Selasa, 01 November 2016

TEORI SEMIOTIKA ARKOUN DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN (STUDI PEMBACAAN SURAT AL-FATIHAH)

TEORI SEMIOTIKA ARKOUN DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN (STUDI PEMBACAAN SURAT AL-FATIHAH)


1)      Determinan[1]
Arkoun menyakan bahwa kata benda yang dipakai dalam surat al-Fatihah semuanya bersifat tertentu (Isim Ma’rifat) yang dengannya menjadikan apa yang dituturkan menjadi benar-benar jelas dan mudah dikenali.[2] Dalam bahasa Arab, isim Ma’rifah adalah untuk menunjukan sesuatu yang bersangkutan adalah ma’ruf (diketahui, definite) atau untuk ta’rif.[3]
Pertama: terkait isim Ma’rifah dengan tanda “al” yang berhubungan dengan kata Allah, yaitu al-rahman dan al-rahim menjadikan posisi Allah diketahui dengan jelas. Dalam lingkungan kita, kata Allah memang sudah ma’ruf par excellence, hal ini berbeda pada lingkungan orang Arab pada abad ke-7 dimana kata Allah belum menjadi “tanda” yang dengan sendirinya memberikan rujukan yang jelas.
Dari sinilah Arkoun ingin mengatakan bahwa Allah yang ada dalam surat al-Fatihah adalah Allah sebagaimana dalam surat 1-45 karena surat al-Fatihah adalah surat yang ke 56.[4] Sehingga “tanda” Allah atau yang berkaitan dengan-Nya harus difahami  sebagaimana dalam surat-surat yang mendahuluinya. Dalam surat al-Fatihah pun bahkan ditemukan sebutan-sebutan seperti al-rahman, al-rahim, rab al-alamin, malik yaum a-din.[5]
Inilah analisis Arkoun yang termasuk dalam kategori analisis semantik-semiotik dan sintak-semiotik. Hanya saja disini Arkoun tidak menganalisis asal kata Allah sebelum kata tersebut menjadi isim Ma’rifat. Padahal, kalau hal itu dipaparkan maka akan menambah tajam analisisnya pada tahap semantik.
Al-Qurtubi mengatakan huruf lam dan alif merupakan huruf tambahan yang berfungsi sebagai tanda untuk mengagungkan (ta’ziman wa tafkhiman).[6] Hal itu disimpulkan dari tradisi masyarakat Arab yang menyebut sesuatu yang tinggi dengan kata laha. Misalnya: thala’at asy-syams berarti lahat asy-syams, yakni matahari itu terbit (beranjak naik semakin tinggi).
Oleh karena itu, sebagian ulama menyatakan bahwa kata Allah bagian dari derivasi kata laha atau ilah. Lalu kemudian, lam dan alif yang dimasukan dalam kata ilah, secara semantik memberi pengertian bahwa sesuatu yang disandari kedua huruf tersebut merupakan hal yang sudah dikenal secara luas (Ma’ruf) dan besifat spesifik (mukhtas). 
Dari situlah maka ketika dikatakan laa ilaaha illa Allah berarti hanya ada Allah. Dialah Allah yang seperti ada dalam agama Islam. Termasuk dalam surat al-Fatihah, Allah bukanlah ilah atau rabb seperti yang sudah diketahui atau dikenal oleh masyarakat Arab secara luas sebelum Islam datang.
Al-Qurtubi juga menyatakan bahwa kata Allah adalah nama yang paling agung bagi Tuhan. Tidak ada tuhan selain Dia yang memiliki nama seperti itu. Allah adalah nama bagi suatu yang maujud yang haqq (benar), yang didalamnya terhimpun seluruh sifat ketuhanan. Jika disebut kata Allah maka artinya Dia bukan wujud-wujud haqiqi yang lain. Oleh karena itu, Allah lah wujud yang berhak disembah. Dia adalah wujud yang wajib ada (wajib al-wujud).[7]
Setelah mengetahi dari apa yang dikemukakan al-Qur’tubi terkait ke-ma’ruf-an dan ke-mukhtas-an kata Allah, maka dapat diketahui bahwa sifat al-rahman dan al-rahim yang ada dalam surat al-Fatihah statusnya adalah mukhtas dan ma’ruf karena mengikuti kepada yang disifati, sehingga jika dikatakan al-rahman dan al-rahim tidak lain adalah Allah.
Kedua: terkait isim Ma’rifah dengan tanda “al” yang tidak berhubungan dengan kata Allah, yaitu kata al-hamd, al-sirat, al-maghdub dan al-dallin. Menurut Arkoun, isim ma’rifat dalam al-hamd mempunyai generalisasi ruang dan waktu dari tindakan ucapan syukur (hamd). Arkoun menjelaskannya dengan penjelasan al-Razi:
“jika dikatakan, ‘saya menyampaikan ucapan syukur kepada Allah’ (أحمد الله), ini berarti bahwa orang yang mengatakan (qa’il) itu mampu menyampaikan ucapan syukur kepada-Nya. Akn tetapi, jka dikatakan ‘al-Hamdu Lillah’ (الحمد الله) ini berarti bahwa Dia sudah terpuji sebelum orang-orang memuji-Nya dan mengucapkan terima kasih kepada-Nya; baik mereka mengucapkan atau tidak pujian dan ucapan terima kasih mereka, ucapan terima kasih itu menadi milik-Nya selama-lamanya”.[8]
Pujian yang digunakan Allah dalam surat al-Fatihah adalah pujian yang bersifat dan spesial bagi diri-Nya. Dia menggunakan hamd, meskipun dalam bahasa Arab ditemukan murodifnya seperti madh, tsana’, dan syukr. Madh memiliki pengertian sebuah tindakan memberikan pujian kepada orang lain atau dirinya sendiri akibat faktor eksternal (sebab kebaikan, kecantikan, keagungan, dll). Tsana’ merupakan pujian yang diulang-ulang; bisa dikatakan kepada orang karena kebaikan maupun kejelekan. Jadi Stana’ adalah pujian secara umum yang terkait dengan perbuatan baik atau tindakan buruk. Sedangkan syukur, adalah ungkapan pujian sebagai bentuk terima kasih kepada pihak yang memberi bantuan sehngga juga sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan atas nikmat ang diberikan.[9] Dari sinilah maka dapat diketahui kehususan kata hamd, dibanding dengan syukr, sana’ dan madh. Hal ini pula yang menjadikan Allah memakai kata hamd dalam surat al-Fatihah karena pujian ini khusus untk diri-Nya.
Adapun sintagma-sintagma al-sirat, al-mustaqim, al-maghdub, al-dallin, mempunyai peran kategorisasi. Kategori pertama adalah jalan lurus (al-mustaqim), dan kedua jalan orang yang dimurkai Allah (al-maghdub) atau jalan orang-orang yang sesat (al-dallin). Dalam peletakannya yang saling disandingkan menjadikannya begitu nampak kontras, menurut al-Zamakhsyari gaya seperti itu memiliki fungsi taukid diantara dua pengulangan.[10]
Ketiga: isim ma’rifah dalam bentuk al-idhafah. Dalam rab al-alamin, rab dengan makna tuan (sebagaimana tuan rumah) disandarkan khusus kepada al-alamin (alam semesta). Disini meskipun kata alamin tidak terbatas namun justru disandarkan dan bergantung pada rab.[11]
Maliki yaum al-din juga memiliki bangunan yang sama dengan rab al-alamin. Keduanya juga memiliki keterkaitan semantik. Abu Mansur, seorang ahli linguistik mengatakan bahwa kata rabb bisa digunakan dalam tiga pengertian, yaitu rabb al-dar yang berarti si pemilik rumah (malik), rabb al-syai’ yang berarti orang yang memperbaiki atau merawat sesuatu, dan rabb al-muta’ yang artinya tuan yang dipatuhi.[12] Dari sinilah maka rabb al-alamin berarti Tuan yang merawat jagat raya, yang dipatuhi juga Sang Pemilik alam, sedangkan malik yaum al-din memiliki pengertian Raja dihari kiamat. Pertemuan antara keduanya terletak pada kekuasaan mutlak yang Dia miliki sehingga harus dipatuhi segala perintah-Nya.
2)      Kata Ganti
Analisis kata ganti termasuk dalam bidang kerja pragmatik semiotik. Dalam al-Fatihah ada dua bentuk kata ganti[13]. Pertama; kata ganti orang kedua tunggal (dhamir li al-mukhatab). Salah satu yang paling menonjol dalam surat ini adalah kata ganti orang kedua yang terdapat pada kata “iyya-ka” (dhamir al-ansab al-munfasil) yang digunakan secara berulang sebanyak dua kali dan sama-sama dipisah oleh kata iyyaka untuk menunjukan tujuan penyembahan (na’budu) dan tujuan permintaan tolong (nasta’in). Hal ini menunjukan kemutlakan penyembahan dan dan pertolongan manusia ditujukan hanya kepada Allah semata.
Kata ganti ini memiliki keterkaitan erat dengan Allah yang ma’ruf par excellence. Ketika yang ma’lum tidak dapat diindra oleh mata seseorang, maka dihadirkan kata ganti ka (dalam iyyaka[14]). Seolah Allah yang ma’lum dan gaib itu hadir secara kasat mata di depan kita, seolah Dia dapat disaksikan dengan indra kita. Disini ada peralihan dunia, dari dunia yang tidak dapat disaksikan menuju relaitas yang nyata. Inilah yang disebut dengan Tahyil (proses imajinasi). Takhyir hadir dalam rangka memperjelas dan menguatkan status Allah yang ma’ruf par excellence sehingga nilai kema’rufannya semakin bertambah tinggi (adalla ala al-ikhtishas).[15]
Allah dalam kedudukannya sebagai orang kedua tunggal juga tampak dalam kata kerja imperatif (fi’il amr) ihdina (tunjukanlah kami...), an’amta dan ghoiril maghdzub alaihim. Pada kata an’amta ditemukan kata ganti orang kedua dimana pelaku gramatikal dinyatakan secara tersurat oleh ta’ yang karenanya dikenal sebagai pencipta kemurahan-kemurahan yang diberikan kepada makhluk-makhluk tertentu. Sementara dalam sintagma ghoiril maghdub alaihim pelaku gramatikalnya yang dalam konteks ini tidak bisa lain selain Allah namun tidak dinyatakan secara tersurat. Secara gramatkal, pelaku itu bahkan tidak dikenali (majhul) dan bangunan pasif ini sepadan dengan sintagma aladzina ghudiba alaihim (orang-orang yang ditimpa kemarahan). Informasi yang dapat ditarik dari kedua ketegangan ini (antara kata ganti orang kedua yang tersurat dan yang tidak tersurat) telah membangun presepsi bagi aktan “pencipta” teks sebagai yang memberikan kebaikan-kebaikan (pertolongan, nikmat) dan penerima kebaikan-kebaikan pula (syukur, penyembahan), sedangkan soal keburukan (kemurkaan) tidak serta merta diasosiasikan kepada-Nya.[16]
Bentuk kata kerja imperatif (fi’il amr) digunakan dalam rangka mempererat hubungan diantara aktan-aktan. Secara paradigmatik, makna dan kedudukannya sama dengan ayat sebelumnya, yaitu iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Takwilnya adalah Allahumma iyyaka na’budu dan seterusnya, dan allahumma ihdinassiratal mustaqim. Penggunaan kata kerja imperatif memiliki fungsi peneguhan (li al-tsabat), yaitu mendapat hidayah Allah dalam menjalankan amal perbuatan. Karena itu bentuk imperatif tidak dapat dipandang sebagai ziyadah (tambahan) belaka yang berfungsi melengkapi ayat sebelumnya.[17]
Kedua: kata ganti orang pertama (dhamir lil mutakallim), baik sebagai subjek seperti dalam kata na’budu dan nasta’in, maupun sebagai objek seperti dalam kata ihdina. Dalam ketiga kasus ini, menurut Arkon, kata ganti orang pertama berjumlah banyak atau jamak. Maksudnya, bukan saja meliputi “aku dan kamu” (kita), tetapi juga sekaligus bermakna “aku dan mereka” (kami). Jadi tidak tampak jelas apakah “kata ganti orang pertama jamak” yang dimaksud itu adalah “kami” yang sedang mengucapkan ayat ini (seperti ketika dalam shalat misalnya), ataukah bermakna “kita” yang didalamnya juga melibatkan unsur “mereka” yang tidak hadir (dan tidak mengucapkan). Menurut Arkon, pembahasan kata ganti seperti ini sangat penting untuk menjelaskan berbagai makna, termasuk fungsi performatifnya yang masih akan dibahas kemudian.
Pemeriksaan terhadap unsur kata ganti ini, pada pokoknya, dimaksudkan Arkon untuk menganalisis proes pengujaran aktan-aktan, yaitu pelaku yang melakukan tindakan yang berada dalam teks atau narasi. Dengan kategori aktan, ujaran dipandang sebagai suatu hubungan antara berbagai aktan yang membentuknya. Dalam kaca mata semiotik, ujaran mau tidak mau harus dilihat dari kategori hubungan antar aktan. Dilihat dari kategori ini, ad tiga poros hubungan aktan-aktan. Poros pertama dan yang terpenting adalah proses subjek-objek dimana orang dapat memeriksa “siapa” melakukan “apa”. Poros kedua adalah poros pengirim-penerima yang menjawab persoalan siapa melakukan dan untuk siapa dilakukan. Sedangkan poros ketiga adalah untuk mencari aktanyang mendukng dan menentang subjek, yang berada dalam proses “pendukung-penerima”. Ketiga pasangan aktan ini dapat membantu orang atau pribadi, tapi juga bisa berupa nilai.[18]
Dengan kategori poros aktan pengirim-penerima, misalnya, Arkon mengatakan bahwa Alah adalah aktan pengirim-penerima 1: manusia sebagai pengujar adalah aktan penerima-pengirim 2: dalam kebanyakan surat al-Qur’an, Allah adalah aktan pengirim (destinateur) pesan, sementara manusia adalah aktan penerima (destinaire) pesan.  Namun hal sebaliknya juga bisa berlaku, dimana manusia menjadi pengirim dan Allah menjadi penerima. Analisis iaktansial ini tidak saja diterapkan pada tingkatan sintaksis tapi juga terhadap seluruh teks sebagai suatu kesatuan atau seluruh narasi.
Penggunaan kat ganti “na” sebagaimana dalam kata “na’budu, nasta’indan ihdina” mengisyaratkan kepada kita adanya hubungan antara aktan sujek-objek. Dalam hal ini, kata ganti “na” diwakili oleh manusia sebagai hamba yang berhadapan dengan Allah. Ini berbeda dengan penggunaan kata ganti “na” yang berarti subjeknya adalah Allah sebagaimana yang ada dalam kebanyakan ayat suci al-Qur’an. sebagai subjek “na” meminta kepada aktan objek (Allah) utuk memberikan hidayah-Nya. Dalam hubungan aktan subjek-objek seperti ini, Allah tidak semata-mata berada dalam posisi yang diperintah (penerima pesan), dan berada dibawah posisi hamba. Oleh karena itu, aktan “na” tidak berada dalam pengertian “mengagungkan diri” (tak’zim), tetapi memiliki pengertian sebagai bentuk ketundukan (tawadhu’), yaitu ketundukan hamba kepada sang ma’bud (Allah yang disembah).[19]
Masih berkaitan dengan aktan, Arkoun menganalisis terhadap al-hamd lillah. Secara sintaksis, kalimat tersebut merupakan kalimat nominal (al-jumlah al-ismiyyah): al-hamd sebagai mubtada’ dan lillah sebagai khabar. Suatu tindakan diajukan sebagai tujuan kepada Allah tanpa rujukan sma sekali kepada suatu penutur dan waktu. Allah demikian merupakan penerima terus menerus dari sebuah tindakan (al-hamd) yang sudah barang tentu mempunyai seorang pelaku-pengirim. Jika analisis sintaksis ini beralih keanalisis semantik, maka akan ditemukan kesulitan membedakan pengujar dengan aktan pelaku-pengirim. Menurut Arkoun, tindakan memuji (al-Hamd) secara semantik mengandaikan adanya actant-destinateur (aktan pengirim) kebaikan-kebaikan dan actant-destinaire (aktan penerima) dari kebaikan-kebaikan itu. Dengan demikian kita sampai pada sebuah model aktansial yang didalamnya Allah merupakan aktan pengirim kebaikan-kebaikan, penerima dari tindakan pengucapan rasa syukur, pengujar, aktan penerima kebaikan-kebaikan pengirim tindakan pengucapan rasa syukur. Berdasarkan hal itu, posisi pencipta teks tidak lagi menentukan pemahaman teks sebagaimana terjadi sampai saat ini. Kenyataan kebahasaan teks adalah sedemikian rupa seakan-akan penciptanya boleh dikatakan muncul, membangun dirinya sedikit demi sedikit selam berlangsungnya proses pengujaran.[20]
3)      Kata Kerja
Arkoun menghitung jumlah kata kerja dalam surat al-Fatihah hanya ada empat, lebih sedikit dibandingkan dengan kata benda.[21] Yaitu 1 dan 2: Na’budu dan nasta’in (kata kerja mudlara’ah) menggaris bawahi permanensi upaya tersebut untuk mempersempit jarak antara seorang penyeru yang sadar sebagai hamba serta tiada daya dan suatu sosok penderma yang ditunjukkan dengan kuat (iyyaka diulang dua kali sebelum kata kerja) sebagai mitra terakhir yang pantas dipuji dan selanjutnya menyantuni. Kata perintah ihdi-na yang berada setelah dua kata kerja mudlara’ah, tidak mungkin mempunyai nilai suatu perintah, namun menjelaskan permohonan yang secara tersirat diformulasikan dalam na’budu dan nasta’in.[22]
para Mufassir melihat bentuk ihdina, na’budu, dan nasta’in, mempunyai pengertian yang sama, yaitu do’a. At-Thabri misalnya, menyebut rangkaian na’bu wa iyyaka nastain sebagai bentuk perimintaan.[23]
Bentuk ke 3 fi’il madzi, yaitu an’amta. Artinya, bentuk ini menandakan adanya peristiwa pemberian nikmat oleh Allah yang sudah terjadi (masa lampau) / diberikan kepada Allah kepada mereka.
4)      Kata Benda dan Nominalisasi
Naskah al-fatihah terdiri dari istilah-istilah nominal asal. Adapun “Istilah-Istilah asal adalah istilah-istilah yang karena terbatas pada tingkatan akar-akar semantis, bebas artikulasi-artikulasi logis dan morfologis yang diajukan berbagai definisi teknis dalam istilah-istilah turunan. Istilah-istilah asal itu membawa kepada keseluruhan bahasa dalam artikulasi semantisnya yang “alami”. Itu semua menyediakan suatu ukuran yang mapan bagi penetapan suatu tipologi wacana al-Qur’an dan semua wacana pada umumnya.[24]
Adapun istilah-istilah yang ada segaimana berikut ini: ism, Allah, hamd, rabb, yaum, din, shirath. Meskipun mungkin merupakan kata turunan, istilah ‘alam dan dua kata kejadian rahman rahim mempunyai bentuk yang tidak jauh berbeda dari akar katanya. Adapun kajan-kajian terhadap terhadap istilah-istilah asal itu harus dilakukan dalam dua tahap. Pertama, harus dikaitkan dengan berbagai struktur etimologis dari leksikon Arab. Kemudian, menilai transformasi semantiknya dalam sistem leksikologis bahasa al-Qur’an.[25] Sayangnya, di sini Arkoun tidak dapat melakukan kedua penelitian tersebut. Padahal, hanya melalui langkah tersebut kita dapat mengukur campur tangan penutur dalam proses pengujaran dan dengan demikian dalam pembentukan suatu pemaknaan yang baru.”[26]
Arkoun kemudian beralih pada nominalisasi karena menurutnya intervensi penutur dalam proses pengujaran akan mudah dilihat pada nominalisasi ketimbang pada istilah-istilah asal. Nominalisasi dalam surat al-Fatihah, adalah penggunaan istilah-istilah yang dwi makna (masdar, nama-nama pelaku, dan penderita) yang secara sintaksis berperan sebagai subtantif, seraya mengungkapkan sebuah proses.
Arkoun mengatakan “dengan menghilangkan tanda-tanda pribadi, waktu dan cara yang menyertai kata kerja, nominalisasi mengubah bentuk proposisi verbal menjadi proposisi nominal, yakni menjadi sebuah ujaran penegasan intemporal, predikatif, yang mengandung kebenaran umum dan permanen. Alih-alih suatu pernyataan yang tunduk pada syarat-syarat intervensi seorang pelaku, dalam suatu waktudan menurut suatu cara yang sudah ditentukan, kita mendapatkan suatu hubungan, atau suatu keadaan yang bertindak sebagai alasan-alasan kewenangan (yang berlaku secara mutlak).[27]
Dalam hal itu, Arkoun menunjukan hasil pembacaannya. Pertama: kasus kata kata benda verbal pada al-hamd (sebagaimana sudah dijelaskan diatas bahwa Allah penerima terus menerus dari sebuah tindakan memuji). Kedua: kata benda pelaku malik. Malik disini menyatakan kehendak berbuat dari suatu pelaku pada hari itu. Ketiga: kata benda pelaku al-dallin. Kata ini mengandung makna yang sama malik.[28]
Al-Tabari menjelaskan bahwa kata al-dallin memiliki keterkaitan erat dengan al-maghdub. Keterkaitan itu menguatkan pada keberadaan “jalan orang-orang yang dibenci”. Al-dallin adalah al-maghdub, dan juga sebaliknya, al-maghdub adalah al-dallin.[29]
5)      Sususnan Sintaksis
Berikut struktur kalimat yang dibuat Arkoun, dengan memasukkan surah Al-Fatihah ke dalam empat leksis[30] dan tujuh predikat (penjelas)[31]:
Leksi Utama                                                  Leksika Penjelas
1) Bismillahi                                                    1). ar-rahmani ar-rahim
2) Alhamdulillah                                             1). Rabb alamin
2). ar-rahmani ar-rahim
3). Maliki yaumid al-din
3) iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in
4) ihdinas siratal mustaqim                             1). Shiratal lazina an'amta  'alaihim,
2). Ghairil magdubi 'alaihim
3). Walad dallin.
Pemotongan yang didasarkan atas pemilihan sintaksis antara ujaran inti (leksi utama) dan ujaran perluasan (leksi penjelas) ini, menurut Arkoun memungkinkan munculnya penonjolan peran sintaksis sentral dari subjek yang menjadi sasaran pengujaran Allah, demikian juga perluasan semantis subjek yang sama.[32] Praktek pengucapan leksi utam 1 pada sebelum memulai kegiatan dan leksi utama dua di ucapkan setelah selesai kegiatan menguatkan keabsahan linguistik dari pemotingan ini.
6)      Persajakan
Pada bagian ini Arkoun mencukupkan analisisnya pada pencatatan bahwa dalam persajakan surat al-Fatihah terdapat rima im yang bergantian dengan in. Dilihat dari fonem-fonem yang ada, m menonjol hingga 15 kali. I 12 kali, n 12 kali, a 5 kali, dan h 5 kali[33]. Dalam penafsiran klasik, penyebutan fonem itu diberi makna simbolis baik pada setiap jenis fonem maupun pada jumlah kemunculannya.[34] Menurut Arkoun, kajian persajakan atas tanda-tanda dengan demikian mesti diperluas dengan suatu kajian simbolis.[35] Arkoun berpendapat bahwa literatur terkait pembacaan liturgis dan pelafalan berirama yang benar yang menyediakan berbagai petunjuk yang interpetasinya secara fonologis, fonematis dan persajakan masih perlu didigarap dengan lebih seirus dengan metode modern.
Sebagai penutup dalam kajian ini, Arkoun menjelaskan bahwa pentingnya analisis linguistik kritis ini terletak pada kemungkinan “mengungkapkan tatanan yang mendalam” yang berada di balik penampakan teks yang seolah-olah tidak teratur. Analisis ini dilakukan melalui tanda-tanda kebahasaan sedemikian rupa sehingga kita mampu menangkap keseluruhan teks sebagai sistem yang mempunyai hubungan-hubungan internal.[36]  


[1] Penulis sengaja memosting tulisan ini hanya untuk tujuan para pembaca lebih memahami apa yang sudah dijelaskan oleh Arkoun. Karena selama ini yang sudah diposting di internet terkait semiotik Arkoun masih sangat sulit difahami. Oleh sebab itu, bagi yang menginginginkan lebih / mendapatkan referensi lebih lengkap termasuk detail halamannya maka silahkan hubungi penulis blog ini saja, insya Allah saya akan berikan dengan suka senang hati.
[2] Arkoun, Min a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an.  
[3] Syaikh Mustafa al-Ghulayaini, Jami’ al-Durus al-Araiyyah.
[4] Arkoun mengatakan “Bekerjanya keadan struktural baru ini –yakni pembacaan al-Fatihah secara menyeluruh- menghasilkan berbagai pemaknaan yang sulit untuk dikatakan sampai sejauh mana itu mengungkapkan dengan setia atau mengubah maksud-maksud semula yang terkandung dalam keadaan struktur asli (al-Fatihah dalam konteks surat 1 sampai 46 dan dalam situasi wacana pengujaran pertama). Lihat Arkoun, Min a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an.
[5] Arkoun, Min a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an.
[6] Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abi Bakr Ibnu Farah al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Mesir: Dar al-Kutb, 2000), jilid I.
[7] Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an.
[8] Al-Razi, Tafsir Mafatihal-Ghaib.  
[9] Abu Hilal al-Askari, al-Furuq fi al-Lughah (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1973) cet. I.
[10] Mahmud Ibn Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an Haqaiq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil wa Wujuh al-Ta’wil (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1966), vol. I.
[11] Arkoun, Min a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an.   
[12] Al-Jauzi, Zad al-Musir, cet. III vol. I.
[13] Arkoun, Min a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an.
[14] Kata ganti ka, sebagaimana dalam kata iyyaka menurut at-Tabari adalah bentuk kalam Arab yang paling fasih dan indah, dalam iyyaka sendiri menurut Tobari merpakan bentuk metofara (kinayah) dari isim al-Mukhatab yang dinasabkan oleh fi’il. Al-Tabari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ani al-Qur’an, vol.I.
[15] Al-Baidawi, Tafsir al-Baidawi, vol I.
[16] Arkoun, Min a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an.
[17] Al-Tabari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ani al-Qur’an, vol.I.
[18] St. Sunardi, “Membaca Qur’an Bersama Muhammad Arkon.
[19] Muhammad Ibnu Ali al-Syaukani, Fath al-Qodir al-Jami’ baina Fanai al-Riwayah wa al-Dirayah min Ilmi al-Tafsir, vol.I.
[20] Arkoun, Min a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an.
[21] Arkoun, Min a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an.
[22] Arkoun, Mohammed, Kajian Kontemporer al-Qur’an, Pustaka : Jakarta. 1982.
[23] Al-Thabari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayi al-Qur’an, vol.I.
[24] Arkoun, Min a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an.
[25] Arkoun, Min a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an.
[26] Arkoun, Mohammed, Kajian Kontemporer al-Qur’an, Pustaka : Jakarta. 1982.
[27] Arkoun, Min a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an.
[28] Arkoun, Min a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an.
[29] Al-Thabari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayi al-Qur’an, vol.I.
[30] Leksis adalah satuan-satuan terkecil pembacaan, sepotong bagian teks apabila diisolasikan dapat berdampak atau memiliki fungsi yang khas dibandingkan dengan potongan-potongan teks lain disekitarnya. Sebuah leksis bisa berupa apa saja, mulai dari sepatah kata sampai dengan serangakaian kalimat yang panjang pendeknya bervariasi. Leksi-leksi dapat ditemukan baik pada tataran kontak pertama diantara pembaca dan teks ataupun pada saat satuan-satuan ini dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada tataran-tataran pengorganisasian yang lebih tinggi. Ini definisi khas dari Roland Barthes tokoh semiotik. Lihat Kris Budiman, Kosa Semiotika, hal: 69.
[31] Arkoun, Min a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an.
[32] Arkoun, Min a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an.
[33] Mohon dihitung ulang, karena saya menduga pengitungan ini masih kurang tepat, mungkin karena kesalahan percetakan. Wallahu a’lam.
[34] Kajian tentang rahasia pemilihan lafadz dan kalimat yang didukung oleh tata bunyi bahasa al-Qur’an telah menjadi salah satu karakteristik utama dalam Stilistika al-Qur’an. lihat Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an, Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997) hal: 37-61.
[35] Arkoun, Min a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an.
[36] Arkoun, Min a-Tafsir al-Mawruts. Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an. Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar