Rabu, 26 Oktober 2016

Al-Ahkam al-Sultaniyyah Al-Mawardi & Teori Politik Islam Klasik

Al-Ahkam al-Sultaniyyah Al-Mawardi & Teori Politik Islam Klasik[1]
AL-Mawardi[2], dengan bukunya Al-Akam al-Sultaniyyah dianggap sebagai karangan ilmiah pertama tentang ilmu politik dan administrasi negara dalam sejarah Islam.[3] Para orientalis juga menganggap bahwa buku tersebut sebagai dokumen kunci dalam evolusi pemikiran politik Islam.[4] Bahkan Leonard  Binder menganggap karya itu sebagai suatu statment yang paling komprehensif tentang teori ke-khalifah-an.[5]
Al-Mawardi menyatakan bahwa Imamah dilembagakan untuk menggantikan posisi Nabi guna melindungi dan mengatur dunia dengan landasan pembentukan sebuah negara adalah rasio / akal semata (bukan syariat) di mana ia mengutipnya dari golongan Mu’tazilah,  sebelum kemudian berpendapat bahwa pembentukan sebuah negara berdasarkan perintah agama.[6]
Menurut al-Mawardi, institusi imamah berasal dari perintah agama melalui ijma’ (konsensus). Dan itu hanya akan ada jika unsur ketaatan melekat pada institusi ini. Landasan teorinya adalah surat Al-Nisa’ ayat 59, yaitu tentang perintah untuk taat kepada Allah, Rasul dan Pemimpin (ulil amri). Dari ayat inilah menurut al-Mawardi wajib mengikuti pemimpin yang sudah dipercaya untuk memikul tugas dan tanggung jawab tanpa harus melihat baik tidaknya mereka.[7] Oleh sebab itu, konsep taat sangat ditekankan di sini (seolah mengabaikan konsep syura sebagai kunci demokrasi). Karena hanya dengan ketaatan rakyat kepada imam itulah ketertiban agama dan dunia bisa tercipta.[8]
Sebagaimana pendahulunya, al-Baqilani, al-Mawardi juga memegang prinsip imamah harus dengan pemilihan.[9] Gerakan pemilihan ini sudah jelas berbeda dengan konsep Syiah dengan konsep “kultus” kepada Ahlul Bait yang dianggap suci.[10]
Al-Mawardi membagi umat menjadi dua kelompok, yaitu: kelompok pertama pemilih (ahl al-ikhtiyar) dan kelompok kedua mereka yang dipilih (ahl al-a’immah). Menurutnya pemilih harus memenuhi tiga kualifikasi, yaitu mempunyai rasa adil pada umumnya (al-adalah al-jami’ah), mempunyai pengetahuan yang cukup tentang calon yang akan dipilih, dan mempunyai fikiran sehat dan kebijakan.[11] Adapun untuku kualifikasi kandidat pemimpin, ia menyebutkan ada tujuh syarat yang harus dipenuhinya, yaitu: adil, berpengetahuan sehingga memungkinkannya untuk mengambil pertimbangan yang tepat dalam menghadapi problem yang dihadapi, mempunyai indra yang sehat, mempunyai anggota fisik yang sehat, bijaksana, berani, dan harus berasal dari keturunan Quraish.[12] Terkait syarat keturunan Quraish, al-Mawardi sangat menekankan dengan argumen bahwa itu sudah menjadi konsensus (ijma) para sahabat, dan terbukti Abu Bakar saat membacakan hadis ini di Bani Saqifah semua sahabat baik kalangan ansar maupun muhajirin semua patuh sehingga tidak ada argumen apapun yang bisa menolak nas tersebut.[13]
Al-Mawardi dalam proses penggantian imam, selain dapat dipilih dengan Ahl al-Hall wa al-Aqd[14], juga dapat diangkat oleh pendahulunya. Pandangan ini disandarkan pada kenyataan sejarah yang menurut al-Mawardi telah terjadi kesepakatan bersama (ijma’) umat Islam mengenai hal itu.[15] Adapun persoalan pemilihan dari pemimpin pendahulunya untuk dikukuhkan oleh Ahl al-Hall wa al-Aqd atau tidak, dalam hal ini Al-Mawardi lebih condong setuju untuk tidak perlu mendapat persetujuan ahl al-ikhtiyar dibanding dengan pendapat Ulama Basrah yang juga dipaparkan dalam pembahasan ini, hal ini lagi-lagi menurut al-Mawardi bahwah Abu Bakar juga tidak mendapat persetujuan oleh ahl al-ikhtiyar.[16]
Saya kira ini dulu pembahasan kunci untuk memasuki dunia politik Islam. Wallahu a’lam.


[1] Saya sebut “klasik”, karena diera modern hingga saat ini, pemikiran poltik Islam di zaman klasik terus diungkap kecacatannya oleh para pemikir dan akademisi, meskipun pada poin-poin khusus mereka para ulama’ klasik mampu memberikan wacana yang sulit untuk dibantah kalau tidak mau dikatakan tidak sama sekali. Adapaun tulisan khusus kali ini, saya sengaja hanya memaparkan apa yang ada dalam buku al-Mawardi tanpa memberikan krtitikan baik dari penulis sendiri atau para memikir selanjutnya (baik pemikir nusantara ataupun pemikir Arab sekalipun). Adapun terkait referensi, jika ingin bertanya lebih detail bisa koment langsung saja, insya Allah saya berikan referensinya.
[2] Beliau hidup dimasa dinasti Abasiyah, yang dengan kecakapan diplomasi dan teori ilmiah kenegaraannya beliau berhasil melindungi dinasti Abasiyah dari kalangan bani Buwaih yang beraliran Syiah. Salah satu peringatan al-Mawardi kepada bani Buwaih adalah pernyataannya “bahwa khilafah haruslah seorang penguasa yang aktif dan tidak hanya sebagai figur simbolik belaka (sebagaimana pendapat bani Buwaih yang menganggap kekholifahan bani Abasiyah hanya sekedar formalitas). Lihat Leonard Binder, Religion and Politik in Pakistan.
[3] Lihat Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State.  
[4] Lihat Donald P Little, “A New Look at al-Ahkam al-Sultaniyah”.
[5] Lihat Leonard Binder.
[6] Lihat Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah, (Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1973).
[7] Lihat Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah.
[8] Lihat Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Iqtisad fi al-I’tiqad.
[9] Lihat: Abu Hasan al-Mawardi.
[10]  Ahmad Syafi’i Maarif.
[11] Abu Hasan al-Mawardi.
[12] Abu Hasan al-Mawardi. Sekali lagi di sini posisi saya hanya ingin memaparkan apa yang dikemukakan al-Mawardi tanpa memberikan kritik atau memberikan ulasan pendapat dari tokoh lain, semisal Ibnu Khaldun ataupun kalangan pemikir Indonesia lainnya.
[13]  Abu Hasan al-Mawardi.
[14] Proses penetapan anggota Ahl al-Hall wa al-Aqd juga nampak rumit. Oleh sebab itu, perlu kiranya dipaparkan definisinya dari Muhammad Abduh yang juga dikutip oleh Muhammad Yusuf Musa, anggota Ahl al-Hall wa al-Aqd berasal dari lingkungan orang Islam yang terdiri dari para amir, para hakim, komandan tentara, pemimpin, dan pembesar yang menjadi rujukan umat dalam masalah yang berhubungan dengan hajat dan kemaslahatan mereka. Lihat Muhammad Yusuf Musa, Nizam al-Hukm fi al-Islam. 
[15] Kenyataan yang dimaksud adalah 1). Penunjukan Umar bin Khattab oleh Abu Bakar untuk menggantikannya, 2). Penunjukan Umar ibnu Khattab terhadap tim formatur dan sekaligus calon khalifah (beranggota enam orang) yang akan menggantikan khalifah sasudahnya. Menurut Umar perbuatannya ini tidak ada yang menentangnya. Oleh sebab itu, al-Mawardi menganggap bahwa perbuatan Umar ini dengan sendirinya menjadi Ijma’. Abu Hasan al-Mawardi.
[16] Abu Hasan al-Mawardi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar