Senin, 28 November 2016

RESUM BUKU STUDI ILMU-ILMU QUR’AN KARYA MANNA’ KHALIL AL-QATTAN

RESUM BUKU STUDI ILMU-ILMU QUR’AN KARYA MANNA’ KHALIL AL-QATTAN
Judul Buku           : Studi Ilmu-Ilmu Qur’an
Judul Asli              : Mabahis fi Ulum al-Qur’an
Pengarang             : Manna’ Khalil al-Qattan, cet III tahun 1973
  diterbitkan oleh Mansyurat al-Asr al-Hadis.
Penerjemah           : Drs. Mudzakir AS
Penerbit                 : Pustaka Lentera Antar Nusa
Kota                       : Bogor
Cet ke                    : 16
Tahun                    : 2013
Tebal Buku           : xv + 535
Catatan                  : di bagian I ini yang saya Posting hanya dari Bab 1-8
  Atau dari halaman 1-221

(1)   ILMU-ILMU QUR’AN
A.  Sejarah Perkembangan Ulumul Quran
Al-Qur’an adalah mukjizat islam yang abadi dimana mwskipun maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validas kemukjizatannya. Allah SWT. menurunkan kepada Nabi muhammad SAW, demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya ilahi. Rasulullah menyampaikannya kepada para sahabatnya sebagai penduduk asli Arab yang sudah tentu dapat memahami tabi’at mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat yang mereka terima, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. (Hal: 1)
Para sahabat sangat bersemangat untuk mendapat pengajaran Al-Qur’an dari Rasulullah. Mereaka ingin menghafal dan memahaminya. Bagi mereka, ini merupakan suatu kehormatan. (Hal: 2)
Seiring dengan itu, mereka mereka juga sungguh-sungguh mengamalkannya dan menegakkan hukum-hukumnya. Rasulullah SAW. Tidak mengizinkan mereka menuliskan apa pun selain Al-Qur’an, sebab ditakutkan dapat tercampur aduk dengan yang lain. (Hal: 2-3)
Sekalipun Rasulullah pernah mengizinkan sebagian sahabatnya setelah itu untuk menulis hadist, sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an masih tetap bersandar pada riwayat, yaitu melalui talqin. Demikian yang terjadi pada masa rasul, masa Khalifah Abu Bakar, dan Umar ra. (Hal: 3)
Lalu pada masa Khalifah Utsman ra, sesuai dengan tuntutan kondisi seperti yang akan dijelaskan kemudian membuat suatu terobosan ijtihad mulia, yaitu demi menyatukan kaum musilimin dengan pedoman satu mushaf yang kemudian diberi nama mushaf al-imam. Selanjutnya mushaf tersebut dikirim ke berbagai negeri saat itu. Adapun tulisan huruf-hurufnya disebut sebagai rash utsmani, yang dikaitkan dengan nama Khalifah Utsman. Langkah ini adalah awal munculnya ilmu penulisan rash Al-Qur’an. (Hal: 3-4)
Kemudian, Khalifah Ali ra. Menyuruh Abu Aswad Ad-Dauli untuk mengagas kaedah nahwu, demi menjaga adanya kekeliruan dalam pngucapan yang cikal bakal akan muncul  ilmu i’rab Al-Qur’an. Adapun dari kalangan tabiin, tidak sedikit yang menimba ilmu dari sahabat, dan melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat. Para perintis ilmu tersebut:
1.     Empat orang Khalifah Rasyidin, Ibnu Abbas, Inbu Masud, Zaid Bintsabit, Ubai Bin Ka’ab, Abu Musa Al-Asy’ari dan Abdullah Bin Zubair. Mereka itu dari kalangan sahabat Nabi.
2.     Mujahid, ‘Atha Bin Yassar, ‘Ikhrimah, Qatadah, Hasan Bashri, Sa’id Bin Jubair, Dan Zaid Bin Aslam dari kaum tabi’in di Madinah
3.     Malik Bin Anas dari kaum tabi’it-tabi’in (generasi ketiga kaum muslimin). Ia memperoleh ilmunya dari Zid Bin Aslam.
Mereka itulah orang-orang yangmeletakkan apa yang sekarang kita kenal dengan ilmu tafsir, ilmu asbabun nuzul, ilmu tentang ayat-ayat yang turun di makkah dan di madinah, ilmu tentang nasikh dan mansukh dan ilmu gharib Al-Qur’an. (Hal: 3-8)
B.   Kitab Ulumul Quran Yang Paling Terpopuler
1.     Manahil Al-Irfan Fi Ulumin Quran karangan Az-Zarqani
2.     Al-Burhan Fi Ulumin Quran karangan Badruddin Az-Zarkasyi
3.     Al-Itqan Fi Ulumil Quran karangan Jalaluddin As-Suyuthi(Hal: 8-9)

(2)   AL-QUR’AN
1.     Definisi
Diantara kemurahan Allah terhadap manusia, adalah bahwa Dia tidak saja menganugrahkan fitrah yang suci yang dapat membimbingnya kepada kebaikan, bahkan juga dari masa kemasa mengutus seorang rasul yang membawa kitab sebagai pedoman hidup dari Allah, mengajak manusia agar beribadah hanya kepada Nya semata. Menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantar Allah setelah datangnya para Rasul.
Allah berfirman,
رُسُلًا مُّبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ. وَكَانَ اللَّهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا (النساء:١٦٥)
“Rasul-rasul (yang telah Kami utus itu), semuanya pembawa kabar gembira (kepada orang-orang yang beriman), dan pembawa peringatan (kepada orang-orang kafir dan yang berbuat maksiat), supaya tidak ada bagi manusia suatu hujjah (alasan untuk berdalih paada hari Kiamat kelak) terhadap Allah sesudah mengutus rasul-rasul itu. Dan (ingatlah) Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa’: 165) (hal: 10).
Al-Qur’an asalnya sama dengan Qira’ah, yaitu akar kata (masdar-infinitif) dari qara’a, qira’atan wa qur’anan. Allah menjelaskan,
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ، فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ (القيامة:١٧-١٨)
“Sesungguhnya Kami lah yang bertanggung jawab mengumpulkan (dalam dadamu) dan membacakannya (pada lidahmu). Maka apabila Kami telah menyempurnakan bacaanya (kapadamu, dengan perantaraan Jibril), maka bacalah menurut bacaanya itu.” (Al-Qiyamah: 17-18)
Para ulama menyebutkan definisi yang khusus, berbeda dengan lainya bahwa bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang pembacaannya menjadi suatu ibadah. Maka kata “Kalam” yang termaktub dalam definisi tersebut merupakan kelompok jenis yang mencakup seluruh jenis kalam, penyandarannya kepada Allah yang menjadikannya Kalamullah, menunjukan secara khusus sebagai firman Nya, bukan kalam manusia, jin, maupun malaikat. (hal: 15-16).
Kalimat “al-munazzal” (yang diturunkan), berarti tidak termasuk kalam Nya yang sudah khusus menjadi miliknya.
“Katakanlah (hai Muhammad), ‘Kalaulah semua jenis lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sudah tentu akan habis, kering lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhaku, walaupun Kami tambah dengan lautan yang sebanding denganya, sebgai bantuan’.” (Al-Kafhi: 109)
“Dan sekiranya segala pohon yang ada dibumi manjadi pena, dan segala lautan (menajdi tinta), dengan dibantu kepadanya tujuh lautan lagi sesudah itu, niscaya tidak akan habis kalimat-kalimat Allah itu ditulis. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana.” (Luqman: 27)
Batasan dengan kata “kepada Muhammad” menunjukkan, Al-Qur’an itu tidak pernah diturunkan kepada Nabi-Nabi sebelumnya seperti Taurat dan Injil.
Adapun “al-muta-abbad bitilawatih” (membacanya adalah ibadah) mengecualikan hadist-hadist ahad dan qudsi. Jika kita katakan misalnya: ia diturunkan dari sisi Allah dengan lafazhnya. Sebab itu pembacanya didalam shalat atau lainnya termasuk ibadah. Tidak demikian halnya dengan hadist ahad dan hadist qudsi. (hal: 18)
2.     Nama dan sifat Al-Qur’an
a.     Al-Qur’an
“Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Al-Isra’: 9)
b.     Al-Kitab
Telah kami turun kan kepadamu Al-Kitab yang didalamnya terdapat kemuliaan bagimu.” (Al-Anbiyaa’: 10)
c.     Al-Furqan
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan kepada hamba Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada penduduk alam.” (Al-Fuqan: 1)
d.     Adz-Dzikr
“Sessungguhnya Kamilah yang telah menurunkan adz-dzikr, dan sesungguhnya Kamilah pula yang akan menjaganya. (Al-Hijr: 9)
e.     At-Tanzil
Dan dia itu adalah tanzil (kitab yang diturunkan) dari tuhan semesta alam.” (Asy-Syu’araa’: 192)(hal: 18-20)
f.      An-Nur
“Wahai sekalian umat manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu bukti kebenaran dari tuhan kamu, dan Kami pun telah menurunkan kepada kamu (Al-Qur’an sebagai) Nur (cahaya) yang menerangi.” (An-Nisaa’: 174)
g.     Maui’zah (Nasehat), Syifa (Obat), Huda (Petunjuk), Dan Rahmah (Rahmat)
“Wahai umat manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu Al-Qur’an yang menjadi penasehat dari tuhan kamu, penawar bagi penyakit batin yang ada didalam dada kamu, petunjuk hidup (way of life), dan sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)
h.     Mubin (yang menjelaskan)
“Wahai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu rasul Kami (Muhammad) dengan menerangkan kepada kamu banyak dan (keterangan-keterangan dan hukum-hukum) yang telah kamu sembunyikan dari kitab suci, dan ia memaafkan kamu (dengan tidak mengungkapkan) banyak perkara (yang disembunyikan). Sesungguhnya telah datang kepada kamu cahaya kebenaran (Nabi Muhammad) dari Allah, dan sebuah kitab (Al-Qur’an) yang memperjelas.” (Al-Maidah:15)
i.       Al-mubarak (yang diberkati)
Dan inilah kitab yang Kami turunkan, yang diberkati, lagi mengesahkan kebenaran....” (Al-An’am: 92)
j.      Busyra (berita gembira)
“......serta menjadi petunjuk  dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 97) (Hal: 21)
k.     Aziz (yang mulia)
“.....Al-Qur’an itu sesungguhnya sebuah kitab yang mulia.” (Fushshilat: 41)
l.       Majid (yang dihormati)
Bahkan apa yang mereka dustakan itu adalah Al-Qur’an yang dihormati.” (Al-Buruj: 21)
m.    Basyir (pembawa berita gembira), dan Zadzir (pemberi peringatan)
“...ia (Al-Qur’an) membawa berita yang mengembirakan (bagi orang-orang yang beriman) dan membawa peringatan (kepada orang-orang yang ingkar... (Fussilat: 3-4) (hal: 22)
3.       Perbedaan Antara Al-Qur’an, Hadist Qudsi Dan Hadist Nabawi
Definisi Al-Qur’an telah dikemukakan sebelumnya. Untuk mengetahui perbedaan antara definisi Al-Qur’an, hadist qudsi dan hadist nabawi, maka disini akan dikemukakan dua definisi hadist tersebut: (hal: 22)
Hadist secara bahasa bermakna “dhiddu al-qodim” (lawan dari lama atau baru). Adapun secara istilah, hadist adalah apa saja yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan) Nabi terhadap suatu perbuatan atau ucapan yang datang dari sahabatnya. (hal: 22-23)
1.     Hadist Qudsi
Kita telah mengetahui makna hadist secara bahasa. Sekarang kita akan membicarakan tentang hadist qudsi, kata qudsi dinisbahkan kepada kata quds (kesucian). Nisbah ini menunjukkan rasa ta’zhim (hormat akan kebersihan dan kesucian). (hal: 24)
Hadist qudsi secara istilah ialah suatu hadist yang oleh Nabi SAW, disandarkan kepada Allah. Maksudnya, Nabi yang meriwayatkannya dalam posisi bahwa yang disampaikannya adalah kalam Allah. (hal: 25)
4.       Perbedaan Al-Qur’an Dengan Hadist Qudsi
a.     Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi MuhammadSAW sedangkan hadist qudsi tidak berfungsi sbagai mukjizat.
b.     Al-Qur’an dinisbahkan kepada Allah semata, sedangkan hadist qudsi penisbatannya bersifat insya’i (yang diadakan).
c.     Seluruh Al-Qur’an dinukilkannya secaramutawatir, sedangkan hadist-hadist qudsi sebagian besar memiliki derajat khabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan degaan
d.     Al-Qur’an baik lafazd dan maknanya dari Allah SWT sedangkan hadist qudsi lafazhnya (redaksinya) dari Rasulullah SAW
e.     Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah; karena dibaca didalam salat sedangkan hadist qudsi tidak disuruh membacanya didalam salat(hal: 26-26)
5.       Perbedaan Hadist Qudsi Dan Hadist Nabawi
Hadist qudsi, Nabi adalah orang yang meriwayatkan kalam Allah, tetapi redaksi lafazhna dari Nabi sendiri. Jika seseorang meriwayatkan satu hadist qudsi, dia berarti meriwayatkannya dari Rasulullah yang dinisbatkan kepada Allah. Sedangkan hadist nabawi bersifat  tauqifi dan taufiqi. Tauqifi yaitu kandungnnya diterima oleh Rasulullah dari wahyu, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari sisi perkataan lebih banyak dinisbatkan kepada Rasulullah, sebab kata-kata itu disandarkan kepada siapa yang mengatakan, walaupun terdapat makna yang diterimanya dari pihak lain. Taufiqi yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW, dari pemahaman beliau terhadap Al-Qur’an, atau mengambil istimbat dengan perenungan dan ijtihad. (hal: 28-29)

(3)   WAHYU
1.       Kemungkinan dan Terjadinya Wahyu
Nabi Muhammad SAW bukanlah seorang rasul yang berbeda dari para rasul sebelumnya. Beliau pun bukanlah Nabi pertama yang berbicara dengan manusia atas nama wahyu, kalam ilahi. Sejak Nabi Nuh as, muncul berturut-turut pribadi suci pilihan Allah, yang semuanya berbicara atas nama Allah dan semua ucapannya bukanlah keluar dari hawa nafsu. Wahyu ilahi yang mendukung dan memperteguh keNabian mereka, suatu keadaan yang tidak berbeda dengan keNabian Muhammad SAW. Semuanya adalah serupa, karena sumbernya adalah satu tujuannya pun satu juga.
إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنْا إِلَى نُوْحٍ وَالنَّبِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَهِيْمَ وَإِسْمَاعِيْلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْأَسْبَاطِ وَعِيْسَى وَأَيُّوْبَ وَيُوْنُسَ وَهَارُوْنَ وَسُلَيْمَانَ وَءَاتَيْنَا دَاوُدَ زَبُوْرًا. وَرُسُلًا قَدْ خَصَصْنَا هُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا
Sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepadamu (hai Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan kepada para Nabi berikutnya. Dan Kami mewahyukan pula kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’kub, dan anak-cucunya, (yaitu) Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan kepada Daud Kami berikan Zabur. (Kami telah pula mengutus) rasul-rasul yang telah Kami kisahkan kepadamu dahulu, dan rasul-rasul (lainnya) yang tidak Kami kisahkan kepadamu. Dan (ketahuilah) Allah telah berbicara langsung dengan Musa (An-Nisa, 163-164) (hal: 34-35)
2.       Arti Wahyu
Al-Wahy (wahyu) adalah kata masdar (intinitif). Dia menunjukan pada dua pengertian dasar, yaitu: tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, dikatakan, “Wahyu ialah informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian dasarnya (masdar). Tetapi terkadang juga bermaksud al-muha, yaitu pengertian dasarnya isim maf’ul, maknanya yang diwahyukan. hal: 36.
Sedangkan wahyu Allah kepada para Nabi-Nya, secara syariat mereka definisikan sebagai “Kalam Allah yang diturunkan kepada seorang Nabi.” Definisi ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu al-muha (yang diwahyukan). Ustadz MuhammadAbduh mendefinisikan wahyu dalam Risalah At-Tauhid  sebagai “pengetahuan yang didapati seseorang dari dalam dirinya dengan suatu keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan melalui perantaraan ataupun tidak. Yang pertam melalui suara yang terjelma dalam telinganya atau bahkan tanpa suara. Beda antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini olah jiwa yang mendorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa sadar dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih, dan senang. (hal: 37-38)
3.       Cara wahyu Allah turun kepada Malaikat
Cara turunya wahyu Allah yang berupa Al-Qur’an kepada Jibril para ulama dengan beberapa berpendapat:
a.     Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafazhnya yang khusus.
b.     Jibril menghafalnya dari Lauh Al-Mahfuzh.
c.     Maknanya disampaikan kepada Jibril, sedangkan lafazhnya dari Jibril, atau Muhammad SAW. (hal: 42)
Pendapat pertama yang benar. Pendapat itu yang dijadikan pegangan olah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Dalam hadist shahih dikatakan, “Apabila Allah memutuskan suatu perkara dilangit, maka para malaikat mengepak-ngepakan sayapnya karena pengaruh firman-Nya, bagaikan mata rantai diatas batu yang licin.
Penyandaran Al-Qur’an kepada Allah itu terdapat dalam beberapa ayat salah satunya ialah,
وَإِنَّكَ لَتُلَقَى الْقُرْءَانَ مِنْ لَدُنْ حَكِيْمٍ عَلِيْمٍ. (النمل:٦)
“Sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al-Qur’an dari Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.” (An-Nalm: 6) (hal: 42)
Al-Qur’an adalah kalam Allah dengan lafashnya, bukan kalam Jibril atau Muhammad.
Adapun pendapat kedua diatas, tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya Al-Qur’an di Lauhul Mahfuzh itu seperti hal-hal gaib yang lain, termasuk Al-Qur’an.
Sedangkan, pendapat yang ketiga hampir sama dengan makna sunnah. Sebab,  sunnah itu juga wahyu dari Allah kepada Jibril, kemudian kepada Muhammad SAW secara makna. Lalu beliau mengungkapakan dengan redaksi beliau sendiri, “Dia (Muhammad) tidaklah berbicara mengikuti kemauan hawa nafsu. Apa yang diucapkan itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm: 3-4). (hal: 43)
Karenanya diperbolekan meriwayatkan hadist menurut maknanya, sedangkan Al-Qur’an tidak.
4.       Cara penurunan wahyu kepada para Rasul
Allah menurunkan wahyu kepada para Rasul Nya dengan dua cara yaitu:
Pertama; melalui malaikat Jibril a.s, malaikat pembawa wahyu. Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul yaitu;
a.     Datang dengan suatu suara seperti suara lonceng, yaitu suara yang amat kuat yang dapat mempengaruhi kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini adalah yang paling berat bagi Rasul. Apabila wahyu yang turun kepada Rasulullah dengan cara ini, biasanya beliau mengumpulkan segala kekuatan dan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Terkadang suara itu seperti kepakan sayap-sayap malaikat, seperti diisyaratkan didalam hadist,
Apabila Allah menghendaki suatu urusan dilangit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman Nya, bagaikan gemerincingnya mata rantai diatas batu-batu yang licin.” (HR. Al-Bukhari) (hal: 48)
Dan mungkin pula suara malaikat itu sendiri pada waktu Rasul baru mendengarnya untuk pertama kali. (hal: 48)
b.     Malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki. Cara seperti ini lebih ringan daripada cara sebelumnya, karena adanya kesesuian antara pembicara dengan pendengar. Beliau mendengarkan apa yang disampaikan pembawa wahyu itu denga senang, dan merasa tenang seperti seorang yang sedang berhadapan dengan saudaranya sendiri. (hal: 48)
Keadaan Jibril menampakkan diri sepertiseorang laki-laki itu tidaklah mengharuskan ia melepaskan sifat keruhaniannya. Dan tidak pula bararti bahwa zatnya telah berubah menjadi seorang laki-laki. Tetapi yang dimaksudkan ialah bahwa dia menampakkan diri dalambentuk manusia tadi untuk menyenangkan Rasulullah sebagai manusia keduanya itu tersebut dalam hadist yang diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin bahwa Al-Harits bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah mengenai hal itu. Nabi menjawab, “kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang palingberat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang telah dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjelma kepadaku, dan aku pun memahami apa yang dia katakan.” (hal: 49)
Kedua; tanpa melaui perantara. Diantaranya ialah,
a.     Mimpi yang benar didalam tidur. Aisyah r.a berkata, “Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada Rasulullah SAW adalah mimpi yang benar didalam tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari.”
Mimpi yang benar bagi para Nabi diwaktu tidur itu merupakan satu dari sekian macam cara Allah “berkomunikasi” dengan hamba pilihan Nya, “Allah tiada berbicara dengan seorang manusiapun, kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari balik tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin Nya apa yang Dia kehendaki. Dia Sesungguhnya Maha Tinggi dan Maha Bijaksana.” (Asy-Syura:54) (hal: 50)
b.     Kalam Ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara. Seperti yang terjadi pada Musa a.s, “Dan tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami diwaktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan talah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata, ‘Wahai Tuhan, tampakkanlah Diri Mu kepadaku agarku dapat melihatMu’.” (Al-A’raf: 143)
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا (النساء: ١٦٤)
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (An-Nisaa’:164)
(hal: 47)
Demikian pula menurut pendapat yang paling shahih, Allah juga pernah berbicara secara langsung kepada Rasul kita Muhammad pada malam Isra dan Mi’raj.
Cara itu termasuk cara kedua dari apa yang disebutkan oleh ayat diatas, “aw min wara’i al-hijab.” Dan didalam Al-Qur’an wahyu macam ini tidak ada. (hal: 47)
5.       Keraguan Orang-Orang yang Ingkar Terhadap Wahyu
Orang-orang jahiliyah baik yang klasik ataupun yang modern selalu berusaha menimbulkan keraguan (syubhat) terhadap wahyu dengan sikap keras kepala dan sombong. Tetapi syubhat itu lemah dan tidak dapat diterima. (hal: 50)
a.     Mereka mengatkan bahwa A-Qur’an bukan wahyu, tetapi dari pribadi Muhammad. Dialah yang menciptakan maknanya, dan menyusun “bentuk gaya dan bahasanya.” (hal: 51)  
b.     Orang-orang jahiliyah, dahulu dan sekarang, menyangka bahwa Rasulullah mempunyai ketajaman akal, penglihatan yang dalam, firasat yang kuat, kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa dan renungan yang benar, yang menjadikannya mampu menimbang ukuran-ukuran yang baik dan buruk, benar dan salah melalui ilham (intuisi), mengenali perkara-perkara yang rumit melalui kasyaf, sehinnga Al-Qur’an itu tidak lain daripadahasilpenalaran intelektual dan pemahaman yang dingkapkan oleh Muhammaddengan gaya bahasa dan retorikanya yang hebat. (hal: 55)
c.     Orang-orang jahiliyah klasik dan modern berasumsi bahwa Muhammad telah menerima ilmu-ilmu Al-Qur’an dari seorang guru. Itu tidak salah, akan tetapi guru yang menyampaikan Al-Qur’an itu ialah malaikat pembawa wahyu, bukan guru yang berasal dari kaumnya sendiri atau kaum lain. (hal: 63)

(4)   MAKKIYAH DAN MADANIYAH
1.         Perhatian ulama terhadap ilmu Makiyyah dan Madaniyah
Para ulama sangat memperhatikan Al-Qur’an dengan cermat. Mereka menertibkan surat-surat sesuai dengan tempat turunnya. Mereka mengatakan misalnya, “surat ini diturunkan setelah surat itu.” Dan lebih cermat lagi sehingga mereka membedakan antara yang diturunkan di malam hari dengan yang diturunkandisiang hari, antara yang diturnkan dimusim panas dengan yang diturunkan dimusim dingin, dan diantara yang diturunkandiwaktu sedang berada dirumah dengan yang diturukan disaat berpergian. (Hal: 72)
Yang terpenting dalam objek kajian para ulama dalam pembahasan ini ialah:
a.     Yang diturunkan di Makkah
b.     Yaang diturukan di Madinah
c.     Yang diperselisihkan
d.     Ayat-ayat Makkiyah dalam surat-surat Madaniyah
e.     Ayat-ayat Madaniyah dalam surat-surat Makkiyah
f.      Yang diturukan diMakkah namun hukumnya Madaniyah
g.     Yang diturunkan diMadinah namun hukumnya Makkiyah
h.     Yang serupa dengan yang diturunkan di Makkah dalam kelomopok Madaniyah
i.       Yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam keelompok Makkiyah.
j.      Yang dibawa dari Makkah ke Madinah
k.     Yang dibawa dari Madinah ke Makkah
l.       Yang turun diwaktu malam dan diwaktu siang
m.   Yang turun dimusim panas dan musim dingin, dan yang turun diwaktu menetap dan perjalanan. (Hal: 73)
2.              Faedah (Hikmah) mengetahui ilmu Makkiyah dan Madaniyah
a.     Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Al-Qur’an.
b.     Meresapi gaya bahasa Al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju jalan Allah, sebab setiap situasi mempunyai gaya bahasa tersendiri.
c.     Mengetahui sejarah hidup Nabi malalui ayat-ayat Al-Qur’an. (Hal: 81-82)
3.              Perbedaan Makkiyah dan Madaniyah
Pertama, dari segi waktu turunnya. Makkiyah adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan di Makkah. Sedangkan Madaniyah, adalah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun di Makkah dan arafah, adalah Madinah, seperti yang diturunkan pada tahun penaklukan kota mekkah. (Hal: 83-84)
Kedua, dari segi tempat turunnya. Makkiyah ialah yang turun di Makkah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah. Dan Madaniyah ialah yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sil. Namun, pendapat ini berkonsekuensi tidak adanya pengecualian secara spesifik dan batasan yang jelas. Sebab, yang turun dalam perjalanan, seperti di Tabuk atau di Baitul Maqdis, tidak termasuk kedalam salah satu bagian, sehingga statusnya tidak jelas, Makkiyah dan Madaniyah. Akibatnya yang diturunkan di Makkah walaupun sesudah hijrah, tetap disebut Makkiyah. (Hal: 84-85)
Ketiga, dari sisi sasarannya. Makkiyah adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Makkah dan Madaniyah adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Madinah. Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan bahwa ayat Al-Qur’an yang mengandung seruan “ya ayyuhan nas” (wahai manusia) adalah Makkiyah. Sedangkan ayat yang mengandung seruan “ya ayyuhal ladzina amanu” (wahai orangorang yang beriman) adalah Madani.
Namun, kalau diteliti dengan seksama, ternyata kebanyakan kandungan Al-Qur’an tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan itu. (Hal: 85)

(5)   PENGETAHUAN MENGENAI AYAT YANG PERTAMA DAN TERAKHIR TURUN
1.                   Ayat-ayat yang Pertama Diturunkan
a.     Pendapat yang paling shahih mengenai yang pertama kali turun ialah surat Al-‘Alaq ayat 1-5. Diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dan lainnya, dari Aisya as yang mengatakan, “wahyu yang pertama kali dialami oleh Rasulullah SAW, adalah mimpi yang benar diwaktu tidur. Beliau melihat dalam mimpi itu datangnya bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian beliau suka menyendiri. Beliau pergi ke gua Hira untuk beribadah beberapa malam. Untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian beliau pulang kembali ke Khadijah ra, maka Khadijah pun membekali beliau seperti bekal terdahulu. Lalu di gua Hira datanglah kepada beliau satu kebenaran, yaitu malaikat, yang berkata Nabi, “bacalah!” Rasulullah menceritakan, maka aku pun menjawab, ‘aku tidak bisa membaca.’ Malaikat tersebut kemudian memelukku sehingga aku merasa amat payah. Lalu aku dilepaskan, dan dia berkata lagi, ‘bacalah!’ maka aku pun menjawab, ‘aku tidak bisa membaca.’ Lalu dia merangkulku yang kedua kali sampai aku kepayahan. Kemudian dia lepaskan lagi dan berkata, ‘bacalah!’ aku menjawab, ‘aku tidak bisa membaca.’ Maka, dia merangkulku yang ketiga kalinya sehingga aku kepayahan, kemudian dia berkata, ‘bacalah dengan nama tuhanmu yang telah menciptakan...’ sampai dengan ‘...apa yang tidak diketahuinya’.” (Hal: 89-90)
b.     Dikatakan pula, bahwa yang pertama kali turun adalah ayat, “ya ayyuhal muddatstsir” (hai orang-orang berselimut). Ini didasarkan pada hadist yang juga Hr. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Salamah Bin Abdirrahman. Dia berkata, “kau bertanya kepada Jabir Bin Abdillah. ‘yang manakah diantara Al-Qur’an itu yang turun pertama kali?’ dia menjawab, ‘ya ayyuhal muddatstsir.’ Aku bertanya lagi, ‘bukannya iqra’ bismi rabbika?’ dia menjawab, ‘aku katakan kepadamu apa yang dikatakan Rasulullah kepada kami. Beliau bersabda, “sesungguhnya aku berdiam diri di gua hira. Maka ketika habis masa diamku, aku turun aku telusuri lembah. Aku lihat ke muka, ke belakang, ke kanan dan ke kiri. Lalu aku lihat ke langit, tiba-tiba aku melihat Jibril yang amat manakutkan. Maka aku pulang ke Khadijah. Khadijah memerintahkan mereka menyelimuti aku. Mereka pun menyelimuti aku. Lalu allah menurunkan, ‘wahai orang yang berselimut; bangkitlah, dan barilah peringatan. (hal: 90-91)
c.     Pendapat lain mengatakan, bahwa yang pertama kali turun adalah surat Al-Fatihah. Mungkin yang dimaksudkan adalah surat yang pertama kali turun secara lengkap. (hal: 92)
d.     Ada juga yang berpendapat, bahwa yang pertama kali turun adalah bismillahirrahmannirrahim, karena bismilah ikut turun mendahului setiap surat. (hal: 92)

2.          Ayat-ayat yang Terakhir Diturunkan
a.     Hadist Al-Bukhari dari Ibnu Abbas, yang mengatakan, “ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat tentang riba.” Yaitu surat Al-Baqarah ayat 278. (hal: 95)
b.     Hadist yang diriwayatkan An-Nasa’i dan lain-lain, dari Ibnu Abbas dan Said Bin Jubair, “ayat Al-Qur’an yang terakhir kali turun ialah, “dan peliharalah darimu dari azdab yang terjadi pada suatu hari dimana pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada allah...” (Al-Baqarah: 281)
c.     Dikatakan bahwa ayat yang terakhir  kali turun  itu ayat tentang hutang, dasarnya adalah hadist yang diriwayatkan dari Said Bin Al-Musayyib, “...telah sampai kepadanya bahwa ayat Al-Qur’an yang paling muda di Arsy ialah ayat mengenai hutang.” Yaitu surat Al-Baqarah ayat 282.
d.     Ayat yang turun terakhir menurut hadist Al-Barra’ ini adalah berhubungan dengan masalah warisan. Yaitu surat An-Nisaa’ ayat 176 (hal: 96)
e.     Dalam Al-Mustadrak disebutkan dari Ubay Bin Ka’ab, ia berkata, “ayat yang terakhir diturunkan yaitu: “sesungguhnya telah telah datang kepadamu seorang dari kaummu sendiri...” (At-Taubah: 128) sampai akhir surat. Mungkin yang dimaksud adalah ayat terakhir yang diturunkan dari surat At-Taubah.
f.      Ada juga yang mengatakan, bahwa yang terakhir kali turun adalah surat Al-Mai’dah. Ini didasarkan pada riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Aisyah ra. Tetapi menurut hemat kami surat itu adalah surat yang terkhir kali turun dalam masalah halal dan haram, sehingga tak satu hukum pun yang dihapus didalamnya.
g.     Hadist yang diriwayatkan Ibnu Mardawaih melalui mujahid, dari Ummu Salamah, dia berkata, “ayat yang terakhir kali turun adalah ayat, “maka allah memperkenankan permohonan mereka, sesungguhnya aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kaummu...” sampai akhir ayat surat Ali ‘Imran ayat 195 (hal: 97)
h.     Hadist yang diriwayatkan Al-Buhkari dan lainnya dari Ibnu Abbas katanya, “ayat ini (An-Nisaa’: 93) adalah ayat yang terakhir diturunkan dan tidak dihapus oleh apa pun.” (hal: 98)
i.       Pendapat yang berdasarkan kepada riwayat Muslim dari Ibnu Abbas, yang menyebutkan bahwa surat terakhir yang diturunkan ialah surat An-Nasr ayat satu. (hal: 99)
Semua pendapat itu tidak disandarkan kepada Nabi. Masing-masing hanya ijtihad dan dugaan. Mungkin pula masing-masing merekaitu memberitahukan apa yang terakhir didengarnya dari Rasulullah. Atau mungkin juga masing-masing mengatakan hal itu berdasarkan apa yang terakhir diturunkan dalam hal perundang-undangan tertentu, atau dalam hal surat terakhir yang diturunkan secara lengkap seperti pendapat-pendapat yang telah kami kemukakan diatas. (hal: 99)

3.       Faedah (Hikmah) Mengetahui Ilmu Ini
-          Menjelaskan perhatian yang diperoleh Al-Qur’an guna menjaganya dan menentukan ayat-ayatnya.
-          Mengetahui rahasia syariat islam relevan dengan sejarah perjalanan sumbernya yang pokok.
-          Dapat memilah yang nasihk dengan yang mansukh. (Hal: 104-105)

(6)   ASBABUN NUZUL
1.     Perhatian Para Ulama Terhadap Asbabun Nuzul
Diantaranya yang terkenal ialah Ali Bin Madini, guru Al-Bukhari, kemudian Al-Wahidi dalam kitabnya asbab an-nuzul, kemudian Al-Ja’bari yang meringkaskan kitab Al-Wahidi dengan menghilangkan sanad-sanad yang ada didalamnya, tanpa menambahkan sesuatu. Menyusul syaikhul islam Ibnu Hajar penulis kitab asbab an-nuzul, tetapi Asy-Suyuthi melahirkan karya monumentalnya dan berkata,  “dalam hal ini, saya telah menulis satu kitab lengkap, singkat dan sangat baik, dalam bidang ilmu ni yang belum ada satu kitab pun yang dapat menyamainya. Kitab itu saya beri judul Lubab Al-Manaqul Fi Asbab an-nuzul.(hal: 106-107)
2.     Pedoman Mengetahui Asbabun Nuzul
Untuk mengetahui sebab an-nuzul secara shahih, para ulama berpegang kepada riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah SAW atau dari sahabat. Sebab, pemberitaan seorang sahabat mengenai hal ini, bila jelas, berarti bukan pendapatnya, tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Menurut Al-Wahidi, “tidak diperbolehkan ‘mainakal-akalan’ dalam sebab an-nuzul Al-Qur’an, kecuali berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya” (hal: 107)
3.     Definisi Asbabun Nuzul
Asbab an-nuzul didefinisikan sebagai “sesuatu yang karenanya Al-Qur’an diturunkan, sebagai penjelas apa yang terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan. Berlebih jika kita perluas pengertiannya dengan memasukkan berita-berita tentang umat terdahulu dan peristiwa-peristiwa masa lalu. As-Suyuthi dan orang-orang yang konsen terhadap masalah-masalah Asbab an-nuzul mengatakan bahwa ayat itu tidak turun disaat terjadi sebab. Ia menyatakan demikian itu karena hendak mengkeritik apa yangdikatakan oleh al-wahidi dalam menafsirkan surat Al-Fil, bahwa sebab turun surat tersebut adalah datangnya orang-orang Habasyah. Kisah ini sebenernya tidak sedikitpun termasuk Asbab an-nuzul. Melainkan termasuk kategori berita peristiwa masa lalu, seperti kisah kaum Nabi Nuh, kaum Ad’, kaum Tsamud, pembangunan Ka’bah dan lain-lain yang serupa itu. Demikian mengenai ayat, “Dan Allah telah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan Nya.” Asbab an-nuzulnya adalah karena Ibrahim dijadikan kesayangan Allah. Seperti sudah diketahui, hal itu tidak sedikitpun termasuk Asbab an-nuzul. (hal: 110)
4.     Manfaat Mengetahui Asbabun Nuzul
a.     Mengetahui hikmah pemberlakuan suatu hukum, dan perhatian syariat terhadap kemaslahatan umum dalam menghadapi segala peristiwa sabagai rahmat bagi umat.
b.     Memberi batasan hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi jika hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. (hal: 110)
c.     Apabila lafazh yang diturunkan itu bersifat umum dan ada dalil yang menunjukan pengkhususannya, maka adanya Sebab An-Nuzul akan membatasi takhshish (pengkhususan) itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab. (hal: 111)
d.     Mengetahui sebab turunnya ayat adalah cara terbaik untuk memahami Al-Qur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa pengetahuan sebab turunnya. (hal: 112)
e.     Sebab turunya ayat dapat menerangkan tentang kepada siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain. Karena dorongan permusuhan dan perselisihan. (hal: 114)
5.     Kaidah “Al-Ibrah Bi Umum Al-Lafaz La Bi Khusus As-Sabab”
Asbab an-nuzul itu bersifat khusus, sedangkan ayat yang turun itu bersifat umum, maka para ahli ushul berselisih pendapat: yang dijadikan pegangan itu apakah yang umum atau sebab yang khusus? (hal: 115-116)
a.     Jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan aadalah lafazh yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafazh yang umum itu yang melampaui sebab yang khusus. Misalnya ayat li’an yang turun berkenan dengan tuduhan Hilal Bin Umayyah kepada istrinya. (hal: 118) “ Dari Ibnu Abbas, Hilal Bin Umayyah menuduh istrinya telah berbuat zina dengan Syuraik Bin Sahma’ dihadapan Nabi. Nabi bersabda, ‘harus ada bukti, bila tidak ada maka punggungmu yang didera.’ Hilal berkata, ‘wahai Rasulullah, apabila salah seorang diantara kami melihat seorang laki-laki mendatangi istrinya, apakah ia harus mencari bukti?’ Rasulullah menjawab; ‘harus ada bukti. Jika tidak punggungmu yang didera.’ Maka hilal pun bersumpah; ‘demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, sesungguhnyalah perkataanku itu benar dan Allah benar-benar akan menurunkan apa yang dibebaskan punggungku dari dera.’ Maka turunlah Jibril dan menurunkan kepada Nabi; (dan orang-orang yang menuduh istirinya) sampai dengan (jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar). (An-Nur: 6-9) (hal: 119)
Hukum yang diambi dari lafazh yang umum ini (dan orang-orang yang menuduh istrinya) tidak hanya menganai peristiwa hilal, tetapi diterapkan pula pada kasus serupa lainya tanpa memerlukan dalil lain. (hal: 119)
b.     Kelompok ulama lain berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah kekhususan sebab, bukan lafazh yang umum. Karena lafazh yang umum itu menunjukan sebab yang khusus. Oleh karena itu dapat diberlakukan kepada kasus selain yang menjadi sebab turunya ayat, diperlukan dalil lainnya seperti qiyas dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan munasabahnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya. (hal: 120)
6.     Redaksi untuk Mengetahui Asbabun Nuzul
Bentuk redaksi yang menerangkan bahwa Asbab an-nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas, jelas mengenai sebab, dan terkadang berupa pernyataan yang mengandung kemungkinan. Bentuk pertama ialah jika perawi mwngatakan, “Asbab an-nuzul ayat ini adalah begini” atau menggunakan fa’ta’qibiyah (kira-kira seperti “maka,” yang menunjukkan urutan peristiwa) yang dirangkaiankan dengan kata “turunlah ayat,” sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Misalnya ia mengatakan, “telah terjadi peristiwa begini,” atau “Rasulullah ditanya tentang begini, maka turunlah ayat ini.” Dengan demikian, kedua bentuk diatas merupakan pertanyaan yang jelas tentang sebab.
Bentuk kedua yaitu readaksi yang boleh jadi menerangkan Asbab an-nuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah jika misalnya perawi mengatakan, “ayat ini turun mengenai ini.” Yang dimaksud dengan ungkapan seperti ini, bisa jadi tentang Asbab an-nuzul ayat dan mungkin juga tentang kandungan hukum ayat tersebut.
Demikian juga jika ia mengatakan, “aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini” atau “aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai ha begini.” Dengan bentuk redaksi demikian ini, perawi tidak memastikan Asbab an-nuzul. Kedua bentuk redaksi tersebut mungkin menyebutkan Asbab an-nuzul dan mungin pula menunjukkan hal lain. (hal: 120-121)
7.     Beragam Riwayat Mengenai Asbabun Nuzul
a.     Apabila bentuk-bentuk redaksi itu tidak tegas, seperti, “ayat ini turun mengenai urusan ini,” atau “aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini,” maka tidak ada yang kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu, sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah menafsirkan atau menjelaskan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat yang disimpulkan darinya, bukan menyebutkan Asbab an-nuzul, kecuali bila ada indikasi pada salah satu riwayat yang menunjukan kepada penjelasan Asbab an-nuzul.
b.     Jika salah satu readaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “ayat ini turun mengenai urusan ini,” sedang riwayat lain menyebutkan Asbab an-nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat yang pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan Asbab an-nuzul secara tegas itu, dan riwayat yang tidak tegas dipandang termasuk didalam hukum ayat. (hal: 123)
c.     Jika riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, salah satu riwayat diantaranya itu shahih, maka yang dijadikan pegangan adalah riwayat yang shahih. (hal: 124)
d.     Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama shahih namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah-kisah, atau salah satu riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan. (hal: 126)
e.     Jika riwayat-riwayat sama kuat, maka riwayt-riwayat itu diperlukan atau dikompromikan jika mungkin, hingga dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab itu berdekatatan. (hal: 128)
8.     Banyaknya Nuzul dengan Satu Sebab
Tekadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. Dengan hal ini tidak ada masalah yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun didalam berbagai surat berkenaan dengan satu peristiwa.
Contohnya ialah apa yang diriwayatkan Said Bin Manshur, Abdurrazzaq, At-Tirmizdi, Ibnu Jarir, Ibnul Munzir, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabarani dan Al-Hakim mengatakan shahih, dari Ummu Salamah, ia berkata:
“Wahai Rasulullah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan: ‘maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan firmanya), sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan; (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain...”  (Ali Imran:195) (hal: 132)
Juga hadist yang diriwayatkan Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir. Ath-Thabarani dan Ibnu Mardawaih dari Ummu Salamah katanya, “Aku telah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa kami tidak disebutkan dalam Al-Qur’an seperti kaum laki-laki? ‘maka pada suatu hari aku dikejutkan dengan seruan Rasulullah diatas mimbar. Beliau membacakan: ‘Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim... sampai akhir ayat. (Al-Ahzab: 35)
Al-hakim meriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata, “Kaum laki-laki berperang sedang perempuan tidak. Disamping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian dari laki-laki? Maka Allah menurunkan ayat: ‘dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karean bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan pula...’ (An-Nisa: 32) dan ayat; ‘sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang meuslim...’” ketiga ayat diatas turun karena satu sebab. (hal: 132-133)
9.      Faedah yang Dapat Diambil dari Mengetahui Ilmu Asbabun Nuzul dalam Bidang Pendidikan dan Pengajaran
Pengetahuan tantang Asbab an-nuzul ai merupakan media paling baik untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan dalam mempelajari Al-Qur’an karim baik bacaanya maupun tafsirnya. (hal: 136)
Mereka akan segera dapat memahami pelajaran itu secara umum dengan mengetahui Asbab an-nuzul, karena didalamnya terdapat unsur-unsur kisah yang menarik. Selanjutnya jiwa mereka akan bersemangat untuk mengetahui ayat apa yang diturunkan dengan ssebab turunnya ayat itu, apa rahasia-rahasia perundangan dan hukum-hukum terkandung didalamnya, yang kesemua ini memberi petunjuk kepada manusia ke jalan yang lurus, jalan menuju kekuatan, kemulian, dan kebahagiaan. (hal: 136-137)
Para pendidik dalam dunia pengajaran dan pendidikan dibangku-bangku sekolah atau pendidikan umum, dalam memberikan bimbingan perlu memanfaatkan konteks Asbab an-nuzul dalam memberikan rangsangan kepada peserta didik yang tengah belajar dan masyarakat umum yang dibimbing. (hal: 137)
10.           Ilmu Munasabah Antara Ayat Dan Surat
Munasabah secara bahasa berarti kedeketatan/kesesuaian. Dikatakannya, fulan yunasib fulanan (si anu sesuai dengan si fulan) maknanya ia mendekati dan menyerupai si fulan itu. Dan diantara pengertian ini ialah kesesuaian ‘illat hukum dalam bab qiyas, yakni sifat yang berdekatan dengan hukum. Yang dimaksud munasabah disini ialah sisi-sisi kolerasi antara satu kalimat dengan kallimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat-ayat lain, atau antara satu surat dengan surat lainnya. (hal: 137-138)
Syaihk Al-Izz bin Abdus Salam mengatakan, “Munasabah adalah ilmu yang baik; tetapi dlam menetapkan keterkaitan antar kata-kata secara biak itu disyaratkan hanya dalam hal yang menmounyai sebab yang berlainan, tidak diisyaratkan adanya hubunga antara satu dengan yang lainnya. (hal: 139)
Manfaat ilmu munasabah ini antara lain yaitu:
1.     Pengetahuan memahami keserasian antara makna, mukjizat Al-Qur’an secara Balaghah, kejelasan keterangannya, keteraturan susunan kalimatnya, dan keindahan gaya bahasanya, sebagaiana Firman Allah:
الم. كِتَابٌ اُحْكِيْمَتْ ءَايَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيْمٍ خَبِيْرٍ{هود: ‍ّ١}
“Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terinci, diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu.” (Hud: 1)
2.     Kata Az-Zarkasyi, “Manfaatnya ialah menjadikan sebagian pembicaraan berkaitan dengan sebagian lainnya, hingga hubungannya menjadi kuat, bentuk susunannya kukuh dan bersesuaian dangan bagian-bagiannya laksana sebuah bangunan yang unsur-unsurnya saling terkait.” (hal: 138)
3.     Menurut Al-Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi, mengetahui sejauh mana hubungan antara ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lain hingga semuanya menjadi seperti satu kata, yang maknanya serasi dan susunannya teratur merupakan suatu ilmu yang benar. (hal: 138)
Pengetahuan mengenai kolerasi dan hubungan antara ayat-ayat itu bukannya hal yang taufiqi (langsung ditetapkan oleh Rasul); tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufassirin dan penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an, rahasia dibalik balagahnya, segi keterangannya yang mandiri, dan sesuai dengan dasar-dasar bahasa dalam ilmu bahasa Arab. Jika adalah kolerasi tersebut dapat diterima. (hal: 138)
Setiap ayat mempunyai aspek hubungan dengan ayat sebelumnya dalam arti hubungan yang menyatukan, seperti perbandingan atau pengimbangan antara sifat orang musyrik, antara ancaman dengan janji untuk mereka, penyebutan ayat-ayat rahmat sesudah ayat-ayat azab, ayat-ayat berisi anjuran sesudah ayat-ayat berisi ancaman, ayat-ayat tauhid dan kemahasucian Tuhan sesudah ayat-ayat tentang alam...dst. (hal: 139)
Terkadang munasabah itu terletak pada perhatiannya terhadap keadaan lawan bicara, seperti ayat,
اَفَلَا يَنْظُرُوْنَ اِلَى الإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ. وَاِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ. وَاِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ. وَاِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ. (الغاشية:١٧–٢٠)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan onta bagaimana ia diciptakan; dan langit bagaimana ia tinggikan; dan gunung-gunung bagaimana ia tegakkan; dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (Al-Ghasyiyah: 17-20) (hal: 139-140)
Penggabungan antara onta, langit dan gunung-gunung ini karena perhatikan adat dan kebiasaan yang berlaku dikalangan lawan bicara yang tinggal dipadang pasir, dimana kehidupan mereka bergantung pada onta sehingga mereka amat memperhatikannya. Namun keadaan demikianpun tidaka mungkin berlangsung kecuali bila ada air yang dapat menmbuhkan rumput ditempat gembalaan dan diminum onta. Hujan pun turun menyiraminya. Inilah yang menjadi sebab mengapa wajah mereka selalu mengadah kelangit. Kemudian mereka memerlukan tempat berlindung, dan tidak ada tempat berlindung yang lebih baik yang daripada gunung-gunung. Mereka memerlukan rerumputan dan air, sehingga menjadi nomaden (hidup berpindah-pindah, maksunya meninggalkan suatu daerah dan turun didaerah lain, dan berpindah dari tempat gembala yang tandus menuju tempat yang subur). Maka apabila penghuni padang pasir mendengar ayat-ayat diatas, hati mereka menyatu dengan apa yang mereka saksikan sendiri yang senantiasa tidak lepas dari benak mereka. (hal: 140)
Terkadang munasabah itu terjadi anatara satu surat dengan surat yang lain, misalnya pembentukan surat Al-An’am dengan Al-Hamdu.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمواتِ وَالْأَرْضِ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّوْرَ (الأنعام:١)
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang.” (Al-An’am: 1)
Ini sesuai dengan penutup surat Maa’idah yang menerangkan keputusan di antara para hamba berikut balasannya, “Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hambaMu; jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana...”(Al-Maa’idah:181-120) (hal: 140-141)
Hubungan antara surat Li ilafi Quraisy dengan surat Al-Fil. Ini karena kebiasaan “tentara gajah” mengakibatkan bangsa Quraisy dapat mengadakan perjalanan pada musim dingin dan musim panas, sehingga Al-Akhfasy menyatakan bahwa hubungan antara kedua surat ii termasuk hubungan sebab akibat seperti dalam firman Allah.
فَالْتَقَطَهُ ءَالُ فِرْعَوْنَ لِيَكُوْنَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا (القصص: ٨)
“Maka dipungutlah Musa oleh keluarga Fir’aun yang kemudian menjadi musuh dan duka cita bagi mereka.” (Al-Qashash: 8)
Munasabah juga terjadi antara awal surat dan akhir surat. Contohnya ialah apa yang terdapat dalam surat Al-Qashash. Surat ini dimulai dengan menceritakan kisah Musa, menjelaskan langkah awal dan peertolongan yang diperolehnya; kemudian menceritakan tentang tindakannya ketika ia mendapatkan dua orang laki-laki yang sedang berkelahi.
Allah mengisahkan doa Musa,
“Musa berkata: Ya Tuhanku demi nikmat yang telah Engkau anugrahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi pembela bagi para pendosa.” (Al-Qashash: 17)
Kemudian surat ini diakhiri dengan menghibur Rasul kita Muhammad SAW. Bahwa ia akan keluar dari Makkah dan dijanjikan akan kembali lagi, serta melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang kafir.
“Sesungguhnya yang mewajibkan kepadamu (untuk membumikan) Al-Qur’an, Dia benar-benar akan mengembalikankamu ketempat kembali (kota Makkah). Katakanlah ; Tuhanku mengetahui orang-orang yang datang membawa petunjuk dan orang dalam kesesatan yang nyata. Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Qur’an diturunkan kepadamu, akan tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat dari Tuhanmu, oleh sebab itu janganlah sekali-kali menjadi penolong bagi orang kafir.” (Al-Qashash: 85-86)
Orang yang membaca dengan cermat kitab-kitab tafsir tentu akan banyak menentukan berbagai segi kesesuaian (munasabah) tersebut. (hal: 141-143)

(7) TURUNNYA QURAN
2.     Turunnya Al-Qur’an Sekaligus
Allah SWT. berfirman dalam kitab Nya yang mulia,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْ اُنزِلَ فِيهِ الْقُرْاَنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّناتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ (البقرة:١٨٥)
“Bulan Ramadhan merupakan bulan yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an yang menjadi petunjuk bagi manusia, dan mengandung penjelasan-penjelasan tentang petunjuk itu, juga sebagai pembeda antara hak dengan yang batil.” (Al-Baqarah: 185)
Dan firman Nya,
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam lailatul qadar.” (Al-Qadar: 1)(hal:144-145)
Kedua ayat diatas tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi dalam bulan ramadhan itu adalah malam lailatul qadar. Tetapi zhahir ayat-ayat itu yang bertentangan dengan realitas kehidupan Rasulullah, dimana Al-Qur’an turun kepadanya sselama dua puluh tiga tahun.  Dalam hal ini para ulama terbagi kepada dua madzhab pokok:
a.     Madzhab pertama; pendapat Ibnu Abbas dan sejumlah para ulama, kemudian dipegang oleh jumhur ulama,  bahwa “Yang dimaksud dengan turunnya Al-Qur’an dalam kedua ayat yang diatas ialah turunnya Al-Qur’an sekaligus ke Baitul ‘Izza dilangit dunia untuk menunjukkan kepada para malaikat Nya bahwa betapa besarnya masalah ini. Selanjutnya Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi SAW, secara bertahap selama dua puluh tiga tahun sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang mengiringinya sejak beliau diutus sampai wafat. Selama tiga belas tahun Beliau tinggal di Makkah, dan selama itu pula wahyu turun kepadanya. Sesudah hijrah, beliau tinggal di Madinah selama sepuluh tahun. Beliau wafat dalm usia enam puluh tiga tahun.
b.     Madzhab kedua, yaitu yang diriwayatkan Asy-Sya’bi bahwa yang dimaksud dengan turunnya Al-Qur’an itu dimulai pada Lailatul Qadr dibulan ramadhan, yang merupakan malam yang diberkahi. Kemudian itu turun secara bertahap sesuia dengan berbagai peristiwa yang mengiringinya selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Dengan demikian, Al-Qur’an hanya satu macam cara turunnya, yaitu turun secara bertahap kepada Rasulullah SAW, sebab yang demikian inilah yang dinyatakan oleh Al-Qur’an.
“Dan Al-Qur’an telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacanya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagiaan demi bagian.” (Al-Isra’: 106) (hal:145-150)
c.     Madzhab ketiga, Al-Qur’an kelangit dunia pada dua puluh tiga malam kemulian (Lailatul Qadr), yang pada setiap malamnya selama malam-malam kemulian itu ada yang ditentukan Allah utnuk diturunkan pada setiap tahunnya. Dan jumlah untuk pada masa tahun penuh itu diturunkan secara berangsur-angsur kapada Rasulullah sepanjang tahun. Madzhab ini adalah hasil ijtihad sebagian mufassirin. Pendapat ini tidak mempunyai dalil. (hal:150)
d.     Madzhab keempat, ada juga sebagian ulama yang bepandangan bahwa Al-Qur’an turun pertama-tama secara berangsur-angsur ke Lauh Mahfuzh berdasarkan firman Allah SWT, “Tidak lain ia adalah Al-Qur’an yang mulia di Lauh Mahfuzh .”... kemudian setelah itu ia turun dari Lauh Mahfuzh turun secara serentak seperti itu ke Baitul ‘Izza. Selanjutnya, ia turun sedikit demi sedikit. Dengan demikian, ini berarti turun dalam tiga tahap. (hal:151)
3.     Turunnya Al-Qur’an Berangsur-Angsur
Allah SWT berfirman,
“Dan Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam; dia dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin (Jibril) kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi sa;ah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan; dengan bahasa Arab yang jelas.” (Asy-Syu’ara: 192-195) (hal:152)
Ayat diatas menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu adalah Kalam Allah dengan lafazhnya bahasa Arab. Jibril telah menurunkannya kehati Rasulullah. Yang dmaksud turunnya itu disini bukanlah turunnya yang pertama kali kelangit dunia. Tetapi turunnya Al-Qur’an secara bertahap. Karena itu diungkapkan dengan kata-kata tanzil dalam ayat-ayat diatas bukan inzal. ini menunjukan bahwa turunnya itu secara bertahap dan berangsur-angsur. Ulama bahasa membedakan antara inzal dan tanzil. Tanzil  berarti turun secara berangsur-angsur sedangkan inzal menunjukkan pada makna turun secara umum. (hal:153-154)
Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun; tiga belas tahun di Makkah menurut pendapat yang kuat, dan sepuluh tahun di Madinah. Penjelasan tentang turunnya secara berangsur-angsur itu terdapat dalam firman Allah,
“Dan Al-Qur’an telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacanya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagiaan demi bagian.” (Al-Isra’: 106)
Maksudnya, Kami telah menjadikan turunnya Al-Qur’an itu secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya kepada manusia secara perlahan dan benar, juga Kami menurunkannya sesuai dengan berbagai peristiwa dan kejadian. (hal:154)
4.     Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an Secara Bertahap
a.     Meneguhkan hati Rasulullah SAW
b.     Sibagai tantangan dan mukjizat
c.     Memudahkan hafalan dan pemahamannya
d.     Relevan dengan peristiiwa dan pentahapan dalam penetapan hukum
e.     Tanpa diragulan bahwa Al-Qur’an diturunkan dari sisi yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji . (hal:157-175)
5.     Faedah yang Dapat Dipetik dari Turunnya Al-Qur’an Secara Bertahap dalam Pendidikan dan Pengajaran
Proses belajar mengajar itu berlandaskan dua asa: perhatian terhadap tingkat pemikiran siswa, pengembangan potensi akal, jiwa dan jasmaniahnya dengan metode yang dapat membawanya kearah kebaikan dan kebenaran. . (hal:175)
Dalam hikmah turunnya Al-Qur’an secara bertahap itu kita melihat adanya suatu metode yang berfaedah bagi kita dalam mengaplikasikan kudua asas tersebut seperti yang kami sebutkan tadi. Sebab turunnya Al-Qur’an itu telah meningkatkan pendidikan umat islam secara bertahap dan bersifat alami untuk memperbaiki jiwa manusia, meluruskan perilakunya, membentuk kepribadian dan menyempurnakan eksitensinya sehingga jiwa itu tumbuh kokoh diatas pilar-pilar yang kokoh dan mendatangkan buah yang baik bagi kebaikan umat manusia seluruhnya dengan izin Tuhannya. . (hal:175-176)
Sistem belajar mengajar yang tidak memperhatikan tingkat pemikiran siswa dalam tahap-tahap pengajaran, pembinaan pembagian ilmu sesuatu yang bersifat menyelruh dan mutlak, serta dari yang umum menjadi yang khusus; atau tidak memperhatikan pertumbuhan aspek-aspek kepribadia yang bersifat intelektual, ruhaniah dan jasmaniah, maka ia adalah sistem pendidikan yang gagal dan tidak akan memberi hasil ilmu pengetahuan kepada umat, selain hanya menambahkan kebekuan dan kemunduran. . (hal:176)
Petunjuk Ilahi tentang hikmah turunnya Al-Qur’an secara bertahap merupakan contoh paling baik dalam menyusun kurikulum pengajaran, memilih metode, dan menyusun buku pelajaran. (hal:177)

(8) PENGUMPULAN DAN PENERTIBAN AL-QUR’AN

PENGUMPULAN AL-QUR’AN
A.    Pada masa Nabi SAW
1.     Pengumpulan al-Qur’an dalam kontesk hafalan pada masa Nabi
Rasulullah SAW, amat menyukai wahyu ia senantiasa penunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis seperti dijanjikan allah, “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (didadamu) danpembacaannya.” (Al-Qiyamah: 17) oleh sebab itu, ia adalah penghafal al-quran yang pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalkannya, sebagai bentuk cinta mereka kepada sumber agama dan risalah islam. Setiap kali ayat turun, dihafal dalam dada dan diletakkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrad memang mempunyai daya hafal yang kuat. Sebab pada umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan dihati mereka. . (hal:179-180)
2.     Pengumpulan al-Qur’an dalam konteks penulisannya pada masa Nabi
Rasulullah SAW mengangkat para penulis wahyu al-quran (asisten) dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, Ubay Bin Ka’ab Dan Zaid Bin Tsabit. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan, dimana tempat ayat tersebut dalam surat. Maka penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan didalam hati. . (hal:185-186)
Sebagian sahabat juga menulis al-quran atas inisiatif sendiri pada pelepah korma, lempengan batu, papan tipis, kulit atau daun kayu, pelana, dan potongan tulang belulang binatang.
Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam penulisan al-quran. Alat-alat yang dapat dipergunakan tulis menulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut. Tetapi hikmahnya, penulisan al-quran ini semakin menambah kuat hafalan mereka. (hal:186)
Dengan demikian, jam’u al-quran dimasa Nabi ini dinamakan: a) hifzhan (hafalan); dan b) kitabatan (pembukuan) yang pertama. (hal:188)
B.    Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar r.a
Al-quran seluruhnya  rampung ditulis pada masa Rasulullah masih hidup, hanya saja ayat-ayat dan surat-suratnya masih terpisah. Orang pertama yang menghimpun al-quran sesuai kehendak Rasulullah adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Penulisan al-quran bukan soal baru, karena Rasulullah sendiri telah memerintahkan penulisannya. Tapi ketika itu masih tercecer pada berbagai lembaran kulit dan daun, tulang-tulang unta dan kambing yang kering, atau pada pelepah kurma. Kemudian abu bakar ash-shiddiq memerintahkan pengumpulannya menjadi sebuah naskah. Juga naskah al-quran yang tertulis pada lembaran-lembaran kulit yang terdapat didalam rumah Rasulullah saat itu masih dalam keadaan terpisah-pisah. Kemudian dikumpulkan oleh seorang sahabat, lalu diikatnya dengan tali agar tidak ada yang hilang.
Abu Bakar Ash-Shiddiq memerintahkan kodifikasi al-quran seusai perang Yamamah, tahun ke 12 H, perang antara muslimin dan kaum murtad (pengikut Musailah Al-Kadzdzab yang mengaku dirinya Nabi baru) dimana 70 penghafal al-quran dikalangan sahabat Nabi gugur. Melihat dengan kenyataan itu Umar Bin Khattab ra. Merasa sangat khawati, lalu mengusulkan supaya diambil langkah untuk usaha kodifikasi al-quran. Bukhari meriwayatkan sebuah hadist didalam shahihnya, bahwa Zaid Bin Tsabit ra. Menceritakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut:
Setelah al-quran dikodifikasi dan ditulis pada kertas, Abu Bakar berkata para sahabat “carikanlah nama baginya.” Ketika itu ada yang mengusulkan nama as-sifr, tetapi Abu Bakar menajawab: “itu nama yang biasa dipakai orang-orang yahudi.” Mereaka tidak menyukai nama itu. Ada lagi yang mengusulkan nama al-mushaf karena orang-orang Habasyah menamai hal serupa dengan mushaf. Akhirnya semua sepakat menamai al-quran dengan mushaf.
Mushaf abu bakar, seluruh isinya dan kemutawatirannya didukung bulat oleh seluruh umat islam. Banyak ulama berpendapat bahwa cara penulisannya menggunakan “tujuh buah huruf” sebagaimana yang berlaku pada masa turunnya al-quran. Dilihat dari segi itu, maka mushaf abu bakar serupa dengan ayat-ayat pertama yang dihimpun pada masa Rasulullah masih hidup. (hal:188-192)
C.    Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Utsman ra.
Bukhari dalam shahihnya mengetengahkan sebuah hadist dengan isnadnya Ibnu Syihab, bahwa Anas Bin Malik memberitahukan kepadanya (Ibnu Syihab): ketika pasukan syam bersama pasukan irak berperang membela dakwah agama islam di Armenia dan Adzerbeidzan, Hudzaifah Bin Al-Yaman datang menghadap Khalifah Ustman. Hudzaifah mengutarakan kekhawatirannya tentang perbedaan bacaan al-quran dikalangan muslimin. Kepada Ustman, Hudzaifah berkata: “Ya Amirul Mu’minin, persatukanlah segera umat ini sebelum mereka berselisih mengenai Kitabullah sebagaimana terjadi dikalangan yahudi dan nasrani”. Khalifah Utsman kemudian mengirim sepucuk surat kepada Hafshah, mayang berisi permintaan agar Hafshah mengirimkan mushaf yang disimpannya untuk disalin menjadi bebera naskah. Setelah itu mushaf akan dikembalikan lagi. Lalu Hafsah mengirimkan mushaf yang disampingnya kepada Khalifah Utsman. Khalifah kemudian memerintahkan Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa’id Bin Al-Ash, Abdurrahman Bin Harist Bin Hisyam supaya bekerja bersama-sama menyalin mushaf menjadi beberapa naskah. Kepada ketiga orang quraisy diantara mereka itu Utsman berpesan: “kalau jadi perbedaan antara kalian dan Zaid Bin Tsabit mengenai suatu tentang al-quran, maka tulislah menurut dialek quraisy, karena al-quran diturunkan delam bahasa mereka.” Mereka lalu bekerja melaksanakan tugas itu hingga berhasil menyalin mushaf menjadi beberpa naskah. Setelah itu mushaf asli dikembalikan kepada Hafshah, sedang beberapa naskah salinannya dikirim keberbagai kawasan islam. Bersamaan dengan itu Khalifah Utsman memerintahkan supaya semua catatan tentang ayat-ayat al-quran atau mushaf lain yang bertebaran dikalangan muslimin, segera dibakar.
Dengan usaha itu utsman telah berhasil menghindari timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga al-quran dari penambahan dan penyimpangan sepanjang zaman. (hal: 192-195)
Para ulama berbeda pendapat tentang jumalah mushaf yang dikirimkan Utsman ke berbagai daerah:
1.     Ada yang mengatakan jumlahnya tujuh buah mushaf
2.     Dikatakan pula, jumlahnya ada empat buah
3.     Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima mushaf. Menurut As-Suyuthi, pendapat ini kebih masyhur.
Adapun lembaran-lembaran yang dibalikan Hafsah, tetap beradanya hingga wafat. Setelah itu dimusnahkan, dan ada yang mengatakan lembaran-lembaran tersebut diambil Marwan Bin Al-Hakam lalu dibakar. (Hal: 199-200)

 

TERTIB SUSUNAN AYAT DAN SURAT

Al-quran terdiri atas surat-surat dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Adapun ayat adalah sejumlah kalam allah yang terdapat dalam suatu surat al-quran. Sedangkan surat adalah sejumlah ayat al-quran yang mempunyai permulaan dan kesudahan. (hal: 205)
A.    Tertib Ayat
Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan dan Abu Ja’far Ibnu Zubair dalam munasabahnya mengatakan, “tertib ayat-ayat didalam surat-surat itu berdasarkan tauqifi dari rasulullah dan atas perintahnya, tanpa diperselisihkan kaum muslimin.” As-Suyuthi memastikan hal itu, katanya , “ijma’ dan nash-nash yang serupa menegaskan, tertib ayat-ayat itu adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi.” Beliau bersabda kepada mereka, “letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang didalamnya disebutkan begini dan begini, atau letakkanlah ayat ini ditempat anu.” Susunan dan penetapan ayat tersebut adalah sebagiamana yang disampaikan para sahabat kepada kita. (hal: 205)
Ketika pengumpulan al-quran, Utsman selalu berada ditempat setiap kali suatu ayat atau surat akan diletakkan didalam mushaf, sekalipun ayat itu telah mansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan, penulisan ayat dengan tertib itu adalah tauqifi. (hal: 206)
B.    Tertib Surat
Para ulama berbedapendapat tentang tertib surat-surat al-quran yang ada sekarang.
1.     Ada yang berpendapat bahwa tertib surat itu tauqifi dan tangani langsung oleh nabi sebagaimana diberitahukan malaikat Jibril kepadanya atas perintah allah. Dengan demikian, al-quran pada masa nabi telah tersusun surat-suratnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang ada ditangan kita yang sekarang ini, yaitu tertib mushaf utsman yang tak ada seorang sahabat pun menentangnya. Ini menunjukan telah terjadi ijma atas susunan surat yang ada, tanpa suatu perselisihan apapun. (hal: 207)
2.     Kelompok kedua berpendapat bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, sebab ternyata ada perbedaan tertib didalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan iqra’, kemudian Al-Muddatstsir, lalu Nun, Al-Qalam, kemudian Al-Muzammil, dan seterusnya hingga akhir surat Makkiyah dan Madaniyah. (hal: 208)
3.     Kelompok ketiga berpendapat, sebagian surat itu tertibnya bersifat tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat. Hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat pada masa nabi. Misalnya, keterangan yang menunjukkan tertib as-sab’u ath-thiwal, al-hawamin dan al-mufashshal pada masa hidup rasulullah. (hal: 209)
Dengan demikian, jelaslah bahwa tertib surat-surat itu bersifat tauqifi, seperti halnya tertib ayat-ayat. Abu bakar bin al-anbari menyebutkan, “allah telah menurunkan al-quran seluruuhnya kelangitdunia. Kemudian ia menurunkannya secara berangsur-angsur selama dua puluh sekian tahun. Sebuah surat turun karena ada suatu masalah yang terjadi, ayat pun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya. Jibril senantiasa memberitahuka kepada nabi dimana surat dan ayat tersebut harus ditempatkan. Dengan demikian susunan surat-surat, seperti halnya susunan ayat-ayat dan huruf-huruf al-quran seluruhnya berasal dari nabi. Oleh karena itu, barang siapa yang mendahulukan sesuatu surat atau mengakhirinya, berarti ia telah merusak tatanan al-quran. (hal: 212)
C.    Surat-Surat Dan Ayat-Ayat Al-Quran
Surat-surat al-quran itu empat bagian:
1.     Ath-Thiwal ada tujuh surat ,yaitu al-baqarah, ali imran, an-nisaa’, al-maa’idah, al-an’am, al-a’raf dan ketujuh ada yang mengatakan al-anfal dan bara’ah, juga termasuk karena tidak dipisahkan dengan basmalah diantara keduanya. Adaa pula yang berpendapat bahwa dengan kejutuh adalah surat yunus.
2.     Al-Mi’un yaitu; surat-surat yang ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
3.     Al-matsani, yaitu surat-surat yang jumlah ayat-ayatnya dibawah al-mi’un. Dinamakan al-matsani, karena surat-surat itu diulang-ulang bacaannya lebih banyak dari ath-thiwal dan al-mi’un.
4.     Al-mufhashshal, dikatakan bahwa surat-surat ini dimulai dari surat qaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari surat al-hujurat. Juga ada yang mengatakan dimulai dari surat-surat lain.
Jumlah surat al-quran ada seratus empat belas surat. Dan ada yang berpendapat, jumlahnya ada seratus tiga belas surat, karena surat al-anfal dan surat al-bara’ah dinggap satu surat. Adapun jumlah ayatnya sebanyak 6.200 ayat. Lebih dari itu berbeda pendapat. (hal: 212-213)
D.    Al-Rashmul Utsmani
Pengumpulan pada masa utsman, zaid bin tsabit bersama tiga orang quraiyy telah menempuh suatu metode khusus dalam penulisan al-quran yang disetuji oleh utsman. Tapi mereka berbeda pendapat tentang status hukumnya. (hal: 213)
1.     Ada yang berpendapat bahwa rash utsmaani untuk al-quran itu bersifat tauqifi yang wajib dipakai dalam penulisan al-quran, dan bhwa sungguhsungguh disucikan. Mereka menisbatkan tauqifi dalam penulisan al-quran ini kepada nabi.
2.     Banyak ulama perpendapat bahwa rash utsmani bukan tauqifi dan nabi, tetapi bahwa merupakan satu cara penulisan yang disetujui utsman dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadis suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar.
3.     Sebagian ulama berpendapat, rash utsma itu hanyalah sebuah istilah, metode, dan tidaklah mengapa berbeda dengannya jika orang telah menggunakan satu model rasm tertentu untuk penulisan, kemudian rash itu menjadi tersiar  luas diantara mereka. (hal: 213-217)
E.    Proses Perbaikan  Tulisan (Rasm) Utsmani
Mushaf utsmani tidak memakai tanda baca titik dan harakat, karena semata-mata didasarkan atas karakter pembacaan orang-orang arab yang masih murni. Ketika bahasa arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya pencampuran (dengan bahasa non Arab), maka pera pengusa menganggap pentingnya ada formasi penulisan mushaf dengan harakat, titik, dan lain-lainnya yang dpat membantu pembacaan yang benar. (hal: 218)
As-suyuthi menyebutkan dalam al-itqan bahwa abdul aswad ad-dauli adalah orang yang pertama melakukan usaha itu atas perintah abdul malik bin Marwan, bukan atas perintah ziyad. Ketika itu orang telah membaca mushaf utsman selama lebih dari empat puluh tahun hinga masa kekhalifahan abdul malik. Waktu itu banyak orang yang membuat kesalahan, yang paling fatal di irak. Maka pembuatan tanda baca, titik dan harakat. (hal: 219)
Para ulama  pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan terjadi penambahan dalam al-quran, berdasarkan ucapan inbu mas’ud, “bersihkanlah al-quran dan jangan dicampur adukkan dengan apa pun.”
Kemudian hal ini sampai kepada masalah hukum boleh bahkan anjuran. Inbu abi dawud meriwayatkan dari hasan ddan ibnu sirin bahwa kedunya mengatakan, “tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf.” Dan diriwayatkan pula rabiah bin abdurahmanmengatakan, “tidak mengapa memberi syakal pada mushaf.” An-nawawi mengatakan, “pemberian titik dan pensyakalan itu dianjurkan (mustahab), karena ia dapat menjaga mushaf dari kesalahan dan penyimpangan.”
Perhatian untuk menyempurnakan rasm mushaf, sekarang mencapai puncaknya dalam betuk tulisan Arab. (hal: 220-221)
F.    Pemisah (Fashilah) Dan Ujung (Ra’sul) Ayat
Didalam al-quran, fashilah itu bermacam-macam, diantaranya:
1.     Pemisah ayat yang hampir sama (fashilah mutamatsilah) seperti dalam (ath-thur: 1-4), (al-fajr: 1-4), (at-takwir: 15-18)
2.     Pemisah ayat yang berdekatan dalam huruf (fashilah mutaqoribah fi huruf), seperti dalam surat (qaf: 1-3), (al-fatihah: 3-4)
3.     Pemisah ayat yang bertepatan (fashilah mutawaziyah), yaitu jika dua kata sama dalam irama dan huruf-huruf sajaknya, seperti salam surat, (al-ghasyiyah: 13-14)
4.     Pemisah ayat yang seimbang (fashilah mutawazin), apabila hanya irama yang diperhatikan dalam penggalan kalimat, seperti dalam surat (al-ghasyiyah: 15-16). (hal: 223)

2 komentar: