Posted by : Cak_Son Kamis, 08 Desember 2016

Relasi Sastra dan Politik: Studi Kasus Syair Shalawat Badar

A.    Relasi Sastra dan Politik
Relasi sastra dan politik dalam teori sastra disinggung dalam sosiologi sastra[1], teori ini berawal dari konsep mimesis (tiruan) dari Plato (428-348 SM) yang melihat karya sastra sebagai tiruan dari kenyataan. Berbeda dengan Plato, muridnya Aristoteles (384-322 SM) berpandangan bahwa dalam meniru realitas, sastrawan tidak semata-mata meniru realitas, melainkan juga menciptakan sesuatu yang baru, karena karya sastra ditentukan oleh sikap kreatif sastrawan dalam memandang relitas. Dalam teori sastra Arab, ada teori muhakah (meniru) dan tasni’ (mencipta, baik dalam bentuk tahsin (memperbagus) maupun taqbih (memperjelek) menunjukkan kuatnya pengaruh Aristoteles.[2]
Teori dari Plato dan Aristoteles tersebut yang kemudian dikembangkan oleh Hippote Taine itu dikembangkan oleh para kritikus Neo Marxis seperti George Luckas yang melihat sebuah novel tidak hanya mencerminkan realitas sebagai semacam fotografis, tetapi lebih dari itu, memerikan kepada pembacanya sebuah refleksi yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik yang mungkin melampaui pemahaman umum. Th. Adorno dari madzhab Frankfurt selanjutnya menolak pandangan Luckas karena dalam kenyataan, sastra justru bersekutu dengan sistem ekonomi yang membentuknya. Kritikus lain yang mengembangkannya adalah Predric Jameson, Terry Eagleton, Irving Hawe (1967) yang berpendapat pentingnya menjadikan politik sebagai prespektif pengamatan bukan kategorisasi sastra, dan juga Max Aderet (1975).[3]
B.     Ideologi Politik Islam Ormas NU
Ideologi politik Islam menurut Anshari, adalah ideologi yang Islam-oriented, ideologi yang berorientasi pada al-Qur’an dan sunnah. Haedar Natsir menambahkan, ideologi Islam adalah ideologi yang bersumber pada paham hidup yang berasaskan Islam. Suatu ideologi  menurut Mukhotim El Moekry, baik atau tidak, harus memuaskan tiga kriteria : pertama, harus memuaskan akal pikiran manusia. Kedua, harus menentramkan hati. Ketiga, harus sesuai dengan fitrah manusia.[4]
C.    Latar Belakang Kelahiran Syair Shalawat Badar  
Syair Shalawat Badar dikarang oleh ulama asal Jember[5] Indonesia yang bernama Muhammad Ali Mansur Shidiq Basyaiban (Sultan Mangkunegara III).[6]
Shalawat tersebut merupakan salah karya sastra puisi yang digubah dengan bahasa Arab sebagai mediumnya yang didalamnya bisa jadi ada unsur ideologi politik Islam. Hal itu sangat wajar karena terciptanya Selawat Badar pada tahun 1960 dilatar belakangi oleh konflik umat Islam yang semakin kisruh dan penuh gejolak politik orde lama (menjelang orde baru).
Umat Islam pada masa itu sebagian besar dihimpun dalam organisasi masyarakat (ormas) Nahdatul Ulama (NU) dengan ideologi politik Islamnya yang Ummatan Wasathan. Berbeda dengan syair-syair shalawat pada umumnya seperti yang di karang oleh Bushairi (selawat Burdah) yang isi dan maknanya dominan kepada memuji, merindu, mencitai sepenuh hati dan mengharap syafaat dari Nabi Muhammad SAW., shalawat Badar hadir dengan latar belakang konflik umat di dalamnya memberikan makna yang lebih dominan kepada pengaduan dan memohon pertolongan agar umat Islam tetap bersatu. Sang pengarang sebagai Ulama dan aktivis NU mencoba menjadikan Selawat Badar sebagai identitas umat Islam yang wasathan.
Konteks umat Islam Indonesia pada saat kyai Ali menjabat sebagai Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi dan juga seorang Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama sedang menghadapi fitnah Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika kadaan politik yang mencekam, kebejatan PKI yang merajalela membunuh massa, bahkan banyak kyai yang menjadi mangsa mereka maka terlintaslah di hati kyai Ali Manshur, yang memang mahir membuat syair Arab sejak nyantri di Pesantren Lirboyo Kediri, untuk menulis satu karangan sebagai sarana bermunajat memohon bantuan Allah SWT untuk meredam fitnah politik saat itu bagi kaum muslimin khususnya di Indonesia.
Fitnah politik di Indonesia pada masa itu menyebabkan cacatnya komunikasi masyarakat baik di tingkat bawah maupun ke-atas, agar komunikasi tersebut dapat kembali berjalan baik, maka NU memberikan peranntara sebagai komunikator atau dalam istilah NU disebut Opinion Leader[7]. Sesuai Khittab NU[8], politik sebagai alat untuk menyatukan umat. Tidak heran peran kiai yang dipandang sebagai “Guru” spiritual lantas diperkenankan untuk bertarung di zona politik[9]. Politik para kyai ini sejatinya sudah dimulai jauh sebelum kemerdekaan dan memasuki babak sesungguhnya pada masa orde lama.
Pada masa orde lama, yang melandaskan partai politik sebagai landasan landasan pembangunan, memuncukan berbagai macam partai yang berdasarkan ideologi tertentu. Tidak terkecuali Islam dijadikan ideologi politik formal kenegaraan. Sehingga memunculkan partai politik yang berasaskan Islam. Politik orde lama beranggapan bahwa bahwa dengan dibangunnya sistem politik akan membawa dampak baik bagi kesetabilan pembangunan dan berdemokrasi[10].
NU sebagai organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di Indonesia yang dibentuk pada tahun 1926, dalam percaturan pemerintah pasca kemerdekaan sangat berdampingan erat dengan presiden Presiden Soekarno. Sejak terbentuknya Masyumi bahkan setelah bubarnya partai tersebut NU masih setia mendampingi perjuangan Presiden Soekarno. Pada tahun 1960 setelah bubarnya partai Masyumi[11], NU tampil sebagai partai politik yang memiliki peran dalam percaturan pemerintah Indonesia. Atas kesetiaannya terhadap Presiden Soekarno, bahkan ketika Presiden Soekarno membentuk kabinet NASAKOM bersama PKI, NU tidak ketinggalan bersama musuh islam dan musuh negara itu duduk sejajar mewarnai dinamika politik Indonesia[12].
Sejatinya, selawat badar yang merupakan satu gerakan puitika yang merefleksikan kondisi politik sekitarnya yang penuh kecemasan dan pengharapan akan keselamatan umat ini bukan kali pertama dalam sejarah peradaban islam. Karya sastra baik puisi atau prosa acap kali di jadikan sebagai alat mobilisasi politik, identitas satu golongan, dogma-dogma politik, dan penggiringan opini publik.
D.    Analisis Shalawat Badar Karya Ali Mansur Shidiq Jember
Silahkan dicermati dan dipetakan sendiri dimana saja letak idiologi Islam bernuansa NU yang ada dalam syair Shalawat tersebut. Karena tujuan saya mengposting tulisan ini tidak lain untuk memberikan contoh bagaimana menganalisis syair dengen pendekatan Politik (Relasi Sastra dengan Politik). Tulisan ini beberapa diantaranya saya kutip dari Tesis teman saya yang bernama RM Imam Abdillah yang sudah berbentuk ringkasan makalah (khususnya pada bab B dan C dengan sedikit mengeditnya adapun pada bagian A saya mengutip dari Desertasinya Prof. Sukron Kamil yang sudah berbentuk buku yang juga saya sedikit rubah redaksinya). Saya sengaja mengutip, mengedit dan merombaknya untuk tujuan memberikan para pembaca dalam memahami bagaimana pelajar bahasa dan satra Arab bisa dengan lebih mudah membuat pola, kerangka, step atau tahapan dalam penelitian yang serupa.
Adapun contoh analisis Relasi Sastra dan Politik yang lebih mendalam bisa dibaca Desertasinya guru saya Prof. Dr. Sukron Kamil yang meneliti tentang Refleksi Politik dalam karya sastranya sastrawan Arab Najib Mahfudz.
Dalam latar belakang Desertasinya, Prof. Sukron mengatakan penelitian yang berkaitan dengan relasi sastra dan politik beliau mengklaim masih jarang sekali (pada saat disertasinya ditulis) dengan mengajukan bukti data skripsi yang ada di perpustakaan UIN Jakarta. Oleh karena itu, jika kalian ingin meneliti relasi sastra dan politik maka sangat dianjurkan.

على طه رسول الله
صلاة الله سلام الله
على يس حبيب الله
صلاة الله سلام الله
Rahmat dan keselamatan Allah –
Semoga tetap teruntuk Nabi Thaha utusan Allah-
Rahmat dan keselamatan Allah –
Semoga tetap teruntuk Nabi Yaasin kekasih Allah

وبالهادى رسول الله
توسلنا ببسم الله
باهل البدر يا الله
وكل مجاهد لله
Kami berwasilah dengan berkah “Basmallah” –
Dan atas petunjuk Rasulullah
Dan bersama seluruh orang yang berjuang karena Allah –
Sebab berkahnya sahabat ahli badar ya Allah

من الافات والنقمة
الهى سلم الأمة
باهل البدر يا الله
ومن هم ومن غمة
Ya Allah, selamatkanlah umat ini –
Dari segala bencana dan siksa
Dari kesusahan dan kesempitan –
Sebab berkahnya sahabat ahli badar ya Allah

جميع اَذِيَّةٍ واصْرِف
الهى نَجِّنا واكْشِف
باهل البدر يا الله
مكائِدَ العِدا والطُف
Ya Allah, bebaskan dan keluarkan kami –
Dari semua yang menyakitkan dan menjauhkan kami
Dari semua tipu daya musuh-musuh, dan kasihilah kami -
Sebab berkahnya sahabat ahli badar ya Allah

من العاصين والعَطْبا
الهى نفِّسِ الكُرَبا
باهل البدر يا الله
وكلِّ بَلِيَّةٍ وَوَبا
Ya Allah, hilangkanla penderitaan –
dari orang-orang yang bermaksiat dan semua kerusakan
Dan dari semua bencana dan wabah penyakit –
Sebab berkahnya sahabat ahli badar ya Allah

وكم من ذِلَّةٍ فصلت
فَكَم من رحمةٍ حصَلَت
باهل البدر يا الله
وكم من نعمةٍ وصلت
Sudah berapa banyak rahmat-Mu yang tercurah –
Sudah berapa banyak kehinaan yang dihilangkan
Sudah berapa banyak nikmat kerunia yang telah diterima -
Sebab berkahnya sahabat ahli badar ya Allah

وكم اَوليتَ ذَالفقرِ
وكم اغْنيتَ ذَالعمرِ
باهل البدر يا الله
وكم عافيتَ ذِالوِذَرِ
Sudah berapa kali Engkau memberi kekayaan orang yang makmur –
Sudah berapa kali Engkau memberi nikmat kepada orang yang fakir
Sudah berapa kali Engkau mengampuni orang yang berdosa –
Sebab berkahnya sahabat ahli badar ya Allah

جميعُ الارضِ معْ رحبِ
لقد ضاقت على القلب
باهل البدر يا الله
فانْجِ من البلا الصعبِ
Sungguh hati manusia merasa sempit –
Diatas tanah yang luas ini,  saking banyaknya marabahaya
Semoga Engkau menyelamatkan kami dari bencana yang mengerikan – Sebab berkahnya sahabat ahli badar ya Allah

وجُلِّ الخير والسَّعدِ
اتينا طالبى الرِّفقِ
باهل البدر يا الله
فوسِّعْ منحَةَ الايدِىْ
Kami datang dengan memohon pertolongan –
Dan memohong limpahan kebaikan dan kebahagiaan
Semoga Engkau meluaskan anugerah yang melimpah ruah –
Sebab berkahnya sahabat ahli badar ya Allah

بَلِ اجْعلنا على الطَّيبة
فلا تَردُد مع الخيبةْ
باهل البدر يا الله
اَيَا ذَا العِزِّ والهيبة
Jangan Engkau tolak kami dengan kerugian besar bagi kami -
Tapi jadikanlah kami orag yang beramal baik dan bersuka ria
Wahai Dzat yang maha Agung dan maha Prabawa -
Sebab berkahnya sahabat ahli badar ya Allah

بنيلِ جميعِ حاجاتى
واِن تَردُدْ فمن نأتى
باهل البدر يا الله
اَيا جالى المُلِمَّاتِ
Jika Engkau terpaksa menolak kami maka kepada siapakah kami akan datang – Untuk memohon atas segala hajat kami
Wahai Dzat yang menghilangkan segala bencaca dunia dan akhirat–
Sebab berkahnya sahabat ahli badar ya Allah

بنيل مطالب منَّا
الهى اغقر واَكرمنا
باهل البدر يا الله
ودَفْعِ مساءةٍ عنَّا
Ya Allah, Ampuni kami, muliakan kami –
Dengan pengabulan harapan-harapan kami
Dan menolak keburukan-keburukan dari kami –
Sebab berkahnya sahabat ahli badar ya Allah

وذَوفضلٍ وذَو عطْفٍ
الهى انت ذَوْ لطفٍ
باهل البدر يا الله
وكم من كربةٍ تنفِى
Ya Allah, hanya Engkau lah pemiki belas kasih -
Pemilik anugrah dan pemilik cinta kasih
Sudah banyaklah kesusahan yang hilang –
Sebab berkahnya sahabat ahli badar ya Allah

بِلاعَدٍّ ولا حَصْرِ
وصلِّ على النبيِّ البَرِّ
باهل البدر يا الله
والِ سادَةٍ غَرِّ
Semoga Engkau kian melimpahkan rahmat kepada Nabi yang senantiasa berbakti –
Dengan limpahan rahmat dan keselamatan yang tak terbilang
Semoga tetap atas para keluarga Nabi dan para sayyid yang bersinar – Sebab berkahnya sahabat ahli badar ya Allah



[1] Sosiologi sastra adalal ilmu yang membahas hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya dan segmen pembaca yang ditujunya.
[2] Di abad 18, teorinya Plato dan Aristoteles ini kemudian dikembangkan oleh Hippoyte Taine (1766-1817) dimana selanjutnya Ahmad asy-Syayib (kritikus Arab abad ke-20) disinyalir pandangannya terkait sastra dipengaruhi oleh Taine. Ahmad asy-Syayib berpendapat bahwa sastra dipengaruhi oleh tempat tinggal sastrawannya, zaman dimana ia hidup, etnisitas, kontak dengan bangsa lain, agama, keadaan politik, dan lainnya seperti kritik dari kritikus. Lihat: Ahmad asy-Syayib, Usul an-Naqd al-Adabi, (Kairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1964, cet. Ke 7).
[3] Yoseph Yapi Taum, Pengantar Teori Sastra, (Flores: Nusa Indah, 1997), hal: 47-56.
[4] Haedar Natsir, Gerakan Islam Syariah Reproduksi Salafiah Ideologi di Indonesia, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2007), hal: 149.
[5] Beliau lahir pada tanggal 4 Ramadhan 1340 H. / 23 Maret 1921 M.
[6] Sebagaimana yang telah dituturkan oleh Mantan Presiden RI ke-4 sekaligus Ketua Umum PBNU, Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur dalam Muhtamar NU ke-28 di P.P al-Munawarrir Krapyak Yogyakarta (26 Nop. 1989) bahwa penggubah syair Selawat Badar adalah ulama asal jember bernama KH. Muhammad Ali Mansur Shidiq Basyaiban (Sultan Mangkunegara III), atas karya fenomenal nya tersebut Gus Dur menganugrahkan Bintang NU kepada penggubah nya. Pernyataan ini kembali ditegaskan oleh Gus Dur selaku Presiden RI dalam sambutannya pada Muktamar NU ke-30 di PP Lirboyo Kediri (21-11-1999).
[7] Hafis Muaddab, Nahdatul Ulama Sebagai Opinion Leader Dalam Politik Demokrasi Di Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis), Jurnal Politikal, Vol. 1, Nomor 1, September 2015.
[8] Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdatul Ulama (Hasil Keputusan Muktamar Ke-33 NU), Lembaga Ta’lif wan Nasyr PBNU, Jakarta, Cet. Ke-2, 2015.
[9] Berdasarkan catatan kesejarahan ini pula kita dapat mengerti sesungguhnya dunia kiai dengan dunia politik tidak bisa dipisahkan secara ekstrem. Pandangan yang menyatakan bahwa kiai yang memasuki wilayah kekuasaan sebagai "tabu" karena kekuasaan dianggap area muharramat ("diharamkan"), sambil berseru bahwa idealitas kiai harus di wilayah kultural ( pesantren, jamaah), adalah pandangan yang naif, "ahistoris" di samping "kolonialistis."
Dikatakan "ahistoris" karena sejarah NU (dan kiai tentunya) tidak bisa dilepaskan dari kepolitikan seperti yang saya paparkan di atas. Bukankah NU pernah menjadi partai politik yang disegani di Republik ini? Lalu atas dasar apa kiai diharamkan bersentuhan dengan politik praktis kekuasaan?. Pandangan yang menyatakan kiai haram berpolitik juga berwatak "kolonialistis" karena pada saat kolonialisme Belanda dulu pandangan serupa pernah mengemuka.
Pemerintah Belanda pada waktu itu memang membatasi peran politik kiai. Berbagai Undang-Undang Pemerintah (Regeering Reglement) dan UndangUndang Politik (Politieke Maatregel) dibuat untuk mengisolasi kiai dari berbagai kegiatan yang dapat menimbulkan implikasi politik atau dalam bahasa mereka rusten orde (ketentraman dan ketertiban). Al-Qurtubi, Sumanto, Khittah NU dan Siasat Politik Kiai, Suara Merdeka 26 Juli 20104 (www.suaramerdeka.com Diakses pada 18 Nopember 2016).
[10] Lihat Abdul Aziz Thaba, Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru  (Jakarta; Gema Insani Press, 1996).
[11] Pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi melalui Muktamar NU ke-19 pada 8 Mei 1952 di Palembang dan menjelma menjadi sebuah partai politik sendiri dengan nama Partai NU yang berkiprah dalam Pemilu pertama tahun 1955. Berdasarkan hasil Pemilu tahun 1955, NU menempati 4 partai besar sehingga banyak tokoh-tokoh NU yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Moh Amirul Mukminin, Hubungan NU dan Masyumi (1945-1955) ; Konflik dan Keluarnya NU dari Masyumi, Avatara-E-Journal Pendidikan Sejarah, Volume 3, No. 3, Oktoober 2015.
[12] Firdaus A.N, Dosa-dosa Orde Lama Dan Orde Baru Yang Tidak Boleh Terulang Di Era Reformasi, (Jakarta ; Pustaka Al-Kautsar, 1999), hal: 49.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Total Tayangan Halaman

Popular Post

- Copyright © MBB -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -