TEORI
SEMIOTIKA ARKOUN DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN (STUDI PEMBACAAN SURAT AL-FATIHAH)
1)
Determinan[1]
Arkoun menyakan
bahwa kata benda yang dipakai dalam surat al-Fatihah semuanya bersifat
tertentu (Isim Ma’rifat) yang dengannya menjadikan apa yang dituturkan
menjadi benar-benar jelas dan mudah dikenali.[2]
Dalam bahasa Arab, isim Ma’rifah adalah untuk menunjukan sesuatu yang
bersangkutan adalah ma’ruf (diketahui, definite) atau untuk
ta’rif.[3]
Pertama: terkait isim Ma’rifah dengan tanda “al” yang
berhubungan dengan kata Allah, yaitu al-rahman dan al-rahim menjadikan
posisi Allah diketahui dengan jelas. Dalam lingkungan kita, kata Allah memang
sudah ma’ruf par excellence, hal ini berbeda pada lingkungan orang Arab
pada abad ke-7 dimana kata Allah belum menjadi “tanda” yang dengan sendirinya
memberikan rujukan yang jelas.
Dari sinilah
Arkoun ingin mengatakan bahwa Allah yang ada dalam surat al-Fatihah
adalah Allah sebagaimana dalam surat 1-45 karena surat al-Fatihah adalah
surat yang ke 56.[4]
Sehingga “tanda” Allah atau yang berkaitan dengan-Nya harus difahami sebagaimana dalam surat-surat yang
mendahuluinya. Dalam surat al-Fatihah pun bahkan ditemukan
sebutan-sebutan seperti al-rahman, al-rahim, rab al-alamin, malik yaum
a-din.[5]
Inilah analisis
Arkoun yang termasuk dalam kategori analisis semantik-semiotik dan sintak-semiotik.
Hanya saja disini Arkoun tidak menganalisis asal kata Allah sebelum kata
tersebut menjadi isim Ma’rifat. Padahal, kalau hal itu dipaparkan maka
akan menambah tajam analisisnya pada tahap semantik.
Al-Qurtubi
mengatakan huruf lam dan alif merupakan huruf tambahan yang
berfungsi sebagai tanda untuk mengagungkan (ta’ziman wa tafkhiman).[6]
Hal itu disimpulkan dari tradisi masyarakat Arab yang menyebut sesuatu yang
tinggi dengan kata laha. Misalnya: thala’at asy-syams berarti
lahat asy-syams, yakni matahari itu terbit (beranjak naik semakin tinggi).
Oleh karena
itu, sebagian ulama menyatakan bahwa kata Allah bagian dari derivasi kata laha
atau ilah. Lalu kemudian, lam dan alif yang dimasukan
dalam kata ilah, secara semantik memberi pengertian bahwa sesuatu yang
disandari kedua huruf tersebut merupakan hal yang sudah dikenal secara luas (Ma’ruf)
dan besifat spesifik (mukhtas).
Dari situlah
maka ketika dikatakan laa ilaaha illa Allah berarti hanya ada Allah.
Dialah Allah yang seperti ada dalam agama Islam. Termasuk dalam surat
al-Fatihah, Allah bukanlah ilah atau rabb seperti yang sudah diketahui
atau dikenal oleh masyarakat Arab secara luas sebelum Islam datang.
Al-Qurtubi juga
menyatakan bahwa kata Allah adalah nama yang paling agung bagi Tuhan. Tidak ada
tuhan selain Dia yang memiliki nama seperti itu. Allah adalah nama bagi suatu
yang maujud yang haqq (benar), yang didalamnya terhimpun seluruh
sifat ketuhanan. Jika disebut kata Allah maka artinya Dia bukan wujud-wujud haqiqi
yang lain. Oleh karena itu, Allah lah wujud yang berhak disembah. Dia adalah
wujud yang wajib ada (wajib al-wujud).[7]
Setelah
mengetahi dari apa yang dikemukakan al-Qur’tubi terkait ke-ma’ruf-an dan
ke-mukhtas-an kata Allah, maka dapat diketahui bahwa sifat al-rahman
dan al-rahim yang ada dalam surat al-Fatihah statusnya adalah mukhtas
dan ma’ruf karena mengikuti kepada yang disifati, sehingga jika
dikatakan al-rahman dan al-rahim tidak lain adalah Allah.
Kedua: terkait isim Ma’rifah dengan tanda “al” yang tidak berhubungan
dengan kata Allah, yaitu kata al-hamd, al-sirat, al-maghdub dan al-dallin.
Menurut Arkoun, isim ma’rifat dalam al-hamd mempunyai
generalisasi ruang dan waktu dari tindakan ucapan syukur (hamd). Arkoun
menjelaskannya dengan penjelasan al-Razi:
“jika dikatakan, ‘saya menyampaikan ucapan syukur kepada Allah’ (أحمد الله), ini berarti bahwa orang yang mengatakan (qa’il)
itu mampu menyampaikan ucapan syukur kepada-Nya. Akn tetapi, jka dikatakan ‘al-Hamdu
Lillah’ (الحمد الله) ini berarti bahwa
Dia sudah terpuji sebelum orang-orang memuji-Nya dan mengucapkan terima kasih
kepada-Nya; baik mereka mengucapkan atau tidak pujian dan ucapan terima kasih
mereka, ucapan terima kasih itu menadi milik-Nya selama-lamanya”.[8]
Pujian yang
digunakan Allah dalam surat al-Fatihah adalah pujian yang bersifat dan
spesial bagi diri-Nya. Dia menggunakan hamd, meskipun dalam bahasa Arab
ditemukan murodifnya seperti madh, tsana’, dan syukr. Madh
memiliki pengertian sebuah tindakan memberikan pujian kepada orang lain atau
dirinya sendiri akibat faktor eksternal (sebab kebaikan, kecantikan, keagungan,
dll). Tsana’ merupakan pujian yang diulang-ulang; bisa dikatakan kepada
orang karena kebaikan maupun kejelekan. Jadi Stana’ adalah pujian secara
umum yang terkait dengan perbuatan baik atau tindakan buruk. Sedangkan
syukur, adalah ungkapan pujian sebagai bentuk terima kasih kepada pihak
yang memberi bantuan sehngga juga sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan
atas nikmat ang diberikan.[9] Dari
sinilah maka dapat diketahui kehususan kata hamd, dibanding dengan syukr,
sana’ dan madh. Hal ini pula yang menjadikan Allah memakai kata hamd
dalam surat al-Fatihah karena pujian ini khusus untk diri-Nya.
Adapun
sintagma-sintagma al-sirat, al-mustaqim, al-maghdub, al-dallin,
mempunyai peran kategorisasi. Kategori pertama adalah jalan lurus (al-mustaqim),
dan kedua jalan orang yang dimurkai Allah (al-maghdub) atau jalan
orang-orang yang sesat (al-dallin). Dalam peletakannya yang saling
disandingkan menjadikannya begitu nampak kontras, menurut al-Zamakhsyari gaya
seperti itu memiliki fungsi taukid diantara dua pengulangan.[10]
Ketiga: isim ma’rifah dalam bentuk al-idhafah. Dalam rab
al-alamin, rab dengan makna tuan (sebagaimana tuan rumah)
disandarkan khusus kepada al-alamin (alam semesta). Disini meskipun kata
alamin tidak terbatas namun justru disandarkan dan bergantung pada rab.[11]
Maliki yaum
al-din juga memiliki bangunan yang sama
dengan rab al-alamin. Keduanya juga memiliki keterkaitan semantik. Abu
Mansur, seorang ahli linguistik mengatakan bahwa kata rabb bisa
digunakan dalam tiga pengertian, yaitu rabb al-dar yang berarti si
pemilik rumah (malik), rabb al-syai’ yang berarti orang yang
memperbaiki atau merawat sesuatu, dan rabb al-muta’ yang artinya tuan
yang dipatuhi.[12]
Dari sinilah maka rabb al-alamin berarti Tuan yang merawat jagat raya,
yang dipatuhi juga Sang Pemilik alam, sedangkan malik yaum al-din
memiliki pengertian Raja dihari kiamat. Pertemuan antara keduanya terletak pada
kekuasaan mutlak yang Dia miliki sehingga harus dipatuhi segala perintah-Nya.
2)
Kata Ganti
Analisis kata
ganti termasuk dalam bidang kerja pragmatik semiotik. Dalam al-Fatihah ada dua
bentuk kata ganti[13]. Pertama;
kata ganti orang kedua tunggal (dhamir li al-mukhatab). Salah satu yang
paling menonjol dalam surat ini adalah kata ganti orang kedua yang terdapat
pada kata “iyya-ka” (dhamir al-ansab al-munfasil) yang digunakan secara
berulang sebanyak dua kali dan sama-sama dipisah oleh kata iyyaka untuk
menunjukan tujuan penyembahan (na’budu) dan tujuan permintaan tolong
(nasta’in). Hal ini menunjukan kemutlakan penyembahan dan dan pertolongan
manusia ditujukan hanya kepada Allah semata.
Kata ganti ini
memiliki keterkaitan erat dengan Allah yang ma’ruf par excellence.
Ketika yang ma’lum tidak dapat diindra oleh mata seseorang, maka
dihadirkan kata ganti ka (dalam iyyaka[14]).
Seolah Allah yang ma’lum dan gaib itu hadir secara kasat mata di
depan kita, seolah Dia dapat disaksikan dengan indra kita. Disini ada peralihan
dunia, dari dunia yang tidak dapat disaksikan menuju relaitas yang nyata. Inilah
yang disebut dengan Tahyil (proses imajinasi). Takhyir hadir
dalam rangka memperjelas dan menguatkan status Allah yang ma’ruf par
excellence sehingga nilai kema’rufannya semakin bertambah tinggi (adalla
ala al-ikhtishas).[15]
Allah dalam
kedudukannya sebagai orang kedua tunggal juga tampak dalam kata kerja imperatif
(fi’il amr) ihdina (tunjukanlah kami...), an’amta dan ghoiril
maghdzub alaihim. Pada kata an’amta ditemukan kata ganti orang kedua
dimana pelaku gramatikal dinyatakan secara tersurat oleh ta’ yang karenanya
dikenal sebagai pencipta kemurahan-kemurahan yang diberikan kepada
makhluk-makhluk tertentu. Sementara dalam sintagma ghoiril maghdub alaihim
pelaku gramatikalnya yang dalam konteks ini tidak bisa lain selain Allah namun
tidak dinyatakan secara tersurat. Secara gramatkal, pelaku itu bahkan tidak
dikenali (majhul) dan bangunan pasif ini sepadan dengan sintagma
aladzina ghudiba alaihim (orang-orang yang ditimpa kemarahan). Informasi yang
dapat ditarik dari kedua ketegangan ini (antara kata ganti orang kedua yang
tersurat dan yang tidak tersurat) telah membangun presepsi bagi aktan
“pencipta” teks sebagai yang memberikan kebaikan-kebaikan (pertolongan, nikmat)
dan penerima kebaikan-kebaikan pula (syukur, penyembahan), sedangkan soal
keburukan (kemurkaan) tidak serta merta diasosiasikan kepada-Nya.[16]
Bentuk kata
kerja imperatif (fi’il amr) digunakan dalam rangka mempererat hubungan
diantara aktan-aktan. Secara paradigmatik, makna dan kedudukannya sama dengan
ayat sebelumnya, yaitu iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Takwilnya
adalah Allahumma iyyaka na’budu dan seterusnya, dan allahumma
ihdinassiratal mustaqim. Penggunaan kata kerja imperatif memiliki fungsi
peneguhan (li al-tsabat), yaitu mendapat hidayah Allah dalam menjalankan
amal perbuatan. Karena itu bentuk imperatif tidak dapat dipandang sebagai ziyadah
(tambahan) belaka yang berfungsi melengkapi ayat sebelumnya.[17]
Kedua: kata ganti orang pertama (dhamir lil mutakallim), baik
sebagai subjek seperti dalam kata na’budu dan nasta’in, maupun
sebagai objek seperti dalam kata ihdina. Dalam ketiga kasus ini, menurut
Arkon, kata ganti orang pertama berjumlah banyak atau jamak. Maksudnya, bukan
saja meliputi “aku dan kamu” (kita), tetapi juga sekaligus bermakna “aku dan
mereka” (kami). Jadi tidak tampak jelas apakah “kata ganti orang pertama jamak”
yang dimaksud itu adalah “kami” yang sedang mengucapkan ayat ini (seperti ketika
dalam shalat misalnya), ataukah bermakna “kita” yang didalamnya juga melibatkan
unsur “mereka” yang tidak hadir (dan tidak mengucapkan). Menurut Arkon,
pembahasan kata ganti seperti ini sangat penting untuk menjelaskan berbagai
makna, termasuk fungsi performatifnya yang masih akan dibahas kemudian.
Pemeriksaan
terhadap unsur kata ganti ini, pada pokoknya, dimaksudkan Arkon untuk
menganalisis proes pengujaran aktan-aktan, yaitu pelaku yang melakukan tindakan
yang berada dalam teks atau narasi. Dengan kategori aktan, ujaran dipandang
sebagai suatu hubungan antara berbagai aktan yang membentuknya. Dalam kaca mata
semiotik, ujaran mau tidak mau harus dilihat dari kategori hubungan antar
aktan. Dilihat dari kategori ini, ad tiga poros hubungan aktan-aktan. Poros
pertama dan yang terpenting adalah proses subjek-objek dimana orang dapat
memeriksa “siapa” melakukan “apa”. Poros kedua adalah poros pengirim-penerima
yang menjawab persoalan siapa melakukan dan untuk siapa dilakukan. Sedangkan
poros ketiga adalah untuk mencari aktanyang mendukng dan menentang subjek, yang
berada dalam proses “pendukung-penerima”. Ketiga pasangan aktan ini dapat
membantu orang atau pribadi, tapi juga bisa berupa nilai.[18]
Dengan kategori
poros aktan pengirim-penerima, misalnya, Arkon mengatakan bahwa Alah adalah
aktan pengirim-penerima 1: manusia sebagai pengujar adalah aktan penerima-pengirim
2: dalam kebanyakan surat al-Qur’an, Allah adalah aktan pengirim (destinateur)
pesan, sementara manusia adalah aktan penerima (destinaire) pesan. Namun hal sebaliknya juga bisa berlaku,
dimana manusia menjadi pengirim dan Allah menjadi penerima. Analisis iaktansial
ini tidak saja diterapkan pada tingkatan sintaksis tapi juga terhadap seluruh
teks sebagai suatu kesatuan atau seluruh narasi.
Penggunaan kat
ganti “na” sebagaimana dalam kata “na’budu, nasta’indan ihdina”
mengisyaratkan kepada kita adanya hubungan antara aktan sujek-objek. Dalam hal
ini, kata ganti “na” diwakili oleh manusia sebagai hamba yang berhadapan dengan
Allah. Ini berbeda dengan penggunaan kata ganti “na” yang berarti subjeknya
adalah Allah sebagaimana yang ada dalam kebanyakan ayat suci al-Qur’an. sebagai
subjek “na” meminta kepada aktan objek (Allah) utuk memberikan hidayah-Nya. Dalam
hubungan aktan subjek-objek seperti ini, Allah tidak semata-mata berada dalam
posisi yang diperintah (penerima pesan), dan berada dibawah posisi hamba. Oleh
karena itu, aktan “na” tidak berada dalam pengertian “mengagungkan diri” (tak’zim),
tetapi memiliki pengertian sebagai bentuk ketundukan (tawadhu’), yaitu
ketundukan hamba kepada sang ma’bud (Allah yang disembah).[19]
Masih berkaitan
dengan aktan, Arkoun menganalisis terhadap al-hamd lillah. Secara
sintaksis, kalimat tersebut merupakan kalimat nominal (al-jumlah
al-ismiyyah): al-hamd sebagai mubtada’ dan lillah
sebagai khabar. Suatu tindakan diajukan sebagai tujuan kepada Allah
tanpa rujukan sma sekali kepada suatu penutur dan waktu. Allah demikian
merupakan penerima terus menerus dari sebuah tindakan (al-hamd) yang sudah
barang tentu mempunyai seorang pelaku-pengirim. Jika analisis sintaksis ini beralih
keanalisis semantik, maka akan ditemukan kesulitan membedakan pengujar dengan
aktan pelaku-pengirim. Menurut Arkoun, tindakan memuji (al-Hamd) secara
semantik mengandaikan adanya actant-destinateur (aktan pengirim) kebaikan-kebaikan
dan actant-destinaire (aktan penerima) dari kebaikan-kebaikan itu. Dengan
demikian kita sampai pada sebuah model aktansial yang didalamnya Allah
merupakan aktan pengirim kebaikan-kebaikan, penerima dari tindakan pengucapan
rasa syukur, pengujar, aktan penerima kebaikan-kebaikan pengirim tindakan
pengucapan rasa syukur. Berdasarkan hal itu, posisi pencipta teks tidak lagi
menentukan pemahaman teks sebagaimana terjadi sampai saat ini. Kenyataan
kebahasaan teks adalah sedemikian rupa seakan-akan penciptanya boleh dikatakan
muncul, membangun dirinya sedikit demi sedikit selam berlangsungnya proses
pengujaran.[20]
3)
Kata Kerja
Arkoun
menghitung jumlah kata kerja dalam surat al-Fatihah hanya ada empat, lebih
sedikit dibandingkan dengan kata benda.[21]
Yaitu 1 dan 2: Na’budu dan nasta’in (kata kerja mudlara’ah) menggaris bawahi permanensi upaya tersebut
untuk mempersempit jarak antara seorang penyeru yang sadar sebagai hamba serta
tiada daya dan suatu sosok penderma yang ditunjukkan dengan kuat (iyyaka diulang
dua kali sebelum kata kerja) sebagai mitra terakhir yang pantas dipuji dan
selanjutnya menyantuni. Kata perintah ihdi-na yang berada setelah dua
kata kerja mudlara’ah, tidak mungkin mempunyai nilai suatu perintah,
namun menjelaskan permohonan yang secara tersirat diformulasikan dalam na’budu
dan nasta’in.[22]
para Mufassir
melihat bentuk ihdina, na’budu, dan nasta’in, mempunyai
pengertian yang sama, yaitu do’a. At-Thabri misalnya, menyebut rangkaian na’bu
wa iyyaka nastain sebagai bentuk perimintaan.[23]
Bentuk ke 3 fi’il
madzi, yaitu an’amta. Artinya, bentuk ini menandakan adanya
peristiwa pemberian nikmat oleh Allah yang sudah terjadi (masa lampau) /
diberikan kepada Allah kepada mereka.
4) Kata Benda dan Nominalisasi
Naskah al-fatihah terdiri dari istilah-istilah nominal asal. Adapun “Istilah-Istilah
asal adalah istilah-istilah yang karena terbatas pada tingkatan akar-akar
semantis, bebas artikulasi-artikulasi logis dan morfologis yang diajukan
berbagai definisi teknis dalam istilah-istilah turunan. Istilah-istilah asal
itu membawa kepada keseluruhan bahasa dalam artikulasi semantisnya yang
“alami”. Itu semua menyediakan suatu ukuran yang mapan bagi penetapan suatu
tipologi wacana al-Qur’an dan semua wacana pada umumnya.[24]
Adapun istilah-istilah yang ada segaimana berikut ini: ism, Allah, hamd,
rabb, yaum, din, shirath. Meskipun mungkin merupakan kata turunan, istilah
‘alam dan dua kata kejadian rahman rahim mempunyai bentuk yang
tidak jauh berbeda dari akar katanya. Adapun kajan-kajian terhadap terhadap
istilah-istilah asal itu harus dilakukan dalam dua tahap. Pertama, harus
dikaitkan dengan berbagai struktur etimologis dari leksikon Arab. Kemudian,
menilai transformasi semantiknya dalam sistem leksikologis bahasa al-Qur’an.[25]
Sayangnya, di sini Arkoun tidak dapat melakukan kedua penelitian tersebut.
Padahal, hanya melalui langkah tersebut kita dapat mengukur campur tangan
penutur dalam proses pengujaran dan dengan demikian dalam pembentukan
suatu pemaknaan yang baru.”[26]
Arkoun kemudian beralih
pada nominalisasi karena menurutnya intervensi penutur dalam proses pengujaran
akan mudah dilihat pada nominalisasi ketimbang pada istilah-istilah asal.
Nominalisasi dalam surat al-Fatihah, adalah penggunaan istilah-istilah yang dwi
makna (masdar, nama-nama pelaku, dan penderita) yang secara sintaksis
berperan sebagai subtantif, seraya mengungkapkan sebuah proses.
Arkoun mengatakan
“dengan menghilangkan tanda-tanda pribadi, waktu dan cara yang menyertai kata
kerja, nominalisasi mengubah bentuk proposisi verbal menjadi proposisi nominal,
yakni menjadi sebuah ujaran penegasan intemporal, predikatif, yang mengandung
kebenaran umum dan permanen. Alih-alih suatu pernyataan yang tunduk pada
syarat-syarat intervensi seorang pelaku, dalam suatu waktudan menurut suatu
cara yang sudah ditentukan, kita mendapatkan suatu hubungan, atau suatu keadaan
yang bertindak sebagai alasan-alasan kewenangan (yang berlaku secara mutlak).[27]
Dalam hal itu, Arkoun
menunjukan hasil pembacaannya. Pertama: kasus kata kata benda verbal pada al-hamd
(sebagaimana sudah dijelaskan diatas bahwa Allah penerima terus menerus
dari sebuah tindakan memuji). Kedua: kata benda pelaku malik. Malik
disini menyatakan kehendak berbuat dari suatu pelaku pada hari itu. Ketiga:
kata benda pelaku al-dallin. Kata ini mengandung makna yang sama malik.[28]
Al-Tabari menjelaskan
bahwa kata al-dallin memiliki keterkaitan erat dengan al-maghdub.
Keterkaitan itu menguatkan pada keberadaan “jalan orang-orang yang dibenci”. Al-dallin
adalah al-maghdub, dan juga sebaliknya, al-maghdub adalah al-dallin.[29]
5) Sususnan Sintaksis
Berikut struktur
kalimat yang dibuat Arkoun, dengan memasukkan surah Al-Fatihah ke dalam empat
leksis[30] dan
tujuh predikat (penjelas)[31]:
Leksi Utama Leksika
Penjelas
1) Bismillahi 1).
ar-rahmani ar-rahim
2) Alhamdulillah
1).
Rabb alamin
2). ar-rahmani ar-rahim
3). Maliki yaumid al-din
3) iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in
4) ihdinas siratal mustaqim 1). Shiratal lazina
an'amta 'alaihim,
2). Ghairil magdubi 'alaihim
3). Walad dallin.
3). Walad dallin.
Pemotongan yang
didasarkan atas pemilihan sintaksis antara ujaran inti (leksi utama) dan ujaran
perluasan (leksi penjelas) ini, menurut Arkoun memungkinkan munculnya
penonjolan peran sintaksis sentral dari subjek yang menjadi sasaran pengujaran
Allah, demikian juga perluasan semantis subjek yang sama.[32] Praktek
pengucapan leksi utam 1 pada sebelum memulai kegiatan dan leksi utama dua di
ucapkan setelah selesai kegiatan menguatkan keabsahan linguistik dari
pemotingan ini.
6) Persajakan
Pada bagian ini Arkoun
mencukupkan analisisnya pada pencatatan bahwa dalam persajakan surat al-Fatihah
terdapat rima im yang bergantian dengan in. Dilihat dari fonem-fonem yang ada,
m menonjol hingga 15 kali. I 12 kali, n 12 kali, a 5 kali, dan h 5 kali[33]. Dalam penafsiran
klasik, penyebutan fonem itu diberi makna simbolis baik pada setiap jenis fonem
maupun pada jumlah kemunculannya.[34] Menurut
Arkoun, kajian persajakan atas tanda-tanda dengan demikian mesti diperluas
dengan suatu kajian simbolis.[35] Arkoun
berpendapat bahwa literatur terkait pembacaan liturgis dan pelafalan berirama
yang benar yang menyediakan berbagai petunjuk yang interpetasinya secara
fonologis, fonematis dan persajakan masih perlu didigarap dengan lebih seirus
dengan metode modern.
Sebagai penutup dalam
kajian ini, Arkoun menjelaskan bahwa pentingnya analisis linguistik kritis ini
terletak pada kemungkinan “mengungkapkan tatanan yang mendalam” yang berada di
balik penampakan teks yang seolah-olah tidak teratur. Analisis ini dilakukan
melalui tanda-tanda kebahasaan sedemikian rupa sehingga kita mampu menangkap
keseluruhan teks sebagai sistem yang mempunyai hubungan-hubungan internal.[36]
[1] Penulis
sengaja memosting tulisan ini hanya untuk tujuan para pembaca lebih memahami
apa yang sudah dijelaskan oleh Arkoun. Karena selama ini yang sudah diposting
di internet terkait semiotik Arkoun masih sangat sulit difahami. Oleh sebab
itu, bagi yang menginginginkan lebih / mendapatkan referensi lebih lengkap
termasuk detail halamannya maka silahkan hubungi penulis blog ini saja, insya
Allah saya akan berikan dengan suka senang hati.
[2] Arkoun, Min
a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian
Kontemporer al-Qur’an.
[3] Syaikh Mustafa
al-Ghulayaini, Jami’ al-Durus al-Araiyyah.
[4] Arkoun
mengatakan “Bekerjanya keadan struktural baru ini –yakni pembacaan al-Fatihah
secara menyeluruh- menghasilkan berbagai pemaknaan yang sulit untuk dikatakan
sampai sejauh mana itu mengungkapkan dengan setia atau mengubah maksud-maksud semula
yang terkandung dalam keadaan struktur asli (al-Fatihah dalam konteks surat 1
sampai 46 dan dalam situasi wacana pengujaran pertama). Lihat Arkoun, Min
a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian
Kontemporer al-Qur’an.
[5] Arkoun, Min
a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian
Kontemporer al-Qur’an.
[6] Muhammad Ibnu
Ahmad Ibnu Abi Bakr Ibnu Farah al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Mesir:
Dar al-Kutb, 2000), jilid I.
[7] Al-Qurtubi, al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an.
[8] Al-Razi, Tafsir
Mafatihal-Ghaib.
[9] Abu Hilal
al-Askari, al-Furuq fi al-Lughah (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1973)
cet. I.
[10] Mahmud Ibn
Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an Haqaiq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil wa Wujuh
al-Ta’wil (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1966), vol. I.
[11] Arkoun, Min
a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian
Kontemporer al-Qur’an.
[12] Al-Jauzi, Zad
al-Musir, cet. III vol. I.
[13] Arkoun, Min
a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian
Kontemporer al-Qur’an.
[14] Kata ganti ka,
sebagaimana dalam kata iyyaka menurut at-Tabari adalah bentuk kalam Arab
yang paling fasih dan indah, dalam iyyaka sendiri menurut Tobari merpakan
bentuk metofara (kinayah) dari isim al-Mukhatab yang dinasabkan
oleh fi’il. Al-Tabari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ani al-Qur’an,
vol.I.
[15] Al-Baidawi, Tafsir
al-Baidawi, vol I.
[16] Arkoun, Min
a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian
Kontemporer al-Qur’an.
[17] Al-Tabari, Jami’
al-Bayan an Ta’wil Ani al-Qur’an, vol.I.
[18] St. Sunardi, “Membaca
Qur’an Bersama Muhammad Arkon.
[19] Muhammad Ibnu
Ali al-Syaukani, Fath al-Qodir al-Jami’ baina Fanai al-Riwayah wa al-Dirayah
min Ilmi al-Tafsir, vol.I.
[20] Arkoun, Min
a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian
Kontemporer al-Qur’an.
[21] Arkoun, Min
a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian
Kontemporer al-Qur’an.
[23] Al-Thabari, Jami’
al-Bayan an Ta’wil Ayi al-Qur’an, vol.I.
[24] Arkoun, Min
a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian
Kontemporer al-Qur’an.
[25] Arkoun, Min
a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian
Kontemporer al-Qur’an.
[27] Arkoun, Min
a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian
Kontemporer al-Qur’an.
[28] Arkoun, Min
a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian
Kontemporer al-Qur’an.
[29] Al-Thabari, Jami’
al-Bayan an Ta’wil Ayi al-Qur’an, vol.I.
[30] Leksis adalah
satuan-satuan terkecil pembacaan, sepotong bagian teks apabila diisolasikan
dapat berdampak atau memiliki fungsi yang khas dibandingkan dengan
potongan-potongan teks lain disekitarnya. Sebuah leksis bisa berupa apa saja,
mulai dari sepatah kata sampai dengan serangakaian kalimat yang panjang
pendeknya bervariasi. Leksi-leksi dapat ditemukan baik pada tataran kontak
pertama diantara pembaca dan teks ataupun pada saat satuan-satuan ini dipilah-pilah
sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada tataran-tataran
pengorganisasian yang lebih tinggi. Ini definisi khas dari Roland Barthes tokoh
semiotik. Lihat Kris Budiman, Kosa Semiotika, hal: 69.
[31] Arkoun, Min
a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian
Kontemporer al-Qur’an.
[32] Arkoun, Min
a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian
Kontemporer al-Qur’an.
[33] Mohon dihitung
ulang, karena saya menduga pengitungan ini masih kurang tepat, mungkin karena kesalahan
percetakan. Wallahu a’lam.
[34] Kajian tentang
rahasia pemilihan lafadz dan kalimat yang didukung oleh tata bunyi
bahasa al-Qur’an telah menjadi salah satu karakteristik utama dalam Stilistika
al-Qur’an. lihat Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an, Pengantar
Orientasi Studi al-Qur’an (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997) hal:
37-61.
[35] Arkoun, Min
a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian
Kontemporer al-Qur’an.
[36] Arkoun, Min
a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian
Kontemporer al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar