MAKALAH
TAFSIR DARI SEGI SUMBER, METODE DAN CORAKNYA
A. Latar Belakang
Penafsiran al-Quran sudah berlangsung pada masa Nabi
Muhammad Saw (571-632 M), dan masih berlangsung sampai masa sekarang bahkan
pada masa mendatang.[1] Akan
tetapi pada masa Nabi Muhammad saw dan sahabat belum dikenal jenis-jenis tafsir,
metode dan corak tafsir serta para mufasir. Ini muncul pada masa tabi’in yaitu
setelah masa sahabat yang mana mereka belajar islam melalui sahabat didaerah
masing-masing yang mana diawali oleh tiga kota dalam pengajaran al-Qur’an yaitu
Makkah, Madinah dan Irak masing-masing membentuk madrasah atau mazhab
tersendiri.[2]
Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan para mufassir terkenal
seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus
Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah. Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin
Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan
Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Dan Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud,
diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry
dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.[3]
Kemudian
Penafisran ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan pada masa Rasulullah Saw,
mengalami berbagai perkembangan dalam bidang metodologi.[4] Selain
itu al-Qur’an merupakan kitab yang mengeluarkan aneka illmu keislaman dan
dipercaya oleh umat Islam sebagai petunjuk yang seharusnya dipahami, karena itu
mendorong manusia untuk melakukan pengamatan dan penelitian. sehingga
menimbulkan usaha untuk memahaminya, kemudian hasil usaha itu mengeluarkan
aneka disiplin ilmu pengetahuan baru yang sebelumnya belum dikenal atau
diketahui.[5]
Al-Quran juga merupakan ensiklopedi kehidupan dalam rangka mewjudkan kebahagian
dan kesejahteraan sejati, saidun fidunya wa saidun fil akhiroh (kesejahteraan
didunia dan akhirat) karena Al-Quran lintas dimensi ruang dan waktu maka wajar
jika Al-Qur’an memuat pesan-pesan ilahi dalam bentuk global, oleh karena itu
diperlukan penjelasan yang lebih rinci mengenai maksud yang terkandung didalam
pesan ilahiyah tersebut, yang kemudian disebut dengan tafsir. Muhammad Arkoun,
seorang pemikir Aljazair kontemporer, mengatakan bahwa: “Al-Quran memberikan
kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh
ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah
mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak
pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.”
Sedangkan
dalam khazanah tafsir di Asia Tenggara, tokoh-tokoh muslim Indonesia menempati
kedudukan penting. Penafsiran al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia telah
dilakukan oleh seorang ulama di abad ke-17, yaitu syekh Abd al-Rauf singkel
dengan kitabnya Turjuman al-Mustafidz.[6]
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis
merumuskan pembahasan makalah ini dengan menganalisa tafsir menurut sumbernya,
tafsir menurut metodenya dan tafsir menurut coraknya.
B.
Pengertian Tafsir
dan Metodologi Tafsir
Secara
singkat tafsir adalah suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami,
memikirkan dan mengeluarkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an agar dapat
diaplikasikan sebagaian dasar utama penetapan hukum . Pada Al-Qur’an istilah
tafsir di sebutkan dalam surat Al-Furqan :33,”tidakkah orang-rang kafir itu
datang kepadamu (membawa) seuatu yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu
sesuatu yang benar dan yang paling baik penafsirannya (penjelasannya)”.
Kata
tafsir merupakan masdar dari kata fasara yang mempunyai arti keadaan jelas
(nyata dan terang) dan memberikan penjelas. Para ulama kebanyakan memberikan
pengertian tentang tafsir pada intinya untuk menjelaskan hal-hal yang masih
samar yang di kandung dalam Al-Qur’an sehingga dengan mudah dapat dimengerti,
mengeluarkan hukum yang terkandung didalamnya untuk diterapkan dalam kehidupan
sebagai suatu ketentuan hukum . Jalaluddin As-Suyuti mendefinisikan ilmu tafsir
sebagai ilmu yang membahas ketentuan-ketentuan dari Al-Qur’an dari segi
turunnya, sanadnya, sastranya, lafadlnya, makna-makna yang berhubungan dengan
lafadl-lafaldnya, makna-makna yang berhubungan dengan dengan hukum-hukum dan
sebagainya.Dari zaman ulama mutaqoddimin ilmu tafsir baru di kodifikasikan oleh
Jalal al-Din al-Bulqini dengan nama Mawaqi’ al-Ulum Min Mawaqi’ al- Nujum .
Al-Bulqini sendiri adalah guru dari As-Suyuti.
Sedangkan
Metodologi tafsir adalah pengetahuan
tentang cara yang ditempuh dalam menela’ah, membahas serta merefleksikan
kesan-kesan al-Qur’an secara apresiatif berdasarkan kerangka konseptual
tertentu sehingga menghasilkan suatu karya yang apresiatif (Edi Bakhtiar).[7]
Kata
metode berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan gabungan dua kata yakni metha,
yang berarti menuju, melalui, mengikuti, dan kata hodos yang berarti
jalan, perjalanan, cara, arah. Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode
ilmiah, hipotesa ilmiah, uraian ilmiah. Dalam
bahasa Inggris, kata tersebut ditulis dengan method dan dalam bahasa Arab
diterjemahkan dengan manhaj atau thariqah. Dalam bahasa Indonesia
kata tersebut mengandung arti cara yang teratur terpikir baik-baik untuk
mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan juga lainnya), cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai sesuatu
yang ditentukan.
Metode
tafsir adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pemakaian dari
segi sumber-sumber penafsiran, sistem penjelasan tafsir-tafsirannya, atau
keluasan penjelasan tafsir-tafsirnya, maupun yang didasarkan atas sasaran dan
tata tertib ayat yang ditafsirkan.[8]
Metode penafsiran Al Qur’an, secara garis
besar dibagi dalam empat macam metode, namun hal tersebut tergantung pada sudut
pandang tertentu, metode penafsiran ditinjau dari sumber penafsirannya, metode
penafsiran ditinjau dari cara penjelasannya, metode penafsiran ditinjau dari
keleluasan penjelasan dan metode penafsiran ditinjau dari aspek sasaran dan
sistematika ayat-ayat yang ditafsirkan.
C. Tafsir dari Segi Pendekatannya
Para ulama membagi pemahaman atau penafsiran al-Qur’an
dalam tiga cara. Pertama, merujuk kepada riwayat (Tafsir bi
al-Ma’tsur), Kedua, menggunakan nalar (Tafsir bi ar-Ra’y), Ketiga, mengandalkan
kesan yang diperoleh dari teks (Tafsir Isyary).[9]
1. Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur tafsir yang
berbentuk riwayat dan penafsiran yang paling tua dalam sejarah, tafsir ini
sampai sekarang masih terpakai dan dapat kita jumpai dalam kitab-kitab tafsir
seperti seperti tafsir al-Thabari, Tafsir Ibn Katsir dan lain-lain.[10]
Secara
istilah Tafsir bi Al-Matsur adalah penafsiran Al-Qur’an yang berdasarkan
pada penjelasan Al-qur’an sendiri, penjelasan Nabi, penjelasan para sahabat
melalui ijtihadnya dan pendapat tabi’in. jadi ada empat otoritas yang menjadi
sumber penafsiran bi al-matsur yaitu, Al-Qur’an yang dipandang sebagai penafsir terhadap al-Qur’an
sendiri, Otoritas hadist nabi yang memang berfungsi, Otoritas penjelasan
sahabat yang dipandang banyak mengetahui Al-Qur’an dan Otoritas penjelasan
tabi’in yang dianggap orang yang bertemu langsung dengan sahabat.
al-Zarqani
mendefinisikan Tafsir bi al-Ma’tsur
adalah semua bentuk keterangan dalam Al-Qur'an, al sunnah atau ucapan sahabat yang
menjelaskan maksud Allah Swt pada nash Al-Qur'an.
Dari
penjelasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa Tafsir Bil Matsur adalah
tafsir yang dilakukan oleh mufassir dengan menggunakan Al-qur’an, hadist,
ijtihad sahabat dan tabi’in untuk menafsirkan ayat itu sendiri.
Tafsir bi al-Ma’tsur melalui dua fase yaitu, Pertama, fase
periwayatan dengan lisan. Pada fase ini para sahabat menuqil riwayat penafsiran
dari nabi dan menyampaikannya pada sahabat lainnya. Para tabi’in menukil
riwayat dari para sahabat dengan metode penukilan berupa sanad yang teliti dan
seksama. Kedua, fase pengkodifikasian. Pada fase ini riwayat-riwayat
penafsiran yang disebarkan pada fase pertama mulai dibukukan.[11]
Tafsir dengan Riwayat (matsur) adalah rangkaian
keterangan yang terdapat dalam Al Qur’an, sunah, atau kata-kata sahabat sebagai
penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al Qur’an dengan sunah nabawiyah.
Dengan kata lain penafsiran dalam corak ini dapat dibagi dalam empat bentuk,
yaitu:
a. Penafsiran ayat
al-Qur’an dengan ayat yang lain
Contoh Tafsir
Al Qur’an dengan Al Qur’an: QS. al-Maidah (5) : 1 yang menjelaskan tentang
binatang ternak yang halal. Kemudian dijelaskan lagi dalam ayat berikutnya, QS.
al-Maidah (5) :3 tentang hal-hal yang diharamkan untuk dimakan, termasuk
didalamnya binatang ternak yang haram.
Q.S (5): 1
b. Penafsiran ayat
al-Qur’an dengan hadis Nabi Saw
Contoh
tafsir Al Qur’an dengan Sunah, Q.S Al Baqarah (2) : 185,
yang
memerintahkan untuk berpuasa dibulan ramadhan (فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ), Rasul menjelaskan kapan waktu untuk memulai dan
meakhiri puasa tersebut yaitu ketika melihat hilal.
c. Penafsiran ayat al-Qur’an
dengan pendapat para sahabat
d. Penafsiran ayat
al-Qur’an dengan pendapat para tabi’in[12].
Berkembangnya
penafsiran bi al ma 'tsur zaman itu cukup dapat dipahami karena para mufassir
mengandalkan penguasaan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya secara baik,
juga mereka ingin membuktikan kemu'jizatan Al-Qur'an dan segi bahasanya.
Metode
ini istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahan yang luas, serta
obyektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada diantara
mereka yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleleksian yang
ketat. Imam Ahmad me`nilai bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti
halnya riwayat-riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak
mempunyai dasar yang kokoh. kitab-kitab yang termasuk tafsir bi al-ma’thur,
misalnya tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an karangan
Ibnu Jarir al-Tabary yang terkenal dengan sebutan tafsir al-Tabary.
2. Tafsir bi ar-Ra’y
Tafsir
bi Al-Ra’yi adalah penafsiran
al-Qur’an oleh mufasir atas dasar ijtihadnya yang berlandaskan
pengetahuannya dalam ilmu bahasa, syariah, dan
budaya yang bersifat umum, bukan berasal dari Rasulullah Saw, para
sahabat dan tabi’in.[13]
Contoh kitab tafsirnya adalah Mafatih Al-Ghaib, karangan Fakhr Al-Din Al-Razi, Al-Bahr
Al-Muhith, karangan Abu Hayan Al-Andalusi Al-Gharnathi dan Al-Kasysyaf’an
Haqa’iq Al-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujuh Al-Ta’wil, karangan
Al-Zamakhsyari.[14]
Meskipun
mufasir dalam corak ini melakukan penafsiran berdasarkan pemikiran, namun ia
tidak bebas secara mutlak. Karena itu, dalam menggunakan corak tafsir ini
diberlakukan sayarat-syarat mufasir dan kaidah-kaidah penafsiran yang ketat. Syarat-syarat
mufasir ini antara lain:
a. Memiliki pengetahuan tentang bahasa arab dan seluk beluknya,
b. Menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an,
c. Menguasai ilmu hadis dan ushul fikih,
d. Berakidah yang benar
e. Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama
f. Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat
yang ditafsirkan.
Tidak
terpenuhinya syarat-syarat ini dapat menyebabkan seorang mufasir terjerumus
kedalam kesalahan, sehingga penafsirannya tidak dapat diterima.[15] al-Zarqaniy
menegaskan dalam menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y, ada beberapa hal perlu
diperhatikan untuk dihindari:
a. Secara berani memberi penjelasan tentang maksud Allah swt
dalam firman-Nya tanpa memeiliki pengetahuan tentang aturan-aturan bahasa dan
syari’ah,
b. Mengarahkan firman Allah swt ke dalam pendirian-pendirian
yang menyimpang,
c. Menafsirkan ayat-ayat tertentu yang hanya menjadi “
preorogatif” dan otoritas Allah swt untuk megetahuinya,
d. Menyatakan dengan pasti, bahwa demikian itulah maksud dan
keinginan Allah swt dalam ayat-Nya, tanpa didukung oleh dalil atau bukti yang
sah,
e. Menafsirkan ayat-ayat Allah swt sejalan dengan kehendak
bebas dan selera atau nafsu, serta anggapan baik menurut ukuran pribadi.[16]
3. Tafsir Isyari
Tafsir Isyari menurut istilah
adalah mentakwilkan al-Qur’an dengan makna yang bukan makna lahiriyahnya karena
adanya isyarat samar yang diketahui oleh para penempuh jalan spiritual dan tasawuf
dan mampu memadukan antara makna-makna itu dengan makna lahiriyah yang juga
dikehendaki oleh ayat yang bersangkutan.[17] Tafsir
ini berkembang sejalan dengan prkembangan ilmu tasawuf yaitu ketika ilmu-ilmu
agama dan sains mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam menyebar
keseluruh pelosok dunia dan mengalami kebangkitan dalam segala seginya.
Berdasarkan isi dan
substansinya tafsir bi al-‘isyari dapat dibedakan menjadi dua macam:
tafsir bi al-‘isyari al-maqbul dan tafsir bi al-‘isyari al-mardud.
Dikatakan sebagai tafsir bi al-‘isyari al-maqbul atau al-masyru’ bila
memiliki lima syarat yaitu:
1. Tidak menafikan makna
lahir dan makna-makna yang terkandung dalam redaksi ayat al-Qur’an.
2. Mufassirnya tidak
mengklaim bahwa satu-satunya penafsiran yang benar tanpa mempertimbangkan makna
tersurat.
3. Tidak menggunakan
takwil yang jauh menyimpang dan penakwilnya lemah.
4. Tidak bertentangan dengan dalil syari’at
dan argumentasi aqli.
5. Serta
adanya pendukung dalil-dalil syari’at yang memperkuat penafsirannya.
Sebaliknya, dikatakan tafsir al-‘isyari
al-mardud bila gaya penafsirannya menyalahi salah satu dari
syarat-syarat penerimaan tafsir al-‘isyari di atas.[18] Ada
beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan penafsiran bi al-‘isyari, antara
lain; Garaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan karya an-Naisaburi (w. 728
H/1328 M); ‘Ara’is al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an susunan Muhammad
asy-Syairazi; dan Tafsir wa Isyarat al-Qur’an karya Muhyi al-Din Ibnu
‘Arabi (w. 560-638 H/1165-1240 M).[19]
D. TAFSIR DARI SEGI
METODENYA
1. Metode Tahlili
(Metode Analisis)
Metode Tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
meneliti aspeknya dan menyikap seluruh maksudnya, mulai dari uraian, hingga
sisi antar pemisah itu dengan bantuan Asbabul Nuzul, riwayat-riwayat
yang berasal dari nabi SAW, sahabat dan tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan
mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini
terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi nabi sampai
tabi’in, terkadang diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi
khusus lainnya yang kesemuannya ditunjukan untuk memahami Al-Qur’an yang mulia
ini.[20]
Ciri-ciri metode tahlili dalam menafsirkan al-Qur’an
mufasir biasanya melakukan sebagai berikut:
a.
Menerangkan hubungan antara satu ayat dengan ayat lain atau antara satu
surah dengan surah lain. Misalnya, menafsirkan awal surah al-Imran/3. Apabila
mufasir menulis tafsirnya secara utuh satu mushaf, mulai dari surah
al-Fatihah/1 dan seterusnya, maka ketika ia memulai menafsirkan surah
al-Imran/3, ia akan menjelaskan hubungan antara surahal-Baqarah/2 dengan surah
al-Imran/3, yang sedang ditafsirkannya.
b.
Menjelaskan tentang sebab-sebab turunnya ayat
c.
Menganalisis mufradat (kosakata) dan lafal dari sudut pandang bahasa
Arab.
d.
Memamparkan kandungan ayat secara umum dan makasudnya
e.
Menerangkan unsur-unsur fashah, bayan dan I’jaz-nya, bila dianggap
perlu.
f.
Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya
ayat-ayat yang ditafsirkan ayat ahkam.
g.
Menernagkan makna dan maksud syara’ yang terkandung dalam ayat yang
bersangkutan.[21]
Tafsir
tahlili sebagai salah satu metode tafsir yang banyak digunakan oleh para
mufasir, tidak luput dari adanya kelebihan dan kekurangan.
a.
Kelebihan
Metode Tafsir Tahlili
·
Metode tahlili
adalah merupakan metode tertua dalam sejarah Al-Quran karena metode ini
telah digunakan sejak masa Nabi Muhammad SAW.
·
Metode ini
adalah metode yang paling banyak digunakan oleh para mufassir.
·
Metode ini
memiliki corak (laun ) dan orientasi ( ittijah ) yang paling
banyak dibandingka metode lain.
·
Melalui
metode ini seorang mufassir memungkinkan untuk memberikan ulasan secara
panjang lebar ( itnhab), atau secara ringkas dan pendek saja ( ijaz).
·
Metode tahlili
pembahsann dan ruang lingkupnya yang sangat luas. Hal ini dapat berbentuk
riwayat (ma’sur ) dan juga dapat berbentuk rasio ( ra’yu ).
b. Kekurangan Metode Tafsir Tahlili
·
Metode ini
dijadikan para penafsir tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau
pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran
·
Metode ini
kurang mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi
masyarakat, karena pembahsannya sering tidak
tuntas, terutama masalah kontemporer seperti keadilan, kemanusiaan, sekaligus
tidak banyak memberi pagar-pagar metodologi yang dapat mengurangi subjektivitas
mufassirnya.
·
Dapat
menghanyutkan seorang mufassir dalam penafsirannya, sehingga keluar dari
suasana ayat yang dibahas.
·
Metode ini
sangat subjektif.
Contoh
kitab tafsir tahlili yaitu, Tafsir Al-Quran al-‘azhim karya Ibn Katsir, Tafsir
al-Munir karya Syaikh Nawawy al-Bantany, ada yang ditulis dengan sangat
panjang, seperti kitab tafsir karya al-Lusi, Fakhr al-Din al-Razi,
dan Ibn Jarir al-Thabari, ada yang sedang, seperti kitab Tafsir Imam
al-Baidhawi dan al-Naisaburi dan ada
pula yang ditulis dengan ringkas, tetapi jelas dan padat, seperti kitab
Tafsir al-Jalalayn karya Jalal al-Din Suyuthi dan Jalal al-Din al- Mahalli dan
kitab Tafsir yang ditulis Muhammad Farid Wajdi.
2. Metode Ijmali (Metode Global)
Metode Ijmali yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan
enak dibaca.[22]
Dengan metode, ini muffasir berupaya menjelaskan makna-makna Al-Qur’an dengan
uraian singkat dan bahwa yang mudah sehingga dipahami oleh semua orang, dari orang
yang berpengetahuan sekedarnya sampai kepada orang yang berpengetahuan luas.
Kitab tafsir yang termasuk kedalam katagori ini adalah tafsir al-Qur’an
al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi.[23] Cirri-ciri
metode ini adalah:
a.
Mufasir bermaksud mencari makna ayat secara umum berdasarkan sistematika
dan makna umum,
b.
Tujuan dari makna ini diletakan dalam ungkapan yang terkandung dalam lafadz
tersebut,
c.
Arti dari makna tadi kemudian dihubungkan dengan ilmu-ilmu lain.
Sebagai
salah satu metode penafsiran Al-Quran memiliki beberapa kelebihan yang tidak
dimiliki oleh tafsir-tafsir lainnya, diantara kelebihan ini adalah:
a.
Jelas
dan Mudah di pahami.
b. Bebas dari penafsiran Israiliyat.
c. Akrab dengan bahasa Al-Quran
Adapun
kelemahan yang dimiliki metode penafsiran ini diantaranya adalah:
a. Menjadikan petunjuk Al-Quran tidak utuh.
b. Penafsiran dangkal atau tidak mendalam.
3. Metode Muqaran (Metode
Komparasi/perbandingan)
Metode
Muqaran ialah membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih atau memiliki
redaksi berbeda bagi satu kasus yang sama, membandingkan al-Qur’an dengan hadis
Nabi saw yang pada lahirnya terlihat bertentangan, serta mmebandingkan berbagai
pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.[24]
Langkah yang ditempuh ketika menggunakan metode ini adalah:
a.
Mengumpulkan sejumlah ayat al-Qur’an
b.
Mengemukakan penjelasan para mufassir
c.
Membandingkan kecendrungan tafsir mereka masing-masing
d.
Menjelaskan siapa diantara mereka penafsirannya dipengaruhi secara
subyektif oleh mazhab tertentu.[25]
Diantara
keunggulan tafsir muqaran dari metode yang lainnya adalah:
a. Memberikan wawasan relatif lebih luas
b. Membuka pintu untuk bersikap toleran
c. Mengungkapkan ke-i’jaz-an dan keotentikan Al-Quran
d. Membuktikan bahwa ayat-ayat Al-Quran sebenarnya tidak ada
kontradiktif.
e. Dapat mengungkapkan orisinalitas dan objektifitas mufassir.
f. Dapat mengungkapkan sumber-sumber perbedaan di kalangan
mufassir atau perbedaan pendapat di antara kelompok umat Islam, yang di dalamnya
termasuk masing-masing mufassir.
g. Dapat menjadi sarana pendekatan (taqrib) di
antara berbagai aliran tafsir dan dapat juga mengungkapkan kekeliruan mufassir
sekaligus mencari pandangan yang paling mendekati kebenaran. Dengan kata lain
seorang mufassir dapat melakukan kompromi ( al-Jam’u wa al-Taufiq ) dari
pendapat-pendapat yang bertentangan atau bahkan men-tarjih salah satu
pendapat yang dianggap paling benar.
Diantara
kekurangan atau kelemahan tafsir muqaran adalah:
a. Penafsiran yang menggunakan metode muqaran tidak
dapat diberikan kepada pemula, seperti mereka yang belajar tingkat menengah ke
bawah. Hal ini disebabkan pembahasan yang dikemukakan terlalu luas dan
kadang-kadang terlalu ekstrim, konsekwensinya tentu akan menimbulkan
kebingungan bagi mereka dan bahkan mungkin bias merusak pemahaman mereka
terhadap Islam secara universal
b. Metode tafsir muqaran tidak dapat diandalkan untuk menjawab
problem-problem sosial yang sedang tumbuh di tengah massyarakat. Hal ini disebabkan
metode ini lebih mengutamakan perbandingan daripada pemecahan masalah.
c. Metode tafsir muqaran terkesan lebih banyak menelusuri
tafsiran-tafsiran baru. Sebetulnya kesan serupa tidak akan timbul jika mufassir
kreatif, artinya penafsiran tidak hanya sekadar mengutip tetapi juga dapat
mengaitkan dengan kondisi yang dihadapinya, sehingga menghasilkan sintesis baru
yang belum ada sebelumnya.
4. Metode Maudhu’i (Metode Tematik)
Tafsir dengan metode maudhu’i adalah menjelaskan konsep Al-Qur’an tentang suatu masalah/tema
tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an yang membicarakan tema
tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut dikaji secara komprehensif,
mendalam, dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbab
Al-nuzul-nya, munasabahnya, makna kosa katanya, pendapat para mufasir tentang
makna masing-masing ayat secara parsial, secara aspek-aspek lainnya yang
dipandang penting. Ayat-ayat tersebut dipandang sebagai satu kesatuan yang
integral membicarakan suatu tema (maudhu’) tertentu di dukung oleh berbagai
fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan rasional. [26]
Demikian luasnya sudut pandang yang digunakan dalam
metode tafsir ini, maka sebagian ulama menyebutnya sebagai metode yang paling
luas dan lengkap, bahkan ketiga metode yang disebutkan sebelumnya, semuanya
diterapkan secara intensif dalam metode ini.
Ciri utama metode ini adalah fokusnya perhatian pada
tema, baik tema yang ada dalam al-quran itu sendiri, maupun tema-tema yang
munccul ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, metode ini
dipandang sebagai metode yang paling tepat untuk mengatasi berbagai masalah
dalam kehidupan umat manusia oleh karena itu ia dapat memberikan jawaban dengan
konsep al-Qur’an terhadap berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia.[27]
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan
menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,
mengkompromikan antara pengertian yang ‘am
dan khash, antara yang muthlaq
dan muqayyad, mensingkronkan ayat-ayat yang lahirnya terkesan kontradiktif,
menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada
suatu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap
sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat.[28]
Kitab yang disusun dengan metode ini salah satunya adalah al-Insan fi al-Qur’an
al-Karim karya Ibrahim Muhnan.
Diantara
kelebihan metode tafsir maudhu’i adalah:
a.
Menjawab
tantangan zaman artinya metode ini mampu mengatasi perkembangan zaman yang
selalau berubah dan berkembang, sehingga setiap permasalahan yang ada di alam
ini dapat dilihat melalui tafsir Al-Quran yang dapat ditangani melalui metode
penafsiran tematik ini. Dengan arti kata titik tolak keberangkatan permasalhan
ini berdasarkan kenyataan yang ada dalam masyarakat dan berarkhir pada Al-Quran
untuk mencari jawaban.
b.
Praktis dan
sistematis, tafsir dengan metode tematik ini disusun secara praktis dan tematis
dalam memecahkan suatu permasalahan, metode ini sangat cocok dengan kahidupan
masyarakat modern saat ini dengan menjelaskan satu sub pembahasan secara
lengkap dan sempurna, di samping itumetode ini dapat menghemat waktu
mengefektifkannya dan mengefesienkannya.
c.
Dinamis, metode
ini selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di
dalam pikiran si pembaca dan pendengar dan dapat diterima oleh seluruh lapisan
masyarakat, dengan demikian Al-Quran selalu aktual dan tidak ketinggalan zaman.
d.
Membuat
pemahaman menjadi utuh. Dengan
ditetapkannya judul-judul pembahasan yang akan dibahas, membuat pembahasan itu
menjadi utuh dan sempurna. Maksudnya penampilan tema suatu permasalahan secara
utuh tidak bercerai berai bias menjadi tolak ukur untuk mengetahui pandangan-
pandangan Al-Quran terhdap suatu masalah.
Dan
diantara kekurang metode ini adalah:
a. Memenggal ayat Al-Quran, maksudnya adalah metode ini
mengambil kasus di dalam satu ayat atau lebih yang mengandung berbagai macam
permasalahan seperti masalah puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Menurut
sebagian ulama (kaum konterkstual) cara seperti ini dipandang kurang sopan
terhadap ayat-ayat Al-Quran, namun jika tidak membawa kerusakan atau kesalahan
di dalam penafsiran hal seperti ini tidak menjadi masalah.
b. Membatasi pemahaman ayat, dengan adanya penetapan judul di
dalam penafsiran, maka dengan sendirinya berarti membuat suatu permasalahan
menjadi terbatas (sesuai dengan topic itu saja), padahal jika dilihat pada
ketentuan Al-Quran, tidak mungkin ayat-ayat yang ada padanya mempunyai
keterbatasan denga arti kata keterbatasan ini tidak mencakup keseluruhannya makna
yang dimaksud.
E. Tafsir dari Segi Coraknya
Corak tafsir adalah sudut pandang yang
diambil oleh seseorang dalam memahami al-Qur’an. Corak ini terbentuk karena
berbedanya pandangan para penafsir, sehingga melahirkan corak-corak tafsir.
1. Tafsir
Shufi/isyari, corak penafsiran ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk
tafsir isyari. Menurut Quraish Shihab, tafsir corak ini muncul akibat timbulnya
gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecendrungan pihak terhadap materi,
atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Corak ini terbagi
menjadi dua:
a. Penafsir sufi yang mencoba meneliti ayat al-Qur’an dengan
menggunakan ayat di dalam al-Qur’an dengan teori-teori mazhabnya dan sesuai
dengan ajaran-ajaran mereka. Sehingga
seringkali mereka menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an dengan tidak mengikuti
cara-cara untuk mena’wilkan ayat al-Qur’an dan menjelaskannya dengan penjelasan
arti yang menyimpang. Tasawuf semacam ini biasa dikenal dengan tasawuf
teoritis atau nadhari.
b. Penafsiran sufi yang menafsirkan ayat-al-Qur’an berbeda
dengan arti dzahirnya, berdasarkan ayat-ayat tersembunyi yang hanya tampak
jelas oleh pemimpin suluk, namun masih tetap bisa dikompromikan dengan arti
dzahir yang dimaksud. Tafsir jenis ini sering disebut dengan tafsir isyari.[29]
Contoh kitab-kitab tafsir yang
bercorak tafsir sufi diantaranya, Tafsir
al-Qur’an al-Karim karya at-Tustari, Haqaiq at-Tafsir karya as-Salami dan ‘Araisy
al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an karya as-Syairazi.
2. Tafsir Fiqhi, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti
masalah-masalah fiqih. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqih
ini termasuk tafsir bi al-ma’tsur. Tafsir ini muncul diantaranya sebagai dampak
dari berkembang fikih dan terbentuknya mazhab fikih, dimana setiap golongan
berusaha untuk membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran mereka
terhadap hukum-hukum. cotnoh tafsir ini adalah, Ahkam al-Qur’an karya
al-Jashash, Ahkam al-Qur’an karya Ibn ‘Arabi dan Al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an
karya al-Qurthubi.
3. Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya
menggunakan pendekatan filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang
bercorak kajian ilmu kalam. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi
ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi. Tafsir
ini muncul akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementar pihak,
akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam ajaran Islam dengan sadar
atau tidak mereka mempercayai beberapa hal dari keprcayaan lama mereka.
Semuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak yang tercermin dalam penafsiran
mereka. Dalam mensikapi fenomena ini umat slam terpecah menjadi dua, yaitu:
a. Umat Islam menolak buku-buku karya-karya filosof kemudian
mengharamkannya karena dianggap bertentangan dengan akidan serta agama.
b. Mengagum filsafat, golongan ini berkeinginan menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan teori-teori filsafat mereka semata.
Diantara
contoh tafsir ini adalah mafatih al-Ghaib karya Fakhr ar-Razi.
4. Tafsir ‘ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan
pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dari segi sumber
penafsirannya tafsir bercorak ‘ilmiy ini juga termasuk tafsir bi al-ra’yi. Sebagaiman diketahui dalam al-Qur’an banyak
ditemukan ayat-ayat yang mendorong pembaca untuk memperhatikan alam, maka
sebagian ahli tafsir mencoba menafsirkan ayat-ayat berdasarkan kaedah-kaedah
kebahasaan dengan keunikannya yang dikaitkan dengan bidang ilmu dan hasil
kajian mereka terhadap fenomena alam. Akan tetapi sangat disayangkan,
penafsiran corak ini masih terbatas pada ayat-ayat tertentu dan bersifat
parsial, terpisah dengan ayat-ayat lain yang berbicara pada masaakh yang sama.
Contoh kitab tafsir ini adalah jawahir al-Qur’an karya imam al-Ghazali.
5. Tafsir al-adab al-ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan
pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Dari segi sumber
penafsirannya tafsir bercorak al-adab al-ijtima’i ini termasuk tafsir bi
al-ra’yi. Tafsir ini menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat al-Qur’an yang
berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk
menanggulangi penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk al-Qur’an
dan mengemukakannya dengan bahasa yang mudah dipahami dan indah didengar.
Contoh tafsir ini adalah tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha.[30]
DAFTAR PUSTAKA
Acep, Hermawan. Ulumul
Quran. Cet. 1. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2011.
al- Farmawi, ‘Abd al-Hayy. al-Bidayah fi
al-Tafsir al-Maudh’I. cet. II.Mesir: Mathab’at al-Hadharat al-Arabiyat. 1977.
Djalal, Abd. Urgensi Tafsir Maudhu’I Pada Masa Kini.
Jakarta: Kalam Mulia. 1990.
Baidan, Nashrudin. Rekonstruksi Ilmu Tafsir.
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa. 2000.
Bowering, Gerhard. The Mystical Vision of Existence.
New York: Walter the Gruyter. 1980.
Hasan Abidu, Yunus. Tafsir Al-Qur’an, Sejarah Tafsir
dan Metode Para Mufasir. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007.
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. cet. III.
Bandung:Tafakur. 2011.
Kholis,Nur. Pengantar studi al-Qur’an dan al-Hadits.
cet. 1. Yogyakarta: Teras. 2008.
Kusmana dan Syamsuri. Pengantar Kajian al-Qur’an (Tema
Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian). cet. I. Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru.
2004.
M. Alfatih, Suryadilaga dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Cet. 1. Yogyakarta: Teras. 2005.
Musaddad, Endad. Studi Tafsir di Indonesia.cet.
II. Ciputat: Sintesis. 2012.
Shihab, M.
Quraish. Kaidah Tafsir ( Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an). cet. II. Ciputat: Lentera Hati. 2013.
_______________ dkk. Sejarah dan ‘Ulumul al-Qur’an.
cet.III. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001.
_______________. Membumikan al-Qur’an. Bandung:
Penerbit Mizan. 1992.
Yafie, Ali. Kata Pengantar dalam Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta
: Rajawali Pers. 1992.
[1] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, cet. III,
(Bandung:Tafakur, 2011), h. 14
[2] Hermawan Acep, Ulumul Quran,
Cet. I, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2011), h. 112
[3] Majmu’
fatawa syaikhul Islam ibnu taimiyah 13/370 dan buku mabahits fi ulumul al-qur’an
oleh mann’ al-qotton h. 340-342
[4] Ali Yafie, Kata Pengantar dalam, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta
: Rajawali Pers, 1992), h. 9
[5] M. Quraish shihab, kaidah Tafsir ( Syarat, Ketentuan dan Aturan
yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an), cet. II,
(Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 6
[6] Endad Musaddad, Studi Tafsir di Indonesia, cet. II,
(Ciputat: Sintesis, 2012), h. 5
[7] Endad Musaddad, Studi Tafsir di Indonesia, cet. II,
(Ciputat: Sintesis, 2012), h. 11
[8] Abd Djalal, Urgesnsi Tafsir Maudhu’I Pada Masa Kini, (Jakarta:
Kalam Mulia, 1990), h. 62
[9] M. Quraish shihab, kaidah Tafsir ( Syarat, Ketentuan dan Aturan
yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an), cet. II,
(Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 349
[10] Nashrudin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Prima Yasa, 2000), h. 48
[11] Abdul Hayy al-Farmawi, al-Bidayah Fi at-Tafsir l-Maudhu’I
Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyyah, cet. II, (Mesir: Maktabah Jumhuriyah,
2002), h.25
[12] Quraish Shihab dkk, Sejarah dan ‘Ulumul al-Qur’an, cet.III,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 174-76
[13] Kusmana dan Syamsuri, Pengantar Kajian al-Qur’an (Tema Pokok,
Sejarah dan Wacana Kajian), (Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru, 2004),
cet. I, h. 185
[15] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Penerbit
Mizan, 1992), h. 79
[16] Gerhard Bowering, The Mystical Vision of Existence, (New
York: Walter the Gruyter, 1980), h. 45
[17] Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an, Sejarah Tafsir dan Metode
Para Mufasir, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 9
[18] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Takafur, 2011),
h. 89
[19] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Takafur,
2011), h. 90
[20] Quraish Shihab dkk, Sejarah dan ‘Ulumul al-Qur’an, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001), cet.III, h. 172
[21] Quraish Shihab dkk, Sejarah dan ‘Ulumul al-Qur’an, cet.III,
h. 173
[22] Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, h. 67
[23] Endad Musaddad, Studi Tafsir di Indonesia, cet. II,
(Ciputat: Sintesis, 2012), h. 20
[24] ‘Abd al-Hayy al- Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudh’I,
(Mesir: Mathab’at al-Hadharat al-Arabiyat, 1977), cet. II, h. 145-146
[25] ‘Abd al-Hayy al- Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudh’I,
(Mesir: Mathab’at al-Hadharat al-Arabiyat, 1977), cet. II, h. 39
[26] ‘Abd al-Hayy, al- Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudh’I,
(Mesir: Mathab’at al-Hadharat al-Arabiyat, 1977), cet. II, h. 145-146
[28] Suryadilaga M.
Alfatih, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir,
Cet. 1; TERAS, Yogyakarta, Feb’ 2005, hal: 47-48
[29] Nur Kholis, Pengantar studi al-Qur’an dan al-Hadits, cet. 1,
(Yogyakarta: Teras,2008), h. 147
[30] Nur Kholis, Pengantar studi al-Qur’an dan al-Hadits, cet. 1,
(Yogyakarta: Teras,2008), h. 148-150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar