Rabu, 12 Oktober 2016

Konsep Negara dan Demokrasi dalam Perpspektif Hukum Islam dan Konstitusi Hukum Modern

Review
Hasil Penelitian (Tesis): Konsep Negara dan Demokrasi
dalam Perpspektif Hukum Islam dan Konstitusi Hukum Modern
Penulis: Budi Syihabuddin


Judul Tesis                  : Konsep Negara dan Demokrasi dalam Perspektif Hukum Islam dan Konstitusi Modern
Penulis                         : Budi Syihabudin
Dosen Pembimbing     : Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA dan Dr. Bachtiar Effendy, MA
Tesis Pada                   : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konsentrasi                 : Hukum Islam
Tahun                          : 2005
Jumlah Halaman          : vi + 124


Daftar Isi

KATA PENGANTAR – iii
DAFTAR ISI –v

BAB    I           PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah………………………………….……………. 1
B.     Rumusan dan Pembatasan Masalah…………………………………… 6
C.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian……….……………………….…….. 8
D.    Metode Penelitian…………………………………………....………… 9
E.     Sistematika Pembahasan…………………………………..…………… 14                               

BAB    II         WAWASAN KONSEPTUAL TENTANG NEGARA DAN DEMOKRASI
A.    Konsep Negara Persepektif Hukum Islam……………………..……… 16
B.     Konsep Demokrasi Persepektif Hukum Islam…………………………. 29
C.     Konsep Negara Perspektif Konstitusi Modern………………………… 42
D.    Konsep Demokrasi Perspektif Konstitusi Modern…………………….. 47

BAB   III        KONSEP NEGARA DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM
A.    Hakikat dan Karakteristis Negara Islam………………………….……. 57
B.     Konsep Islam tentang Kedaulatan……………………………………... 69
C.     Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan…………………………….... 74
D.    Prinsip Syura dan Demokrasi Islam…………………………………… 81

BAB    IV        KONSEP NEGARA DAN DEMOKRASI DALAM KONSTITUSI MODERN
A.    Tipikal dan Karakteristik Negara Konstitusi Modern………….………. 88
B.     Konsep Konstitusi Modern tentang Kedaulatan……………………….. 90
C.     Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan……………………………… 94
D.    Tipe-tipe Demokrasi Modern…………………………..………………. 99
E.     Khilafah-Syura Versus Negara-Demokrasi: Upaya Mencari Titik Konvergensi (Sebuah Perbandingan)……………...…………………… 101

BAB    V         PENUTUP
A.    Kesimpulan…………………………………………..………………… 117

DAFTAR PUSTAKA…………………………...…………………………………  121

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pemikiran politik Islam, paling tidak, terdapat tiga paradigma tentang hubungan Islam dan negara. Pertama, paradigma integralistik. Kedua, Paradigma simbiotik, Ketiga, Paradigma sekelaristik.
Mengenai konsep demokrasi, para ulama dan cendikiawan Islam membahasnya pada dua tataran yakni, pertama, pada tataran normatif. Kedua, pada tataran empiris, konsep demokrasi dianggap telah mengalami bias sehingga sering disalahgunakan untuk penindasan dan kurangnya penekanan aspek spritual dalam pelaksanaan konsep demokrasi tersebut.
Sedangkan konsep konstitusi modern dan implikasinya yang nyata mencerminkan “kesepakatan” pendapat umum saat ini, bahwa negara harus berdasarkan pada hukum yang dirumuskan dalam sebuah konstitusi yang dianggap sebagai “ground norm” bagi semua aktivitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini merupakan prototipe negara modern, di samping berlakunya asas demokrasi dan susunan negara kesatuan.
B.     Perumusan dan Pembatasan Masalah
Penulis membatasi diri pada pembahasan masalah antara lain:
Pertama, pembahasan konsep negara dan demokrasi perspektif hukum Islam. Kedua, pembahasan konsep negara dan demokrasi perspektif kosntitusi modern. Ketiga, pada tesis ini diketengahkan pendapat-pendapat ulama cendikiawan Muslim yang pro terhadap konsep negara dan demokrasi Islam, sedangkan pendapat yang kontra tidak termasuk dalam pembahasan.
Konsentrasi persoalan tentu setelah elaborasi ini dilakukan setidaknya dapat dirumuskan beberapa pandangan pada masing-masing wilayah pembahasan yang “berbeda”, betapapun perbedaan ini tidak menapikan adanyaan persamaan antara kedua konsep tersebut.
C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.      Tujuan penelitian:
Penelitian ini bertujuan untuk:
a.       Mengetahui konsep negara dan demokrasi dalam perspektif hukum Islam di satu sisi dan konstitusi modern di sisi lain
b.      Mengelaborasi karakteristik dan prototipe konsep negara dan demokrasi dalam perspektif hukum Islam dan konstitusi modern
c.       Merumuskan titil temu yang memungkinkan antara hukum Islam dan konstitusi modern tentang konsep negara dan demokrasi
2.      Kegunaan penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna bagi setiap upaya pengembangan pemikiran di bidang hukum Islam secara umum, dan khususnya dalam pengembangan wilayah siyasah al-syar’iyyah dalam merespon isu-isu politik kontemporer
D.    Metode Penelitian
1.      Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pemilihan pendekatan kualitatif ini didasarkan pada pertimbangan untuk menjawab masalah dan tujuan penelitian yaitu tentang konsep negara dan demokrasi dalam perspektif hukum Islam dan konstitusi modern.
Adapun karakteristik penelitian kualitatif antara lain adalah ia akan berlangsung dalam latar belakang yang alamiah, peneliti sendiri merupakan alat pengumpul data yang utama, analisis datanya dilakukan secara induktif, dan sebagainya.
Ditinjau dari tujuannya penelitian ini terasuk ke dalam jenis penelitian deskriptif analitis. Penulis berusaha menggambarkan fenomena sosial tertentu secara sistematis, faktual dan akurat, kemudian dianalisis secara rinci dan kritis. Dalam konteks ini berarti penulis menyajikan data-data yang telah diperoleh tentang konsep negara dan demokrasi dalam perspektif  hukum Islam dan konstitusi modern.
2.      Tekhnik Pengumpulan Data
Data-data yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi dara primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari dokumen-dokumen yang diperoleh dari kajian kepustakaan. Studi ini dilakukan melalui pembacaan dan penganalisaan hasil dab medua publikasi dan penerbitan yang berkaitan dengan masalah konsep negara dan demokrasi dalam perspektik hukum Islam dan konstitusi modern, yang berupa buku-buku, dan kitab-kitab yang relevan dengan tema penelitian ini. Sedangkan sumber sekunder mencakup publikasi ilmiah seperti majalah, suratkabar, jurnal, bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan kajian ini dan artikel-artikel karya para ahli atau pemerhati yang concern terhadap isu-isu konsep negara dan demokrasi.
3.      Teknik Analisa Data
Karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka analisa datanya bersifat iteratif (berkelanjutan) dan dikembangkan sepanjang penelitian berlangsung.
Dalam penelitian ini analisa dilakukan secara induktif, yaitu penulis berangkat dari fakta-fakta dan ketentuan-ketentuan yang bersifat khusus, kemudian membuat generalasasi analisa sehingga dapat diambil kesimpulan yang bersifat umum.
Kegiatan analisis data dalam penelitian ini digunakan tiga tahapan: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Tahap berikutnya adalah penyajian data dalam konteks ini, peneliti menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Data yang telah dipolakan, difokuskan dan disusun secara sistemastis tersebut diambil kesimpulan, sehingga makna data dapat ditemukan. Namun kesimpulan itu bersifat sementara saja dan masih bersifat umum. Agar kesimpulan yang diperoleh secara final maka data lainnya perlu dicari data baru. Data tersebut bertugas melakukan pengujian terhadap berbagai kesimpulan tentatif tersebut.
Selanjutnya sebagai penajaman dalam melihat inti masalah, penulis memilih cara penelitian deksriptif analitis. Pendekatan ini untuk memperoleh “subjek matter” dari persoalan-persoalan yang menjadi pembahasan. Dalam hal ini, metode kajian menggunakan penelitian kepustakaan.
E.     Sistematika Pembahasan
Pembahasan seluruhnya dituangkan dalam lima bab, yaitu:
Bab I   Membahas seputar pemilihan pokok masalah, perumusan dan pembatasan masalah, metode pembahasan dan sistematika pembahasan.
Bab II  Mengetengahkan wawasan konseptual tentang konsep negara dan demokrasi perspektif hukum Islam dan konstitusi modern.
Bab III            Bab yang sangat penting untuk dibaca, di dalam uraiannya mengetengahlan secara panjang lebar tentang konsep negara dan demokrasi Islam, memuat tentang hakikat dan karakteristik negara Islam, konsep kedaulatan, bentuk dan sistem negara Islam serta hubungan prinsip syuro dan demokrasi.
Bab IV            Bab yang mengetengahkan secara panjang lebar rentang wawasan konseptual negara dan demokrasi perspektif konstitusi modern, yang memuat tipikal dan karakteristil negara modern, konsep kedaulatan, bentuk dan sistem pemerintahan serta diketangahkan tipe-tipe demokrasi modern.
Bab V  Sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan yang diintrodusir dari semua uraian pembahasan tersebut.

Bab II
WAWASAN KONSEPTUAL
TENTANG NEGARA DAN DEMOKRASI
A.    Konsep Negara Perspektif Hukum Islam
            Dalam al-Qur’an terdapat kata “al-balad” yang disebut sebanyak delapan kali yaitu pada surat al-A`raf ayat 57 dan 58, al-Nahl ayat 7, Fathir ayat 9, al-Balad ayat 1 dan 2, al-Tin ayat 2, Ibrahim, ayat 25, al-Baqarah ayat 126.
            Sementara itu, kata “bilad” disebut sebanyak lima kali yaitu pada surat Ali Imran ayat 146, al-Mu’min ayat 4, Qaf ayat 36, al-Fajr ayat 8 dan ayat 11. Sedangkan kata-kata “baladah” disebut sebanyak lima kali yaitu pada surat al-Furqan ayat 49, al-Zukhruf ayat 11, Qaf ayat 11, Saba’ ayat 15, al-Naml ayat 91.  
            Al-Mawardi menyebutkan bahwa kewajiban mendirikan Imamah adalah berdasarkan konsensus umat Islam. Hal ini bisa terealisasikan apabila konsep taat melekat pada institusi imamah tersebut, meskipun yang mengemban kepemimpinan itu adalah orang yang zalim. Hal itu merupakan bentuk perintah Rasulullah Saw untuk patuh dan taat kepada pemerintah yang baik dan yang zalim.          
            Secara tradisional, Al-Mawardi, Ibnu Khaldun. Al-Qasimi merumuskan tiga komponen dalam sebuah negara Islam yaitu masyakarakat muslim, hukum Islam dan khilafah. Selanjutnya para ulama dan cendikiawan Muslim dalam diskursus tentang negara, memusatkan perhatiannya pada konsep negara dalam arti formal, yakni sebagai organisasi kekuasaan dan tertib hukum yang mengatur organisasi tersebut.
B.     Konsep Demokrasi Islam Perspektif Hukum Islam
Secara etimologi, Islam tidak mengenal istilah demokrasi, Islam hanya mengenal istilah musyawarah sebagai pondasi paling utama dalam kehidupan politik. Beranjak dari konsepsi musyawarah inilah Islam memperkenalkan suatu rumusan sistem politik, yakni gagasan yang mengharuskan seluruh proses politik untuk melandaskan diri pada partisipasi, kebebasan dan persamaan.
Demokrasi itu sendiri kata Abdurrahman Wahid, ada yang bersifat pokok dan ada yang bersifat derivasi. Nilai yang pokok tersebut adalah kebebasan persamaan dan musyawarah.
Dalam al-Qur’an ada dua ayat yang menerangkan tentang musyawarah. Pada salah stau ayat al-Qur;an Allah menyebut bahwa orang-orang yang bermusyawarah adalah orang-orang yang terpuji dan di ayat lainnya Allah memerintahkan kita untuk bermusyawarah.
Dalam ajaran Islam, masalah persamaan derajat dalam aspek kehidupan merupakan sebuah misi universalisme Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
Para intelektual Islam telah sepakat bahwa salah satu prinsip ajaran Islam adalah musyawarah. Prinsip ini terdapat dalam al-Qur’an surat al-Syura ayat 38, Ali Imran ayat 59. Nabi Muhammad Saw mempraktikkan prinsip ini bersama para sahabatnya untuk mengambil keputusan yang bersifat untuk publik. Bahkan tidak jarang nabi mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak. Misalnya seperti posisi dalam perang Uhud untuk melakukan tindakan ofensif dalam menghadapi serbuan kaum musyrik.
Meski secara jelas al-Qur’an menyebutkan istilah syura, namun  konsep ahl hall wa al-‘aqd yang diuraikan oleh Al-Mawardi dan Abu Ya’la Al-Fara’ tidak mengaitkannya dengan prinsip ini. Hanya Ibn Taimiyah yang mengaitkannya dalam bukunya al-Syasah al-Syar’iyyah fi Islah al-Ral wa Raiyyah.
Berbeda dengan konsep klasik, para ulama intelektual muslim masa kini pada umumnya menjadikan konsep syura dan musyawarah sebagai prinsip utama dalam teori politik Islam, di mana demokrasi telah menjadi tema utama dalam pembangunan sistem politik yang beradab.  
Dalam menanggapi relasi anatara syura dan demokrasi, para intelektual muslim melahirkan pendapat yang berbeda, yaitu:
·         Kelompok konservatif mempertahan ralasi antara Islam dan negara yang terdiri dari faksi tradisionalis dan fumdamentalis. Tokoh faksi pertama seperti Rasyid Ridha dan yang kedua seperti Sayyid Qutb, Al-Maududi dan Hasan Al-Turabi
·         Kelompok modernis dan neo-modernis berpendapat bahwa Islam mengatur masalah keduaniaan atau kemasyarakatan secara garis besarnya saja. Sementara secara teknis dapat mengadopsi sistem lain yang dalam hal ini adalah sistem barat yang telah menunjukkan kelebihannya. Di antara tokoh kelompok ini adalah Muhammad Abduh, Husein Haikal, Muhammad Asad.
·         Kelompok sekuler atau liberal yang ingin memisahkan antara Islam dan negara, karena menurut kelompok ini Islam sama dengan agama lainnya seperti konsep barat. Pengusung kelompok ini adalah Thaha Husein dan Ali Abd Al-Raziq.
C.    Konsep Negara Perspektif Konstitusi Modern
Kata negara yang berarti state dalam bahasa Inggris memiliki dua arti yaitu masyarakat atau wilayah yang merupakan kesatuan politis. Dalam arti ini, India, Korsel dan Argentina merupakan negara, sedangkan suku Papua di Irian Jaya dan suku Kurdi di Timur Tengah tidak. Kedua, negara adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis tersebut dan menguasai wilayah itu.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya, negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik, negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan fenomena-fenomena kekuasaan dalam masyarakat tersebut.
E.C. Smith dan A.J. Zwicher  merumuskan konsep negara moderns sebagai berikut:
Formally, the modern state has been defined as a politically organized body of people occupying a definite territory and living under a government antirely or secure habitual obedience from all personal with it.
“Secara formal, negara modern diartikan sebagai lembaga politik yang terorganisasi dari orang-orang atau memiliki daerah teritorial tertentu serta hidup di bawah pemerintahan yang seluruhnya atau hampir seluruhnya merdeka dan sanggup memelihara  ketaatan dari semua orang di dalamnya”.
Selanjutnya penulis menyebutkan sifat khusus yang dimiliki oleh sebuah negara, yaitu: memaksa, monopoli dan mencakup semua.
D.    Konsep Demokrasi Perspektif Konstitusi Modern
Secara historis demokrasi ini muncul sebagai respon terhadap sistem monarki di Yunani pada abad ke-5 SM. Namun demokrasi modern yang muncul sejak abad ke-16 M telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Ide demokrasi yang merupakan respon terhadap teokrasi dan monarki absolut ini berasal dari gagasan tentang sekularisme oleh Machiavelli [1469-1527], gagasan tentang kontrak sosial oleh Thomas [1588-1679], gagasan tentang konstitusi negara, liberalisme dan pemisahan kekuasaan menjadi badan-badan legislatif dan federatif oleh Jhon Locke [1632-1679], yang kemudian dikembangkan oleh Baron Montesqiue [1689-1785] dengan gagasannya tentang pemisahan kekuasaan menjadi badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta gagasan tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial oleh Jean Jacques Rousseau [1712-1778].
Di Indonesia, demokrasi dipahami dalam rumusan misalnya, “Bentuk dan sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantara wakilnya”. Atau, “gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara”. Dua rumusan ini sangat representatif dan sangat membantu dalam rangka memahami perkembangan konsep-konsep demokrasi.
Menurut konfrensi Bangkok tahun 1965, ada enam kriteria demokrasi sebuah negara demokrasi demokrasi, yaitu: adanya perlindungan konstitusional terhadap HAM, adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, terselenggaranya pemilihan umum yang bebas, terjaminnya kebebasan untuk menyatakan pendapat, terjaminnya kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroposisi,  dan terselenggaranya pendidikan kewarganegaraan.
Lebih dari ini, ada tujuh prinsip utama demokrasi: kebebasan berbicara, pelaksanaan pemilu yang langsung, kekuasaan dipegang oleh mayoritas tanpa mengabaikan kontol minoritas, rakyat dengan bebas berhak mendukung partai apapun yang sesuai dengan pilihannya, demokrasi meniscayakan adanya legislatif, eksekutif dan yufikatif, demokrasi menekankan supremasi hukum semua individu harus tunduk di bawah hukum, dan kebebasan melakukan aktifitas apapun tanpa boleh diganggu oleh pihak manapun.

BAB III
KONSEP NEGARA DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM
A.    Hakikat Dan Karakteristik Negara Islam
Organisasi negara dalam Islam, kata Fazlur Rahman memperoleh kekuasaan dari rakyat, yaitu komunitas muslim, maka ia bersifat demokratik. Menurut teori Islam, lanjutnya, negara dapat dibentuk apabila ada sekelompok orang yang telah menyatakan bersedia melaksanakan kehendak Allah sebagaimana tercermin dalam wahyu-Nya, dan model negara semacam ini dalam Islam pernah dibentuk oleh Nabi Muhammad Saw, dengan adanya kesepakatan tersebut, maka telah terbentuk suatu umat Muslim. Jadi negara adalah organisasi yang mendapatkan kepercayaan dari umatnya untuk mengemban tugas dalam rangka memenuhi keinginan umat. Karena itu, tidak dapat diragukan lagi bahwa negara Islam itu mendapat jaminan dari rakyatnya.
Mohammad Asad, seperti dikuti Syafi’i Ma’arif mengomentari diamnya al-Qur’an da Hadis dalam memberikan konsep negara sebagai berikut:
1)      Al-Qur’an pada prinsipnya adalah petunjuk etik bagi manusia, bukanlah buku panduan ilmu politik
2)      Sudah merupakan kenyataan bahwa institusi sosio politik mengalami perubahan. Di sinilah letak keabadian al-Qur’an yang tidak menyebut secara terperinci tentang konsep negara
Ada beberapa ajaran pokok Islam yang harus ditegakkan dalam membangun suatu negara: keadilan, musyawarah dan persaudaraan
B.     Konsep Islam tentang Kedaulatan
Prinsip utama negara Islam adalah pengakuan terhadap kedaulatan Allah. Arti praktis dari pernyataan ini adalah bahwa yang menjadi sumber hukum dalam masyarakat Islam hanyalah Allah semata, demikian ungkap Maududi. Statemen ini bisa dipahami karena Islam mengajarkan bahwa penguasa yang sebenarnya di alam raya ini adalah Allah dan secara teoritis negara Islam adalah negara Allah atau kerajaan tuhan di muka bumi dan kaum muslimin merupakan pihak Allah.
Selanjutnya Allah menganugerahkan kekuasaannya kepada manusia, orang-orang beriman dan berbuat baik sebagai khalifah untuk mengelola bumi ini. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nur ayat 55.
Al-Maududi menyebutkan beberapa prinsip yang berkenaan dengan otoritas dan kedaulan kedaulatan tertinggi berdasarkan legitimasi ayat al-Qur’an antara laim:
1)      Tidak ada seorangpun atau satu instansipun yang mengklaim atas kedaulatan tertinggi. Pemegang kedaulatan tertinggi hanyalah Allah, dan manusia adalah pelaksana kedaulatan
2)      Allah adalah pencipta hukum yang sebenarnya
3)      Suatu pemerintahan yang menjalankan syariat Allah wajib memperoleh ketaatan dari rakyat
Penekanan Al-Maududi terhadap kedaulatan tuhan yang dialihkan ke dalam kedaulatan politik ini, pada faktanya, memiliki kelemahan mendasar. Sebab menurut kalangan modernis, dengan membatasi kedaulatan tuhan pada satu negara Islam, maka konsekuensi yang langsung muncul darinya adalah bahwa tuhan itu tidak berdaulat di luar negara Islam. Padahal tuhan dalam Islam bukanlah tuhan yang eksklusif namun tuhan untuk semua manusia.
Sementara menurut Fazlur Rahman, tokoh neo modernis Islam mengatakan bahwa terdapat kekeliruan yang besar ketika dinyatakan secara eksplisit bahwa Allah itu berdaulat secara politik. Ia beragumentasi dengan mengatakan bahwa istilah kedaulatan merupakan istilah politik yang relatif baru dan mengandung faktor-faktor tertentu yang diakui secara sah dan memiliki kekuasaan untuk memaksa agar mematuhi apa yang dikehendaki oleh pemegang kedaulatan tersebut. Jadi jelas bahwa Allah bukan pemegang kedaulatan seperti ini. Hanya rakyatlah yang dapat memegang kedaulatan ini sebab kekuasaan untuk memaksa itu hanya berada di tangan mereka.
C.    Bentuk Negara Dan Sistem Pemerintahan Islam
Islam menyediakan nas-nas hukum yang terbatas mengenai berbagai bidang termasuk bidang politik, sebagian di antaranya adalah prinsip dan garis besar. Maka pintu terbuka untuk melakukan ijtihad yang tidak ada nas yang jelas mengenai masalah-masalah yang kemungkinan timbul dalam berbagai masa sesuai dengan pendekatan intelektual manusia dan sejalan dengan prinsip-prinsip al-Qur’an dan Hadis.
Lalu bagaimanakah bentuk negara Islam; kerajaan atau republik? Husein Muhammad Haikal dengan melihat pada konteks sejarah Islam mengatakan bahwa bentuk dan corak negara Islam itu beraneka ragam Periose Khulafa al-Rasyidin tidak sama dengan dinasti Umayyah begitu juga dengan dinasti Abbasiyah. Maka tidak mudah memilih atau menentukan salah satu tipe dari tiga tipikal pemerintahan tersebut. Hal ini disebabkan karena corak atau bentuk negara tersebut tidak semata-mata ditentukan oleh prinsip-prinsip ajaran saja, tetapi juga oleh situasi sejarah, latar belakang budaya dan tingkat perkembangan intelektual serta peradaban manusia.
Kemudian sistem pemerintahan Islam mempunyai tipikal dan beberapa prinsip antara lain:
1)       Negara Hukum
2)      Sistem Konstitusional
D.    Prinsip Syura dan Demokrasi
Adapun hubungan antara konsep Islam dengan demokrasi yang menjadi tema diskursus para ulama dan cendikiawan muslim, dibahas dalam pendekatan; normatif dan empiris. Pada tataran normatif, mereka mempersoalkan nilai-nilai demokrasi ditinjau dari aspek ajaran Islam. Sementara pada tataran empiris, mereka menganalisis implementasi demokrasi dalam praktek politik.
Kohesi antara Islam dengan demokrasi terletak pada prinsip persamaan karena itulah hakikat dari tauhid; persamaan, solidaritas dan kebebasan.
Fazlur Rahman mengatakan bahwa institusi semacam syura telah ada semenjak pra Islam. Waktu itu para pemuka suku dan kota menjalankan urusan bersama melalui permusyawaratan. Lembaga inilah yang kemudian didemokratisasikan oleh al-Qur’an dengan menggunakan istilah nadi atau syura. Perubahan dasar yang dilakukan oleh al-Qur’an adalah merubah syura dari institusi suku mejadi institusi komunitas, karena ia menggantikan hubungan darah dengan hubungan iman.

BAB IV
KONSEP NEGARA DAN DEMOKRASI
DALAM KONSTITUSI MODERN
A.    Tipikal dan Karakteristik Negara Konstitusi Modern
Negara konstitusi modern dapat diartikan sebagai suatu negara di mana hukum dijadikan sebagai dasar pijakan dari segala tindakan pemerintahan maupun rakyatnya untuk mencegah timbulnya tindakan sewenang-wenang dari penguasa dan tindakan rakyat menurut kehendaknya sendiri.
Negara konstitusi modern memiliki dua macam istilah yaitu Recht Staat dan Rule of Law. Unsur Recht Staat adalah: hak-hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaaan, tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan-peraturan dan peradilan administrasi yang berdiri sendiri.
B.     Konsep Konstitusi Modern tentang Kedaulatan
Dalam literatur ilmu politik terdapat empat rumusan tentang teori kedaulatan, antara lain: kedaulatan negara, kedaulatan tuhan, kedaulatan rakyat, dan teori hukum.
C.    Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan
1)      Bentuk negara
Saat ini negara memiliki dua bentuk yakni kerajaan dan republik. Pendapat ini dikemukakan oleh Niccolo Machiavelli. Sedangkan Jellinek membedakan bentuk negara kerajaan dan republik berdasarkan pembentukan kemauan negara. Kemudian Jellinek mengatakan jika cara pembentukan kemauan negara ditentukan oleh seorang raja maka negara menjadi kerajaan, namun jika ditentukan oleh dewan maka menjadi republik.
2)      Susunan Negara
Negara modern saat ini memiliki dua bentuk yaitu negara kesatuan dan negara federasi.
3)      Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan memiliki tiga kemungkinan: yaitu eksekutif berkedudukan sama dengan legislatif, eksekutif lebih tinggi dari legislatif atau pun eksekutif lebih rendah dari legislatif. Berdasarkan tiga kriteria ini maka pemerintahan bisa berbentuk presidensil ataupun parlementer.
D.    Tipe-tipe Demokrasi Modern
a.       Sistem presidensil
b.      SIstem parlementer
c.       Sistem referendum
E.     Khilafah-Syura versus Negara-Demokrasi: Upaya Mencari Titik Konvergensi (Sebuah Analisa Perbandingan)
Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara politik dan agama sebagaimana dalam paradigma Barat, maka Islam memandang politik sebagai tugas keagamaan dan keduniaan sekaligus. Oleh karena itu, pertama kali yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW dalam risalahnya adalah membangun teologi yang bercorak egalitarian dan liberatif.
Dalam konteks politik, nilai-nilai kemanusiaan universal seperti persamaan, keadilan, kemerdekaan yang semuanya merupakan derivasi dari ajaran tauhid. Berdasarkan kerangka dasar nilai inilah nabi mengembangkan kepemimpinan moral dalam politiknya.
Sebagai sebuah agama, Islam tentu memiliki batasan-batasan sendiri yang berbeda dengan nilai barat yang didasarkan pada sekularisme dan liberalisme. Problematika ini akan tampak jelas ketika pendapat mayoritas bertentangan dengan syariat. Demikian pula status kewarganegaraan Muslim dan non Muslim serta kedudukan laki-laki dan perempuan.
Penilaian lain tentang demokrasi Barat juga diberikan oleh Iqbal. Sejalan dengan kemenangan sekularisme agama, menurut Iqbal, demokrasi modern barat telah kehilangan sisi spritualnya. Hal ini mengakibatkan praktek-praktek demokrasi barat jauh dari etika, sehingga menimbulkan berbagai penyimpangan.
Islam menurut Iqbal secara jelas menolak segala bentuk otoritarianisme dan kediktatoran. Namun Islan juga tidak menerima demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spritual. Sebagai alternatif, Iqbal menekankan prinsip-prinsip yang disejajarkan dengan syura dalam Islam yaitu tauhid sebagai landasan asasi, kepatuhan kepada hukum, toleransi terhadap sesama, demokrasi Islam tidak dibatasi oleh wilayah, suku, bahasa, dan penafsiran hukum tuhan harus dilakukan melalui ijtihad.
Quraish Shihab membuat tiga perbedaan antara syura dan demokrasi yaitu pertama: Syura tidak memutlakkan pengambilan keputusan hanya berdasarkan suara mayoritas, namun juga minortitas yang lebih baik dan argumentatif. Kedua, perjanjian atatu kontrak sosial antara pemimpin dan rakyat dalam syura mengacu kepada perjanjian ilahi, berbeda dengan demokrasi. Ketiga, karena tidak memiliki landasan ilahiah, maka demokrasi modern dapat memutuskan masalah apa saja, sedangkan syura sudah tegas memberi batasan-batasan yang bisa dimusyawarahkan dan apa yang tidak.
Jadi jelasnya, jika umat Islam mau menerapkan demokrasi, maka harus melakukan filterisasi terhadap benih-benih sekularisme dan sikap individualisme yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas. Hanya dengan cara ini, umat Islam dapat menerima demokrasi dan mengidentikkannya dengan syura.
Akhirnya, dari paparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa demokrasi dan syura bukanlah dua hal yang compatible tetapi bukan pula dua hal yang dipertentangkan. Demokrasi dapat menjadi bagian dari sistem politik Islam apabila orientasi dan sistem nilainya diberi muatan nilai-nilai agama dan moralitas.

BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam ajaran Islam terkandung nilai-nilai demokrasi maka bagi komunitas Muslim hendaknya secara sadar dan kreatif melakukan ijtihad untuk menanamkan nilai-nilai agama, untuk mendorong proses demokrasi sehingga terwujud demokrasi spritual.
Demokrasi itu sendiri dapat berupa lembaga dan sistem nilai. Artinya, bahwa demokrasi adalah suatu konsep berpolitik. Berdasarkan hal ini, Islam sepatutnya berpihak pada konsep politik (demokrasi). Sebab, setelah sistem demokrasi diislamkan, preferensi sistem politik yang semula kosong menjadi berisi. Islam dan demokrasi saling melengkapi. Artinya Islam mengisi preferensi nilai sedangkan demokrasi memberikan konsep atau bentuk sistem politik. Dalam konteks inilah konsep urgensitas demokrasi spritual yang diajukan Iqbal dapat dipahami. Wallahu A’lam.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar