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa demokrasi dan syura
bukanlah dua hal yang compatible tetapi
bukan pula dua hal yang dipertentangkan. Demokrasi dapat menjadi bagian dari
sistem politik Islam apabila orientasi dan sistem nilainya diberi muatan
nilai-nilai agama dan moralitas.
BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam ajaran
Islam terkandung nilai-nilai demokrasi maka bagi komunitas Muslim hendaknya
secara sadar dan kreatif melakukan ijtihad untuk menanamkan nilai-nilai agama,
untuk mendorong proses demokrasi sehingga terwujud demokrasi spritual.
Demokrasi itu
sendiri dapat berupa lembaga dan sistem nilai. Artinya, bahwa demokrasi adalah
suatu konsep berpolitik. Berdasarkan hal ini, Islam sepatutnya berpihak pada
konsep politik (demokrasi). Sebab, setelah sistem demokrasi diislamkan,
preferensi sistem politik yang semula kosong menjadi berisi. Islam dan
demokrasi saling melengkapi. Artinya Islam mengisi preferensi nilai sedangkan
demokrasi memberikan konsep atau bentuk sistem politik. Dalam konteks inilah
konsep urgensitas demokrasi spritual yang diajukan Iqbal dapat dipahami. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar