AL-Mawardi[2],
dengan bukunya Al-Akam al-Sultaniyyah dianggap sebagai karangan ilmiah
pertama tentang ilmu politik dan administrasi negara dalam sejarah Islam.[3]
Para orientalis juga menganggap bahwa buku tersebut sebagai dokumen kunci dalam
evolusi pemikiran politik Islam.[4]
Bahkan Leonard Binder menganggap
karya itu sebagai suatu statment yang
paling komprehensif tentang teori ke-khalifah-an.[5]
Al-Mawardi menyatakan bahwa Imamah dilembagakan untuk
menggantikan posisi Nabi guna melindungi dan mengatur dunia dengan landasan
pembentukan sebuah negara adalah rasio / akal semata (bukan syariat) di mana ia
mengutipnya dari golongan Mu’tazilah, sebelum kemudian
berpendapat bahwa pembentukan sebuah negara berdasarkan perintah agama.[6]
Menurut al-Mawardi, institusi imamah berasal dari perintah
agama melalui ijma’ (konsensus). Dan itu hanya akan ada jika unsur
ketaatan melekat pada institusi ini. Landasan teorinya adalah surat Al-Nisa’
ayat 59, yaitu tentang perintah untuk taat kepada Allah, Rasul dan Pemimpin (ulil
amri). Dari ayat inilah menurut al-Mawardi wajib mengikuti pemimpin yang
sudah dipercaya untuk memikul tugas dan tanggung jawab tanpa harus melihat baik
tidaknya mereka.[7]
Oleh sebab itu, konsep taat sangat ditekankan di sini (seolah mengabaikan konsep
syura sebagai kunci demokrasi). Karena hanya dengan ketaatan rakyat
kepada imam itulah ketertiban agama dan dunia bisa tercipta.[8]
Sebagaimana pendahulunya, al-Baqilani, al-Mawardi juga memegang
prinsip imamah harus dengan pemilihan.[9]
Gerakan pemilihan ini sudah jelas berbeda dengan konsep Syiah dengan konsep “kultus”
kepada Ahlul Bait yang dianggap suci.[10]
Al-Mawardi
membagi umat menjadi dua kelompok, yaitu: kelompok pertama pemilih (ahl
al-ikhtiyar) dan kelompok kedua mereka yang dipilih (ahl al-a’immah).
Menurutnya pemilih harus memenuhi tiga kualifikasi, yaitu mempunyai rasa adil
pada umumnya (al-adalah al-jami’ah), mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang calon yang akan dipilih, dan mempunyai fikiran sehat dan kebijakan.[11]
Adapun untuku kualifikasi kandidat pemimpin, ia menyebutkan ada tujuh syarat
yang harus dipenuhinya, yaitu: adil, berpengetahuan sehingga memungkinkannya
untuk mengambil pertimbangan yang tepat dalam menghadapi problem yang dihadapi,
mempunyai indra yang sehat, mempunyai anggota fisik yang sehat, bijaksana,
berani, dan harus berasal dari keturunan Quraish.[12] Terkait
syarat keturunan Quraish, al-Mawardi sangat menekankan dengan argumen bahwa itu
sudah menjadi konsensus (ijma) para sahabat, dan terbukti Abu Bakar saat
membacakan hadis ini di Bani Saqifah semua sahabat baik kalangan ansar maupun
muhajirin semua patuh sehingga tidak ada argumen apapun yang bisa
menolak nas tersebut.[13]
Al-Mawardi
dalam proses penggantian imam, selain dapat dipilih dengan Ahl
al-Hall wa al-Aqd[14],
juga dapat diangkat oleh pendahulunya. Pandangan ini disandarkan pada kenyataan
sejarah yang menurut al-Mawardi telah terjadi kesepakatan bersama (ijma’)
umat Islam mengenai hal itu.[15]
Adapun persoalan pemilihan dari pemimpin pendahulunya untuk dikukuhkan oleh Ahl
al-Hall wa al-Aqd atau tidak, dalam hal ini Al-Mawardi lebih condong setuju
untuk tidak perlu mendapat persetujuan ahl al-ikhtiyar dibanding dengan
pendapat Ulama Basrah yang juga dipaparkan dalam pembahasan ini, hal ini
lagi-lagi menurut al-Mawardi bahwah Abu Bakar juga tidak mendapat persetujuan
oleh ahl al-ikhtiyar.[16]
Saya kira ini
dulu pembahasan kunci untuk memasuki dunia politik Islam. Wallahu a’lam.
[1] Saya sebut “klasik”,
karena diera modern hingga saat ini, pemikiran poltik Islam di zaman klasik
terus diungkap kecacatannya oleh para pemikir dan akademisi, meskipun pada
poin-poin khusus mereka para ulama’ klasik mampu memberikan wacana yang sulit
untuk dibantah kalau tidak mau dikatakan tidak sama sekali. Adapaun tulisan
khusus kali ini, saya sengaja hanya memaparkan apa yang ada dalam buku
al-Mawardi tanpa memberikan krtitikan baik dari penulis sendiri atau para
memikir selanjutnya (baik pemikir nusantara ataupun pemikir Arab sekalipun).
Adapun terkait referensi, jika ingin bertanya lebih detail bisa koment langsung
saja, insya Allah saya berikan referensinya.
[2] Beliau hidup
dimasa dinasti Abasiyah, yang dengan kecakapan diplomasi dan teori ilmiah
kenegaraannya beliau berhasil melindungi dinasti Abasiyah dari kalangan bani Buwaih
yang beraliran Syiah. Salah satu peringatan al-Mawardi kepada bani Buwaih adalah
pernyataannya “bahwa khilafah haruslah seorang penguasa yang aktif dan tidak
hanya sebagai figur simbolik belaka (sebagaimana pendapat bani Buwaih yang
menganggap kekholifahan bani Abasiyah hanya sekedar formalitas). Lihat Leonard
Binder, Religion and Politik in Pakistan.
[3] Lihat
Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State.
[4] Lihat Donald P
Little, “A New Look at al-Ahkam al-Sultaniyah”.
[5] Lihat Leonard
Binder.
[6] Lihat Abu
al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah, (Cairo: Mustafa al-Babi
al-Halabi, 1973).
[7] Lihat Abu
al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah.
[8] Lihat Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Iqtisad fi al-I’tiqad.
[9] Lihat: Abu Hasan
al-Mawardi.
[10] Ahmad Syafi’i Maarif.
[11] Abu Hasan
al-Mawardi.
[12] Abu Hasan
al-Mawardi. Sekali lagi di sini posisi saya hanya ingin memaparkan apa yang
dikemukakan al-Mawardi tanpa memberikan kritik atau memberikan ulasan pendapat
dari tokoh lain, semisal Ibnu Khaldun ataupun kalangan pemikir Indonesia
lainnya.
[13] Abu Hasan al-Mawardi.
[14] Proses
penetapan anggota Ahl al-Hall wa al-Aqd juga nampak rumit. Oleh sebab
itu, perlu kiranya dipaparkan definisinya dari Muhammad Abduh yang juga dikutip
oleh Muhammad Yusuf Musa, anggota Ahl al-Hall wa al-Aqd berasal dari
lingkungan orang Islam yang terdiri dari para amir, para hakim, komandan
tentara, pemimpin, dan pembesar yang menjadi rujukan umat dalam masalah yang
berhubungan dengan hajat dan kemaslahatan mereka. Lihat Muhammad Yusuf Musa, Nizam
al-Hukm fi al-Islam.
[15] Kenyataan yang
dimaksud adalah 1). Penunjukan Umar bin Khattab oleh Abu Bakar untuk menggantikannya,
2). Penunjukan Umar ibnu Khattab terhadap tim formatur dan sekaligus calon khalifah
(beranggota enam orang) yang akan menggantikan khalifah sasudahnya. Menurut
Umar perbuatannya ini tidak ada yang menentangnya. Oleh sebab itu, al-Mawardi
menganggap bahwa perbuatan Umar ini dengan sendirinya menjadi Ijma’. Abu Hasan
al-Mawardi.
[16] Abu Hasan
al-Mawardi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar