Rabu, 12 Oktober 2016

TAFSIR DARI SEGI SUMBER, METODE DAN CORAKNYA





MAKALAH
TAFSIR DARI SEGI SUMBER, METODE DAN CORAKNYA

A.     Latar Belakang
Penafsiran al-Quran sudah berlangsung pada masa Nabi Muhammad Saw (571-632 M), dan masih berlangsung sampai masa sekarang bahkan pada masa mendatang.[1] Akan tetapi pada masa Nabi Muhammad saw dan sahabat belum dikenal jenis-jenis tafsir, metode dan corak tafsir serta para mufasir. Ini muncul pada masa tabi’in yaitu setelah masa sahabat yang mana mereka belajar islam melalui sahabat didaerah masing-masing yang mana diawali oleh tiga kota dalam pengajaran al-Qur’an yaitu Makkah, Madinah dan Irak masing-masing membentuk madrasah atau mazhab tersendiri.[2] Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan para mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah. Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Dan Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.[3]
Kemudian Penafisran ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan pada masa Rasulullah Saw, mengalami berbagai perkembangan dalam bidang metodologi.[4] Selain itu al-Qur’an merupakan kitab yang mengeluarkan aneka illmu keislaman dan dipercaya oleh umat Islam sebagai petunjuk yang seharusnya dipahami, karena itu mendorong manusia untuk melakukan pengamatan dan penelitian. sehingga menimbulkan usaha untuk memahaminya, kemudian hasil usaha itu mengeluarkan aneka disiplin ilmu pengetahuan baru yang sebelumnya belum dikenal atau diketahui.[5] Al-Quran juga merupakan ensiklopedi kehidupan dalam rangka mewjudkan kebahagian dan kesejahteraan sejati, saidun fidunya wa saidun fil akhiroh (kesejahteraan didunia dan akhirat) karena Al-Quran lintas dimensi ruang dan waktu maka wajar jika Al-Qur’an memuat pesan-pesan ilahi dalam bentuk global, oleh karena itu diperlukan penjelasan yang lebih rinci mengenai maksud yang terkandung didalam pesan ilahiyah tersebut, yang kemudian disebut dengan tafsir. Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, mengatakan bahwa: “Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.”
Sedangkan dalam khazanah tafsir di Asia Tenggara, tokoh-tokoh muslim Indonesia menempati kedudukan penting. Penafsiran al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia telah dilakukan oleh seorang ulama di abad ke-17, yaitu syekh Abd al-Rauf singkel dengan kitabnya Turjuman al-Mustafidz.[6]
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan pembahasan makalah ini dengan menganalisa tafsir menurut sumbernya, tafsir menurut metodenya dan tafsir menurut coraknya.

B.     Pengertian Tafsir dan Metodologi Tafsir
Secara singkat tafsir adalah suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami, memikirkan dan mengeluarkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an agar dapat diaplikasikan sebagaian dasar utama penetapan hukum . Pada Al-Qur’an istilah tafsir di sebutkan dalam surat Al-Furqan :33,”tidakkah orang-rang kafir itu datang kepadamu (membawa) seuatu yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penafsirannya (penjelasannya)”.
Kata tafsir merupakan masdar dari kata fasara yang mempunyai arti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan penjelas. Para ulama kebanyakan memberikan pengertian tentang tafsir pada intinya untuk menjelaskan hal-hal yang masih samar yang di kandung dalam Al-Qur’an sehingga dengan mudah dapat dimengerti, mengeluarkan hukum yang terkandung didalamnya untuk diterapkan dalam kehidupan sebagai suatu ketentuan hukum . Jalaluddin As-Suyuti mendefinisikan ilmu tafsir sebagai ilmu yang membahas ketentuan-ketentuan dari Al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya, sastranya, lafadlnya, makna-makna yang berhubungan dengan lafadl-lafaldnya, makna-makna yang berhubungan dengan dengan hukum-hukum dan sebagainya.Dari zaman ulama mutaqoddimin ilmu tafsir baru di kodifikasikan oleh Jalal al-Din al-Bulqini dengan nama Mawaqi’ al-Ulum Min Mawaqi’ al- Nujum . Al-Bulqini sendiri adalah guru dari As-Suyuti.
Sedangkan Metodologi tafsir adalah pengetahuan tentang cara yang ditempuh dalam menela’ah, membahas serta merefleksikan kesan-kesan al-Qur’an secara apresiatif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga menghasilkan suatu karya yang apresiatif (Edi Bakhtiar).[7]
Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan gabungan dua kata yakni metha, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, dan kata hodos yang berarti jalan, perjalanan, cara, arah. Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah, uraian ilmiah. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut ditulis dengan method dan dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan manhaj atau thariqah. Dalam bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti cara yang teratur terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan juga lainnya), cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai sesuatu yang ditentukan.
Metode tafsir adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pemakaian dari segi sumber-sumber penafsiran, sistem penjelasan tafsir-tafsirannya, atau keluasan penjelasan tafsir-tafsirnya, maupun yang didasarkan atas sasaran dan tata tertib ayat yang ditafsirkan.[8]
Metode penafsiran Al Qur’an, secara garis besar dibagi dalam empat macam metode, namun hal tersebut tergantung pada sudut pandang tertentu, metode penafsiran ditinjau dari sumber penafsirannya, metode penafsiran ditinjau dari cara penjelasannya, metode penafsiran ditinjau dari keleluasan penjelasan dan metode penafsiran ditinjau dari aspek sasaran dan sistematika ayat-ayat yang ditafsirkan.

C.     Tafsir dari Segi Pendekatannya
Para ulama membagi pemahaman atau penafsiran al-Qur’an dalam tiga cara. Pertama, merujuk kepada riwayat (Tafsir bi al-Ma’tsur), Kedua, menggunakan nalar (Tafsir bi ar-Ra’y), Ketiga, mengandalkan kesan yang diperoleh dari teks (Tafsir Isyary).[9]
1.      Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur tafsir yang berbentuk riwayat dan penafsiran yang paling tua dalam sejarah, tafsir ini sampai sekarang masih terpakai dan dapat kita jumpai dalam kitab-kitab tafsir seperti seperti tafsir al-Thabari, Tafsir Ibn Katsir dan lain-lain.[10]
Secara istilah Tafsir bi Al-Matsur adalah penafsiran Al-Qur’an yang berdasarkan pada penjelasan Al-qur’an sendiri, penjelasan Nabi, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya dan pendapat tabi’in. jadi ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi al-matsur yaitu, Al-Qur’an yang dipandang sebagai penafsir terhadap al-Qur’an sendiri, Otoritas hadist nabi yang memang berfungsi, Otoritas penjelasan sahabat yang dipandang banyak mengetahui Al-Qur’an dan Otoritas penjelasan tabi’in yang dianggap orang yang bertemu langsung dengan sahabat.
al-Zarqani mendefinisikan Tafsir bi al-Ma’tsur adalah semua bentuk keterangan dalam Al-Qur'an, al sunnah atau ucapan sahabat yang menjelaskan maksud Allah Swt pada nash Al-Qur'an.
Dari penjelasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa Tafsir Bil Matsur adalah tafsir yang dilakukan oleh mufassir dengan menggunakan Al-qur’an, hadist, ijtihad sahabat dan tabi’in untuk menafsirkan ayat itu sendiri.
Tafsir bi al-Ma’tsur melalui dua fase yaitu, Pertama, fase periwayatan dengan lisan. Pada fase ini para sahabat menuqil riwayat penafsiran dari nabi dan menyampaikannya pada sahabat lainnya. Para tabi’in menukil riwayat dari para sahabat dengan metode penukilan berupa sanad yang teliti dan seksama. Kedua, fase pengkodifikasian. Pada fase ini riwayat-riwayat penafsiran yang disebarkan pada fase pertama mulai dibukukan.[11]
Tafsir dengan  Riwayat (matsur) adalah rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al Qur’an, sunah, atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al Qur’an dengan sunah nabawiyah. Dengan kata lain penafsiran dalam corak ini dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
a.      Penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat yang lain
Contoh Tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an: QS. al-Maidah (5) : 1 yang menjelaskan tentang binatang ternak yang halal. Kemudian dijelaskan lagi dalam ayat berikutnya, QS. al-Maidah (5) :3 tentang hal-hal yang diharamkan untuk dimakan, termasuk didalamnya binatang ternak yang haram.
Q.S (5): 1

b.      Penafsiran ayat al-Qur’an dengan hadis Nabi Saw
Contoh tafsir Al Qur’an dengan Sunah, Q.S Al Baqarah (2) : 185,

yang memerintahkan untuk berpuasa dibulan ramadhan (فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ), Rasul menjelaskan kapan waktu untuk memulai dan meakhiri puasa tersebut yaitu ketika melihat hilal.
c.       Penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat
d.      Penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat para tabi’in[12].
Berkembangnya penafsiran bi al ma 'tsur zaman itu cukup dapat dipahami karena para mufassir mengandalkan penguasaan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya secara baik, juga mereka ingin membuktikan kemu'jizatan Al-Qur'an dan segi bahasanya.
Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahan yang luas, serta obyektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada diantara mereka yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleleksian yang ketat. Imam Ahmad me`nilai bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar yang kokoh. kitab-kitab yang termasuk tafsir bi al-ma’thur, misalnya tafsir   Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an karangan Ibnu Jarir al-Tabary yang terkenal dengan sebutan tafsir al-Tabary.
2.      Tafsir bi ar-Ra’y
Tafsir bi Al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an oleh mufasir atas dasar ijtihadnya yang berlandaskan pengetahuannya dalam ilmu bahasa, syariah, dan  budaya yang bersifat umum, bukan berasal dari Rasulullah Saw, para sahabat dan tabi’in.[13] Contoh kitab tafsirnya adalah Mafatih Al-Ghaib, karangan Fakhr Al-Din Al-Razi, Al-Bahr Al-Muhith, karangan Abu Hayan Al-Andalusi Al-Gharnathi  dan Al-Kasysyaf’an Haqa’iq Al-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujuh Al-Ta’wil, karangan Al-Zamakhsyari.[14]
Meskipun mufasir dalam corak ini melakukan penafsiran berdasarkan pemikiran, namun ia tidak bebas secara mutlak. Karena itu, dalam menggunakan corak tafsir ini diberlakukan sayarat-syarat mufasir dan kaidah-kaidah penafsiran yang ketat. Syarat-syarat mufasir ini antara lain:
a.       Memiliki pengetahuan tentang bahasa arab dan seluk beluknya,
b.      Menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an,
c.       Menguasai ilmu hadis dan ushul fikih,
d.      Berakidah yang benar
e.       Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama
f.       Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.
Tidak terpenuhinya syarat-syarat ini dapat menyebabkan seorang mufasir terjerumus kedalam kesalahan, sehingga penafsirannya tidak dapat diterima.[15] al-Zarqaniy menegaskan dalam menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y, ada beberapa hal perlu diperhatikan untuk dihindari:
a.       Secara berani memberi penjelasan tentang maksud Allah swt dalam firman-Nya tanpa memeiliki pengetahuan tentang aturan-aturan bahasa dan syari’ah,
b.      Mengarahkan firman Allah swt ke dalam pendirian-pendirian yang menyimpang,
c.       Menafsirkan ayat-ayat tertentu yang hanya menjadi “ preorogatif” dan otoritas Allah swt untuk megetahuinya,
d.      Menyatakan dengan pasti, bahwa demikian itulah maksud dan keinginan Allah swt dalam ayat-Nya, tanpa didukung oleh dalil atau bukti yang sah,
e.       Menafsirkan ayat-ayat Allah swt sejalan dengan kehendak bebas dan selera atau nafsu, serta anggapan baik menurut ukuran pribadi.[16]
3.      Tafsir Isyari
Tafsir Isyari menurut istilah adalah mentakwilkan al-Qur’an dengan makna yang bukan makna lahiriyahnya karena adanya isyarat samar yang diketahui oleh para penempuh jalan spiritual dan tasawuf dan mampu memadukan antara makna-makna itu dengan makna lahiriyah yang juga dikehendaki oleh ayat yang bersangkutan.[17] Tafsir ini berkembang sejalan dengan prkembangan ilmu tasawuf yaitu ketika ilmu-ilmu agama dan sains mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam menyebar keseluruh pelosok dunia dan mengalami kebangkitan dalam segala seginya.
Berdasarkan isi dan substansinya tafsir bi al-‘isyari dapat dibedakan menjadi dua macam: tafsir bi al-‘isyari al-maqbul dan tafsir bi al-‘isyari al-mardud. Dikatakan sebagai tafsir bi al-‘isyari al-maqbul atau al-masyru’ bila memiliki lima syarat yaitu:
1.      Tidak menafikan makna lahir dan makna-makna yang terkandung dalam redaksi ayat al-Qur’an.
2.      Mufassirnya tidak mengklaim bahwa satu-satunya penafsiran yang benar tanpa mempertimbangkan makna tersurat.
3.      Tidak menggunakan takwil yang jauh menyimpang dan penakwilnya lemah.
4.       Tidak bertentangan dengan dalil syari’at dan argumentasi aqli.
5.       Serta adanya pendukung dalil-dalil syari’at yang memperkuat penafsirannya.
Sebaliknya, dikatakan tafsir al-‘isyari al-mardud  bila gaya penafsirannya menyalahi salah satu dari syarat-syarat penerimaan tafsir al-‘isyari di atas.[18] Ada beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan penafsiran bi al-‘isyari, antara lain; Garaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan karya an-Naisaburi (w. 728 H/1328 M); ‘Ara’is al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an susunan Muhammad asy-Syairazi; dan Tafsir wa Isyarat al-Qur’an karya Muhyi al-Din Ibnu ‘Arabi (w. 560-638 H/1165-1240 M).[19]

D.     TAFSIR DARI SEGI METODENYA
1.       Metode Tahlili (Metode Analisis)
Metode Tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan meneliti aspeknya dan menyikap seluruh maksudnya, mulai dari uraian, hingga sisi antar pemisah itu dengan bantuan Asbabul Nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari nabi SAW, sahabat dan tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi nabi sampai tabi’in, terkadang diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuannya ditunjukan untuk memahami Al-Qur’an yang mulia ini.[20]
Ciri-ciri metode tahlili dalam menafsirkan al-Qur’an mufasir biasanya melakukan sebagai berikut:
a.       Menerangkan hubungan antara satu ayat dengan ayat lain atau antara satu surah dengan surah lain. Misalnya, menafsirkan awal surah al-Imran/3. Apabila mufasir menulis tafsirnya secara utuh satu mushaf, mulai dari surah al-Fatihah/1 dan seterusnya, maka ketika ia memulai menafsirkan surah al-Imran/3, ia akan menjelaskan hubungan antara surahal-Baqarah/2 dengan surah al-Imran/3, yang sedang ditafsirkannya.
b.      Menjelaskan tentang sebab-sebab turunnya ayat
c.       Menganalisis mufradat (kosakata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab.
d.      Memamparkan kandungan ayat secara umum dan makasudnya
e.       Menerangkan unsur-unsur fashah, bayan dan I’jaz-nya, bila dianggap perlu.
f.       Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya ayat-ayat yang ditafsirkan ayat ahkam.
g.       Menernagkan makna dan maksud syara’ yang terkandung dalam ayat yang bersangkutan.[21]
Tafsir tahlili sebagai salah satu metode tafsir yang banyak digunakan oleh para mufasir, tidak luput dari adanya kelebihan dan kekurangan.
a.       Kelebihan Metode Tafsir Tahlili
·         Metode tahlili adalah merupakan metode tertua dalam sejarah Al-Quran karena metode ini telah digunakan sejak masa Nabi Muhammad SAW.
·         Metode ini adalah metode yang paling banyak digunakan oleh para mufassir. 
·         Metode ini memiliki corak (laun ) dan orientasi ( ittijah ) yang paling banyak dibandingka metode lain.
·         Melalui metode  ini seorang mufassir memungkinkan untuk memberikan ulasan secara panjang lebar ( itnhab), atau secara ringkas dan pendek saja ( ijaz).
·         Metode tahlili pembahsann dan ruang lingkupnya yang sangat luas. Hal ini dapat berbentuk riwayat (ma’sur ) dan juga dapat berbentuk rasio ( ra’yu ).
b.      Kekurangan Metode Tafsir Tahlili
·         Metode ini dijadikan para penafsir tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran
·         Metode ini kurang mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, karena pembahsannya sering tidak tuntas, terutama masalah kontemporer seperti keadilan, kemanusiaan, sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologi yang dapat mengurangi subjektivitas mufassirnya.
·         Dapat menghanyutkan seorang mufassir dalam penafsirannya, sehingga keluar dari suasana ayat yang dibahas.
·         Metode ini sangat subjektif.
Contoh kitab tafsir tahlili yaitu, Tafsir Al-Quran al-‘azhim karya Ibn Katsir, Tafsir al-Munir karya Syaikh Nawawy al-Bantany, ada yang ditulis dengan sangat panjang, seperti kitab tafsir karya al-Lusi, Fakhr al-Din al-Razi, dan Ibn Jarir al-Thabari, ada yang sedang, seperti kitab Tafsir Imam al-Baidhawi dan al-Naisaburi  dan ada pula yang ditulis dengan ringkas, tetapi jelas dan padat, seperti kitab Tafsir al-Jalalayn karya Jalal al-Din Suyuthi dan Jalal al-Din al- Mahalli dan kitab Tafsir yang ditulis Muhammad Farid Wajdi.
2.      Metode Ijmali (Metode Global)
Metode Ijmali yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca.[22] Dengan metode, ini muffasir berupaya menjelaskan makna-makna Al-Qur’an dengan uraian singkat dan bahwa yang mudah sehingga dipahami oleh semua orang, dari orang yang berpengetahuan sekedarnya sampai kepada orang yang berpengetahuan luas. Kitab tafsir yang termasuk kedalam katagori ini adalah tafsir al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi.[23] Cirri-ciri metode ini adalah:
                                     a.      Mufasir bermaksud mencari makna ayat secara umum berdasarkan sistematika dan makna umum,
                                    b.      Tujuan dari makna ini diletakan dalam ungkapan yang terkandung dalam lafadz tersebut,
                                     c.      Arti dari makna tadi kemudian dihubungkan dengan ilmu-ilmu lain.
Sebagai salah satu metode penafsiran Al-Quran memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh tafsir-tafsir lainnya, diantara kelebihan  ini adalah:
a.       Jelas  dan Mudah di pahami.
b.      Bebas dari penafsiran Israiliyat.
c.       Akrab dengan bahasa Al-Quran
Adapun kelemahan yang dimiliki metode penafsiran ini diantaranya adalah:
a.       Menjadikan petunjuk Al-Quran tidak utuh.
b.      Penafsiran dangkal atau tidak mendalam.
3.      Metode Muqaran (Metode Komparasi/perbandingan)
Metode Muqaran ialah membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih atau memiliki redaksi berbeda bagi satu kasus yang sama, membandingkan al-Qur’an dengan hadis Nabi saw yang pada lahirnya terlihat bertentangan, serta mmebandingkan berbagai pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.[24] Langkah yang ditempuh ketika menggunakan metode ini adalah:
a.       Mengumpulkan sejumlah ayat al-Qur’an
b.      Mengemukakan penjelasan para mufassir
c.       Membandingkan kecendrungan tafsir mereka masing-masing
d.      Menjelaskan siapa diantara mereka penafsirannya dipengaruhi secara subyektif oleh mazhab tertentu.[25]
Diantara keunggulan tafsir muqaran dari metode yang lainnya adalah:
a.       Memberikan wawasan relatif lebih luas
b.      Membuka pintu untuk bersikap toleran
c.       Mengungkapkan ke-i’jaz-an dan keotentikan Al-Quran
d.      Membuktikan bahwa ayat-ayat Al-Quran sebenarnya tidak ada kontradiktif.
e.       Dapat mengungkapkan orisinalitas dan objektifitas mufassir.
f.       Dapat mengungkapkan sumber-sumber perbedaan di kalangan mufassir atau perbedaan pendapat di antara kelompok umat Islam, yang di dalamnya termasuk masing-masing mufassir.
g.       Dapat menjadi sarana pendekatan (taqrib)  di antara berbagai aliran tafsir dan dapat juga mengungkapkan kekeliruan mufassir sekaligus mencari pandangan yang paling mendekati kebenaran. Dengan kata lain seorang mufassir dapat melakukan kompromi ( al-Jam’u wa al-Taufiq ) dari pendapat-pendapat yang bertentangan atau bahkan men-tarjih salah satu pendapat yang dianggap paling benar.
Diantara kekurangan atau kelemahan  tafsir muqaran adalah:
a.       Penafsiran yang menggunakan metode muqaran tidak dapat diberikan kepada pemula, seperti mereka yang belajar tingkat menengah ke bawah. Hal ini disebabkan pembahasan yang dikemukakan terlalu luas dan kadang-kadang terlalu ekstrim, konsekwensinya tentu akan menimbulkan kebingungan bagi mereka dan bahkan mungkin bias merusak pemahaman mereka terhadap Islam secara universal
b.      Metode tafsir muqaran tidak dapat diandalkan untuk menjawab problem-problem sosial yang sedang tumbuh di tengah massyarakat. Hal ini disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan daripada pemecahan masalah.
c.       Metode tafsir muqaran terkesan lebih banyak menelusuri tafsiran-tafsiran baru. Sebetulnya kesan serupa tidak akan timbul jika mufassir kreatif, artinya penafsiran tidak hanya sekadar mengutip tetapi juga dapat mengaitkan dengan kondisi yang dihadapinya, sehingga menghasilkan sintesis baru yang belum ada sebelumnya.
4.      Metode Maudhu’i (Metode Tematik)
Tafsir dengan metode maudhu’i adalah menjelaskan konsep Al-Qur’an tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an yang membicarakan tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut dikaji secara komprehensif, mendalam, dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbab Al-nuzul-nya, munasabahnya, makna kosa katanya, pendapat para mufasir tentang makna masing-masing ayat secara parsial, secara aspek-aspek lainnya yang dipandang penting. Ayat-ayat tersebut dipandang sebagai satu kesatuan yang integral membicarakan suatu tema (maudhu’) tertentu di dukung oleh berbagai fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan rasional. [26]
Demikian luasnya sudut pandang yang digunakan dalam metode tafsir ini, maka sebagian ulama menyebutnya sebagai metode yang paling luas dan lengkap, bahkan ketiga metode yang disebutkan sebelumnya, semuanya diterapkan secara intensif dalam metode ini.
Ciri utama metode ini adalah fokusnya perhatian pada tema, baik tema yang ada dalam al-quran itu sendiri, maupun tema-tema yang munccul ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, metode ini dipandang sebagai metode yang paling tepat untuk mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan umat manusia oleh karena itu ia dapat memberikan jawaban dengan konsep al-Qur’an terhadap berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia.[27]
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khash, antara yang muthlaq dan muqayyad, mensingkronkan ayat-ayat yang lahirnya terkesan kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada suatu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat.[28] Kitab yang disusun dengan metode ini salah satunya adalah al-Insan fi al-Qur’an al-Karim karya Ibrahim Muhnan.
Diantara kelebihan metode tafsir maudhu’i adalah:
a.       Menjawab tantangan zaman artinya metode ini mampu mengatasi perkembangan zaman yang selalau berubah dan berkembang, sehingga setiap permasalahan yang ada di alam ini dapat dilihat melalui tafsir Al-Quran yang dapat ditangani melalui metode penafsiran tematik ini. Dengan arti kata titik tolak keberangkatan permasalhan ini berdasarkan kenyataan yang ada dalam masyarakat dan berarkhir pada Al-Quran untuk mencari jawaban.
b.      Praktis dan sistematis, tafsir dengan metode tematik ini disusun secara praktis dan tematis dalam memecahkan suatu permasalahan, metode ini sangat cocok dengan kahidupan masyarakat modern saat ini dengan menjelaskan satu sub pembahasan secara lengkap dan sempurna, di samping itumetode ini dapat menghemat waktu mengefektifkannya dan mengefesienkannya.
c.       Dinamis, metode ini selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran si pembaca dan pendengar dan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan demikian Al-Quran selalu aktual dan tidak ketinggalan zaman.
d.      Membuat pemahaman menjadi utuh.  Dengan ditetapkannya judul-judul pembahasan yang akan dibahas, membuat pembahasan itu menjadi utuh dan sempurna. Maksudnya penampilan tema suatu permasalahan secara utuh tidak bercerai berai bias menjadi tolak ukur untuk mengetahui pandangan- pandangan Al-Quran terhdap suatu masalah.
Dan diantara kekurang metode ini adalah:
a.       Memenggal ayat Al-Quran, maksudnya adalah metode ini mengambil kasus di dalam satu ayat atau lebih yang mengandung berbagai macam permasalahan seperti masalah puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Menurut sebagian ulama (kaum konterkstual) cara seperti ini dipandang kurang sopan terhadap ayat-ayat Al-Quran, namun jika tidak membawa kerusakan atau kesalahan di dalam penafsiran hal seperti ini tidak menjadi masalah.
b.      Membatasi pemahaman ayat, dengan adanya penetapan judul di dalam penafsiran, maka dengan sendirinya berarti membuat suatu permasalahan menjadi terbatas (sesuai dengan topic itu saja), padahal jika dilihat pada ketentuan Al-Quran, tidak mungkin ayat-ayat yang ada padanya mempunyai keterbatasan denga arti kata keterbatasan ini tidak mencakup keseluruhannya makna yang dimaksud.

E.     Tafsir dari Segi Coraknya
Corak tafsir adalah sudut pandang yang diambil oleh seseorang dalam memahami al-Qur’an. Corak ini terbentuk karena berbedanya pandangan para penafsir, sehingga melahirkan corak-corak tafsir.
1.      Tafsir Shufi/isyari, corak penafsiran ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir isyari. Menurut Quraish Shihab, tafsir corak ini muncul akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecendrungan pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Corak ini terbagi menjadi dua:
a.       Penafsir sufi yang mencoba meneliti ayat al-Qur’an dengan menggunakan ayat di dalam al-Qur’an dengan teori-teori mazhabnya dan sesuai dengan ajaran-ajaran  mereka. Sehingga seringkali mereka menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an dengan tidak mengikuti cara-cara untuk mena’wilkan ayat al-Qur’an dan menjelaskannya dengan penjelasan arti yang menyimpang. Tasawuf semacam ini biasa dikenal dengan tasawuf teoritis atau nadhari.
b.      Penafsiran sufi yang menafsirkan ayat-al-Qur’an berbeda dengan arti dzahirnya, berdasarkan ayat-ayat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh pemimpin suluk, namun masih tetap bisa dikompromikan dengan arti dzahir yang dimaksud. Tafsir jenis ini sering disebut dengan tafsir isyari.[29]
Contoh kitab-kitab tafsir yang bercorak  tafsir sufi diantaranya, Tafsir al-Qur’an al-Karim karya at-Tustari, Haqaiq at-Tafsir karya as-Salami dan ‘Araisy al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an karya as-Syairazi.
2.      Tafsir Fiqhi, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqih. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqih ini termasuk tafsir bi al-ma’tsur. Tafsir ini muncul diantaranya sebagai dampak dari berkembang fikih dan terbentuknya mazhab fikih, dimana setiap golongan berusaha untuk membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran mereka terhadap hukum-hukum. cotnoh tafsir ini adalah, Ahkam al-Qur’an karya al-Jashash, Ahkam al-Qur’an karya Ibn ‘Arabi dan Al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi.
3.      Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian ilmu kalam. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi.  Tafsir ini muncul akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementar pihak, akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam ajaran Islam dengan sadar atau tidak mereka mempercayai beberapa hal dari keprcayaan lama mereka. Semuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak yang tercermin dalam penafsiran mereka. Dalam mensikapi fenomena ini umat slam terpecah menjadi dua, yaitu:
a.       Umat Islam menolak buku-buku karya-karya filosof kemudian mengharamkannya karena dianggap bertentangan dengan akidan serta agama.
b.      Mengagum filsafat, golongan ini berkeinginan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan teori-teori filsafat mereka semata.
Diantara contoh tafsir ini adalah mafatih al-Ghaib karya Fakhr ar-Razi.
4.      Tafsir ‘ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak ‘ilmiy ini juga termasuk tafsir bi al-ra’yi.  Sebagaiman diketahui dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang mendorong pembaca untuk memperhatikan alam, maka sebagian ahli tafsir mencoba menafsirkan ayat-ayat berdasarkan kaedah-kaedah kebahasaan dengan keunikannya yang dikaitkan dengan bidang ilmu dan hasil kajian mereka terhadap fenomena alam. Akan tetapi sangat disayangkan, penafsiran corak ini masih terbatas pada ayat-ayat tertentu dan bersifat parsial, terpisah dengan ayat-ayat lain yang berbicara pada masaakh yang sama. Contoh kitab tafsir ini adalah jawahir al-Qur’an karya imam al-Ghazali.
5.      Tafsir al-adab al-ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak al-adab al-ijtima’i ini termasuk tafsir bi al-ra’yi. Tafsir ini menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan mengemukakannya dengan bahasa yang mudah dipahami dan indah didengar. Contoh tafsir ini adalah tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha.[30]


DAFTAR PUSTAKA

Acep, Hermawan. Ulumul Quran. Cet. 1. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2011.
al- Farmawi, ‘Abd al-Hayy. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudh’I. cet. II.Mesir: Mathab’at al-Hadharat al-Arabiyat. 1977.
Djalal, Abd. Urgensi Tafsir Maudhu’I Pada Masa Kini. Jakarta: Kalam Mulia. 1990.
Baidan, Nashrudin. Rekonstruksi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa. 2000.
Bowering, Gerhard. The Mystical Vision of Existence. New York: Walter the Gruyter. 1980.
Hasan Abidu, Yunus. Tafsir Al-Qur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007.
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. cet. III. Bandung:Tafakur. 2011.
Kholis,Nur. Pengantar studi al-Qur’an dan al-Hadits. cet. 1. Yogyakarta: Teras. 2008.
Kusmana dan Syamsuri. Pengantar Kajian al-Qur’an (Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian). cet. I. Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru. 2004.
M. Alfatih, Suryadilaga dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Cet. 1. Yogyakarta: Teras. 2005.
Musaddad, Endad. Studi Tafsir di Indonesia.cet. II. Ciputat: Sintesis. 2012.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir ( Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an). cet. II. Ciputat: Lentera Hati. 2013.
_______________ dkk. Sejarah dan ‘Ulumul al-Qur’an. cet.III. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001.
_______________. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Penerbit Mizan. 1992.
Yafie, Ali. Kata Pengantar dalam Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta : Rajawali Pers. 1992.



















[1] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, cet. III, (Bandung:Tafakur, 2011), h. 14
[2] Hermawan Acep, Ulumul Quran, Cet. I, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,  2011),  h. 112
[3] Majmu’ fatawa syaikhul Islam ibnu taimiyah 13/370 dan buku mabahits fi ulumul al-qur’an oleh mann’ al-qotton h. 340-342
[4] Ali Yafie, Kata Pengantar dalam, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta : Rajawali Pers, 1992), h. 9
[5] M. Quraish shihab, kaidah Tafsir ( Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an), cet. II, (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 6
[6] Endad Musaddad, Studi Tafsir di Indonesia, cet. II, (Ciputat: Sintesis, 2012), h. 5
[7] Endad Musaddad, Studi Tafsir di Indonesia, cet. II, (Ciputat: Sintesis, 2012), h. 11
[8] Abd Djalal, Urgesnsi Tafsir Maudhu’I Pada Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), h. 62
[9] M. Quraish shihab, kaidah Tafsir ( Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an), cet. II, (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 349
[10] Nashrudin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000), h. 48
[11] Abdul Hayy al-Farmawi, al-Bidayah Fi at-Tafsir l-Maudhu’I Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyyah, cet. II, (Mesir: Maktabah Jumhuriyah, 2002), h.25
[12] Quraish Shihab dkk, Sejarah dan ‘Ulumul al-Qur’an, cet.III, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 174-76
[13] Kusmana dan Syamsuri, Pengantar Kajian al-Qur’an (Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian), (Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru, 2004), cet. I, h. 185
[14] Hermawan Acep, Ulumul Quran, Cet. 1 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h.115
[15] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1992), h. 79
[16] Gerhard Bowering, The Mystical Vision of Existence, (New York: Walter the Gruyter, 1980), h. 45
[17] Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 9
[18] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Takafur, 2011), h. 89
[19] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Takafur, 2011), h. 90
[20] Quraish Shihab dkk, Sejarah dan ‘Ulumul al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), cet.III, h. 172
[21] Quraish Shihab dkk, Sejarah dan ‘Ulumul al-Qur’an, cet.III, h. 173
[22] Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, h. 67
[23] Endad Musaddad, Studi Tafsir di Indonesia, cet. II, (Ciputat: Sintesis, 2012), h. 20
[24] ‘Abd al-Hayy al- Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudh’I, (Mesir: Mathab’at al-Hadharat al-Arabiyat, 1977), cet. II,  h. 145-146
[25] ‘Abd al-Hayy al- Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudh’I, (Mesir: Mathab’at al-Hadharat al-Arabiyat, 1977), cet. II,  h. 39
[26] ‘Abd al-Hayy, al- Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudh’I, (Mesir: Mathab’at al-Hadharat al-Arabiyat, 1977), cet. II,  h. 145-146
[27] Hermawan Acep, Ulumul Quran, Cet. 1;  PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, Des’ 2011, h. 118-119
[28] Suryadilaga M. Alfatih, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, Cet. 1; TERAS, Yogyakarta, Feb’ 2005, hal: 47-48
[29] Nur Kholis, Pengantar studi al-Qur’an dan al-Hadits, cet. 1, (Yogyakarta: Teras,2008), h. 147
[30] Nur Kholis, Pengantar studi al-Qur’an dan al-Hadits, cet. 1, (Yogyakarta: Teras,2008), h. 148-150

Tidak ada komentar:

Posting Komentar